Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH SKENARIO 1

LO 10
MEKANISME PENANGKAPAN
PERUBAHAN SUHU DI RONGGA MULUT

Oleh:
Nama : Yenny Afiv Rosyanah Canerry
NIM : 161610101097
Kelompok : 9

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Organisme hidup harus mengevaluasi perubahan suhu lingkungan dan
internal untuk menjaga fungsi fisiologis yang tepat dan respon perilaku yang
kondusif untuk kelangsungan hidup. Regulasi suhu adalah suatu pengaturan
kompleks dari suatu proses dan kehilangan panas sehingga suhu tubuh dapat
dipertahankan secara konstan. Manusia pada dasarnya secara fisiologis
digolongkan sebagai makhluk berdarah panas atau homoteral. Organisasi
homoteral mempunyai temperatur tubuh konstan walaupun suhu lingkungan
berubah. Hal ini karena ada interaksi secara berantai yaitu pembentukan panas
dan kehilangan panas. Kedua proses ini aktivitasnya diatur oleh susunan saraf
yaitu hipotalamus. Reseptor suhu yang paling penting dalam mengatur suhu
tubuh. Banyak neuron peka terhadap panas khususnya yang terletak pada area
preoptika hipotalamus. Bagian tubuh manusia, termasuk rongga mulut,
mengalami perubahan suhu. Suhu mulut biasanya dipengaruhi oleh banyak
faktor, termasuk makanan atau minuman panas atau dingin, mengunyah
permen karet, merokok, bernapas melalui mulut. Selain itu, fisiologi rongga
mulut memungkinkan variasi suhu jaringan. Fisiologi klasik telah memberikan
banyak informasi mengenai spesialisasi fungsi thermosensory antara subclass
dari neuron sensorik perifer dan neuron intrinsik termosensitif dalam
hipotalamus. Namun, sampai saat ini mekanisme molekuler dimana sel-sel ini
melakukan termometi tetap kurang dipahami. Sementara itu, transient receptor
potential ion channels diyakini sebagai partisipan pada thermosensasi dan
termoregulasi suhu, terutama pada rongga mulut. Untuk perubahan suhu pada
rongga mulut, terdapat penangkapan perubahan suhu tersebut. Oleh karena itu,
pada makalah ini akan dibahas mengenai mekanisme penangkapan perubahan
suhu di rongga mulut.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana mekanisme penangkapan perubahan suhu di rongga mulut?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui mekanisme penangkapan perubahan suhu di rongga mulut

1.4 Manfaat
1.4.1 Menambah wawasan bagi pembaca
1.4.2 Untuk pemenuhan tugas makalah tutorial FKG Universitas Jember
dalam skenario Ujung Lidah Terasa Lebih Panas Bila Minum
Minuman Panas blok fungsi stomatognasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suhu Tubuh


Suhu adalah besaran yang menyatakan panas atau dinginnya suatu
benda. Panas adalah energi termis yang mengalir dari suatu benda ke benda
lain karena adanya perbedaan suhu. Secara alamiah panas selalu mengalir dari
benda bersuhu tinggi ke benda bersuhu lebih rendah, tetapi tidak perlu dari
benda berenergi termis banyak ke benda berenergi termis lebih sedikit.
Contohnya, energi termis yang terdapat di laut jumlahnya jauh lebih banyak
dibandingkan energi termis yang terdapat pada secangkir kopi panas. Bila
secangkir kopi itu ke laut maka panas tidak akan mengalir dari laut ke cangkir
kopi tadi, tetapi dari cangkir kopi yang bersuhu tinggi ke laut sekitarnya.
Secara alami panas tidak akan pernah mengalir dari benda bersuhu rendah ke
benda yang bersuhu tinggi. Dari contoh-contoh ini jelas bahwa panas dan suhu
adalah dua besaran yang berbeda (Yondry, 2009).

2.2 Suhu inti


Sebagian besar panas yang diproduksi di dalam tubuh merupakan hasil
oksidasi, maka sumber utama panas adalah jaringan yang paling aktif, yaitu
hati, kelenjar sekresi, dan otot. Ketiganya merupakan lebih dari separuh tubuh,
begitulah maka suhu masing-masing jaringan dapat berbeda tergantung pada
derajat metabolismenya, kecepatan darah yang mengalir ke dalamnya, dan
perbedaan suhunya dengan jaringan di sekitarnya (Yondry, 2009).
Suhu yang diukur serentak di mulut, ketiak, dan pelepasan (rektum)
biasanya berbeda meskipun tidak lebih dari 1C. Hasil pengukuran pelepasan
suhu biasanya yang tertinggi, sehingga suhu ini dianggap sebagai petunjuk
yang terbaik bagi suhu inti tubuh. Karena suhu rektal dapat mencapai 0,3C
lebih tinggi dari suhu aorta, maka panas di dalam rektum itu diduga
merupakan hasil kerja bakteri. Sebaliknya, mungkin saja dijumpai suhu
pelepasan yang lebih rendah dan suhu aorta bila kaki dingin. Suhu ketiak
dapat dikata selalu lebih rendah (biasanya 0,6C) dari suhu mulut apalagi
pengukurannya cukup sulit untuk mendapatkan hasil yang teliti. Suhu
pelepasan maupun suhu ketiak dapat sedikit saja berubah bila darah
dipanaskan ataupun didinginkan dengan cepat. Suhu paling tinggi dicapai
pada sore hari sedangkan yang terendah pada dini hari, sehingga suhu ini sama
sekali tidak berkaitan dengan suhu lingkungan. Melakukan aktivitas fisik
berarti akan meningkatkan produksi panas, dan akan menyebabkan kenaikan
suhu mulut sebesar 1-2C sehingga mencapai 39C. Berdasarkan teori, jenis
kelamin tidak mempengaruhi suhu tubuh. Faktor yang mempengaruhi suhu
tubuh adalah faktor hormon, dimana pada wanita suhu tubuh dapat bergeser
sesuai dengan saat-saat dalam daur haid, yaitu mulai sedikit naik sesudah
ovulasi sekresi progesteron dan baru akan turun kembali sebelum haid. Pada
anak-anak suhu tubuh biasanya lebih tinggi daripada orang dewasa, sedangkan
pada usia lanjut ataupun bayi yang baru lahir suhunya lebih rendah, Sehingga
dari hal diatas dapat diambil kesimpulan bahwa semakin bertambahnya usia
maka suhu tubuh akan semakin rendah (Yondry, 2009).

2.3 Mekanisme homeostatis pada suhu tubuh manusia


2.3.1 Suhu dingin
Bagi individu yang beristirahat tanpa baju suhu ruang ideal adalah
sekitar 28 sampai 30C. Dalam keadaan tersebut suhu kulit berkisar
sekitar 33C, sedangkan suhu inti berkisar sekitar 37C, dan gradient
antara suhu inti dan suhu kulit cukup adekuat untuk pengeluaran
kelebihan panas metabolik dari jaringan yang aktif. Bila suhu ruang
turun maka gradient antara suhu kulit dan suhu ruang meningkat, hal ini
menyebabkan peningkatan pengeluaran panas melalui konveksi dan
radiasi sehingga suhu kulit menurun. Dengan demikian darah vena yang
kembali dari superfisial mempunyai suhu yang lebih rendah dan
sebagian panas dari darah arteri berpindah ke darah vena. (Yondry,
2009).
Adanya sistem counter-current antara arteri yang terletak lebih
dalam dengan vena yang terletak lebih superfisial mencegah
pendinginan bagian inti tubuh. Di samping itu terjadi vasokonstriksi
terutama pada bagian akral, dan konduktans suhu tubuh terhadap
lingkungan menurun. Dengan vasokonstriksi perifer kemampuan
isolator kulit dan jaringan subkutan dapat meningkat sampai enam kali.
Vasokonstriksi ini terutama terjadi pada ujung jari tangan dan kaki.
Diperkirakan jumlah darah yang beredar pada jari-jari dapat bervariasi
cukup luas dari 0,2120 ml/ menit per 100 gram jaringan, dengan
mekanisme suhu jaringan perifer dapat mendekati suhu lingkungan,
akan tetapi perlu diingat pula pembuluh darah di kepala tidak banyak
terpengaruh oleh mekanisme ini (Yondry, 2009).
Mekanisme untuk mempertahankan keseimbangan suhu tubuh
adalah dengan meningkatkan laju metabolisme, yaitu dengan kontraksi
otot (refleks menggigil). Pada keadaan menggigil terjadi aktivasi
sinkron hampir semua kelompok otot bahkan otot antagonis saling
berkontraksi sehingga efisiensi mekanik nol dan energi panas yang
dihasilkan relatif tinggi. Dengan mekanisme ini laju metabolik dapat
meningkat 2-4 kali dibandingkan dengan laju metabolik istirahat.
Sedangkan kegiatan otot dinamik biasa dapat meningkatkan laju
metabolik sebesar 10 kali lipat atau lebih. Pada subjek wanita dan pria
yang direndam sampai batas leher di dalam air yang berputar dan
bersuhu 12C terjadi refleks menggigil yang bervariasi cukup luas, V02
rata-rata selama menggigil 1,39 liter/menit (berkisar 0,87-2,16). V02
selama menggigil ini berkorelasi signifikan dengan V02 maksimum
selama kerja fisik. V02 selama menggigil berkisar sekitar 46% dari V02
maksimum (Yondry, 2009).
Walaupun sumber untuk mempertahankan suhu inti cukup efektif,
usaha tersebut dapat mempengaruhi jaringan perifer. Pada keadaan
yang ekstrem dapat terjadi jelas dingin lokal, pada pemaparan dingin
yang lama pula suhu inti dapat turun. Individu tanpa pakaian dengan
massa tubuh rata-rata dapat mengalami hipotermia setelah berada
sekitar 20-30 menit dalam air bersuhu 5C atau 1-2 jam dalam air
bersuhu 15C. Dengan pakaian konvensional yang tebal pada individu
tersebut dapat bertahan lebih lama. Penelitian pada orang yang
berenang dalam air bersuhu 18C memperlihatkan ambilan oksigen
meningkat sekitar 0,5 liter/ menit dibandingkan dengan berenang
dengan kecepatan yang sama di dalam air yang lebih hangat (Yondry,
2009).
2.3.2 Suhu panas
Pada individu istirahat tanpa baju yang dipapar terhadap panas
(suhu ruang di atas 28C), atau selama melakukan kerja otot, panas
tubuh cenderung meningkat. Terjadi vasodilatasi kulit, arus balik darah
berlangsung melalui vena superfisial dan konduktans jaringan
meningkat. Dalam zona nyaman arus darah kulit berkisar sekitar 5%
dari volume semenit jantung. Sedangkan dalam keadaan panas hebat
dapat meningkat sampai 20% atau lebih dan dapat meningkatkan suhu
kulit. Bila suhu lingkungan sekitarnya lebih rendah dari suhu kulit,
maka pengeluaran panas melalui konveksi dan radiasi akan meningkat.
Bila beban panas cukup besar maka kelenjar keringat akan diaktifkan
dan keringat yang keluar dievaporasi sehingga suhu kulit menurun
(Yondry, 2009).
Panas tubuh diperoleh dari lingkungan dan dihasilkan melalui
metabolisme, kelebihan muatan panas ini harus dikeluarkan untuk
menjaga suhu inti badan sekitar 37C, sehingga proses ini disebut
termoregulasi. Respon termoregulasi refleks dan semirefleks yang
diintegrasikan di dalam otak tersebut mencakup perubahan otonom,
endokrin dan perilaku. Suatu peningkatan dalam suhu darah kurang dari
10C mengaktivasi reseptor-reseptor panas di hipotalamus dan perifer
yang memberi sinyal pada pusat termoregulator hipotalamus.
Hipotalamus sendiri sering dipandang sebagai penyeimbang dan
pengontrol suhu tubuh, dan juga memprakarsai terjadinya respon
menggigil serta penyempitan maupun pelebaran pembuluh darah
(Yondry, 2009).
Pada individu yang sudah terbiasa pada suhu panas, respons
produksi keringatnya terhadap stres panas standar akan meningkat.
Pemaparan terhadap panas dalam waktu yang cukup lama akan
menyebabkan penurunan laju sekresi keringat walaupun air yang keluar
diganti dengan kecepatan yang sama. Ternyata penurunan ini lebih
besar pada udara lembab dibanding pada udara kering (Yondry, 2009).
BAB III
LEARNING OBJECTIVE, SKENARIO, DAN MAPPING

3.1 Learning Objective


Mekanisme penangkapan perubahan suhu di rongga mulut

3.2 Skenario
Ujung Lidah Terasa Lebih Panas bila Minum Minuman Panas
Jaringan di rongga mulut merupakan jaringan yang paling sering dipengaruhi
oleh perubahan temperatur, mulai dari yang paling ekstrim misalnya panas
(misalnya kopi) sampai yang paling dingin (misalnya es). Sensasi suhu di
dalam rongga mulut bisa bersifat bahaya ataupun tidak berbahaya. Neuron
trigeminothalamic lebih merespon keadaan temperatur yang bahaya yaitu
panas di atas 450 C dari pada temperatur yang kurang berbahaya yaitu antara
35-450 C. Neuron thermoseptive tersebut, menerima input dari C fiber dan
delta A. Perubahan tersebut begitu terasa diujung lidah bila dibandingkan
dengan di pipi ataupun mukosa lain di rongga mulut. oleh karena itu ujung
lidah merupakan jaringan yang paling sensitif dengan adanya perubahan
temperatur. Selain itu temperatur juga mempengaruhi sensasi rasa, misalnya
minum kopi terasa nikmat bila diminum pada keaadaan panas, tetapi rasa
mint terasa lebih segar bila dalam keadaan dingin. Hal tersebut disebabkan
adanya aktivasi transient receptor potential channel (TRPM-5).
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Neuron Trigeminothalamic


Terdapat sebanyak 113 neuron trigeminothalamic dan lebih dari 200
interneuron dari inti caudalis (0-5 mm di bawah obex) dan formasi reticular yg
terletak di bawah dipelajari pada monyet rhesus dibius dengan chloralose atau
nitrous oxide. Setiap sel ditandai dalam hal tanggapan antidromic untuk
stimulasi medial posterior ventral dan / atau inti thalamic posterior dan tiga
jenis rangsangan diterapkan ke lapangan reseptif nya:
a) dinilai 5-s pergeseran suhu pada tingkat 9 derajat C / s dari 35 derajat C
suhu akhir 20-52 derajat C, dihasilkan oleh thermode kontak;
b) intensitas bergradasi stimulasi listrik untuk menentukan kecepatan
konduksi konvergen populasi serat aferen primer; dan
c) stimulasi mekanik mulai dari sentuhan ringan untuk mencubit dengan tang
bergerigi (Patrick, 2014).
Analisis ini menghasilkan lima kelas dari unit dibedakan oleh berbagai
tanggapan terhadap rangsangan mekanik dan oleh konvergensi populasi serat
aferen primer yang berbeda. Kelima kelas yang ditemukan di antara kedua
neuron trigeminothalamic dan neuron yang tidak bisa diaktifkan secara
antidromikal. Unit kelas 1 ditunjukkan beradaptasi dengan cepat terhadap
tanggapan gerakan rambut atau sentuhan ringan dan hanya menerima input
A-beta aferen primer. Unit kelas 2 menanggapi sentuhan ringan dan tekanan
dengan pelepasan dipelihara dan menerima input A-beta aferen primer. Unit
kelas 3 merespon secara maksimal untuk mencubit dengan tang bergerigi
tetapi juga yang diaktifkan oleh sentuhan ringan dan tekanan. Mereka
menerima A-beta, A-delta, dan input serat C. Unit kelas 4 menanggapi
tekanan kuat dan maksimal untuk mencubit dengan tang bergerigi. Unit ini
memiliki A-delta dan kadang-kadang input serat C. Unit kelas 5 hanya
menanggapi mencubit dengan tang bergerigi dan memiliki masukan serat A-
delta eksklusif. Beberapa sel di semua lima kelas menanggapi antidromically
stimulasi thalamus. Secara laten tindakan potensi antidromic unit kelas 1,2,
dan 3 lebih pendek daripada kelas 4 dan 5 unit (p kurang dari 0,001). Ukuran
bidang reseptif biasanya kecil (1-2 cm2) untuk unit kelas 1, 2, 4, dan 5, dan
lebih besar untuk unit kelas 3 (satu sampai tiga divisi trigeminal). Lapisan
marginal inti caudalis terkandung sebagian besar di unit kelas 4 dan 5,
beberapa unit kelas 3, tetapi tidak ada pada unit kelas 1 atau 2. Bagian
dangkal lapisan magnoselular terkandung sebagian besar di unit kelas 1 dan
2, sedangkan neuron di dasar lapisan kelas ini mengandung unit 3 dan
beberapa unit kelas 4 dan 5. Sel dalam formasi reticular sujacent
mencantumkan semua 5 kelas tetapi menunjukkan kecenderungan untuk
memiliki bidang reseptif besar (lebih dari 1 divisi trigeminal). Neuron
menanggapi rangsangan termal berbahaya (44-52 derajat Celcius) adalah unit
kelas 3 atau 4. Pola respon dari unit kelas 3 dan 4 rangsangan termal
berbahaya adalah serupa. Tidak ada unit kelas 1 atau 2 dan hanya satu unit
kelas 5 menanggapi peningkatan suhu kulit. Ambang batas termal berkisar
38-50 derajat Celcius dan sebagian besar unit panas responsif menanggapi
secara monoton dengan suhu antara 45 dan 52 derajat Celcius (Patrick, 2014).
Mulut memiliki persarafan somatosensorik yang sangat kaya. Selain itu,
terdapat perbedaan penting antara kesadaran somatosensorik oral dengan
kesadaran somatosensorik bagian lain dari tubuh. Berdasarkan model teoritis,
pertama-tama mulut memiliki campuran multisensorik yang unik. Input
visual tidak memainkan peran yang kuat dalam pengalaman terkait dengan
oral, berbeda dengan beberapa bagian tubuh lain, seperti tangan. Sebaliknya,
sentuhan memainkan peran utama dalam membangun gambaran oral, dan
peran yang jauh lebih rendah pada bagian tubuh lainnya. Selebihnya,
gambaran neuron dan studi elektrofisiologi menggambarkan adanya overlap
yang kuat dengan otak dari sensorik yang berbeda untuk modalitas sensorik
dalam rongga mulut. Secara partikular, overlap di antara kombinasi yang
beragam dari mekanis, thermal, kemosensorik, dan stimulus berbahaya dari
oral telah diidentifikasi baik pada cortex somatosensorik maupun di insula.
Yang kedua, kesadaran somatosensorik oral mencakup kualitas evaluatif yang
dinamakan somaesthesis. Banyak sensasi oral memiliki valensi yang kuat
terhadap kualitas kenikmatan dan ketidaknikmatan, yang melintasi modalitas
stimulus fisik yang sebenarnya (Patrick, 2014).
Aspek thissomaesthetic dari kesadaran somatosensorik oral memiliki
hubungan yang kuat terhadap kesehatan oral, dan bahkan mungkin terhadap
nafsu makan. Namun, sinyal dan sirkuit yang mendasari perasaan mulut
tetap belum dipahami. Namun telah diidentifikasi level kesadaran
somatosensori oral: persepsi objek di dalam mulut (somatopersepsi oral), dan
representasi dari mulut itu sendiri (somatorepresentasi oral). Kedua tingkat ini
terlihat lebih relevan dengan beberapa area, termasuk apresiasi terhadap
makanan, bimbingan perilaku sensorimotor oral seperti makan,
membersihkan, dan berbicara (Patrick, 2014).

4.2 TRP vanilloid 1


Reseptor capsaicin, TRP vanilloid 1, sensor bahan kimia tajam
vanilloid. Banyak dari kita saat ini memiliki pandangan mengenai sifat
molekul transduksi suhu dalam sistem saraf perifer akhirnya dapat ditelusuri
untuk fenomena sensorik agak berbeda tapi lama diakui, yaitu bahwa lada
tertentu menghasilkan rasa sakit atau rasa pedas ketika mereka datang dalam
kontak dengan kulit rusak atau selaput lendir seperti di rongga mulut atau
mata. Konsekuensi tambahan dari paparan paprika ini meliputi berkeringat
(yang menghasilkan hipotermia substansial) dan efek kardiovaskular seperti
takikardia (Caterina, 2007).
Selama ribuan tahun, fenomena ini telah menyebabkan penggabungan
panas paprika ke dalam diet dan perawatan obat dalam berbagai budaya di
seluruh dunia. Bahan yang bertanggung jawab untuk rasa pedas dalam lada,
capsaicin, dimurnikan di abad ke-19 dan kemudian ditunjukkan menjadi
turunan asil amida asam homovanillic (8-metil N-vanillyl-6-noneamide).
Gagasan bahwa sengatan ekstrak paprika bisa langsung mengaktifkan serabut
aferen sensorik dapat ditelusuri kembali lebih dari satu abad tetapi
disempurnakan jauh kemudian dengan demonstrasi yang hanya subset dari
aferen primer neuron, terutama serat C dan A-delta bertanggung jawab untuk
rasa sakit dan persepsi suhu hangat, bisa diaktifkan dengan capsaicin. Selain
nyeri akut, capsaicin juga menghasilkan keadaan sensitivitas transien
ditingkatkan untuk termal maupun stimulasi mekanik. Namun, seperti
diilustrasikan dalam studi klasik Jancso, Szolcsanyi, dkk, ini keuntungan
fungsi efek diikuti oleh hilangnya fungsi. Mengurangi rangsangan
capsaicin sering disertai oleh berkurangnya tanggapan terhadap termal
berbahaya dan / atau rangsangan mekanik, serta hilangnya neurogenik
peradangan lokal. Di bawah kondisi percobaan tertentu, gangguan polimodal
ini dapat dijelaskan oleh kematian neuronal. Sebagai contoh, dosis tinggi
capsaicin diberikan kepada tikus neonatal ditunjukkan untuk menghasilkan
kerugian seumur hidup dari bagian-bagian spesifik neuron berdiameter kecil
dari ganglia akar dorsal. Neurotoksisitas ini rupanya berasal dari capsaicin-
kalsium yang berlebihan yang dimunculkan dari terminal neuron dan
pembengkakan mitokondria. Kematian neuronal bukan konsekuensi obligat
dari paparan capsaicin. Namun, aplikasi topikal dari capsaicin ke kornea
dapat menghasilkan perubahan ultrastructural dalam terminal saraf tanpa
degenerasi aksonal yang jelas. Pada kulit manusia, administrasi capsaicin
intradermal memicu degenerasi terminal saraf dalam epidermis yang dapat
diamati secara histologis dalam waktu 1 hari (Caterina, 2007).
Dalam keadaan ini, bagaimanapun, reinervasi epidermal terbatas selama
periode seminggu, bersama dengan kembalinya secara parsial sensasi kulit.
Selain itu, dosis rendah capsaicin telah terbukti untuk menghasilkan serat
saraf blok C yang sepenuhnya reversibel (Caterina, 2007).

4.3 TRPV1 Sebagai Polimodal Sensor Kimia dan Rangsangan Panas


Dalam sistem ekspresi heterolog, TRPV1 dapat diaktifkan tidak hanya
oleh senyawa vanilloid, tetapi alternatif oleh jumlah rangsangan kimia dan
fisik lainnya. Sebagai contoh, proton ekstraseluler dapat mengaktifkan
saluran ini, tampaknya dengan titrasi residu asam di sekitar domain pori
lingkaran. Selain itu, sejumlah endogen terjadi molekul lipid telah terbukti
mampu bertindak sebagai TRPV1 agonis. Hal ini jatuh ke dalam dua kelas
umum: lipoxygenase produk asam arakidonat, seperti 12- (S)
hydroperoxyeicosatetraenoic acid dan amida turunan dari asam arakidonat
seperti arachidonyl ethanolamide (anandamide) dan N-arachidonyl-dopamin
(NADA). Baru-baru ini, monovalen dan kation divalen juga telah terbukti
secara langsung mengaktifkan TRPV1 (Caterina, 2007).
Mungkin yang paling relevan dengan fokus artikel ini, bagaimanapun
adalah bahwa aktivitas TRPV1 dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan, efek
yang terwujud dalam dua cara. Pertama, sedikit pemanasan di atas suhu
kamar (misalnya, untuk 37 C) memotensialkan responsivitas TRPV1 ke
agonis kimianya. Kedua, dan lebih mencolok, TRPV1 dapat diaktifkan tanpa
adanya ligan kimia eksogen dengan meningkatkan suhu ambien 42 C.
Temuan terakhir ini menunjukkan bahwa aktivasi termal TRPV1 adalah
langsung atau proses membran-delimited, sebagai lawan satu didorong dan
yang kedua akan larut (Caterina, 2007).
Ambang theshold 42 C untuk aktivasi termal TRPV1 rekombinan
dicatat karena beberapa alasan. Pertama, sangat dekat dengan ambang batas
untuk persepsi psikofisik nyeri pada kulit manusia. Kedua, dekat dengan
ambang batas untuk aktivasi nosiseptor serat C. Ketiga, dekat dengan ambang
batas untuk endogen kationik panas. Memang, ada korelasi kuat antara
tanggapan seluler terhadap capsaicin dan tanggapan terhadap panas. Temuan
ini menunjukkan bahwa TRPV1 mungkin bertindak fisiologis sebagai
transduser panas berbahaya, serta detektor capsaicin, asam, dan metabolit
asam arakidonat (Caterina, 2007).
Sebuah famili yang beragam dari saluran TRP sensitif termal, sebagai
tambahan, ada bukti neurofisiologis yang cukup untuk keberadaan dari
populasi yang berbeda dari neuron sensorik perifer yang selektif diaktifkan
pada kulit paparan suhu 53 C, kehangatan tanpa rasa sakit, dingin tanpa rasa
sakit, atau suhu dingin dengan rasa sakit (18 C) (Caterina, 2007).

4.4 TRPV2
Protein ini awalnya diidentifikasi sebagai subunit saluran dengan 50%
asam amino identitas untuk TRPV1. Dengan ganglia sensorik, TRPV2 (juga
disebut GRC atau VRL-1) disajikan dalam subpopulasi menengah ke neuron
berdiameter besar yang menimbulkan serat A delta dan A beta. Berbeda
dengan TRPV1, bagaimanapun, TRPV2 dinyatakan dalam sejumlah neuron
lain dan lokasi nonneuronal, termasuk limpa dan otak. TRPV2 tidak sensitif
terhadap capsaicin tetapi tidak menunjukkan tanggapan terhadap ambien suhu
tinggi. Dalam sistem rekombinan, TRPV2 pameran ambang batas untuk
aktivasi 52 C, 10 C lebih tinggi dari TRPV1. Pola respon suhu ini sesuai
dengan yang dari subset dari media-diameter A delta neuron perifer, serta
yang dari relatif kecil (10%) subpopulasi neuron sensorik yang terdisosiasi .
Bukti langsung untuk kontribusi TRPV2 sensasi suhu in vivo masih kurang.
Namun, mungkin relevan bahwa saluran ini kabarnya bisa heteromultimers
dengan TRPV1. Temuan ini menimbulkan kemungkinan bahwa TRPV2
dapat berkontribusi untuk thermosensation dalam kisaran suhu yang lebih
rendah dari yang dibutuhkan untuk mengaktifkan homomultimers TRPV2
yang rekombinan (Caterina, 2007).

4.5 TRPV3 DAN TRPV4


Dua anggota tambahan TRPV subfamili protein saluran ion yaitu
TRPV3 dan TRPV4 (juga disebut OTRPC4, VRL-2 atau VR-OAC), yang
keduanya berbagi 40-50% homologi dengan TRPV1. TRPV3 dapat
diaktifkan dengan suhu hangat, dengan ambang batas antara 34 dan 39 C.
Selain itu, stimulasi berulang TRPV3 dengan hasil panas dalam respon saat
secara bertahap meningkatkan amplitudo. Selain panas, TRPV3 dapat
alternatif diaktifkan dengan kapur barus, mengiritasi ekstrak dari oregano dan
cengkeh, atau senyawa boron sintetis yang mengandung kelompok difenil,
seperti 2-aminoethoxydiphenyl borat (Caterina, 2007).
TRPV4 pertama kali dijelaskan sebagai saluran ion yang dapat
diaktifkan dengan rangsangan hipoosmotik. Hal ini dapat diaktifkan secara
alternatif oleh endogen metabolit sitokrom P450 yang dihasilkan dari asam
arakidonat, termasuk 5,6 asam -epoxyeicosatrienoic atau dengan ester
phorbol sintetis. Selain itu, bagaimanapun, seperti TRPV3, TRPV4 dapat
diaktifkan dengan suhu hangat. Tergantung pada studi, ambang batas untuk
aktivasi TRPV4 memiliki berkisar antara 25 C sampai 34 C. Secara
elektrofisiologi, arus TRPV4 dimediasi dibedakan dari arus TRPV3 dimediasi
berdasarkan relatif diucapkan desensitisasi diulang atau tantangan termal
yang berkepanjangan (Caterina, 2007).
TRPV3 dan TRPV4, keduanya diekspresikan pada tingkat yang sangat
rendah di neuron sensorik tetapi jelas dinyatakan dalam keratinosit, sel-sel
epitel berlapis yang merupakan konstituen utama epidermis kulit. Studi
elektrofisiologi telah menunjukkan bahwa baik sensitisasi TRPV3 seperti dan
desensitinasi TRPV4 seperti membangkitkan arus panas dapat direkam dalam
keratinosit. Ekspresi TRPV1 juga telah dilaporkan di keratinosit manusia
(Caterina, 2007).

4.6 TRPM8
TRPM8 (juga disebut CMR1) adalah anggota dari TRPM (melastatin)
subfamili saluran TRP. Saluran ini berbeda dari banyak anggota keluarga
TRP lainnya, bahwa mereka memiliki sitosol lebih lama amino terminal
domain yang tanpa mengulangi ankyrin. Menthol telah diakui sebagai
pendinginan-mimesis kimia yang menghasilkan sensasi pendinginan tanpa
benar-benar mengurangi suhu. Dalam paralel yang luar biasa dengan
idetifikasi dari TRPV1, homologi berbasis dan fungsi berbasis kloning sebuah
mentol reseptor mengakibatkan identifikasi TRPM8 sebagai saluran ion
yang dapat diaktifkan baik dengan mentol ataupun suhu dingin. Ambang
batas (threshold) untuk aktivasi TRPM8 oleh suhu dingin 25 C, konsisten
dengan peran dalam persepsi dingin yang tidak berbahaya. Selain itu, batas
ini digeser ke suhu lebih hangat dengan kehadiran simultan mentol, cermin
efek psikofisik karakteristik senyawa ini. Dukungan tambahan untuk
partisipasi TRPM8 di fisiologis transduksi dingin datang dari pengamatan
bahwa ekspresi terbatas sebagian besar untuk subpopulasi neuron sensorik
perifer berdiameter kecil yang di bawah kondisi normal yang berbeda dari
orang-orang yang mengekspresikan TRPV1. Namun, ortolog protein ini
awalnya diidentifikasi dalam garis kanker prostat manusia, menyarankan
bahwa mungkin, dalam kondisi tertentu, dinyatakan di sel epitel nonneuronal
(Caterina, 2007).
4.7 TRPA1
TRPA1 awalnya diidentifikasi sebagai protein teoritis (ANKTM1)
dinyatakan dalam fibroblas berbudaya. Namun, seperti TRPM8, itu kemudian
ditemukan kembali sebagai TRP channel yang menunjukkan ekspresi yang
kuat dalam neuron sensorik. TRPA1, seperti anggota keluarga TRPM,
memiliki relatif panjang sitosol domain terminal amino. Namun, sejumlah
besar motif ankyrin-berulang terletak di dalam TRPA1 N-terminus
klasifikasinya baru dalam subfamili (TRP ankyrin). Dukungan untuk peran
fungsional TRPA1 dalam neuron nosiseptif telah datang dari demonstrasi
ligan kimia yang menyengat, termasuk isothiocyanates seperti yang ditemukan
dalam minyak mustard, wasabi, dan bawang putih, serta bahan kimia iritan
lainnya seperti akrolein, mampu mengaktifkan saluran ini. Selain itu,
dinyatakan bahwa TRPA1 dapat bertindak sebagai sensor suhu dingin
menyakitkan. Bukti yang mendukung peran tersebut berasal dari tiga sumber.
Pertama, TRPA1 rekombinan telah dilaporkan oleh beberapa laboratorium,
tetapi tidak yang lain, harus diaktifkan oleh suhu 18 C. Kedua, antisense
knockdown dari TRPA1 telah dilaporkan untuk mengurangi
hyperresponsiveness perilaku dingin setelah peradangan pada kaki tikus atau
cedera saraf skiatik. Ketiga, tikus yang kekurangan TRPA1 telah dilaporkan
dalam satu studi menunjukkan respon perilaku tumpul ke permukaan logam
dingin atau untuk pendinginan aseton-dimediasi di kulit kaki belakang.
Temuan terakhir ini agak mengejutkan, mengingat aseton yang tidak mungkin
untuk mendinginkan kulit ke suhu rendah yang diperlukan untuk
mengaktifkan TRPA1 rekombinan (Caterina, 2007).

4.8 TRPM4, TRPM5, dan TRPM2


Anggota-anggota subfamili TRPM, seperti TRPV3 dan TRPV4, dapat
diaktifkan dengan pemanasan suhu 15 C untuk TRPM4 dan TRPM5, atau
35 C untuk TRPM2. Ternyata, tidak satupun dari saluran dinyatakan dalam
neuron somatosensori perifer atau di keratinoctyes kulit, menunjukkan bahwa
mereka tidak terlibat dalam sensasi suhu di kulit. Menariknya, TRPM5
diekspresikan dalam sel rasa epitel di lidah dan diperlukan untuk kemampuan
suhu hangat untuk meningkatkan persepsi rasa manis pada penembakan
neuron gustatory. Efek ini mungkin terkait dengan fenomena psikofisik
menarik di manusia disebut sebagai rasa panas, dimana suhu hangat
diterapkan lidah membuat persepsi rasa, bahkan dengan tidak adanya tastan
eksogen (Caterina, 2007).

4.9 Model untuk Thermosensasi pada Rentang Suhu Kulit


Termosensasi ini akan digambarkan oleh gambar di bawah ini, dimana
terdapat beberapa bagian, yaitu:
a) Puncak: sensasi nyeri terbakar dapat ditimbulkan oleh aktivasi TRPV1 di
neuron nociceptive di kulit. Banyak neuron TRPV1mengekspresikan juga
mengungkapkan TRPA1, yang telah diusulkan untuk berpartisipasi dalam
transduksi suhu dingin menyakitkan. Sebuah kelas yang berbeda dari
neuron nociceptive diaktifkan panas mengekspresikan TRPV2, meskipun
partisipasi saluran ini ditransduksi suhu in vivo belum dibuktikan.
Meskipun ujung saraf yang ditampilkan adalah epidermal, kehadiran
tambahan ujung peka panas dermal tidak bisa dikecualikan.
b) Tengah: suhu hangat tampaknya mengaktifkan TRPV3 dan TRPV4, yang
dinyatakan menonjol dalam keratinosit epidermis. Salah satu cara ini
Informasi mungkin mencapai sistem saraf adalah melalui pelepasan bahan
kimia zat (X) yang bekerja pada hangat-sensitif terminal saraf di dalam
epidermis. Pada suhu yang lebih tinggi, aktivasi TRPV3 dan TRPV4 juga
berkontribusi dengan persepsi panas yang menyakitkan, mungkin melalui
keratinosit dimediasi aktivasi neuron nosiseptif.
c) Bawah: kulit yang mengalami pendinginan kemungkinan besar
mengaktifkan TRPM8, yang dinyatakan dalam subset yang berbeda dari
neuron sensorik.
Thermosensasi pada Rentang Suhu Kulit
Sumber: M J Caterina. 2007. Transient Receptor Potential Ion
Channels as Participants in Thermosensation and Thermoregulation.

4.10 Mekanisme hipotermia TRPV1


Dalam semua empat kasus, meningkatkan output dari hangat-sensitif
neuron dari preoptic / anterior hipotalamus (PO / AH) (oval padat) dan /
atau penurunan keluaran dari neuron dingin-sensitif (berbayang oval)
memicu awal jaring respon panas badan melalui pusat kontrol efektor
otonom di otak. Tidak diwakili aktivasi rupanya bersamaan tapi lebih lemah
daripada panas-gain mekanisme yang menjadi jelas hanya setelah beberapa
jam. Mekanisme aktivasi TRPV1 pada terminal perifer dari kulit atau
visceral:
a) Mekanisme 1
Serat hangat, yang badan selya dalam ganglia akar dorsal, menyebabkan
stimulasi neuron dalam lapisan paling dangkal dari sumsum tulang
belakang dorsal horn. Neuron ini decussate, kemudian naik dalam traktus
spinotalamikus, dan mengirim cabang jaminan inti parabrachial di pons.
Proyeksi pontine untuk PO / AH kemudian mengaktifkan neuron sensitif
hangat dan / atau menghambat neuron yang sensitif terhadap dingin.
b) Mekanisme 2 dan 3
Aktivasi TRPV1 pada presinaptik terminal (dari pons atau di tempat lain)
menimpa PO / hasil AH peningkatan pelepasan neurotransmitter
rangsang ke neuron sensitif hangat atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter ke neuron sensitif dingin.
c) Mekanisme 4
Aktivasi TRPV1 intrinsik untuk menghangatkan neuron sensitif hasil
dalam aktivasi langsung mereka. Garis padat atau panah padat
menunjukkan tindakan rangsang. Garis putus-putus menunjukkan
tindakan penghambatan (Caterina, 2007).

Mekanisme yang Mungkin untuk Hipotermia TRPV1


Dimediasi dalam Menanggapi Panas atau Capsaicin
Sumber: M J Caterina. 2007. Transient Receptor Potential Ion
Channels as Participants in Thermosensation and Thermoregulation
4.11 Peran Tentatif dari Beberapa Saluran Ion dalam Modulasi Termal
Respon Saraf Gustatory

Besaran Phasic Respons Saraf Korda Timpani Tikus


untuk NaCl sebagai Fungsi Temperatur
Sumber: M J Caterina. 2007. Transient Receptor Potential Ion
Channels as Participants in Thermosensation and Thermoregulation

Ketergantungan Besarnya Suhu Terhadap Respon Chorda Tympani


Saraf Phasic Tikus untuk Sukrosa (0,5 M),
Kina (0,02 M), dan HCl (0,01 N)
Sumber: M J Caterina. 2007. Transient Receptor Potential Ion
Channels as Participants in Thermosensation and Thermoregulation
Peran tentatif dari beberapa saluran ion dalam termal modulasi respon
saraf gustatory. (A) Besaran phasic respons saraf korda timpani tikus untuk
NaCl sebagai fungsi temperatur. Pendinginan dapat meningkatkan respon
asin melalui ENaC (garis biru dan panah), sedangkan pemanasan dapat
meningkatkan respon via TRPV1t (garis merah dan panah) (HT, komponen
suhu tinggi; LT, komponen suhu rendah). (B) ketergantungan besarnya suhu
terhadap respon chorda tympani saraf phasic tikus untuk sukrosa (0,5 M),
kina (0,02 M) dan HCl (0,01 N). Aktivasi panas dari TRPM5 mungkin
menjelaskan mengapa tanggapan terhadap sukrosa dan kina yang meningkat
pemanasan dari 10 C (garis merah dan panah), sedangkan desensitisasi
dapat menyebabkan bahwa respon menurun pada suhu lebih tinggi dari 30-
35 C (garis oranye dan panah). Sifat respon biphasic untuk HCl masih sulit
dipahami, tetapi dapat mengakibatkan suhu ketergantungan saluran ENaC,
Asics dan PKD2L1 / PKD1L3. Data diadaptasi dari Yamashita dan Sato
[13]. (Dengan izin John Wiley & Sons, Inc.).

4.12 Aktivasi Panas TRPM5 dari Tegangan Penginderaan Hingga Rasa Es


Krim
TRPM5 adalah Ca2 +
-activated Ca2 +-impermeable non-selektif
channel kation milik TRP superfamili. TRPM5 dinyatakan dalam membran
basolateral dari beberapa sel-sel reseptor rasa dan terlibat dalam transduksi
rasa manis, pahit dan umami. Telah mengusulkan bahwa aktivasi TRPM5
oleh peningkatan intraseluler Ca2 +
konsentrasi yang mengikuti reseptor
stimulasi rasa menginduksi depolarisasi dari reseptor sel rasa, yang pada
gilirannya menyebabkan transmisi eksitasi serat aferen gustatory. Baru-baru
ini ditemukan bahwa aktivasi TRPM5 dalam sel HEK-293 sistem ekspresi
heterolog sangat sensitif terhadap suhu. Di hadapan intraseluler tinggi Ca2 +,
ke dalam TRPM5 saat itu diabaikan pada 14 C, tetapi itu meningkat secara
dramatis dengan pemanasan sampai 35C. Aktivasi panas TRPM5
disebabkan karena pergeseran ketergantungan tegangan aktivasi untuk
potensi lebih negatif, mirip dengan TRPV1. Dengan demikian, TRPM5
mengikuti prinsip modulasi temperatur yang sama yang berlaku untuk
beberapa saluran termosensitif TRP. Khususnya, chorda tympani tanggapan
keberanian untuk senyawa goreng yang sangat tergantung pada suhu di tikus
liar, sedangkan sisa tanggapan gustatory di TRPM5 tikus knockout tidak
berubah dengan suhu. Disimpulkan bahwa sensitivitas termal hasil persepsi
rasa manis dari ketergantungan suhu kuat aktivasi TRPM5 (Gambar b).
Selain itu, aktivasi panas TRPM5 memediasi stimulasi thermal dari rasa
manis. Namun, masih harus diselidiki jika kombinasi suhu tinggi dan
tingkat basal intraseluler Ca2 +
cukup untuk mengaktifkan TRPM5 dan
memicu sensasi manis (Karel et al., 2006).

4.13 Sensasi yang Terkait dengan Jenis Serat Aferen Individu


Mikroneurografi adalah teknik yang memungkinkan contribusi dari
jenis serat aferen individu untuk persepsi sadar. Trulsson dan Essick (2010)
memasukkan microelec-trode kecil perkutan ke dalam lingual atau saraf
alveolar partisipan manusia. Dengan merekam respon listrik di nervus ini
sementara merangsang jaringan mulut yang berbeda, mereka bisa
mendeskriminasi penembakan neuron pada individu, dan mengidentifikasi
stimuli yang istimewa mengaktifkan mereka. Secara khusus, mereka mampu
mengidentifikasi bidang reseptif spasial, dan parameter mekanik dikodekan
oleh masing-masing neuron. Secara krusial, ketika neuron langsung
dirangsang secara elektrik melalui elektroda yang sama, tetapi tanpa
stimulasi perifer, peserta melaporkan sebuah persepsi yang berhubungan di
lokasi dan kualitas ke stimulus yang terbaik diaktifkan aferen tersebut.
Misalnya, adaptasi aferen yang cepat dapat diidentifikasi oleh respon listrik
mereka untuk onset dari stimulus mekanik di bibir, mukosa mulut atau
lingual, ditambah dengan tidak adanya respon yang berkelanjutan untuk
rangsangan berkelanjutan. Merangsang beberapa aferen ini (tipe FA I)
menghasilkan satu sensasi tepatnya getaran lokal, dengan frekuensi
perseptual yang bergantung pada stimulasi frekuensi listrik. Aferen yang
beradaptasi lambat, menanggapi tekanan berkelanjutan pada gigi individu,
dan diklasifikasikan sebagai innervasiting reseptor ligamen periodontal.
Aferen lainnya perlahan beradaptasi secara responden ke daerah tertentu
dari lidah. Ini menunjukkan laju pembakaran yang relatif spontan, yang
umumnya meningkat hanya ketika rangsangan mekanik yang diterapkan.
Stimulasi listrik secara lansung perlahan mengadaptasi aferen melalui
rekaman elektroda tidak menghasilkan pengalaman fenomenal terkait
stimulation kuat aferen yang cepat beradaptasi. Dalam beberapa kasus (tipe
SA I), sensasi tekanan lokal berkelanjutan dan mendalam pada jaringan
distorsi dapat diperoleh. Pada beberapa kasus lain, tidak ada sensasi
terdeteksi sama sekali. Tampaknya rangsangan kuat seperti itu
mengaktifkan beberapa populasi fiber diperlukan aferen yang beradaptasi
perlahan untuk memperoleh sensasi sadar (Trulsson dan Essick, 2010).
Trulsson et al. (2010) berspekulasi bahwa debit pergi dari serat adaptif
pelan dapat berkontribusi pada image mulut yang terus menerus, namun
tampaknya ada sedikit bukti langsung untuk peran fungsional ini, selain
fenomenologi lemah terkait dengan kedua input aferen SA, dan dengan
gambaran mulut. Mungkin fungsi lain dari sistem aferen SA termasuk
regulasi kekuatan pengunyahan, dan postur tubuh oral dan kontrol motor
(Trulsson et al., 2010). Penelitian stimulasi mikro menunjukkan bahwa
cahaya dan sentuhan rangsangan taktil vibro adalah salah satu pengalaman
persepsi oral. Sensasi dari reseptor dalam yang kurang hidup, sering gagal
untuk menghasilkan sensasi yang cocok dengan bidang reseptif dari serat
aferen (Trulsson dan Essick, 2010). Hal ini memiliki implikasi yang jelas
untuk pengalaman oral subjektif melalui self-touch dengan lidah, dan
persepsi objek di mulut, seperti perangkat oral, bahkan bahan makanan
(Patrick, 2014).

4.14 Sensitisasi dari Neuron Pulpa Gigi oleh Stimuli Panas Berbahaya yang
Berulang
Hanya 39 neuron pulpa gigi yang diaktifkan oleh panas berbahaya dan
/ atau dingin, diterapkan pada gigi taring dicatat pada studi belakangan ini.
Tanggapan neuron pulpa gigi ditemukan di kedua daerah dangkal dan dalam
dari caudalis subnucleus (Vc) dan di antar muka antara inti caudalis dan
interpolaris (Vc / Vi). Tujuh neuron menunjukkan tanggapan aktivitas
spontan (D.K. Ahn, et al., 2012).
Gambar c menggambarkan contoh khas sensitisasi rangsangan panas
berbahaya berulang ke pulpa gigi. Neuron pulpa gigi ini diaktifkan oleh
panas berbahaya diterapkan pada mandibula anjing dan diklasifikasikan
sebagai neuron WDR. Neuron ini terletak di lamina V, dan masukan aferen
dari pulpa gigi berada di jangkauan A. Rangsangan panas yang diterapkan
untuk anjing dengan interval 1 menit setiap percobaan. Selama percobaan
panas pertama, neuron menanggapi pada suhu 60oC. Impuls yang
ditimbulkan oleh stimulus panas yang meningkat dan suhu ambang batas
diturunkan selama percobaan panas kedua. Neuron pulpa gigi ini memiliki
aktivitas spontan yang ditingkatkan oleh rangsangan panas berulang-ulang.
Empat (3 WDR dan 1 NS) dari 7 neuron diperiksa (4 WDR dan 3 NS) yang
peka dengan stimulasi panas berbahaya diulang. Pada 4 neuron yang
sensitif, stimulus panas berbahaya yang kedua secara signifikan terjadi
peningkatan jumlah impuls membangkitkan neuron pulpa gigi 190%,
dibandingkan dengan respon mereka terhadap panas berbahaya pada
stimulus pertama (p <0,05) (D.K. Ahn, et al., 2012).

Gambar c. Respon dari Neuron Pulpa Gigi Terhadap


Rangsangan Panas Berbahaya Berulang
Sumber: D.K. Ahn, et al. 2012. Functional Properties
of Tooth Pulp Neurons Responding to Thermal Stimulation
Respon dari pulpa gigi neuron terhadap rangsangan panas berbahaya
berulang:
A. Lokasi dari bidang reseptif kulit dan gambaran dari lokasi sel kamera
lucida. Bidang reseptif terletak di gingiva sekitarnya dan bibir kanan
bawah. Sel itu diklasifikasikan sebagai neuron WDR dan terletak di
lamina V.
B. Histogram peristimulus untuk stimulasi listrik pada gigi (50 presentasi)
mengungkapkan bahwa sel ini menerima input aferen A.
C. Tanggapan dari sel untuk rangsangan panas berbahaya berulang pada
caninus bawah. Probe dikendalikan komputer disampaikan rangsangan
panas berulang yang secara bertahap diterapkan dari suhu adaptasi dari
40 C, meningkat hingga 60 C di 5 C bertahap setiap 25 detik.
Rangsangan panas berbahaya kedua secara signifikan meningkatkan
tingkat tembak dari neuron pulpa gigi (D.K. Ahn, et al., 2012).

4.15 Perkiraan ambang batas untuk persepsi sensasi panas dan nociceptive
Perkiraan ambang batas untuk persepsi sensasi panas dan nociceptive
selama pendinginan dan pemanasan mulai suhu beradaptasi yang berbeda
disajikan dalam tabel di bawah ini. Semua suhu dalam C.
Tabel perkiraan ambang batas persepsi panas dan nociceptive

Sumber: BG. Green, et al. 2010. Threshold and Rate-Sensitivity


of Low-Threshold Thermal Nociception
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Rongga mulut termasuk salah satu bagian tubuh manusia yang sering
mengalami perubahan suhu. Suhu mulut biasanya dipengaruhi oleh banyak
faktor, termasuk makanan atau minuman panas atau dingin, mengunyah
permen karet, merokok, bernapas melalui mulut, dan sebagainya. Transient
receptor potential ion channels diyakini sebagai partisipan pada
thermosensasi dan termoregulasi suhu, terutama pada rongga mulut. Untuk
perubahan suhu pada rongga mulut, terdapat penangkapan perubahan suhu
tersebut. Selain itu, berdasarkan tanggapan rangsangan mekanik oleh serat
aferen primer yang berbeda, mulut memiliki somatosensorik yang kaya dan
multisensorik yang unik. Terdapat beberapa jenis transient receptor, di
antaranya: TRPV1, TRPV2, TRPV3, TRPV4, TRPM8, TRPA1, TRPM4,
TRPM5, dan TRPM2. TRPV1 peka terhadap sensor bahan kimia tajam
vanilloid. TRPV1 juga bisa diaktifkan oleh proton ekstraseluler. TRPV 1
aktif bila ada suhu 37oC yang memotensialkan TRPV 1 ke agonis kimianya,
dan dengan suhu ambeien 42 oC tanpa ligan kimia. Ambang tresholdnya
yaitu 42 oC. TRPV1 sebagai transduser panas berbahaya, detektor capsaicin,
asam, dan metabolit asam arakidonat. TRPV2 (GRC/VRL-1) tidak sensitif
terhadap capsaicin dan tidak menunjukkan tanggapan terhadap ambeien
suhu tinggi. Ambang batasnya yaitu 52 oC. TRPV3 ambang batasnya 34-39
o
C , dan TRPV4 ambang batasnya 25-34 oC. TRPM8 (CMR1) ambang
batasnya 25 oC, konsisten dengan persepsi dingin yang tidak menyakitkan.
TRPA1 merupakan sensor suhu dingin menyakitkan, dimana TRPA1
rekombinan diaktifkan oleh suhu 18 oC. TRPM4 dan TRPM5 diaktifkan
dengan pemanasan suhu 15 oC. TRPM2 diaktifkan dengan suhu 35 oC.
TRPM5 mempersepsikan suhu hangat dapat meningkatkan rasa manis pada
penembakan neuron gustatory. Neuron pulpa gigi juga dapat menanggapi
stimuli panas berbahaya yang berulang. Neuron ini diklasifikasikan sebagai
neuron WDR yang terletak di lamina V dan berada pada jangkauan A.
Daftar Pustaka

BG. Green, et al. 2010. Threshold and Rate-Sensitivity of Low-Threshold Thermal

Nociception. USA

D.K. Ahn, et al. 2012. Functional Properties of Tooth Pulp Neurons Responding

to Thermal Stimulation. Korea: J Dent Res: 91(4):401-406

Haggard, Patrick. 2014. Neuroscience and Biobehavioral Reviews, Oral

Somatosensory Awareness 469484. London

Kukus, Yondry. 2009. Jurnal Biomedik Homeostasis dan Efek Terhadap Kinerja

Tubuh Manusia, Volume 1, Nomor 2, hlm. 107-118. Manado

M J Caterina. 2007. Transient Receptor Potential Ion Channels as Participants in

Thermosensation and Thermoregulation 292: R64R76. Maryland

Talavera, Karel, et al. Revisi 2006. Influence of Temperature on Taste Perception.

Jepang

Trulsson, et al. 2010. Brain Activations in Responseto Vibrotactile Tooth

Stimulation: A Psychophysical and fMRI Study. J. Neuro-physiol: 104 (4),

22572265

Anda mungkin juga menyukai