Abstrak:
Sudah lebih dari 8 Indonesia belum bisa bangkit dari situasi krisis ekonomi, hal ini
terjadi karena Indonesia mengalami krisis multidimensional yang muaranya adalah krisis
budaya. Benar kata Tony Barnett, kita tidak kekurangan tenaga profesional dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi, namun permasalahannya terletak pada konteks budaya
bagi impelentasi keputusan teknis. Max Weber juga berkeyakinan kalau pemikiran agama
mempunyai pengaruh besar bagi diterimanya sistem industri kapitalis. Atau dengan kata
lain, industri modern berkembang di Eropa setelah tersebarnya teologi Protestan dari Jean
Calvin. Hal itu menyanggah pandangan bahwa agama merupakan unsur yang paling sulit
mengalami perubahan dan perubahannya itu bersifat reaksioner terhadap perubahan
masyarakat.
Islam belum bisa tampil sebagai peradaban yang unggul karena belum berhasil
mengembangkan suatu pemikiran keagamaan yang menyeluruh. Dalam kasus Indonesia,
umat Islam dituntut mampu merumuskan budaya Islam Indonesianis. Pembaharuan
Muhammadiyah juga masih bersifat parsialis karena hanya didasarkan pada aspek rasio
(bersifat normatif berdasarkan al-Quran dan Hadits) dan melupakan tradisi bangsa
Indonesia. Akibatnya, pembaharuan itu ditentang oleh mereka yang tinggal di daerah
pedesaan yang hidup selaras dengan tradisi.
I. Pendahuluan
Pembangunan ekonomi di negara kita masih belum beranjak jauh dari situasi ketika
krisis ekonomi melanda Indonesia pada bulan November 1997, walaupun Era Reformasi
sudah dicanangkan sejak Soeharto turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998. Era Reformasi
sudah berlangsung lebih dari 8 tahun, tapi belum ada hasil yang signifikan. Hal ini terjadi
karena krisis yang terjadi di negara kita bukan hanya sekedar krisis ekonomi tetapi krisis
budaya. Memang terdapat hubungan yang paralel antara aspek ekonomi atau material dan
Dalam bidang immaterial ini, kita belum berhasil merumuskan bentuk identitas
budaya bangsa. Yang dimaksud dengan negara Pancasila sebenarnya masih berproses
mencari bentuk. Negara Pancasila berpretensi sebagai negara yang tidak sekuler dan tidak
berdasarkan agama. Bentuk negara Pancasila dijadikan alternatif untuk menjaga keutuhan
bangsa Indonesia yang pluralis. Ancaman bangsa kita sudah dirumuskan sebagai SARA
Diharapkan umat Islam dapat memainkan peranan yang besar bagi terciptaya
(budaya Pancasila) karena berbagai kelompok umat Islam masih mengalami hambatan
1
komunikasi, dan kadang-kadang mereka mengembangkan ideologi yang tidak mudah
Adopsi ideologi tertentu oleh suatu kelompok adalah konsekuensi logis bagi agama
yang memiliki hubungan erat dan berpretensi untuk mengatur urusan duniawi. Hendaknya
walaupun hal itu merupakan suatu sikap yang tidak mudah diwujudkan bagi gerakan yang
bukanlah suatu ideologi, dan karenanya ideologi harus diarahkan untuk mewujudkan suatu
misi agama yang ingin menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia, seperti hak hidup
relasi peran ideologi dan agama maka tidaklah sulit bagi mereka untuk mengembangkan
suatu dialog bagi upaya mencari dan merumuskan suatu program bersama yang berguna
bagi kemanusiaan.
komunitas Islam. Mereka hanya mendasarkan pada Al-Quran dan Hadits sebagai
pedoman. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan berkaitan dengan suatu komunitas
yang menjadi sasaran dari pembaharuan itu, sehingga pembaharuan dapat berjalan secara
efektif. Komunitas tidak berada dalam suatu ruang hampa udara, di dalamnya berkembang
ibarat obat yang dapat menyembuhkan segala penyakit. Ini mustahil, karena tantangan
2
suatu zaman berbeda-beda maka obatnya pun tentu berbeda. Memang secara rasio, suatu
memerlukan dosis yang berbeda-beda, disesuaikan dengan umur, kondisi kesehatan, dan
normatif ini dapat diterima umat Islam di daerah perkotaan yang relatif sudah terlepas dari
tradisi dan karenanya sedang memerlukan ikatan sosial baru. Kenyataanya, secara tidak
kauman Yogyakarta. Boleh dikata mereka adalah penduduk kota, karena tinggal di sekitar
keraton dan pada umumnya pendatang dari berbagai daerah. Mereka memerlukan ikatan
sosial baru yang dapat digunakan juga untuk mengatasi permasalahan yang melilitnya
Apa yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan merupakan suatu terobosan dengan
membentuk organisasi yang bentuknya bukan partai politik. Bentuk organisasi diadopsi
dari cara-cara modern yang diperkenalkan oleh penjajah Belanda. Sehingga tidak
karena dia lebih menekankan pada usaha paksis untuk merebut urusan duniawi. Berikut
pilihan itu bukan didasarkan pada hasil cermatan kajian literatur Islam klasik dan
juga tidak memperoleh inspirasi dari konsep-konsep teologis atau kalam klasik
yang telah baku dan mapan dalam literatur-literatur khazanah intelektual lama.
K.H. Dahlan meyakini agama bersifat manusiawi, agama yang mampu memberikan sesuatu
kepada manusia melalui berbagai bentuk amaliyah. Oleh karena itu dia menghindari
persoalan teologis, karena akan menghalangi agama untuk melakukan suatu tindakan nyata
melalui berbagai bentuk amaliyah yang bermanfaat bagi siapa saja tanpa memandang
afiliasi teologisnya. Teologi disini bukanlah sebagai suatu ilmu Ketuhanan yang bias nilai,
melainkan ada suatu bias kepentingan karena dirumuskan sendiri oleh manusia; dan hal ini
Ketika ada salah seorang santrinya mengusulkan agar agar K.H. Ahmad Dahlan
menulis kitab untuk menjelaskan pemikirannya yang inovatif itu, maka dia menjawab:
3
Apakah saudara ini menganggap saya orang gila? dan jawaban itu diulangi sampai tiga
kali. Kyai Dahlan melihat sudah banyak kitab yang ditulis, yang menyebabkan umat
terpecah belah; dan ia tidak ingin menambah satu kitab lagi karena dikhawatirkan dapat
menambah runyam suasana. Dengan demikian, model dakwah K.H. Dahlan bersifat praktis
menempuh jalan para modernis gerakan Salafiyah dari abad ke-19 seperti Jamaluddin al-
Gerakan Salafiyah ini dipandang sebagai kelanjutan dari gerakan pembaharuan yang
Qoyyim al-Jauziyah (1292-1350), yang berusaha untuk membuka pintu ijtihad; dan
dilanjutkan oleh Gerakan Wahabi di Saudi Arabia yang dipimpin oleh Muhammad bin
Purifikasi dan Dinamisasi. Purifikasi didasarkan pada asumsi bahwa kemunduran umat
Islam terjadi karena umat Islam tidak mengembangkan aqidah Islam yang benar, sehingga
harus dilakukan purifikasi dalam bidang aqidah-ibadah dengan doktrin segala sesuatu
diyakini dan dilaksanakan bila ada perintah dalam Al-Quran dan Hadits. Sedangkan
sepanjang sesuai dengan doktrin semuanya boleh dikerjakan selama tidak ada larangan
menekankan pada pem baharuan di bidang muammalah (the social aspect of Islam) atau
menempuh jalan Muhammad Abdul Wahab dengan gerakan purifikasinya (the belief aspect
of Islam). Artinya Muhammadiyah menekankan ijtihad dalam bidang aqidah (ibadah) dan
sebaliknya Abduh menyeru ijtihad dalam bidang muammallah (duniawi) seperti politik,
4
Saya melihat ijtihad dalam bidang aqidah yang dilakukan Muhammadiyah adalah
aqidah yang memiliki keterkaitan dengan aspek sosial kemasyarakatan (budaya), bukan
aqidah mahdlah (ibadah murni). Karena ijtihad dalam bidang ibadah murni seperti shalat,
puasa, dan haji, dalam pandangan Syaikh Muhammad Al-Ghazali (1996: 129) sebaiknya
sudah ada, disamping dicari rujukannya langsung pada Al-Quran dan Hadits.
Ijtihad dalam bidang aqidah yang berkaitan dengan aspek budaya ini memang
penuh resiko karena pembicaraan mengenai iman (lebih luas dari aqidah) merupakan
pembicaraan yang sangat luas. Iman menempati segala sesuatu. Iman memiliki sifat-sifat
dan karakter tertentu, tetapi secara praktis tidak berbentuk tertentu. Ia teoritis dan
sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), Berimanlah
kamu kepada Tuhanmu. Maka kami pun beriman. (Ghazali, 1996: 129).
Iman tidak bisa dibatasi pada masalah aqidah saja maka pelaksanaan purifikasi di
lapangan mengalami kesulitan karena bidah yang dianggap dalam wilayah aqidah
bercampur aduk dengan bidah dalam wilayah budaya. Jika memang begitu yang terjadi,
maka pecoretan tradisi, budaya, adat istiadat perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian,
lantaran apa yang disebut budaya dan tradisi sesungguhnya jauh lebih luas daripada aqidah
masyarakat kota itu, tidak dapat diterima dan menuai reaksi negatif dari kalangan umat
Islam di daerah pedesaan yang masih mempertahankan tradisi. Seperti dijelaskan di atas,
iman itu suatu konseptual, dan konsep yang ditawarkan Muhammadiyah tersebut tidak
sesuai dengan realitas kontekstual masyarakat desa yang memegang teguh tradisi. Bagi
Muslim di pedesaan, tradisi ini sangat penting karena telah memberi makna dan identitas
bagi kehidupannya. Bahkan kedalam tradisi ini telah diinfuskan nilai-nilai Islam. Karena itu
menyakitkan.
5
Kita bisa mengatakan pembaharuan Muhammadiyah itu masih bersifat realitas
parsial, karena hanya berangkat dari latarbelakang masyarakat perkotaan; dan karenanya
menuai reaksi negatif dari komunitas Islam di daerah pedesaan. Ini sangat disayangkan
modernisasi dalam bidang muammallah. Sebenarnya reaksi negatif ini dapat diminimalkan
menjadi sikap saling menghormati satu-sama lain, atau kalau mungkin dikembangkan sikap
kerjasama satu sama lain bila umat Islam Indonesia telah berhasil mengembangkan
kegiatan intelektual yang baik. Tentunya kegiatan intelektual waktu itu masih terbatas,
karena kita masih di bawah belenggu penjajah Belanda. Situasi sekarang saja belum ada
usaha yang serius dari seluruh komponen bangsa, terutama pemerintah dan ormas Islam,
untuk mengembangkan kajian Islam dari berbagai disiplin ilmu, sebagai bahan referensi
untuk merumuskan pembaharuan Islam dengan daya jangkau yang lebih luas lagi.
Memang perlu disadari sejak awal kalau pembaharuan itu masih bersifat parsialis
pembaharuan Islam memang bukan paket sekali jadi. Memang untuk merumuskan
membutuhkan waktu dalam proses sejarah yang lama dan kadang tidak mulus. Adalah sulit
untuk sejak dini merumuskan pembaharuan yang memiliki daya jangkauan global bila kita
modifikasi terhadap suatu tradisi agar dapat menjawab tuntutan zaman. Caranya dengan
melakukan pemurnian alam pemikiran Islam yang masih terpengaruh oleh lapisan tipis
tradisi Hindu-Budha maupun nenek moyang, dengan tidak menghilangkan tradisi tersebut
untuk mendekati perintah yang tercantum di dalam Quran maupun Hadits, sebagai
idealisasinya.
6
Variasi budaya berimplikasi pada variasi pembaharuan Islam. Memang disadari atau
tidak pembaruan selalu berangkat dari realitas sosiologis-historis suatu budaya. Karena itu
pembaharuan Islam seringkali dipandang penuh curiga oleh komunitas Islam lainnya yang
memiliki realitas sosiologis-historis yang berlainan. Memang ini wajar setiap memulai
pembaharuan dan kita dituntut bersikap dewasa terhadap mereka yang masih sangsi
ini juga sangat diperlukan dan selanjutnya berusaha menjalin kerjasama dengan berbagai
kelompok lain. Toleransi yang tulus di antara berbagai organisasi Islam di Indonesia ini
Perlu diketahui, sepanjang sejarah Islam kita mendapatkan suatu fakta bahwa
sesama organisasi Islam sangat sulit mewujudkan suatu sikap toleransi. Konflik antara
Pertentangan sesama umat itu melemahkan umat Islam sendiri, bahkan akhirnya Islam
Pada sisi lain, sejarah Islam mencatat dengan tinta emas sikap toleransi umat Islam
terhadap penganut beragama lain. Mereka menghargai keyakinan agama lain, apalagi
agama Kristen, yang tergolong kedalam golongan ahli kitab (ahlul kitab) yang diakui
keberadaannya oleh al-Quran. Dalam situasi seperti itu umat Kristen belajar dari kesalahan
masa lalunya, dan mereka mengadopsi peradaban Islam yang lebih maju pada masanya.
Pada abad ke-12-14, Barat masih ketinggalan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, namun kemudian mereka berhasil membidani kelahiran modern science karena
telah berhasil mengembangkan suasana free and open discourse. Hal inilah yang menjadi
starting point Toby E. Huff untuk menulis bukunya The Rise of Early Modern Science. Dia
benar ketika mengatakan The path to modern science is the path to free and open
Tidak lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern dari dunia Islam bukan
karena Islam tidak cocok dengan ide-ide modern, tetapi karena umat Islam gagal dalam
7
mengembangkan free and open discourse. Karena hanya dengan toleransi dan kebebasan
memungkinkan kita mengadopsi unsur-unsur peradaban lain yang positif bagi upaya
mengembangkan peradaban Islam sendiri dan memang kegiatan budaya dan intelektual
Sebenarnya permasalahan umat Islam tidak bersifat filosofis karena al-Quran tidak
bersifat relatif karena sebagai hasil pemikiran manusia yang terikat oleh ruang dan waktu;
namun pemikiran keagamaan itu dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak
boleh dikritik karena diyakininya sebagai teologi. Dengan demikian suatu persoalan sosio-
kultural telah diganti peran sebagai persoalan teologi, sehingga persoalan itu menjadi sulit
untuk diurai benang kusutnya. Contohnya, sampai awal abad ke-19 Kekhalifahan Turki
melarang penggunaan mesin print untuk menulis huruf Arab yang dianggapnya sebagai
bahasa Tuhan, namun bisa digunakan untuk mencetak huruf dari bahasa lainnya. Hal ini
berakibat pada mandegnya intelektual Islam, dan sebaliknya huruf Latin menjadi
C. Tradisi Muhammadiyah?
Selama ini orang selalu menentangkan istilah modern dengan tradisi, tidak
tradisi selalu berakar dari masa lalu. Dalam bidang kebudayaan Muhammadiyah meniru
ide-ide kebudayaan modern tentang pertumbuhan (growth) dan kemajuan (progress), yang
terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya,
8
mengimplementasikan ajaran Islam itu. Memang Muhammadiyah telah berhasil mengisi
ada dua konsekuensi dari arah kebudayaan seperti itu, yaitu: Pertama adalah sifat elitisme
Kedua adalah pergeseran dari gerakan pembaharu sosial budaya menjadi gerakan yang
terjebak pada persoalan-persoalan fiqhiah. Hal itu terjadi karena orang modernis telah
melangkah terlalu jauh dengan menjadikan materialisme dan rasionalisme bukan lagi
yang dikembangkan oleh Muhammadiyah bersifat elitis sehingga tidak dapat menjangkau
lapisan bawah umat Islam. Hal itu terjadi karena Muhammadiyah tidak berusaha merubah
tradisi dari dalam, melainkan dengan membentuk gerakan baru yang berbasis masyarakat
kota. Dan untuk waktu yang lama tidak mengakomodasi masyarakat di daerah pedesaan
struktur yang melatar belakangi para pendukung awal Muhammadiyah, yaitu masyarakat
kampung-kota, yang perhatiannya lebih tertuju pada pemenuhan tuntutan modernisasi yang
hakekat kemanusiaan. Seolah-olah hidup ini hanya dapat dibereskan secara teknis formal
Berdasarkan kritik-kritik dari kalangan intern di atas kita tahu ada unsur plus minus
yang inheren dalam hampir setiap tindakan. Dan kita konsisten untuk meminimalkan segi
minusnya dengan serangkaian kegiatan yang reformatif. Modal sudah ada. Eksistensi
Muhammadiyah sendiri suatu yang luar biasa. Hal ini tentu akan lain bila Muhammadiyah
9
mengambil bentuk organisasi politik. Bukankah partai politik Islam mengalami pasang
dan menjadi ormas keagaman terbesar kedua. Secara tidak langsung Muhammadiyah
mendorong lahirnya berbagai organisasi lain seperti Nahdlatul Ulama (NU) demi
lebih menonjol ditentukan oleh proses dialektika Muhammadiyah dan NU di pentas sejarah
Indonesia.
Biasanya diterima asumsi bahwa agama dianggap sebagai unsur yang paling sukar
dan paling lambat berubah atau terpengaruh oleh kebudayaan lain, bila dibandingkan
bahasa, kesenian, ikatan-ikatan yang ditimbulkan oleh sistem mata pencaharian, sistem
teknologi dan peralatan. Tetapi sejarah kehidupan bangsa kita yang panjang tidak
sepenuhnya dapat disesuaikan dengan asumsi tersebut. Berbagai agama datang dan
menanamkan ajaran-ajaran agama yang baru secara silih berganti, tetapi dalam
kenyataannya sistem mata-pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan yang
dikatakan sebagai unsur yang paling mudah, ternyata yang paling sedikit mengalami
perubahan sejak pra-Hindu sampai kepada masa sekarang. Pengalaman sejarah itu justru
menunjukkan agama berubah lebih cepat, ia berubah lebih dahulu sebelum yang lain-lain
menglami perubahan.
kita bahwa tiap-tiap periode sejarah kebudayaan sesuatu bangsa, memaksa kepada orang
beragama untuk meninjau kembali isi dari kekayaan aqidah dan agamanya. Pandangan itu
secara implisit bermakna bahwa proses peninjauan kembali isi ajaran-ajaran agama oleh
para penganutnya sifatnya reaktif karena adanya perubahan periode kebudayaan di mana
agama itu hidup. Ini juga bertentangan dengan pengalaman sejarah kebudayaan pada
umumnya yang menunjukkan bahwa pemahaman baru terhadap ajaran agama justru
10
menumbuhkan periode baru dalam kebudayaan bangsa-bangsa (Wahid, 1999: 72).
perkembangan aspek material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial,
maupun budaya. Atau dengan kata lain, ada hubungan yang sangat signifikan antara
kemajuan dalam bidang pemikiran (immaterial) dan kemajuan dalam bidang material. Hal
tersebut telah menjadi perhatian sosiolog Max Weber (1864-1924) dalam bukunya The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam buku tersebut dirumuskan pertanyaan:
Why capitalist industrialisation became a society-wide system in Europe and not in the
other places?. Jawabannya adalah pemikiran agama mempunyai pengaruh yang sangat
besar bagi diterimanya sistem industri kapitalis. Dia menjelaskan industri modern
berkembang di Eropa setelah tersebarnya dan diterimanya teologi Protestan dari Jean
Calvin (1509-1564). Calvin sangat menekankan peranan rasio (akal) dalam pemahaman
agama, dan karenanya para pendukungnya bersikap rasional dalam kehidupan di dunia ini.
Max Weber berkesimpulan bahwa penganut Calivinisme bekerja keras, menabung uang,
kehidupan di dunia dalam setiap manifestasinya. Akan tetapi pembaharuan Islam di era
modern masih belum berhasil secara optimal dan terasa kurang efektif; sebagai
konsekuensinya di bidang materi, umat Islam juga masih tertinggal dari peradaban Barat.
Memang beberapa negara Islam telah dapat mengikuti perkembangan teknologi modern,
tapi karena belum didukung oleh pemikiran agama yang mampu menopangnya maka
hasilnya masih jauh dari memuaskan. Tony Barnett (1995: vii) benar bahwa:
the main problems in the Third World are not, by and large, the absence of technical
specialists - countries such as Pakistan have these aplenty; . The main
problems are sociological and political problems, the contexts within which
apparently technical decisions are taken. [cetak tebal penulis].
Dengan kata lain, kemampuan teknis di dunia Islam belum dapat memberikan kontribusi
yang positif bagi kemajuan material secara luas karena belum ada kondisi yang kondusif
M. Amin Abdullah (Abdullah, 2000: 13) menilai akar penolakan tradisi yang berbau
11
TBC didasarkan pada keilmuan klasik yang sangat terpengaruh logika Yunani yang bersifat
hitam-putih, sehingga tidak dapat menjelaskan realitas kehidupan yang ada di lapangan.
Konfigurasi dan peta tata pola pikirnya terlalu skematis, sehingga tidak dapat
mempertimbangkan adanya bentuk konfigurasi yang over lapping (posisi jumbuh), yang
melibatkan sebagian dari dua sisi sekaligus. Padahal nash-nash al-Quran sendiri
memungkinkan adanya kategori middle, yang perlu dicermati secara lebih serius.
subyektif, dan belum ditampilkan secara empiris-obyektif, dimana kita berada dalam
stuktur sosial yang berbeda. Konsep klasik tentang TBC yang disusun dengan cara pikir
deduktif yang menekankan segi rasio perlu dilengkapi dengan cara pikir induktif yang
cenderung mengabaikan kajian keislaman yang kontekstual hisorik. Inilah yang menjadikan
pemikiran Muhammadiyah terasa kurang aktual dan irrelevan dengan perubahan sosial
yang begitu cepat. Karenanya orang lebih mengenal gerakan Muhammadiyah sebagai
gerakan anti-TBC (Tahayul, Bidah dan Churafat), dan bukan gerakan pembaharu sosial-
Pendapat Syafii Maarif (2000: xxviii) bisa dijadikan starting point untuk
al-Shaf 9, al-Fath 28, dan al-Taubah 33 dan sampai pada kesimpulan kalau Islam harus
unggul dan menang berhadapan dengan agama-agama manapun di muka bumi ini.
Menurutnya keunggulan itu tidak saja dalam domain teologis-eskatologis, tetapi juga dalam
perlombaan peradaban. Dia menilai Islam yang unggul dalam sistem iman tapi kalah dalam
Agar Islam dapat unggul dalam masalah peradaban modern maka Islam perlu
menangani persoalan peradaban, atau dengan kata lain Islam perlu menangani permasalah
kehidupan di dunia ini yang bersifat duniawi pula. Dalam konteks sekarang ini Islam perlu
Dengan begitu Islam tidak bisa lepas dari persoalan modernisasi dan globalisasi.
12
Sedangkan dalam konteks Indonesia, Islam perlu merumuskan budaya Islam dalam
konteks Indonesia. Gerakan-gerakan Islam harus dikaitkan dengan gerakan nasional bangsa
Indonesia yang lebih luas agar mereka tidak teralienasi dari jaringan koalisi nasional,
disamping agar gerakan nasional itu selalu mendapat bimbingan dari agama. Bila terisolasi
dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan
memiliki pada Islam dan sekaligus mengembangkan rasa cinta tanah air Indonesia yang
keimanan yang lain dan kepribadian global (Wahid, 1998: 72). Karena Islam belum berhasil
mengembangkan suatu budaya Islam Indonesianis maka selama ini yang dikenal sebagai
pendukung gerakan nasional adalah partai-partai nasionalis seperti PNI. Bahkan PKI yang
berkeyakinan kemerdekaan sebagai suatu batu loncatan saja dianggap lebih nasionalis. Hal
ini terjadi karena gerakan Islam lebih asyik berbicara tentang masyarakat Islam pada zaman
Nabi Muhammad SAW yang sudah berlangsun 14 abad yang lalu daripada berbicara
sebagai agama realitas, agama yang berpretensi untuk menangani masalah kemanusiaan
pada umumnya; dan di Indonesia, perlu menangani masalah keindonesiaan yang bhineka
tunggal ika. Gagasan Islam realitas merupakan konstruksi baru bagi umat Islam dalam
realitas ini, Islam realitas seakan membuka tabir baru wajah Islam yang penuh dengan
khazanah dan nomenklatur berbagai aura pemikiran keagamaan yang kemudian dipadukan
Gagasan itu juga tidak hendak menanggalkan teks-teks keagamaan, atau apalagi
memisahkan agama dari realitas seperti gagasan sekularisasi. Tetapi, Islam realitas
mempunyai pretensi, bahwa ajaran agama tidak seharusnya dibawa hanya pada persoalan
simbolitas dan praktik-praktik 'mistifikasi', sehingga ajaran agama tidak mengena pada
aspek substansinya.
13
Perhatian terhadap realitas sosiologis-historis berbagai komunitas Islam sangat
who had no qualms at all about asserting the priority of convention over reason, just so
long as he secured recognition that both were subordinate to the will to power. Konvensi
sebagai kesepakatan dari suatu komunitas harus dipertimbangkan terlebih dulu, karena hal
ini terkait erat dengan konteks sejarah berlangsungnya konvensi tersebut. Baru dilakukan
dikatakan Ibn Taimiyyah al-Haqiqatu fii al-ayan laa fii al-adzhan (Kebenaran adalah
pada realita, bukan pada konsepsi-teoritis pada akal semata) (Abdullah, 2000: 2). Manusia
juga punya aspek perasaan, sebagai pemberi makna bagi hidup manusia di dunia. Hal
tersebut hanya didapatkan pada budaya atau tradisi suatu kelompok. Karena itu tradisi
harus diperhitungkan di dalam merumuskan pembaharuan Islam. Hal itu karena tradisi
merupakan realitas sosiologis-historis suatu komunitas, suatu yang dapat berubah tapi tidak
ways in which people organize their lives. Ahli sosiologi Lithman (1983), juga
berkeyakinan that development and underdevelopment relate not only to all aspects of
living of its society but also its relations to boarder social system that are to its neighboring
societies, to the city network, to the state system, regional system and the global system.
tradisi. Memang kita tidak dapat mengabaikan faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial,
sejarah, geografi, dan agama; tetapi semuanya itu secara substansial terkait dengan tradisi
sebagai pemberi makna kehidupan, disamping sebagai pemberi identitas kelompok dalam
hubungannya dengan kelompok lain. Hal ini berarti perlu diterapkan strategi pembangunan
yang berbeda sesuai dengan tradisi yang ada (Ross, 1999: 42).
14
Memang sulit melihat tradisi sebagai faktor dominan dalam revolusi (radical
development) karena tradisi itu sendiri multidimensi, namun tradisi ini menjadi kerangka
bagi perubahan yang radikal (revolusi). Revolusi ini sebenarnya bersifat multidimensional,
namun memanifestasi dalam aspek tertentu seperti politik atau ekonomi sebagai penyebab
IV. KESIMPULAN
keterbatasan yang melekat pada manusia. Sikap seperti itu menjadikan mereka berusaha
melakukan dialog konstruktif dengan berbagai kelompok lain dari kultur yang berbeda.
K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah sudah menyadari sifat keterbatasan
pemikiran manusia, dan kareanya dia tidak mau menuliskan hasil pemikirannya itu, namun
dia lebih menekankan pada segi praksis dari agama demi mengangkat harkat dan martabat
manusia. Dia tidak mau terlibat perdebatan sengit persoalan teologi/ideologi, dan dia betul
dalam memandang teologi sebagai alat yang harus tunduk pada misi agama yang pada
manusia.
bagi mereka yang memiliki realitas sosi-historis yang sama. Dan Muhammadiyah kurang
yang bias kepentingan, sebagaimana misi Islam adalah rahmatan lilalamin (memberi
manfaat bagi semua orang, terlepas dari pertimbangan agama yang mereka anut).
pemikiran. Fakta mayoritas Muslim dari daerah pedesaan tidak masuk Muhammadiyah
sosio-historis daerah pedesaan. Bila fakta ini disadari dan memang hal itu dianggapnya
15
sebagai suatu ciri khas maka mereka akan dapat mengembangkan dialog yang konstruktif
dengan Nahdhatul Ulama (NU), suatu organisasi yang menjadi afiliasi mayoritas Muslim
daerah pedesaan. Bila semua organisasi atau kelompok Islam mampu memahami hal ini
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H.M. Amin, 2000, Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman, in
Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi,
Yogyakarta: LPP.
Fachruddin, KH A.R., 1990, Dari KH. A.R. Fachruddin untuk DR. Nurcholish Madjij,
dalam Sujarwanto dkk Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Sebuah
Dialog Intelektual, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ghazali, Syaikh Muhammad Al-, 1996, Berdialog dengan Al-Quran: Memahami Pesan
Kitab Suci dalam Kehidupan Masa Kini, Bandung: Mizan.
Huff, Toby E., 1998, The Rise of Modern Sciences, Cambridge: Cambridge University
Press.
Lithman, Yngve Georg., 1983, The Practice of Underdevelopment and the Theory of
Development: the Canadian Indian Case. Stockholm: Stockholm Studies in Social
Anthropology.
Rochmat, Saefur, 2005, Aspek Immaterial dalam Modernisasi, Inovasi Vol. 17, No. 3.
Ross, Marc Howard, 1999, Culture and Identity in Comparative Political Analysis. In
Lichbach and Zuckerman (ed.) Comparative Politics: Rationality, Culture, and
Structure. New York: Cambridge University Press.
Wahid, Abdurrahman, 1999, Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus Dari
Jombang, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:
LkiS.
16
BIODATA PENULIS
Saefur Rochmat, MIR lahir di Kebumen 22 November 1968. Dia adalah dosen Prodi Ilmu
Sejarah FISE UNY sejak tahun 1994. Pendidikan S1 diperoleh dari IKIP Yogyakarta dan S2
dari Ritsumeikan University, Jepang. Tulisannya dimuat pada jurnal internasional maupun
nasional seperti Ritsumeikan International Affairs; International Journal of Social
Sciences; Inovasi; MILLAH; Hermeneutik; Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan; dan
Cakrawala Pendidikan.
17