Anda di halaman 1dari 31

CASE REPORT

Appendicitis Infiltrat

Disusun Oleh :
Anisa Putri
1102010024

Pembimbing :
Dr. Hadiyana Suryadi. SpB

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT UMUM Dr. SLAMET GARUT
2014
Identitas Pasien
Nama : Nn. Y Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa Masuk RS : 24 September 2016
Alamat : Kamang Baru, Sijunjung
Seorang pasien wanita usia 18 tahun, diagnosis Apendisitis infiltrat

Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Perjalanan Penyakit


Os datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari SMRS. Nyeri
dirasakan awalnya pada perut dan menetap di kanan bawah sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit.
Keluhan diatas juga disertai dengan mual dan muntah sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien muntah 2 kali sejak kemarin. BAB dan BAK dalam batas
normal. Nafsu makan menurun. Mencret (-),demam (+) dirasakan sejak 1 hari.
Riwayat haid teratur, haid terakhir 1 september. Riwayat trauma tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu


Os belum perrnah merasakan keluhan yang sama sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga


TIdak ada hubungan.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, & Kebiasaan


Pasien merupakan seorang mahasiswa

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan gizi : Sedang

Vital Sign
- Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 81 x/menit
- Respiration Rate : 20x/menit
- Temperatur : 370 C
Status Generalis
Kepala : Tidak ada kelainan
Mata : Tidak ada kelainan
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Tidak ada kelainan
Mulut : Tidak ada kelainan
Leher : Tidak ada kelainan
Thorax : Tidak ada kelainan
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat dibawah papilla mamae
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 5 linea midclavicula
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung reguler, murmur (-), gallop S3(-), S4(-)

Abdomen
Lihat Status lokalis

- Ekstremitas : Tidak ada kelainan

Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi : Normal, distensi (-), warna kulit sawwo matang
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan di titik McBurney (+) , Rovsign (+), Psoas sign
(+), Nyeri lepas (+), nyeri tekan (+), teraba massa
Perkusi : timpani di keempat kuadran abdomen, nyeri ketok (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hematologi
Hb : 13,1 g/dl (11,5-15,5)
Ht : 39 % (35-45)
Leukosit : 9.600 /mm3 (3.500-13.500)
Trombosit : 306.000 /mm3 (150.000-440.000)

Pemeriksaan Urin
Dalam batas normal

1
USG

2
3
Hasil: tampak gambaran massa

DIAGNOSA KERJA
Appendicitis infiltrat

DIAGNOSA BANDING
Appendicitis perforasi

PENATALAKSANAAN
IVFD RL 20 gtt/menit
Cefoperazol 2 x 1
Metronidazol 3x500mg
Diet rendah serat
Posisi Semi fowler

FOLLOW UP

Tanggal 25 September 2016


S/ Nyeri (+) di perut kanan bawah
Mual (+)
O/ Distensi (-)
BU (+) N
Nyeri tekan (+) di kanan bawah
A/ Susp Apendisitis Infiltrat
P/ IVFD RL 20 gtt/menit
Cefoperazol 2 x 1
Metronidazol 3x500mg
Paracetamol3x500mg
Diet rendah serat
Posisi Semi fowler

4
BAB 3 PEMBAHASAN
Seorang perempuan datang dengan keluhan Nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri awalnya timbul di bagian perut dan menetap di perut kanan
bawah, demam, os juga mengeluhkan mual muntah, anoreksia, pada pemeriksaan abdomen
juga ditemukan nyeri tekan nyeri lepas dan hal ini sesuai dengan tanda apendisitis yang
terdapat pada skor alvorado.
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,
atau neoplasma. Selain itu makanan juga berpengaruh terhadap terbentuknya fecalith, sesuai
dengan Burkitt mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan motilitas,
flora normal, dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan untuk timbul fecalith.
Pada pemeriksaan fisik di temukan massa hal ini bisa dikarenakan omentum dan usus yang
berdekatan yang bergerak ke arah apendiks sehingga timbul suatu massa local inilah yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.
Kecepatan terjadinya peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya
tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale
dan juga organ lain seperti Vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir

5
proses peradangan ini. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu penderita
harus benar-benar istirahat (bedrest).

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Apendiks Vermiformis


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira kira 10 cm (kisaran 3
15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar
dibagian distal. Namun demikian, pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya.

6
Gambar 1.
Apendiks
vermicularis

Pada 65%
kasus, apendiks
terletak
intraperitoneal.
Kedudukan itu
memungkinkan
apendiks bergerak, dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu dibelakang
sekum, dibelakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.

Gambar 2. Variasi
lokasi Apendiks
vermicularis

Appendiks
dipersarafi oleh
parasimpatis dan
simpatis. Persarafan
parasimpatis berasal
dari cabang nervus
vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri appendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada
appendisitis bermula di sekitar umbilikus.
Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis, cabang dari a.Ileocecalis,
cabang dari a. Mesenterica superior. A. Appendikularis merupakan arteri tanpa kolateral. Jika

7
arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami
gangren.

Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1 2 mL per hari. Lendir itu normalnya


dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di
muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.7
Awalnya, Apendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini, Apendiks
dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan Imunoglobulin terutama
Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Apendiks merupakan komponen integral dari sistem Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya tidak penting dan Appendectomy tidak akan
menjadi suatu predisposisi sepsis atau penyakit imunodefisiensi lainnya.

2.2 Periapendikular Infiltrat


2.2.1 Definisi
Apendisitis adalah proses keradangan pada apendiks. Periapendikular Infiltrat adalah
proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus usus dan
peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass).
2.2.2 Epidemiologi

8
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi dari pada negara berkembang.
Namun, dalam tiga empat dasawarsa terakhir kejadian menurun secara bermakna. Hal ini
diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari
hari.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20 30 tahun, setelah itu
menurun. Insiden pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding kecuali pada umur 20 30
tahun, ketika insidens pada lelaki lebih tinggi.
Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih; daya
tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk
membungkus proses radang.
2.2.3 Etiologi
Obstruksi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada apendisitis akut. Fecalith merupakan
penyebab umum obstruksi apendiks, yaitu sekitar 20% pada anak dengan apendisitis akut dan
30-40% pada anak dengan perforasi apendiks. Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia
jaringan limfoid di sub mukosa apendiks, barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X,
biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis.2,4
Obstruksi apendiks juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor
berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji
sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya apendisitis. Faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya apendisitis adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi. Fecalith
ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut sederhana, sekitar 65% pada kasus apendisitis
gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus apendisitis akut gangrenosa dengan perforasi.

9
Gambar 4. Appendicitis (dengan fecalith)
Bakteriologi
Apendisitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih
dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi. Flora
normal pada apendiks sama dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada apendiks akan
tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada
orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di apendiks, Apendisitis akut dan Apendisitis
perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri
fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan.
Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada Apendisitis akut
Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob

Batang Gram (-) Batang Gram (-)


Eschericia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.

10
Coccus Gr (+) Batang Gram (+)
Streptococcus anginosus Clostridium sp.
Streptococcus sp. Coccus Gram (+)
Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

Peranan lingkungan: diet dan higiene


Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan
kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan dengan kondisi
tertentu pada pencernaan. Apendisitis, penyakit Divertikel, carcinoma Colorectal lebih sering
pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara orang yang memakan
makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt mengemukakan bahwa diet rendah
serat berperan pada perubahan motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang mempunyai
kecenderungan untuk timbul fecalith.
2.2.4 Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,
atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya
dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi
tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama
mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal
hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar
60cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau
terjadi perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan diapedesis bakteri. Infeksi
menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena
terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat

11
terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena
ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses patofisiologi apendisitis berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
Apendikularis infiltrat. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Apendikularis infiltrat merupakan tahap patologi Apendisitis yang dimulai dimukosa
dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini
merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup
apendiks dengan omentum, usus halus, atau Adnexa sehingga terbentuk massa
periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abscess, Apendisitis akan sembuh dan massa
periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.
Kecepatan terjadinya peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme,
daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum
parietale dan juga organ lain seperti Vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan
melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi
masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh
karena itu penderita harus benar-benar istirahat (bedrest).

12
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini
dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.

13
2.2.5 Manifestasi Klinis
Gejala apendisitis akut umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri
perut yang didahului anoreksia. Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri perut. Awalnya,
nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai kram yang hilang
timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap
ini umumnya terlokalisasi di RLQ (Right Lower Quadrant). Variasi dari lokasi anatomi
apendiks berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; apendiks yang panjang dengan
ujungnya yang inflamasi di LLQ (Left Lower Quadrant) menyebabkan nyeri di daerah
tersebut, apendiks di daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal apendiks dapat
menyebabkan nyeri testicular.
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi apendiks, biasanya suhu
naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga > 39oC.
Anoreksia hampir selalu menyertai apendisitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah yang
umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan
ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala apendisitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan
muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis apendisitis diragukan. Muntah
yang timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis. 1,5,7,8
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak pasien
yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada beberapa pasien
terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi apendiks.
Gejala apendisitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang
menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri lokal pada
perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis difus biasanya
bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien dapat diobservasi dulu

14
selama 6 jam. Pada penderita apendisitis biasanya menunjukkan peningkatan nyeri dan tanda
inflamasi yang khas.
Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu tua.
Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga Appendicitisnya
telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala
letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri. 1,4
Apendisitis infiltrat didahului oleh keluhan apendisitis akut yang kemudian disertai
adanya massa periapendikular. Gejala klasik Apendicitis akut biasanya bermula dari nyeri di
daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam
nyeri beralih ke kuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk.
Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga
terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah. Pada permulaan
timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam
nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif.
Tabel 2. Gejala Apendisitis Akut

Gejala* Frekuensi (%)

Nyeri perut 100

Anorexia 100

Mual 90

Muntah 75

Nyeri berpindah 50

Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian


anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ 50
kemudian demam yang tidak terlalu tinggi)

*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

2.2.6 Pemeriksaan Fisik

15
Anak-anak dengan apendisitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan gerakan
yang minimal. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya jarang didiagnosis
sebagai apendisitis, kecuali pada anak dengan apendisitis letak retrocaecal. Pada apendisitis
letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter sehingga nyeri yang timbul menyerupai nyeri
pada kolik renal.
Penderita apendisitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha kanan,
karena pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal tersebut akan
mengurangi tekanan ke arah apendiks sehingga nyeri perut berkurang.
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu axillar dan rektal sampai 1C.
Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Appendicitis infiltrat atau adanya Appendicular
abscess terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah.
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri
lepas. Defence muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan
perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan
dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada Appendicitis
retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.
Jika sudah terbentuk abscess yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan cepat
membendung daerah apendiks maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan selama 3-4 hari
(waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abscess) juga pada palpasi akan teraba massa
yang fixed dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat diraba. Jika apendiks intrapelvinal
maka massa dapat diraba pada RT (Rectal Toucher) sebagai massa yang hangat.
Peristaltik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat Apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan
nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada Apendisitis pelvika.
Pada Apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui letak Appendix.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:

16
Rovsings sign
Jika LLQ (Left Lower Quadrant) ditekan, maka terasa nyeri di RLQ (Right Lower
Quadrant). Hal ini menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif pada apendisitis
namun tidak spesifik.
Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien
dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan
dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan kekakuan
musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan
apendiks. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.
Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan
pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan
sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi
kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat
eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Apendiks, abscess
lokal, iritasi M. Obturatorius oleh apendisitis letak retrocaecal, atau adanya hernia
obturatoria.

Gambar 5. Cara melakukan Obturator sign

17
Blumbergs sign (nyeri lepas kontralateral)
Pemeriksa menekan di LLQ (Left Lower Quadrant) kemudian melepaskannya.
Manuver ini dikatakan positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di
RLQ (Right Lower Quadrant).
Wahls sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ (Right Lower Quadrant), dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga
Scherren pada auskultasi.
Baldwins test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai
kanannya ditekuk.
Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak apendiks.
Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum
Douglasi atau Apendisitis letak pelvis.
Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral
Dunphys sign (nyeri ketika batuk)

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm 3, biasanya didapatkan pada
keadaan akut, apendisitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan polimorfonuklear
sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan shift to the left pergeseran ke
kiri, diagnosis apendisitis akut harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih
lebih dari 18.000/ mm3 pada apendisitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas
jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi apendiks dengan atau tanpa
abscess.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati
sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara 6-12 jam
inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP 8 mcg/mL, hitung leukosit 11000,
dan persentase neutrofil 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas 90.7%.

18
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari saluran
kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi Urethra atau
Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada Apendisitis akut dalam
sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis apendisitis. apendiks
diidentifikasi atau dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang nonperistaltik
yang berasal dari caecum. Dengan penekanan yang maksimal, apendiks diukur dalam
diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila tanpa kompresi ukuran anterior-
posterior apendiks 6 mm atau lebih. Ditemukannya appendicolith akan mendukung diagnosis.
Gambaran USG dari apendiks normal, yang dengan tekanan ringan merupakan struktur
akhiran tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis
apendisitis akut. Penilaian dikatakan negatif bila apendiks tidak terlihat dan tidak tampak
adanya cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis apendisitis akut tersingkir dengan
USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga abdomen harus dilakukan untuk
mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ panggul harus
dilihat baik dengan pemeriksaan transabdominal maupun endovagina agar dapat
menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen.
Diagnosis apendisitis akut dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96% dan
spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil,
walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut.1
USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada pemakai.
Penilaian positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya periappendicitis dari peradangan
sekitarnya, dilatasi Tuba fallopi, benda asing (inspissated stool) yang dapat menyerupai
appendicolith, dan pasien obesitas apendiks mungkin tidak tertekan karena proses inflamasi
apendiks yang akut melainkan karena terlalu banyak lemak. USG negatif palsu dapat terjadi
bila apendisitis terbatas hanya pada ujung apendiks, letak retrocaecal, apendiks dinilai
membesar dan dikelirukan oleh usus kecil, atau bila apendiks mengalami perforasi oleh karena
tekanan.

19
Gambar 6.
Ultrasonogram
pada potongan
longitudinal
Apendisitis

Pemeriksaan
radiologi
Foto polos
abdomen jarang
membantu diagnosis apendisitis akut, tetapi dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan
diagnosis banding. Pada pasien apendisitis akut, kadang dapat terlihat gambaran abnormal
udara dalam usus, hal ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang
terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Pemeriksaan ini
dilakukan terutama pada anak-anak.
Tanda tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan, mungkin
terlihat ileal atau caecal ileus (gambaran garis permukaan caian udara di sekum atau
ileum).
Foto polos pada apendisitis perforasi :
a. Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak terbatas di kuadran kanan bawah.
b. Penebalan dinding usus disekitar letak apendiks, seperti sekum dan ileum.
c. Garis lemak pra peritoneal menghilang.
d. Skoliosis ke kanan
e. Tanda tanda obstruksi usus seperti garis garis permukaan cairan akibat paralisis
usus usus lokal di daerah proses infeksi.
Gambaran tersebut diatas seperti gambaran peritonitis pada umumnya, artinya dapat
disebabkan oleh bermacam macam kausa.3
Foto thorax kadang disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses
pneumoni lobus kanan bawah.
Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop
leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG, tapi jauh

20
lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa terutama saat
dicurigai adanya Abscess apendiks untuk melakukan percutaneous drainage secara tepat.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan yang
tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada caecum dan apendiks yang kosong dan
dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %. Pemeriksaan radiografi dari
pasien suspek appendisitis harus dipersiapkan untuk pasien yang diagnosisnya diragukan dan
tidak boleh ditunda atau diganti, memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis.1,4,7

Gambar 7.
Gambaran CT Scan
abdomen: Penebalan
Apendiks (panah)
dengan appendicolith
Laparoscopy

Laparoscopy adalah Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang


dimasukan dalam abdomen, apendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini
didapatkan peradangan pada apendiks maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan
pengangkatan apendiks.
Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis
apendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran histopatologi
apendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria
gambaran histopatologi apendisitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi
apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan operasi.

2.2.8 Skor Alvarado


Semua penderita dengan suspek apendisitis akut dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya ditentukan
apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA

21
terhadap jaringan apendiks dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang
akut dan bukan radang akut.
Tabel 3. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.
Gejala Klinik Value

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Lab Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya dilakukan.

2.2.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari apendisitis akut pada dasarnya adalah diagnosis dari akut
abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu penyakit tetapi
spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi pada dasarnya gambaran

22
klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses akut di dalam atau di sekitar cavum
peritoneum yang mengakibatkan perubahan yang sama seperti apendisitis akut.
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun pada umumnya
proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh Apendisitis sebagian besar
juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan menjadi lebih buruk dengan
pembedahan.
Diagnosis banding Apendisitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi anatomi dari
inflamasi Apendiks, tingkatan dari proses dari yang simple sampai yang perforasi, serta umur
dan jenis kelamin pasien.
1. Crohn disease
Teraba massa pada perut kanan bawah disertai nyeri dikarenakan terdapat inflamasi
usus halus, nyeri menetap, terlokalisir. Terdapat diare, LED meningkat, terdapat
anemia ringan. Pemeriksaan USG. terdapat ulkus aptosa.
2. Tumor sekum
Berat badan menurun, anoreksia, anemia, malaise, perubahan buang air besar
(konstipasi atau diare), perubahan diameter feses (berawarna merah, kehitaman,
bercampur lendir), timbul rasa nyeri, mual, muntah, massa pada kuadran kanan bawah,
3. Torsi kista ovarium
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis
pada pemeriksaan perut, vaginal toucher, atau rectal toucher. Tidak terdapat demam.
Pemeriksaan USG dapat memastikan diagnosis.
4. Amebiasis intestinal
Teraba massa biasanya pada sigmoid atau sekum. BAB berdarah, nyeri terlokalisir,

2.2.10 Penatalaksanaan
Terapi Appendikular infiltrat pada anak-anak, kebanyakan adalah konservatif yaitu
dengan observasi ketat dan antibiotik, dengan cairan intravena, dan pemasangan NGT (Naso
Gastric Tube) bila diperlukan. Konservatif berlangsung selama 6 hari di rumah sakit, lalu
direncanakan untuk dilakukan appendectomy elektif setelah 4-6 minggu kemudian untuk
mencegah kemungkinan risiko rekurensi dan perforasi yang lebih luas. Dari hasil penelitian

23
komplikasi setelah operasi dengan penanganan konservatif terlebih dahulu lebih sedikit bila
dibandingkan dengan terapi pembedahan segera seperti cedera pada ileum (Ileal injury), abses
intrabdominal, infeksi karena luka saat operasi. Sehingga terapi non-operatif pada
appendicular infiltrat yang diikuti dengan appendectomy elektif merupakan metode yang
aman dan efektif. Terapi tersebut sama dengan pada orang dewasa yaitu dengan konservatif
terlebih dahulu yang diikuti dengan appendectomy elektif. Hal ini dikarenakan untuk
mencegah komplikasi post operasi dan risiko dari prosedur pembedahan yang besar
(extensive).
Pada anak-anak, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi
abscess, dianjurkan untuk operasi secepatnya. Pada penderita dewasa, appendectomy
direncanakan pada apendikular infiltrat tanpa pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya pasien
diberikan antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah
keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan appendectomy.
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh
omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun
atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya
dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi
rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi
terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya.
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah
bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk
membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan yang
longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi
dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses
yang dapat mudah didrainase.
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang
pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum
jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular
yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu,
operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien

24
dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna,
dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran
massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang,
dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3
bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila
terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan
frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya
angka leukosit.
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan
pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses
apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya
mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana
tanpa perforasi.
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila
dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah
terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila
dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita
hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang
menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi
ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :
1. Total bed rest
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu
kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase
saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak
ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan
tindakan bedah.

25
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam
gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus
dipertimbangkan appendectomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap
hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga
mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan
adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila apendiks
mudah diam.
bil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks
sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan
infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan
dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah
kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci
tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek
pengecilan abses tiap hari penderita di RT
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :
LED
Jumlah leukosit
Massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1. Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
2. Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh
(diukur rectal dan aksiler).
Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat.
Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi
lebih kecil dibanding semula.
3. Laboratorium : LED kurang dari 20/jam, Leukosit normal
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
1. Bila LED telah menurun kurang dari 40/jam
2. Tidak didapatkan leukositosis

26
3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah
tidak mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa
o Apakah penderita sudah bed rest total
o Pemakaian antibiotik penderita
o Kemungkinan adanya sebab lain.
Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan,
operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi
abses dan terapi adalah drainase.
Pembedahannya adalah dengan appendectomy, yang dapat dicapai melalui insisi Mc
Burney. Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa
appendectomy yang dicapai melalui laparotomi.

2.2.11 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa
yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis
generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance Muskular yang menyeluruh
Bising usus berkurang
Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses lokal.
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga
abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.

2.2.12 Prognosis

27
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks tidak
diangkat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bickle IC, Kelly B. 2002. Abdominal X Rays Made Easy: Normal Radiographs.
studentBMJ April 2002;10:102-3
2. Eroschenko, V. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional (9 ed.). (D.
Anggraini, T. M. Sikumbang, Eds., & J. Tambayong, Trans.) Jakarta: EGC
3. Evers, B. M. 2004. Small Intestine. In T. c. al, Sabiston Textbook Of Surgery (17 ed., pp.
1339-1340). Philadelphia: Elseviers Saunders

28
4. Hagen-Ansert, S. 2010. Sonographic Evaluation of the Acute Abdomen. Retrieved June
6th, 2011, Available at:
http://www.gehealthcare.com/usen/education/proff_leadership/products/msucmeaa.html
5. Mansjoer,A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : EGC
6. Price, S. A. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. (S. A. Price, L.
McCarty, & Wilson, Eds.) Jakarta: EGC
7. Schwartz, S. I. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

29

Anda mungkin juga menyukai