Anda di halaman 1dari 26

Referat kecil

ALZHEIMER

Oleh:

FIRNI DWI SARI


1608437687

Dosen Pembimbing :
dr. Enny Lestari, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2017
ALZHEIMER

PENDAHULUAN
Alzheimer disease (AD) merupakan bentuk demensia yang tersering. AD
merupakan penyakit degeneratif dan progresif pada otak yang menyebabkan defect
spesifik pada neuron. Adanya defect ini dapat mengakibatkan gangguan memori,
berpikir, dan tingkah laku.1

Pada kasus AD terjadi degenerasi neuron dalam jumlah besar yang disebabkan
oleh gangguan pada sinaps, metabolisme dan perbaikan sel saraf yang sebenarnya hal
tersebut tidak terjadi dalam proses normal. Awalnya AD merusak sel-sel saraf yang
terletak pada formasio hipokampus. Akibat dari sel-sel saraf hipokampus mengalami
kerusakan, maka akan terjadi kegagalan daya ingat jangka pendek dan konsolidaasi
memori, selanjutnya akan terjadi kegagalan kemampuan seseorang untuk melakukan
aktivitas yang mudah dan tugas-tugas biasa.1,2

Pada beberapa kasus, AD juga dapat mengenai korteks serebri khususnya area
yang mengatur bahasa dan pemikiran (area Broca, Wernick dan Prefrontal), sehingga
menyebabkan seseorang kehilangan kemampuan berbahasa, membuat keputusan dan
timbul perubahan perilaku. Kerusakan ini terjadi secara progresif, akibatnya pasien
dengan AD akan merasakan emosi yang meledak-ledak, gangguan perilaku, gangguan
tidur, inkontinensia, kehilangan fungsi komunikasi, dan kehilangan kemandirian.1

Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup pada


berbagai populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin meningkat. Dilain
pihak akan menimbulkan masalah serius dalam bidang sosial ekonomi dan kesehatan,
sehingga akan semakin banyak yang berkonsultasi dengan seorang neurolog karena
orang tua tersebut yang tadinya sehat, akan mulai kehilangan kemampuannya secara
efektif sebagai pekerja atau sebagai anggota keluarga.
Hal ini menunjukkan munculnya penyakit degeneratif otak, tumor, multiple
stroke, subdural hematoma atau penyakit depresi, yang merupakan penyebab utama
demensia. Istilah demensia digunakan untuk menggambarkan sindroma klinis dengan
gejala menurunnya daya ingat dan hilangnya fungsi intelek lainnya. Definisi
demensia menurut Unit Neurobehavior pada Boston Veterans Administration
Medical Center (BVAMC) adalah kelainan fungsi intelek yang didapat dan bersifat
menetap, dengan adanya gangguan paling sedikit 3 dari 5 komponen fungsi luhur
yaitu gangguan bahasa, memori, visuospasial, emosi dan kognisi.
Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzheimer (50-60%)
dan kedua oleh cerebrovaskuler (20%). Diperkirakan penderita demensia terutama
penderita alzheimer pada abad terakhir ini semakin meningkat jumlah kasusnya
sehingga akan mungkin menjadi epidemi seperti di Amerika dengan insidensi
demensia 187 populasi/100.000/tahun dan penderita Alzheimer 123/100.000/tahun
serta penyebab kematian keempat atau kelima.

EPIDEMIOLOGI
Alzheimers disease (AD) merupakan penyebab demensia tersering pada
penduduk western. AD mengenai sekitar 5 juta orang di US dan 17 juta orang di Dunia.
Insiden AD meningkat 1% diantara populasi yang berusia 60-70 tahun, dan meningkat 6-
8% pada populasi yang berusia >85 tahun. Adapun proporsi pasien dengan AD pada
populasi adalah 30% dan diperkirakan pproporsi ini akan terus meningkat.2

Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali


dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih
lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap
jenis kelamin.
Gbr. 3 Penyakit Alzheimer
ETIOLOGI
Adanya faktor genetic atau riwayat keluarga dengan demensia merupakan salah
satu faktor risiko dari kejadian AD. Pada beberapa kasus yang jarang pada keluarga
dengan autosomal dominan untuk gen AD, perkembangan penyakit terjadi pada usia 30
dan 50 tahun, setengah dari kasus ini dilaporkan terjadi mutasi pada gen yang mengkode
protein precursor amiloid, presenilin 1, atau presinilin 2. Beberapa penelitian tentang
genetic menyebutkan bahwa AD disebabkan oleh generasi dan agregasi dari peptide
amiloid, yang berbentuk plak neuritic.2
Adapun penyebab dari demensia secara umum adalah:1

Penyebab Contoh
Infeksi Neurosifilis
Tuberculosis
Virus
Gangguan metabolic Hipotiroidisme
Gangguan keseimbangan elektrolit
Defisiensi zat gizi Defisiensi vitamin B12
Defisiensi Niasin
Defisiensi Tiamin
Lesi desak ruang Hematoma subdural
Tumor otak
Abses otak
Infark otak Iskemik
Hemoragik
Zat-zat toksik Obat-obatan
Alcohol
Arsen
Gangguan vascular Embolus serebral
Vaskulitis serebral
Penyakit lain Alzheimers disease
Parkinsons disease
Wilsons disease
Hungtintons disease
Depresi
Cedera kepala
PATOGENESIS
Sejumlah patogenesa penyakit alzheimer yaitu:2,3,4
1. Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini
diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada
keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih
besar dibandingkan kelompok kontrol normal. Pemeriksaan genetika DNA pada
penderita alzheimer dengan familial early onset terdapat kelainan lokus pada
kromosom 21 diregio proximal log arm, sedangkan pada familial late onset
didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19.
Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen
kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT),
ssenile plaque dan penurunan. Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang
menggambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer.
Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-
50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa
faktor genetik berperan dalam penyakit alzheimer. Pada sporadik non familial (50-
70%), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini
menunjukkan bahwa kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika
pada alzheimer.
2. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita
alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya
antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat
yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti
Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.
Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a. Manifestasi klinik yang sama
b. Tidak adanya respon imun yang spesifik
c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. Timbulnya gejala mioklonus
e. Adanya gambaran spongioform

3. Faktor lingkungan
Ekmann, mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam
patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon,
mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat
yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS).
Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan
aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang
tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidakseimbangan
merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.
Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi
melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler
(Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan
akibat kerusakan dan kematian neuron.
4. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer
didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha
protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari
penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit
inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor
immunitas.
5. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer
dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia
pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.
6. Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita Alzheimer
mempunyai peranan yang sangat penting seperti:
a. Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik
neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita
alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase
dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin.
Adanya defisit presinaptik dan postsynaptic kolinergik ini bersifat simetris
pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus basalis, hipokampus. Kelainan
neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis
neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya
selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker.
Pada penelitian dengan pemberian scopolamine pada orang normal, akan
menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung
hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer.
b. Noradrenalin
Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada
jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus
yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi
dengan defisit kortikal noradrenergik.
Bowen et al melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita
alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik neokorteks.
Palmer, Reinikanen melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post
dan ante-mortem penderita alzheimer.
c. Dopamin
Sparks et al, melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter region
hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada
penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena
potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.
d. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-
indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga
didapatkan pada nukleus basalis dari meynert. Penurunan serotonin pada subregio
hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus
sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal.
Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron
dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis
e. MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine.
Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin,
norepineprin dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi
terutama dopamin.
Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus
dan frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal dan menurun pada
nukleus basalis dari meynert.

GEJALA KLINIK
Perubahan Psikiatrik dan Neurologis
Kepribadian
Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia biasanya
akan mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit mungkin dapat
menonjol selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga menjadi
tertutup serta menjadi kurang perhatian dibandingkan sebelumnya. Seseorang dengan
demensia yang memiliki waham paranoid umumnya lebih cenderung memusuhi
anggota keluarganya dan pengasuhnya. Pasien yang mengalami kelainan pada lobus
frontalis dan temporalis biasanya mengalami perubahan kepribadian dan mungkin
lebih iritabel dan eksplosif.2
Halusinasi dan Waham
Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama pasien
dengan demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30 hingga 40 persen
memiliki waham, terutama waham paranoid yang bersifat tidak sistematis, meskipun
waham yang sistematis juga dilaporkan pada pasien tersebut. Agresi fisik dan bentuk-
bentuk kekerasan lainnya lazim ditemukan pada pasien dengan demensia yang juga
memiliki gejala-gejala psikotik. 2
Mood
Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan
kecemasan merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen pasien
dengan demensia, meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10
hingga 20 persen pasien. Pasien dengan demensia juga dapat menujukkan perubahan
emosi yang ekstrem tanpa provokasi yang nyata (misalnya tertawa dan menangis
yang patologis). 2
Perubahan Kognitif
Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia
dan agnosia dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-
tanda neurologis lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu
ditemukan kira-kira pada 10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20
persen pada pasien dengan demensia vaskuler. Refleks primitif seperti refleks
menggenggam, refleks moncong (snout), refleks mengisap, refleks tonus kaki serta
refleks palmomental dapat ditemukan melalui pemeriksaan neurologis pada 5 hingga
10 persen pasien.2
Untuk menilai fugsi kognitif pada pasien demensia dapat digunakan The Mini
Mental State Exam (MMSE).2
Reaksi Katastrofik
Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan yang oleh
Kurt Goldstein disebut perilaku abstrak. Pasien mengalami kesulitan untuk
memahami suatu konsep dan menjelaskan perbedaan konsep-konsep tersebut. Lebih
jauh lagi, kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah, berpikir logis, dan
kemampuan menilai suara juga terganggu. Goldstein juga menggambarkan reaksi
katastrofik berupa agitasi terhadap kesadaran subyektif dari defisit intelektual dalam
kondisi yang penuh tekanan. Pasien biasanya mengkompensasi defek yang dialami
dengan cara menghindari kegagalan dalam kemampuan intelektualnya, misalnya
dengan cara bercanda atau dengan mengalihkan pembicaraannya dengan pemeriksa.
Buruknya penilaian dan kemampuan mengendalikan impuls adalah lazim, biasanya
ditemukan pada demensia yang secara primer mengenai daerah lobus frontalis.
Contoh dari kelainan ini adalah penggunaan kata-kata yang kasar, bercanda dengan
tidak wajar, ketidakpedulian terhadap penampilan dan kebersihan diri, serta sikap
acuh tak acuh dalam hubungan sosialnya.2
Onset penyakit Ad adalah insidious, dan manifestasinya semakin memburuk
seiring pertambahan tahun. Awalnya akan terjadi kelemahan memori yang sifatnya masih
mild kemudan akan terjadi kehilangan fungsi kognitif yang parah.2

Selama stadium dini, pasien AD tidak bergejala namun mengalami pengurangan


kemampuan dalam memecahkan masalah, berpikir abstrak, emosi yang labil, pelupa,
apatis, dan kurangnya daya ingat. Seiring dengan perkembangan penyakit, perilaku
pasien menjadi tidak menentudan memiliki emosi yang meledak-ledak. Kemunduran
fungsi yang disebabkan oleh kerusakan korteks serebri terjadi setelah 3-10 tahun onset
penyakit. Selama stadium akhir penyakit, kemampuan pasien menjadi sangat terbatas dan
tidak mampu mengurus kebutuhan dasar mereka. Kematian biasanya disebabkan oleh
malnutrisi dan infeksi.7

Inisial gejala pada AD adalah adanya ketidakmampuan untuk mengingat


informasi yang baru terjadi. Seiring dengan progresifitas penyakit, terjadi gangguan
padda beberapa area kognitif, seperti area bahasa, berfikir abstrak, dan fungsi kognitif
atau pengambilan keputusan dengan berbagai derajat keparahan. Penyakit ini juga
membuat seseorang menjadi sulit untuk bekerja atau kesulitan dalam sosial atau
ketidakmampuan dalam melakukan kebutuhan sehari-hari. Pada dapat pula didapatkan
adanya perubahan emosional. Pada beberapa pasien diteukan delusi atau gangguan
psikotik, namun merupakan kasus yang jarang. Adanya psikosis yang mengawali
demensia merupakan panduan untuk mengarah ke diagnosis lain, yaitu demensia dengan
Lewy bodies.2

Pasien dengan gejala demensia sebaiknya melakukann serangkaian pemeriksaan


penunjang, seperti deteksi gangguan gizi, endokrin, dan infeksi. Pemeriksaan yang sering
dianjurkan adalah darah lengkap, pemeriksaan untuk sifilis, kadar elektrolit serum,
vitamin B 12, serta uji fungsi tiroid. Selain itu dapat pula dilakukan CT scan untuk
menilai apakah terdapat tumor atau abses otak maupun hematom subdural.1

Manifestasi klinis penyakit Alzheimer terdiri atas manifestasi gangguan kognitif


dan gangguan psikiatrik serta perilaku.Gangguan kognitif awal yang terjadi adalah
gangguan memori jangka pendek atau memori kerja. Gangguan ini akan diikuti dengan
kesulitan berbahasa, disorientasi visuospasial dan waktu, serta inatensi. Penderita
mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-harinya seiring perjalanan
penyakit, akan muncul gangguan psikiatrik dan perilaku seperti depresi , kecemasan,
halusinasi, waham, dan perilaku agitasi.3

Adapun perjalanan penyakit dari AD adalah :7

1. Korsakoff amnesic state


Pada tahap ini, pasien lupa beberapa memori yang baru terjadi, gangguan
pada kemampuan integritas dan kognitif, serta kemudianpasien dapat lupa dengan
mediate memory. Cara pemeriksaan pada tahap ini adalah dengan tes rentetan
huruf. Pada beberapa kasus, pasien dapat melupakan short dan long term memory.
Tahap ini juga ditandai dengan ketidakmampuan recall memory.

2. Dysnomia
Pada tahap ini, pasien melupakan kata-kata, beberapa nama dan biasanya
pasien baru akan dibawa ke neurologist saat dalam tahap ini. Semakin lama
pasien akan melupakan kata kerja dan kesulitan dalam berkomunikasi. Sindrom
pada tahap ini dinamakan dengan primary progressive aphasia karena pasien
juga dapat mengalami gangguan pada kemampuan membaca, menulis dan
menggabungkan antara intelegensi dan perilaku. Pada pemeriksaan EEG masih
dalam batas normal atau sedikit mengarah ke derajat kerusakan di frontotemporal.
Namun pada MRI dapat ditemukan adanya atrofi fokal pada area bahasa.

3. Visuospasial disorientation
Pada tahap ini kemungkinan telah terjadi atrofi pada region parieto-
oksipital, serig juga disebut posterior cortical dementia. Pasien ditandai dengan
prosopagnosia (ketidakmampuan mengenali wajah), tidak dapat mengingat jalan,
dan lain-lain.

4. Paranoid dan gangguan perubahan kepribadian


Pada kasus AD sering terjadi psikosis, paranoid, depresi dan iritabilitas.

Gbr. 4 Penyakit Alzheimer


VI. KRITERIA DIAGNOSA
Kriteria Diagnostik untuk Demensia Tipe Alzheimer 2
A. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan dengan baik
1) Gangguan daya ingat (gangguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru
dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya)
2) Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut;
a) Afasia (gangguan bahasa)
b) Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun
fungsi motorik utuh)
c) Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun fungsi
sensorik utuh
d) Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu merencanakan, mengorganisasi,
mengurutkan
B. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan gangguan
yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan suatu penurunan
bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya
C. Perjalanan penyakit ditandai oleh onset yang bertahap dan penurunan kognitif
yang terus menerus
D. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 bukan karena salah satu berikut ;
(1) Kondisi sistem saraf pusat lain yang menyebabkan defisit progresif dalam daya
ingat kognisi misalnya penyakit serebrovaskuler, penyakit Parkinson, penyakit
Huntington, hematoma subdural , hidrosefalus tekanan normal, tumor otak
(2) Kondisi sistemik yang diketehui menyebabkan demensia misalnya,
hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12 atau asam folat, defisiensi niasin,
hiperkalsemia, neurosifilis, infeksi HIV
(3) Kondisi yang berhubungan dengan zat
E. Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan suatu delirium
F. Gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan aksis lainnya (misalnya,
gangguan depresif berat,Skizofrenia)
Kondisi akibat zat
Kode didasarkan pada tipe onset dan ciri yang menonjol; Tanpa gangguan perilaku ;
Jika ganguan kognitif tidak disertai dengan gangguan perilaku yang bermakna secara
klinis dan abstrak), Dengan gangguan perilaku ; Jika gangguan kognitif disertai
gangguan perilaku yang bermakna secara klinis (misalnya keluyuran, agitasi)
Subtipe yang spesifik;
Dengan onset dini : jika onset pada umur < 65 tahun
Dengan onset lanjut ; jika onset pada usia > 65 tahun

Pedoman diagnostik Demensia pada alzheimer adalah sebagai berikut;4


(1) Terdapatnya gejala demensia
(2) Onset bertahap (insidious onset) dengan deteriorasi lambat. Onset biasanya sulit
ditentukan waktunya yang persis, tiba-tiba orang lain sudah menyadari adanya
kelainan tersebut. Dalam perjalanan penyakitnya dapat terjadi suatu taraf yang stabil
(plateau) secara nyata
(3) Tidak adanya yang menyatakan bahwa kondisi mental itu dapat disebabkan oleh
penyakit otak atau sistemik lain yang dapat menimbulkan demensia (misalnya
hipotiroidisme, hiperkalsemia, defisiensi vitamin B 12, Defisiensi niasin, neurosifilis,
hidrosefalus bertekanan normal, atau hematom subdural)
(4) Tidak adanya serangan apoplektik mendadak, atau gejala neurologik kerusakan
otak fokal seperti hemiparesis, hilangnya daya sensorik, defek lapangan pandang
mata, dan inkoordinasi yang terjadi dalam masa dini dari gangguan itu (walaupun
fenomena ini dikemudian hari dapat bertumpang tindih)
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian, NINCDS dan ADRDA menganjurkan
beberapa criteria diagnosis dari AD, yaitu:7

1. Demensia yang dibuktikan dengan hasil pemeriksaan klinis, Mini-Mental Scale,


Blessed Dementia Scale, atau pemeriksaan status mental lain.
2. Usia pasien (>40 tahun)
3. Deficit dari 2 atau 3 area kognitif yang bersifat progresif, seperti bahasa, persepsi,
dan skill motorik.
4. Tidak ada gangguan kesadaran.
5. Kelainan otak lain sudah disingkirkan.
Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan adalah (Rowland, 2010):

1. Antibodi : Kadarnya cukup tinggi (abnormal).


2. JDL, RPR, elektrolit, pemeriksaan tiroid : Dapat menentukan dan/atau
menghilangkan disfungsi yang dapat diobati/kambuh kembali, seperti proses
penyakit metabolic, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, neurosifilis.
3. B12 : Dapat menentukan secara nyata adanya kekurangan nutrisi.
4. Tes deksametason depresan (DST) : Untuk menangani depresi.
5. EKG : Mungkin tampak normal, perlu untuk menemukan adanya insufisiensi
jantung.
6. EEG : Mungkin normal atau memperlihatkan beberapa perlambatan gelombang
(membantu dalam menciptakan kelainan otak yang masih dapat diatasi).
7. Sinar x tengkorak : biasanya normal.
8. Tes penglihatan/pendengaran : Untuk menemukan adanya penurunan
(kehilangan) yang mungkin disebabkan oleh/kontribusi pada disorientasi, alam
perasaan yang melayang, perubahan persepsi sensori (salah satu gangguan
koknitif).
9. Scan otak, seperti PET, BEAM, MRI : Dapat memperlihatkan daerah otak yang
mengalami penurunan metabolism yang merupakan karakteristik dari DAT.
10. Scan CT : Dapat memperlihatkan adanya ventrikel otak yang melebar, adanya
atrofi kortikal.
11. CSS : Munculnya protein abnormal dari sel otak sekitar 90% merupakan indikasi
adanya DAT.
12. Penyakit Alzheimer yang dihubungkan dengan protein (ADAP) : Pemeriksaan
postmortem terlihat positif lebih dari 80% dari pasien DAT.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi
neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali
berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr). Beberapa penelitian mengungkapkan
atropi lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks
oksipital, korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh.
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:
a. Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal
yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada
neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari
inti batang otak.

Gbr. 5 Neurofibrillary tangles pada penyakit Alzheimer

NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak
manula, down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear
palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.
b. Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending
yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia.
Amloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan
kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala,
hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer,
korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik. Senile plaque ini juga terdapat
pada jaringan perifer. Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan
dengan penurunan kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile
plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.
c. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit
alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan
pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada
hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus
dan substanasia nigra.
Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert,
dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus
raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.
Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang
berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan dalam
pengobatan penyakit alzheimer.
d. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat
menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan
jumlah NFT dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial,
amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal,
oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak.
e. Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada
enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada
korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan
immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran
histopatologi penyakit parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan
variant dari penyakit alzheimer.
2. Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan
neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi
kognitif umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis
ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak
yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi,
perhatian dan pengertian berbahasa.
Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi Alzheimer yang
penting karena:
a. Adanya Alzheimer kognisi yang berhubungan dengan demensia awal yang dapat
diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk
membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan deficit selektif yang
diakibatkan oleh disfungsi fokal, Alzhei Alzheimer, dangangguan psikiatri
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh
demensia karena berbagai penyebab.
The Consortium to establish a Registry for Alzheimer Disease (CERALD)
menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan mempergunakan alat
batrey yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri
dari:
1. Verbal fluency animal category
2. Modified boston naming test
3. mini mental state
4. Word list memory
5. Constructional praxis
6. Word list recall
7. Word list recognition
Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada Alzheimer
3. CT Scan dan MRI
Merupakan metode non Alzheimer yang beresolusi tinggi untuk melihat
kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem.
Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab
demensia lainnya selain Alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi
kortikal menyeluruh dan pembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran
marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga
didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark, Alzheimer, binswanger
sehingga kita sukar untuk membedakan dengan penyakit Alzheimer.

Gbr. 6 CT Brain Normal dan Alzheimer


Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi
dengan beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI
ditemukan peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping
anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk
demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat
pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta
pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.
Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari
penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi)
dari hipokampus.
4. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang
pada penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus
frontalis yang non spesifik.
5. PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah,
metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada
regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi dan
selalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi.
6. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Aktivitas I. 123 terendah pada regio parietal penderita alzheimer. Kelainan ini
berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua
pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.
7. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.
Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit
demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi
renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan
secara selektif.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas. Pengobatan simptomatik
dan suportif yang dapat diberikan adalah :1,3,7

Inhibitor kolinesterase
Tujuan: Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat
digunakan anti kolinesterase yang bekerja secara sentral.
Contoh: fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine), donepezil
(Aricept), galantamin (Razadyne), & rivastigmin.
Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia
selama pemberian berlangsung
Thiamin

Pada penderita alzheimer didapatkan penurunan thiamin


pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan
transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus
basalis.

Contoh: thiamin hydrochloride dengan dosis 3 gr/hari selama 3 bulan


peroral
Tujuan: perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan
placebo selama periode yang sama.
Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik.
Tujuan: memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar. Tetapi
pemberian 4000 mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan
perbaikan klinis yang bermakna.
Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan
kerusakan noradrenergik kortikal.
Contoh: klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2
reseptor agonis.
Dosis : maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu
Tujuan: kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif
Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi:
Gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku: Pemberian
oral Haloperiodol 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki
gejala tersebut
Bila penderita Alzheimer menderita depresi berikan tricyclic anti
depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari)
Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu substrat endogen yang disintesa didalam mitokondria dengan
bantuan enzyme ALC transferase.
Tujuan : meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin
asetiltransferase.
Dosis:1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan
Efek: memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi
kognitif (Yulfran, 2000)

Gambar: obat-obat yang dapat diberikan pada AD (Mayeux, 2010)


Gbr.7 Pengobatan Alzheimer
KOMPLIKASI

Adapun komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien AD adalah:

1. Pneumonia aspirasi dan masalah lainnya. Kesulitan menelan makanan dan cairan
menyebabkan penderita alzheimer menghirup (menghisap) apa yang mereka
makan atau minum ke dalam saluran pernapasan dan paru, yang dapat
menyebabkan pneumonia. Pengidap alzheimer mudah gamang sehingga bisa
sering terjatuh. Akibat jatuh bisa terjadi luka di kepala, seperti pendarahan otak.
Operasi untuk memeperbaiki luka akibat jatuh juga berisiko. Sebagai contoh,
berbaring dalam waktu lama untuk pemulihan luka akibat terjatuh meningkatkan
risiko pembekuan darah di paru-paru (pulmonary embolism), yang dapat
menimbulkan kematian.
2. Inkontinensia adalah gejala umum dari tengah dan penyakit tahap akhir
Alzheimer. Pada saat seseorang menderita kerugian total dari fungsi kandung
kemih, kateter urin kadang-kadang digunakan. Kateter dapat memperkenalkan
bakteri ke dalam tubuh menyebabkan infeksi saluran kemih (ISK). Pasien dengan
penyakit Alzheimer juga tidak bisa ke toilet sendiri sebagai sering atau dengan
penggunaan yang tepat dari kebersihan, yang menghasilkan pembentukan ISK.
3. Dekubitus terjadi karena adanya penurunan aliran darah kedaerah yang
mengalami penekanan dan menyebabkan kerusakan pada daerah tersebut. Hal ini
dapat terjadi jika penekanan terjadi dalam waktu yang lama tanpa pergeseran
berat badan (misalnya setelah operasi/cedera).

PROGNOSIS

Progresivitas dari penyakit sangat bervariasi. Harapan hidup dari awitan gejala
hingga kematian berkisar dari 3-20 tahun, dengan rata-rata 8 tahun. Walaupun demensia
dapat timbul pada awal decade ke empat puluh, namun AD primer dapat menyerang
seseorang yang berusia lebih dari 65 tahun. Perkiraan terbaru adalah dari 10 orang, 1
orang akan menderita AD. Rentan usia penderita AD adalah 65-85 tahun.1,4,5

KESIMPULAN
Alzheimer disease (AD) merupakan bentuk demensia yang tersering. AD
merupakan penyakit degeneratif dan progresif pada otak yang menyebabkan defect
spesifik pada neuron. Pada kasus AD terjadi degenerasi neuron dalam jumlah besar yang
disebabkan oleh gangguan pada sinaps, metabolisme dan perbaikan sel saraf yang
sebenarnya hal tersebut tidak terjadi dalam proses normal.

Pada beberapa kasus, AD juga dapat mengenai korteks serebri khususnya area
yang mengatur bahasa dan pemikiran (area Broca, Wernick dan Prefrontal), sehingga
menyebabkan seseorang kehilangan kemampuan berbahasa, membuat keputusan dan
timbul perubahan perilaku. Kerusakan ini terjadi secara progresif, akibatnya ppasien
dengan AD akan merasakan emosi yang meledak-ledak, gangguan perilaku, gangguan
tidur, inkontinensia, kehilangan fungsi komunikasi, dan kehilangan kemandirian.
Progresifitas penyakit sangat cepat. Adapun pengobatan pada kasus ini bersifat
simtomatik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Price & Willson., 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


EGC: Jakarta. Pp 1139-1144
2. Mayeux, Richard., 2010. Early Alzheimers Disease. The New England of Journal
Medicine. Vol 362;2194-2201
3. Rowland & Pedley, Ed., 2010. Merrits Neurology 10th Edition. Lippincott
Williams & Wilkin..
4. Hotchkiss, Richard, Andreas S, Jonathan EM, et al., 2009. Cell Death:
Mechanisms of Disease. The New England Journal of Medicine. Vol 361;1570-
1583
5. Landgrave-Gomez, Jorge, Octavio MG & Rosalinda GG., 2015. Epigenetic
Mechanism in Neurological and Neurodegenerative Disease. Frontiers in
Cellular Neuroscience. Vol 27 (2);1-11
6. Machfoed, MH, M. Hamdan, Abdullah M, et al. ed, 2011. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Saraf. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair: Surabaya.
7. Ropper, AH & Robert HB, ed., 2005. Adams & Victor Principles of Neurology.
McGraw-Hill. Pp 910
8. Querfurth, HW & Frank, ML., 2010. Mechanisms of Disease Alzheimers
Disease. The New Englang Journal of medicine. Vol 362 (4); 392-335

Anda mungkin juga menyukai