ALZHEIMER
Oleh:
Dosen Pembimbing :
dr. Enny Lestari, Sp.S
PENDAHULUAN
Alzheimer disease (AD) merupakan bentuk demensia yang tersering. AD
merupakan penyakit degeneratif dan progresif pada otak yang menyebabkan defect
spesifik pada neuron. Adanya defect ini dapat mengakibatkan gangguan memori,
berpikir, dan tingkah laku.1
Pada kasus AD terjadi degenerasi neuron dalam jumlah besar yang disebabkan
oleh gangguan pada sinaps, metabolisme dan perbaikan sel saraf yang sebenarnya hal
tersebut tidak terjadi dalam proses normal. Awalnya AD merusak sel-sel saraf yang
terletak pada formasio hipokampus. Akibat dari sel-sel saraf hipokampus mengalami
kerusakan, maka akan terjadi kegagalan daya ingat jangka pendek dan konsolidaasi
memori, selanjutnya akan terjadi kegagalan kemampuan seseorang untuk melakukan
aktivitas yang mudah dan tugas-tugas biasa.1,2
Pada beberapa kasus, AD juga dapat mengenai korteks serebri khususnya area
yang mengatur bahasa dan pemikiran (area Broca, Wernick dan Prefrontal), sehingga
menyebabkan seseorang kehilangan kemampuan berbahasa, membuat keputusan dan
timbul perubahan perilaku. Kerusakan ini terjadi secara progresif, akibatnya pasien
dengan AD akan merasakan emosi yang meledak-ledak, gangguan perilaku, gangguan
tidur, inkontinensia, kehilangan fungsi komunikasi, dan kehilangan kemandirian.1
EPIDEMIOLOGI
Alzheimers disease (AD) merupakan penyebab demensia tersering pada
penduduk western. AD mengenai sekitar 5 juta orang di US dan 17 juta orang di Dunia.
Insiden AD meningkat 1% diantara populasi yang berusia 60-70 tahun, dan meningkat 6-
8% pada populasi yang berusia >85 tahun. Adapun proporsi pasien dengan AD pada
populasi adalah 30% dan diperkirakan pproporsi ini akan terus meningkat.2
Penyebab Contoh
Infeksi Neurosifilis
Tuberculosis
Virus
Gangguan metabolic Hipotiroidisme
Gangguan keseimbangan elektrolit
Defisiensi zat gizi Defisiensi vitamin B12
Defisiensi Niasin
Defisiensi Tiamin
Lesi desak ruang Hematoma subdural
Tumor otak
Abses otak
Infark otak Iskemik
Hemoragik
Zat-zat toksik Obat-obatan
Alcohol
Arsen
Gangguan vascular Embolus serebral
Vaskulitis serebral
Penyakit lain Alzheimers disease
Parkinsons disease
Wilsons disease
Hungtintons disease
Depresi
Cedera kepala
PATOGENESIS
Sejumlah patogenesa penyakit alzheimer yaitu:2,3,4
1. Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini
diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada
keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih
besar dibandingkan kelompok kontrol normal. Pemeriksaan genetika DNA pada
penderita alzheimer dengan familial early onset terdapat kelainan lokus pada
kromosom 21 diregio proximal log arm, sedangkan pada familial late onset
didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19.
Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen
kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT),
ssenile plaque dan penurunan. Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang
menggambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer.
Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-
50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa
faktor genetik berperan dalam penyakit alzheimer. Pada sporadik non familial (50-
70%), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini
menunjukkan bahwa kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika
pada alzheimer.
2. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita
alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya
antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat
yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti
Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.
Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a. Manifestasi klinik yang sama
b. Tidak adanya respon imun yang spesifik
c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. Timbulnya gejala mioklonus
e. Adanya gambaran spongioform
3. Faktor lingkungan
Ekmann, mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam
patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon,
mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat
yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS).
Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan
aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang
tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidakseimbangan
merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.
Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi
melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler
(Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan
akibat kerusakan dan kematian neuron.
4. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer
didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha
protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari
penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit
inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor
immunitas.
5. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer
dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia
pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.
6. Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita Alzheimer
mempunyai peranan yang sangat penting seperti:
a. Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik
neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita
alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase
dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin.
Adanya defisit presinaptik dan postsynaptic kolinergik ini bersifat simetris
pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus basalis, hipokampus. Kelainan
neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis
neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya
selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker.
Pada penelitian dengan pemberian scopolamine pada orang normal, akan
menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung
hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer.
b. Noradrenalin
Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada
jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus
yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi
dengan defisit kortikal noradrenergik.
Bowen et al melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita
alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik neokorteks.
Palmer, Reinikanen melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post
dan ante-mortem penderita alzheimer.
c. Dopamin
Sparks et al, melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter region
hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada
penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena
potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.
d. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-
indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga
didapatkan pada nukleus basalis dari meynert. Penurunan serotonin pada subregio
hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus
sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal.
Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron
dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis
e. MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine.
Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin,
norepineprin dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi
terutama dopamin.
Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus
dan frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal dan menurun pada
nukleus basalis dari meynert.
GEJALA KLINIK
Perubahan Psikiatrik dan Neurologis
Kepribadian
Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia biasanya
akan mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit mungkin dapat
menonjol selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga menjadi
tertutup serta menjadi kurang perhatian dibandingkan sebelumnya. Seseorang dengan
demensia yang memiliki waham paranoid umumnya lebih cenderung memusuhi
anggota keluarganya dan pengasuhnya. Pasien yang mengalami kelainan pada lobus
frontalis dan temporalis biasanya mengalami perubahan kepribadian dan mungkin
lebih iritabel dan eksplosif.2
Halusinasi dan Waham
Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama pasien
dengan demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30 hingga 40 persen
memiliki waham, terutama waham paranoid yang bersifat tidak sistematis, meskipun
waham yang sistematis juga dilaporkan pada pasien tersebut. Agresi fisik dan bentuk-
bentuk kekerasan lainnya lazim ditemukan pada pasien dengan demensia yang juga
memiliki gejala-gejala psikotik. 2
Mood
Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan
kecemasan merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen pasien
dengan demensia, meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10
hingga 20 persen pasien. Pasien dengan demensia juga dapat menujukkan perubahan
emosi yang ekstrem tanpa provokasi yang nyata (misalnya tertawa dan menangis
yang patologis). 2
Perubahan Kognitif
Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia
dan agnosia dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-
tanda neurologis lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu
ditemukan kira-kira pada 10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20
persen pada pasien dengan demensia vaskuler. Refleks primitif seperti refleks
menggenggam, refleks moncong (snout), refleks mengisap, refleks tonus kaki serta
refleks palmomental dapat ditemukan melalui pemeriksaan neurologis pada 5 hingga
10 persen pasien.2
Untuk menilai fugsi kognitif pada pasien demensia dapat digunakan The Mini
Mental State Exam (MMSE).2
Reaksi Katastrofik
Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan yang oleh
Kurt Goldstein disebut perilaku abstrak. Pasien mengalami kesulitan untuk
memahami suatu konsep dan menjelaskan perbedaan konsep-konsep tersebut. Lebih
jauh lagi, kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah, berpikir logis, dan
kemampuan menilai suara juga terganggu. Goldstein juga menggambarkan reaksi
katastrofik berupa agitasi terhadap kesadaran subyektif dari defisit intelektual dalam
kondisi yang penuh tekanan. Pasien biasanya mengkompensasi defek yang dialami
dengan cara menghindari kegagalan dalam kemampuan intelektualnya, misalnya
dengan cara bercanda atau dengan mengalihkan pembicaraannya dengan pemeriksa.
Buruknya penilaian dan kemampuan mengendalikan impuls adalah lazim, biasanya
ditemukan pada demensia yang secara primer mengenai daerah lobus frontalis.
Contoh dari kelainan ini adalah penggunaan kata-kata yang kasar, bercanda dengan
tidak wajar, ketidakpedulian terhadap penampilan dan kebersihan diri, serta sikap
acuh tak acuh dalam hubungan sosialnya.2
Onset penyakit Ad adalah insidious, dan manifestasinya semakin memburuk
seiring pertambahan tahun. Awalnya akan terjadi kelemahan memori yang sifatnya masih
mild kemudan akan terjadi kehilangan fungsi kognitif yang parah.2
2. Dysnomia
Pada tahap ini, pasien melupakan kata-kata, beberapa nama dan biasanya
pasien baru akan dibawa ke neurologist saat dalam tahap ini. Semakin lama
pasien akan melupakan kata kerja dan kesulitan dalam berkomunikasi. Sindrom
pada tahap ini dinamakan dengan primary progressive aphasia karena pasien
juga dapat mengalami gangguan pada kemampuan membaca, menulis dan
menggabungkan antara intelegensi dan perilaku. Pada pemeriksaan EEG masih
dalam batas normal atau sedikit mengarah ke derajat kerusakan di frontotemporal.
Namun pada MRI dapat ditemukan adanya atrofi fokal pada area bahasa.
3. Visuospasial disorientation
Pada tahap ini kemungkinan telah terjadi atrofi pada region parieto-
oksipital, serig juga disebut posterior cortical dementia. Pasien ditandai dengan
prosopagnosia (ketidakmampuan mengenali wajah), tidak dapat mengingat jalan,
dan lain-lain.
NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak
manula, down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear
palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.
b. Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending
yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia.
Amloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan
kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala,
hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer,
korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik. Senile plaque ini juga terdapat
pada jaringan perifer. Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan
dengan penurunan kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile
plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.
c. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit
alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan
pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada
hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus
dan substanasia nigra.
Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert,
dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus
raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.
Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang
berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan dalam
pengobatan penyakit alzheimer.
d. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat
menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan
jumlah NFT dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial,
amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal,
oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak.
e. Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada
enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada
korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan
immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran
histopatologi penyakit parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan
variant dari penyakit alzheimer.
2. Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan
neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi
kognitif umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis
ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak
yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi,
perhatian dan pengertian berbahasa.
Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi Alzheimer yang
penting karena:
a. Adanya Alzheimer kognisi yang berhubungan dengan demensia awal yang dapat
diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk
membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan deficit selektif yang
diakibatkan oleh disfungsi fokal, Alzhei Alzheimer, dangangguan psikiatri
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh
demensia karena berbagai penyebab.
The Consortium to establish a Registry for Alzheimer Disease (CERALD)
menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan mempergunakan alat
batrey yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri
dari:
1. Verbal fluency animal category
2. Modified boston naming test
3. mini mental state
4. Word list memory
5. Constructional praxis
6. Word list recall
7. Word list recognition
Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada Alzheimer
3. CT Scan dan MRI
Merupakan metode non Alzheimer yang beresolusi tinggi untuk melihat
kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem.
Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab
demensia lainnya selain Alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi
kortikal menyeluruh dan pembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran
marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga
didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark, Alzheimer, binswanger
sehingga kita sukar untuk membedakan dengan penyakit Alzheimer.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas. Pengobatan simptomatik
dan suportif yang dapat diberikan adalah :1,3,7
Inhibitor kolinesterase
Tujuan: Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat
digunakan anti kolinesterase yang bekerja secara sentral.
Contoh: fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine), donepezil
(Aricept), galantamin (Razadyne), & rivastigmin.
Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia
selama pemberian berlangsung
Thiamin
1. Pneumonia aspirasi dan masalah lainnya. Kesulitan menelan makanan dan cairan
menyebabkan penderita alzheimer menghirup (menghisap) apa yang mereka
makan atau minum ke dalam saluran pernapasan dan paru, yang dapat
menyebabkan pneumonia. Pengidap alzheimer mudah gamang sehingga bisa
sering terjatuh. Akibat jatuh bisa terjadi luka di kepala, seperti pendarahan otak.
Operasi untuk memeperbaiki luka akibat jatuh juga berisiko. Sebagai contoh,
berbaring dalam waktu lama untuk pemulihan luka akibat terjatuh meningkatkan
risiko pembekuan darah di paru-paru (pulmonary embolism), yang dapat
menimbulkan kematian.
2. Inkontinensia adalah gejala umum dari tengah dan penyakit tahap akhir
Alzheimer. Pada saat seseorang menderita kerugian total dari fungsi kandung
kemih, kateter urin kadang-kadang digunakan. Kateter dapat memperkenalkan
bakteri ke dalam tubuh menyebabkan infeksi saluran kemih (ISK). Pasien dengan
penyakit Alzheimer juga tidak bisa ke toilet sendiri sebagai sering atau dengan
penggunaan yang tepat dari kebersihan, yang menghasilkan pembentukan ISK.
3. Dekubitus terjadi karena adanya penurunan aliran darah kedaerah yang
mengalami penekanan dan menyebabkan kerusakan pada daerah tersebut. Hal ini
dapat terjadi jika penekanan terjadi dalam waktu yang lama tanpa pergeseran
berat badan (misalnya setelah operasi/cedera).
PROGNOSIS
Progresivitas dari penyakit sangat bervariasi. Harapan hidup dari awitan gejala
hingga kematian berkisar dari 3-20 tahun, dengan rata-rata 8 tahun. Walaupun demensia
dapat timbul pada awal decade ke empat puluh, namun AD primer dapat menyerang
seseorang yang berusia lebih dari 65 tahun. Perkiraan terbaru adalah dari 10 orang, 1
orang akan menderita AD. Rentan usia penderita AD adalah 65-85 tahun.1,4,5
KESIMPULAN
Alzheimer disease (AD) merupakan bentuk demensia yang tersering. AD
merupakan penyakit degeneratif dan progresif pada otak yang menyebabkan defect
spesifik pada neuron. Pada kasus AD terjadi degenerasi neuron dalam jumlah besar yang
disebabkan oleh gangguan pada sinaps, metabolisme dan perbaikan sel saraf yang
sebenarnya hal tersebut tidak terjadi dalam proses normal.
Pada beberapa kasus, AD juga dapat mengenai korteks serebri khususnya area
yang mengatur bahasa dan pemikiran (area Broca, Wernick dan Prefrontal), sehingga
menyebabkan seseorang kehilangan kemampuan berbahasa, membuat keputusan dan
timbul perubahan perilaku. Kerusakan ini terjadi secara progresif, akibatnya ppasien
dengan AD akan merasakan emosi yang meledak-ledak, gangguan perilaku, gangguan
tidur, inkontinensia, kehilangan fungsi komunikasi, dan kehilangan kemandirian.
Progresifitas penyakit sangat cepat. Adapun pengobatan pada kasus ini bersifat
simtomatik.
DAFTAR PUSTAKA