Anda di halaman 1dari 22

Journal Reading

A clinicoepidemiological study of cutaneous tuberculosis in a tertiary care teaching hospital in


Andhra Pradesh, India

OLEH:

Novita Elvistia 1210311002

PRESEPTOR:

Dr. dr. Satya Wydya Yenny, Sp.KK (K), FINSDV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL
PADANG
2017
Learning Objective
Judul : Tuberkulosis TB

1. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Definisi TB kutis

Tuberkulosis kutis adalah penyakit tuberkulosis pada kulit yang di Indonesia

disebabkan oleh basil Mycbacterium tuberculosis dan mikobakteria atipikal.

2. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Epidemiologi TB kutis

Penelitian di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo, skrofuloderma

merupakan bentuk yang tersering terdapat (84%), disusul oleh tuberkulosis kutis

verukosa (13%), bentuk-bentuk yang lain jarang ditemukan. Lupus vulgaris yang

dahulu dikatakan tidak terdapat, ternyata ditemukan, meskipun jarang.

Tuberkulosis kutis pada umumnya ditemukan pada bayi dan orang dewasa

dengan status imunodefisiensi. Tuberkulosis kutis terjadi akibat penjalaran

langsung dari organ dibawahnya yang telah dikenai penyakit tuberkulosis,

hematogen, limfogen, dapat juga autoinokulasi atau melalui kulit yang telah

menurun resistensi lokalnya.

Di negara beriklim dingin seperti di Eropa bentuk yang sering terdapat

adalah Lupus Vulgaris, sedangkan di India bentuk yang tersering dijumpai adalah

Skrofuloderma, disusul oleh Lupus Vulgaris dan Tuberkulosis Kutis Verukosa.

3. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Etiologi TB kutis

Penyebab tuberkulosis kutis adalah mikobakterium obligat yang bersifat

patogen terhadap manusia, M. tuberkulosis, M. bovis, dan kadang-kadang bisa

juga disebabkan oleh Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Penyebab utama


tuberkulosis kutis di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo (RSCM) ialah

Mycobacterium Tuberkulosis (jenis human) berjumlah 91,5%, sisanya (8,5%)

disebabkan oleh M. atipikal, yang terdiri atas golongan II atau skotokromogen,

yakni M. scrofulocaeum (80%) dan golongan IV atau rapid growers (20%). M.

bovis dan M. avium belum pernah ditemukan, demikian pula M. atipikal

golongan lain.
4. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Klasifikasi TB kutis

Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi

menurut PILLSBURRY dengan sedikit perubahan.

1. Tuberkulosis kutis sejati

A. Tuberkulosis kutis primer

Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)

B. Tuberkulosis kutis sekunder

Tuberkulosis kutis miliaris


Skrofuloderma
Tuberkulosis kutis verukosa
Tuberkulosis kutis gumosa
Tuberkulosis kutis orifisialis
Lupus vulgaris

2. Tuberkulid

A. Bentuk papul

Lupus miliaris diseminatus fasiei


Tuberkuloid papulonekrotika
Liken skrofulosorum

B. Bentuk granuloma dan ulseronodulus

Eritema nodusum
Eritema induratum

5. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Patogenesis TB kutis


Cara infeksi ada 6 macam

1. Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai

penyakit tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.


2. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai

penyakit tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.


3. Penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris.
4. Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
5. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit

tuberkulosis, misalnya lupus vulgaris.


6. Kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi lokalnya telah menurun atau

jika ada kerusakan kulit, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.

6. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Gambaran Klinis TB kutis

Pada umumnya, gambaran dari TB kutis ini adalah pada epidermisnya

tampak adanya hiperkeratosis dan akantosis. Pada reaksi radang yang akut, sering

dengan gambaran adanya abses di lapisan ini. Pada dermis tampak adanya

nekrosis kaseosa. Gambaran klinis yang khas menurut penyakitnya pada

tuberkulosis sejati adalah sebagai berikut:

1. Tuberkulosis kutis sejati

A. Tuberkulosis kutis primer

TB chancre atau kompleks primer TB (TB inokulasi primer)

Bentuk ini merupakan hasil inokulasi primer kuman TB pada kulit orang

yang belum pernah terkena kuman TB sebelumnya atau pada orang-orang yang

tidak mempunyai imunitas terhadap kuman TB. Kompleks lesi primer meliputi
kulit dan nodus limfatikus terutama pada bayi dan anak-anak. Jalan masuk basil

tuberkel adalah paru-paru, luka kecil, kuku yang terbuka, atau luka tusuk.

Gambarannya dapat berbentuk papul, pustul atau ulkus indolen,

berdinding tergaung dan disekitarnya livid. Masa tunas 2-3 minggu, limfangitis

dan limfadenitis timbul beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah afek

primer, pada waktu tersebut reaksi tuberkulin menjadi positif. Keseluruhannya

merupakan kompleks primer. Pada ulkus tersebut dapat terjadi indurasi, karena itu

disebut tuberculous chancre. Makin muda usia penderita makin berat gejalanya.

Bagian yang sering terkena adalah wajah dan ekstremitas yang berhubungan

dengan limphadenopaty regional. Biasanya ditemukan pada daerah kulit yang

mudah terkena trauma.

Tuberkulosis kutis sekunder


TB miliar kulit (TB kutis miliaris diseminata)

Tipe ini biasanya terjadi pada bayi dan anak-anak dengan status

imunokompromise. Fokus infeksi terdapat secara khusus pada paru-paru atau

selaput otak. Akan ditemukan adanya lesi primer pada paru dan lesi yang muncul

secara mendadak dan tersebar Terjadi karena penjalaran ke kulit dari fokus di

badan. Reaksi terhadap tuberkulin biasanya negatif (anergi).

Ruam di seluruh badan berupa eritema berbatas tegas, papula, vesikel,

pustule, skuama atau purpura menyeluruh dengan atau tanpa nekrosis diatasnya.

Diagnosis banding dari kelainan ini adalah sifilis sekunder dan erupsi obat. Pada

pemeriksaan histopatologinya menunjukkan adanya beberapa fokal nekrosis dan

abses yang dikelilingi zona makrofag dan banyak basil tahan asam. Pada

umumnya prognosisnya buruk.


1. Skrofuloderma

Skrofuloderma biasanya dimulai sebagai infeksi kelenjar getah bening

(limfadenitis tuberculosis) berupa pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar

getah bening ini konsistensinya padat pada perabaan. Mula mula hanya

beberapa kelenjar yang diserang, lalu makin banyak dan berkonfluensi.

Selanjutnya berkembang menjadi periadenitis yang menyebabkan perlekatan

kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kemudian kelenjar tersebut

mengalami perlunakan yang tidak serentak, menyebabkan konsistensinya menjadi

bermacam macam, yaitu didapati kelenjar getah bening melunak dan

membentuk abses yang akan menembus kulit dan pecah, bila tidak disayat dan

dikeluarkan nanahnya, abses ini disebut abses dingin artinya abses tersebut tidak

panas maupun nyeri tekan, melainkan berfluktuasi (bergerak bila ditekan,

menandakan bahwa isinya cair).

Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan perlunakan, pecah dan

mencari jalan keluar dengan menembus kulit di atasnya dengan demikian

membentuk fistel. Kemudian fistel meluas hingga mejadi ulkus yang mempunyai

sifat khas yakni bentuknya panjang dan tidak teratur, dan di sekitarnya berwarna

merah kebiruan, dindingnya tergaung, jaringan granulasinya tertutup oleh pus

yang purulen, jika mongering menjadi krusta warna kuning.

Lesi dapat sembuh secara spontan namun memerlukan waktu dalam

beberapa tahun dengan meninggalkan bekas luka (sikatriks) yang memanjang dan

tidak teratur. Jembatan kulit (skin bridge) kadang kadang terdapat di atas

sikatriks, biasanya berbentuk seperti tali yang kedua ujungnya melekat pada

sikatriks tersebut.
2. TB kutis verukosa (warty tuberculosis verrucanecrogenica)

Lesi pada dewasa umumnya terdapat pada tangan terutama bagian

dorsolateral dan jari-jari, sedangkan pada anak-anak biasanya pada ekstremitas

bawah dan lutut. Lesi diawali dengan halo berwarna ungu, berkembang menjadi

plak kutil yang keras dan hyperkeratosis, pus dan material keratin keluar dari

cleft dan fisura yang terbentuk. Papul asimtomatis sering salah didiagnosa sebagai

veruka vulgaris. Pertumbuhannya lambat dan terjadi perluasan ke perifer. Lesi

biasanya soliter dan tidak melibatkan kgb regional kecuali jika terjadi infeksi

sekunder. Lesi dapat berkembang dan menetap selama bertahun-tahun. Juga bisa

terjadi resolusi spontan dengan pembentukan scar.

3. Tuberkulosis kutis gumosa

Tuberkulosis ini terjadi akibat penjalaran secara hematogen, biasanya

dari paru. Kelainan kulit berupa infiltrat subkutan, berbatas tegas yang menahun,

kemudian melunak dan bersifat destruktif. Pada awalnya kulit berwarna normal

dan lama-kelamaan menjadi merah kebiruan. Lesi tersebar berbentu makula dan

papul berukuran kecil atau lesi berwarna kemerahan. Kadang-kadang vesikuler

dan terdapat krusta.

4. Tuberkulosis kutis orifisialis

Pada umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit tuberkulosa pada

organ-organ dalam. Sesuai dengan namanya maka lokasinya di sekitar orifisium.

Pada tuberkulosis paru dapat terjadi ulkus di mulut, bibir atau di sekitarnya. Pada

tuberkulosis saluran cerna, ulkus dapat ditemukan di sekitar anus. Pada

tuberkulosis saluran kemih, ulkus dapat ditemukan di sekitar orifisium uretra


eksternum. Ulkus berdinding tergaung, kemerahan, hemoragik, purulen dan

sekitarnya livid.

5. Lupus vulgaris

Lupus vulgaris merupakan bentuk yang sering dan mengenai terutama

pada bagian yang sering terpapar misalnya pada wajah dan ekstremitas. Cara

infeksi dapat secara endogen atau eksogen. Gambaran klinis yang umum adalah

kelompok nodus eritematosa yang berubah warna menjadi kuning pada

penekanan (apple jelly colour). Nodus-nodus tersebut berkonfluensi berbentuk

plak, bersifat destruktif, sering terjadi ulkus.

Pada waktu terjadi involusi terbentuk sikatriks. Bila mengenai muka

tulang rawan hidung dapat mengalami kerusakan. Penyembuhan spontan terjadi

perlahan-lahan di suatu tempat, tetapi terjadi perjalanan di tempat lain, yang dapat

ke perifer atau serpiginosa.

2. Tuberkulid

A. Bentuk Papul

1. Lupus milliaris diseminatus fasiei

Mengenai muka, timbulnya secara bergelombang. Ruam berupa papul-

papul bulat, biasanya diameternya tidak melebihi 5 mm, eritematosa kemudian

meninggalkan sikatriks. Pada diaskopi memberi gambaran apple jelly colour

seperti pada lupus vulgaris.

2. Tuberkulosis papulonekrotika

Lesi tipe ini terutama terjadi pada anak-anak dan dewasa yang menderita

TB pada bagian tubuh lain. Keadaan ini terjadi karena adanya reaksi alergi

terhadap basil tuberkel. Basil menyebar secara hematogen pada orang dengan
satus imunitas sedang atau baik, akan tetapi fokus tuberkulosis secara klinis tidak

aktif pada saat terjadinya erupsi, dan pasien sedang berada dalam keadaan sehat.

Selain berbentuk papulonekrotika juga dapat berbentuk papulopustul.

Tempat predileksi pada muka, anggota badan bagian ekstensor, dan

badan. Mula-mula terdapat papul eritematosa yang timbul secara bergelombang,

membesar perlahan-lahan dan kemudian menjadi pustul, lalu memecah menjadi

krusta dan membentuk jaringan nekrotik dalam waktu 8 minggu, lalu menyembuh

dan meninggalkan sikatriks. Kemudian timbul lesi-lesi baru. Lama penyakit dapat

bertahun-tahun.

3. Liken skrofulosorum

Lesi biasanya terjadi di daerah leher pada anak yang menderita

tuberkulosis tulang atau nodus limfatikus. Kelainan kulit terdiri atas beberapa

papul miliar, warna dapat serupa dengan kulit atau eritematosa. Mula-mula

tersusun tersendiri, kemudian berkelompok tersusun sirsinar, kadang-kadang di

sekitarnya terdapat skuama halus. Tempat predileksi pada dada, perut, punggung

dan daerah sacrum. Perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan dan residif, jika

sembuh tidak meninggalkan sikatriks.

B. Bentuk Granuloma dan ulseronodulus

1. Eritema nodusum

Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada ekstremitas

bagian ekstensor. Diatasnya terdapat eritema. Banyak penyakit yang juga dapat

memberi gambaran klinis sebagai E.N., yang sering: lepra sebagai eritema

nodusum leprosum, reaksi id karena Streptococcus B Hemolyticus, alergi obat

secara sistemik, dan demam reumatik.


2. Eritema induratum

Eritema induratum adalah suatu peradangan kronis dari pembuluh darah

arteri dan vena bersifat jinak, dan disertai nekrosis lemak. Kelainan kulit berupa

nodus-nodus indolen. Tempat predileksinya pada daerah fleksor. Terjadi supurasi

sehingga terbentuk ulkus-ulkus. Kadang-kadang tidak mengalami supurasi, tetapi

regresi sehingga terjadi hipotrofi berupa lekukan-lekukan. Perjalanan penyakit

kronik residif.

7. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Diagnosis TB kutis

Diagnosis pada tuberculosis kutis dapat ditegakkan berdasarkan

anamnesis, gambaran klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan histopatologi dan

pemeriksaan bakteriologik.

1. Pemeriksaan bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik penting untuk mengetahui penyebabnya.

Pemeriksaan bakteriologik menggunakan bahan berupa pus. Pemeriksaan

bakteriologik yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan BTA, kultur dan

PCR. Pemeriksaan BTA dengan menggunakan pewarnaan Ziehl Neelson

mendeteksi kurang lebih 10.000 basil per mL. Pada pemeriksaan PCR

(Polymerase Chain Reaction) dapat juga digunakan untuk mendeteksi M.

tuberculosis. Pemeriksaan kultur menggunakan medium non sekeltif

(Lowenstein-Jensen), tetapi hasilnya memerlukan waktu yang lama karena M.

tuberculosis butuh waktu 3 4 minggu untuk berkembang biak.

2. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi penting untuk menegakkan diagnosis. Pada

gambaran histopatologi tampak radang kronik dan jaringan nekrotik mulai dari

lapisan dermis sampai subkutis tempat ulkus terbentuk. Jaringan yang mengalami

nekrosis kaseosa oleh sel sel epitel dan sel sel Datia Langhans.

3. Tes Tuberkulin (Tes Mantoux)

Diagnosis pasti tuberculosis kutis tidak dapat ditegakkan berdasarkan tes

tuberculin yang positif karena tes ini hanya menunjukkan bahwa penderita pernah

terinfeksi tuberculosis tetapi tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut

masih berlangsung aktif atau telah berlalu.

4. LED

Pada tuberkulosis kutis, LED mengalami peningkatan tetapi LED ini

lebih penting untuk pengamatan obat daripada untuk membantu menegakkan

diagnosis.

8. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Pengobatan TB kutis

Terapi dengan obat antituberkulosis

Prinsip Pengobatan dan tuberkulosis kutis sama dengan pengobatan

tuberkulosis paru. Untuk mencapai hasil yang baik hendakknya diperhatikan

syarat sebagai berikut :

a. Pengobatan harus dilakukan secara teratur tanpa terputus agar tidak terjadi
resistensi.
b. Pengobatan harus dalam kombinasi, dan dalam kombinasi, dan dalam
kombinasi tersebut disertakan INH karena obat tersebut bersifat bakterisidal.
c. Keadaan umum diperbaiki.

Obat antituberkulosis ada 2 macam, bersifat bakterisidal dan

bakteriostatik. Obat yang bakterisidal adalah INH, rifampisin, pirazinamid, dan

streptomisin, sedangkan lainnya bersifat bakteriostatik. Rifampisin dan isoniazid

disebut bersifat bakterisidal lengkap karena obat tersebut dapat memasuki seluruh

populasi kuman, sedangkan pirazinamid dan streptomisin hanya dapat memasuki

seluruh populasi kuman, sedangkan pirazinamid dan streptomisin hanya dapat

bekerja dalam lingkungan tertentu, pirazinamid bekerja dalam lingkungan asam

sedangkan streptomisin hanya bekerja dalam lingkungan basa.

Pada pengobatan tuberkulosis terdapat 2 tahapan yaitu tahapan awal

(intensif) dan tahapan lanjutan. Tujuan tahapan awal adalah untuk membunuh

kuman yang aktif membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan

obat yang bersifat bakterisidal. Tahapan lanjutan adalah melalui kegiatan

sterilisasai membunuh kuman yang tumbuh lambat.

Selama fase intensif biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan

jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi

dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan

menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.

Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu

yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat untuk membersikan sisa-sisa kuman dan

kekambuhan. Pada pasien dengan sputum BTA positif ada resiko terjadinya

resistensi selektif. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase

lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif karena jumlah

bakteri dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan awal dengan 3 obat dan fase lanjutan
dengan 2 obat untuk fase lanjutan biasanya sudah memadai. Pada pasien yang

sudah diobati ada resiko terjadinya resistensi.

Panduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat

untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 diantara obat yang

diberikan haruslah yang masih selektif. Pengobatan standar dengan INH,

Rifampisin dan Pirazinamid dapat diberikan pada wanita hamil dan menyusui,

dianjurkan pemberian piridoksin. Streptomisin tidak boleh diberikan.

Pada TBC ekstra paru dapat diberikan pengobatan TBC kategori 1 yaitu

(2 HRZE/4 HR). Fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB,

Rifampisin 10mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan etambutol 15mg/kgBB.

Diikuti fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk

tuberkulosis paru dan ektra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan

tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan

resistensi terhadap INH.

Beberapa regimen lain dapat diberikan misalnya kombinasi 3 obat INH,

Rifampisin dan pirazinamid. Setelah 2 bulan pirazinamid dihentikan dan obat lain

diteruskan, regimen ini sangat poten. Karena ketiga obat tersebut bersifat

hepatotoksik, maka sebelum pengobatan dimulai diperiksa dulu fungsi hepar

(SGOT,SGPT, dan fosfatase alkali). Dua minggu sesudah terapi diulangi,

biasanya meninggi. Bila tetap atau menurun pengobatan dilanjutkan. Akan tetapi

jika meningkat, pirazinamid dihentikan dan rifampisin diberikan selama 2 kali

dengan dosis 600mg setiap kali pemberian. Regimen lain adalah kombinasi antara

INH dan rifampisin dan etambutol yang diberikan selama 2 bulan, dilanjutkan

dengan INH dan rifampisin.


Untuk mikobakterium atipikal seperti M.Scofuloceum, selain obat-

obatan yang telah disebutkan dapat diberikan inosiklin 2x100mg, tetrasiklin atau

eritromisin 4 atau 3 kali 500mg. Doksisiklin 2x100mg, kotrimoksasol dan

rifampisin digabung dengan INH serta amikasin.

Pengobatan pada anak dapat dibedakan berdasarkan kelompok klinis.

Pada anak dari segala usia yang tidak menunjukkan gejala penyakit dan diketahui

telah mempunyai infeksi tuberkulosis primer, tujuan pengobatan adalah

menyingkirkan penyebaran lesi dan membunuh kuman pada fokus primer serta

kelenjar getah bening yang terkait dengan kompleks primer.

Pengobatan terdiri dari Isoniasid 5mg/kgBB 1x sehari selama minimal 6

bulan. Mungkin dapat juga ditemukan anak tanpa tanda penyakit akan tetapi

reaksi tuberkulin positif kuat kebanyakan anak tersebut terkena infeksi primer

dibawah usia 5 tahun, kebanyakan para ahli berpendapat untuk mengobati dengan

INH saja, sehingga resiko penularan melalui darah lebih kecil.

Terapi Pembedahan

Pengobatan bedah pada tuberculosis kutis adalah terbatas. Lesi

hyperkeratosis dan verrukosa seperti lupus vulgaris dan tuberculosis verukosa

kutis diterapi dengan electrosurgery, cryosurgery, dan kuretase dengan

electrodesiccation sebagai terapi tambahan dan terapi farmakologi sebagai terapi

primer.

Terapi Non Medika Mentosa

Edukasi yang perlu disampaikan kepada pasien :

1. Bahwa pengobatan penyakit ini dalam jangka waktu lama, dan kemungkinan
efek samping dari pengobatan.
2. Pasien dianjurkan untuk minum obat secara teratur dan kontrol teratur setiap
bulan jika obat habis selama jangka waktu pengobatan
3. Menjaga hygene peroral.

Studi Klinis Mengenai Tuberkulosis Kutis Pada Rumah Sakit Tersier


Di Andhra Pradesh, India

ABSTRACT
Background: Cutaneous tuberculosis constitutes 1.5% of extra pulmonary tuberculosis and the
disease continues to be a challenging one because of its multifaceted presentation. The present
study was done to document the most common type of cutaneous tuberculosis, atypical
presentations if any and response to directly observed therapy short course (DOTS).
Methods: All patients with clinically suspected cutaneous tuberculosis attending outpatient
department of dermatology in our hospital from October 2012 to April 2016 were included in the
study. A detailed history of presenting illness and thorough general, systemic and cutaneous
examination was carried out along with documentation of demographic details. Routine blood
invetigations, biopsy and mantoux test were done. Diagnosed cases were treated with DOTS.
Results: A total of 25 cases of cutaneous tuberculosis were included in the study. Most common
type of cutaneous tuberculosis was lupus vulgaris. Atypical presentations noted during the study
were multifocal lupus vulgaris (LV), co-existence of tuberculosis verrucosa cutis (TVC) and LV, TVC
of lower lip, erythema induratum of bazin presenting as annular plaque in one case and as
erythema nodosum in another case. DOTS were effective in majority of the patients.
Conclusions: Cutaneous tuberculosis is multifaceted. High clinical suspicion is necessary in rare
presentations. Coexistence of two or more morphological patterns can occur. Doubtful cases, 5-
6weeks of therapeutic trail helps. Adequate dose is essential for good response. Second line
drugs are to be considered in case of failure /clinical resistance.
Keywords: Cutaneous tuberculosis, Multifocal tuberculosis, Atypical presentations, Erythema
induratum of bazin, DOTS

PENGANTAR
Tuberkulosis adalah penyakit yang sudah lama, dengan bukti penyakit yang
ditemukan di mumi Peru dan dalam kerangka dari 300 SM. Secara global 9,6 juta
kasus tuberkulosis baru terdeteksi pada tahun 2014 dan 1,3 juta kematian
disebabkan oleh penyakit ini.1 Tuberkulosis biasanya dianggap sebagai penyakit
kemiskinan karena 94% kasus terjadi di negara-negara dengan status sosial
ekonomi rendah. Meskipun kejadiannya telah turun sampai 0,1% bahkan di
negara-negara berkembang, penyakit ini terus menjadi hebat karena koinfeksi
HIV-AIDS, resistansi obat-obatan dan presentasi atipikal .2,3 Penelitian saat ini
dilakukan untuk mendokumentasikan jenis tuberkulosis kutis yang paling umum,
presentasi atipikal jika ada dan respons terhadap terapi singkat langsung yang
diobservasi (DOTS).

METODE
Semua pasien dengan klinis TB kutis yang dicurigai, melakukan rawat jalan pada
bagian kulit di rumah sakit kami dari Oktober 2012 sampai April 2016
dimasukkan dalam penelitian ini. Riwayat rinci tentang penyakit dan pemeriksaan
menyeluruh, sistemik dan kutis dilakukan bersamaan dengan dokumentasi rincian
demografis. Pemeriksaan darah rutin, enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) untuk HIV, rontgen thoraks, uji mantoux dan biopsi dilakukan pada
semua kasus. Pemeriksaan sputum untuk basil asam cepat (AFB), sitologi aspirasi
jarum halus dari kelenjar getah bening dan tes radiologis lainnya dilakukan pada
kasus yang relevan. Kasus yang didiagnosis diberikan DOTS untuk jangka waktu
6 bulan dan respon dinilai pada 6 minggu dan akhir terapi, efek samping juga
dicatat selama masa pengobatan.

HASIL
Sebanyak 25 kasus tuberkulosis kutis dimasukkan dalam penelitian ini. Rasio pria
terhadap wanita dalam penelitian kami adalah 1,5: 1. Kelompok umur populasi
penelitian berkisar antara 5-40 tahun dengan usia rata-rata 25 tahun 6 bulan.
Bagian yang paling sering dilibatkan adalah anggota badan bagian bawah yang
terlihat pada 13 kasus [52%]. Jenis tuberkulosis kutis yang paling umum adalah
lupus vulgaris yang terlihat pada 11 kasus (44%) dan yang paling sedikit adalah
eritema induratum bazin yang dilihat pada 2 kasus (8%), rincian diberikan pada
Tabel 1.

Berhubungan dengan HIV ditemukan dalam 3 kasus (12%). Presentasi atipikal


yang dicatat selama penelitian ini adalah multifokal lupus vulgaris (LV),
koeksistensi tuberkulosis verrucosa cutis (TVC) dan LV, TVC dari bibir bawah,
eritema induratum bazin (EIB) yang hadir sebagai plak annular dalam satu kasus
dan sebagai eritema nodosum dalam kasus lain seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 1-5. Mantoux positif pada 84,2% kasus dan histopatologi khas terlihat
pada 90% kasus. Tabel 2 menunjukkan rincian investigasi laboratorium populasi
penelitian. DOTS efektif dalam semua kasus kecuali pada 2 (8%) pasien dan
jerawat truncal diamati pada 2 (8%) pasien seperti yang ditunjukkan pada Gambar
6 dan 7.
DISKUSI

Tuberkulosis kutis menunjukkan kejadian yang lebih tinggi pada pria dalam
penelitian kami yang serupa dengan sebagian besar penelitian di India. 4-6 Hal ini
dapat dikaitkan dengan risiko cedera yang lebih tinggi pada pria, karena banyak
pasien kami terlibat dalam pekerjaan berat manual. Sebagian besar pasien berada
di dekade kedua mereka, serupa dengan yang diamati pada penelitian India
lainnya.6,7 Jenis klinis tuberkulosis kutis yang paling umum dalam penelitian kami
adalah lupus vulgaris [44%], ini serupa dengan beberapa penelitian.5, 6,8 Namun
beberapa studi India lainnya ditemukan scrofuloderma sebagai jenis yang paling
umum dan Tabel 3 menunjukkan rinciannya.7,9,10
Kami menemukan anggota tubuh yang lebih rendah sebagai situs yang paling
sering dilibatkan, juga diketahui oleh beberapa pengarang. 6,8 Kejadian TB kutis
yang tinggi pada kaki di India dapat terjadi. Dijelaskan oleh re-inokulasi basil
tuberkulosis melalui trauma ringan, terutama saat jongkok. Tuberkulosis kutis
sebelumnya dikutip oleh Pillsbury, Shelly dan Kligman sebagai "di kulit
tuberkulosis muncul dalam berbagai bentuk yang menakjubkan" . 11 Sejalan
dengan itu, kami mengamati berbagai presentasi atipikal selama penelitian kami.
Lupus vulgaris multifokal terlihat pada pria berusia 40 tahun, hanya ada sedikit
laporan tentang penyakit multifokal dalam literatur. 12,13 Keterlibatan multifokal
sebagian besar terlihat pada pasien yang tidak divaksinasi dan kurang gizi dan
biasanya memiliki tes mantoux negatif. Ada beberapa laporan tentang
koeksistensi tuberkulosis yang berbeda pada orang yang sama dengan kombinasi
TVC dan scrofuloderma [SFD] yang paling sering dilaporkan termasuk penelitian
kami.14,15 Studi imunohistologis granuloma pada tuberkulosis kutis telah
menunjukkan spektrum perubahan yang dibuktikan oleh Rasio CD4 CD8, yaitu
LV dengan kekebalan yang kuat, TVC dengan kekebalan antara dan SFD dengan
kekebalan tingkat rendah.16 Bergantung pada tingkat imunitas pada seseorang
selama periode waktu tertentu, mungkin ada jenis tuberkulosis kulit yang berbeda.
Alasan lain yang mungkin terjadi adalah, TVC dapat berkembang dari inokulasi
bakteri basil dari tuberkulosis kutis yang berdekatan dengan SFD. Kami
menemukan TVC bibir bawah pada wanita berusia 40 tahun yang merupakan
bagian yang jarang ditemukan, beberapa bagian yang jarang yang telah
dilaporkan dalam literatur adalah jari, dan lain-lain.17,18 EIB secara klinis
menyerupai eritema nodosum dalam satu kasus. Observasi serupa dilakukan oleh
Maharaja dkk dalam studinya tentang ciri klinisokopologis dari nodul tender
eritematosa yang secara dominan melibatkan ekstremitas, di mana kelainan
histologis eritema nodosum terlihat pada 8 kasus [total 30 kasus] dan di antaranya
3 kasus menunjukkan adanya EIB.19 Presentasi EIB lain yang tidak lazim dicatat
dalam penelitian kami adalah plak annular besar di atas paha pada pria berusia 25
tahun. Jadi, EIB mungkin tidak selalu hadir seperti yang digambarkan secara
klasik (nodul ulserasi pada betis), histopatologi inilah yang membantu dalam
diagnosis dan diferensiasi definitif. Mantoux positif terlihat pada 84,2% kasus, ini
sebanding dengan studi Binod kumar dkk, hasil yang berbeda terlihat pada
penelitian lain, rincian yang diberikan pada Tabel 4.7,8,20
Perubahan histopatologis yang khas terlihat pada 90% kasus yang serupa dengan
penelitian India lainnya.20 Durasi terapi antituberkulosis [ATT] untuk tuberkulosis
kutaneus berkisar antara 6-12 bulan pada penelitian yang berbeda. 20-22 Kami
menggunakan terapi DOTS yang diberikan selama 6 bulan. Dalam penelitian
Raghu Rama Rao dkk tentang terapi DOTS pada tuberkulosis kutis, khasiatnya
sebanding dengan kemoterapi kursus singkat harian standar dengan keuntungan
tambahan terhadap jumlah obat yang kurang, standar obat-obatan yang diberikan
di bawah pengawasan dan biaya perjalanan kurang. 21 Dia melakukan pengamatan
tidak ada kegagalan pengobatan atau efek samping yang signifikan dengan terapi
DOTS di studinya.21 Sebaliknya, kami mengamati kegagalan pengobatan pada 8%
kasus dan efek samping ringan seperti jerawat truncal pada 8%, rincian yang
diberikan pada Tabel 5. Durasi percobaan terapeutik pada kasus dugaan
tuberkulosis kutis adalah 5-6 minggu, dengan kecuali tuberkulosis dan pasien
yang menunjukkan aktivitas klinis minimal sebelum perawatan. Diagnosis
digunakan untuk ditinjau ulang pada pasien yang tidak merespons saat ini. Tapi
dengan munculnya tuberkulosis multi drug resistant (MDT), pendekatan ini tidak
dibenarkan. TB tuberkulosis MDR harus selalu diingat dalam pengelolaan pasien
dengan kurangnya respons klinis terhadap obat ATT lini pertama atau pada pasien
yang menunjukkan kemerosotan klinis bahkan pada saat ATT. Diagnosis
tuberkulosis MDR sulit karena tingkat isolasi yang buruk dan sensitivitas tes
diagnostik molekuler yang rendah. Jadi, selalu dibenarkan untuk memberikan
percobaan ATT lini kedua setidaknya dua bulan sebelum memberi label pada
pasien yang tidak responsif terhadap terapi.23 Kami memiliki satu pasien dengan
tinggi badan (tinggi 6 kaki, berat badan 120 kg) berusia 40 tahun dengan biopsi
yang dikonfirmasi scrofuloderma yang tidak menanggapi dosis rutin ATT [AKT-4
kit] bahkan setelah 5 minggu menjalani terapi, berpikir dalam hal resistansi obat
sebelum memulai agen lini kedua kami memberinya agen garis pertama yang
menyesuaikan berat badan per kgnya. Dalam waktu 2 minggu naikkan dosis
pasien, seperti yang disajikan pada Gambar 8. Oleh karena itu, dosis obat yang
memadai disesuaikan dengan berat badan per kg seseorang. juga paling penting
sebelum mempertimbangkan diagnosis alternatif atau resistansi obat.
Untuk

menyimpulkan, tuberkulosis kutis multifaset. Kecurigaan klinis yang tinggi


diperlukan dalam presentasi yang jarang terjadi. Koeksistensi dua atau lebih pola
morfologi dapat terjadi. Dalam kasus yang meragukan, 5-6 minggu jejak
terapeutik membantu. Dosis yang cukup penting untuk respon yang baik. Obat
lini kedua harus dipertimbangkan jika terjadi kegagalan / resistensi klinis.

Anda mungkin juga menyukai