Anda di halaman 1dari 76

DAFTAR - ISI

BAB .I : PENGANTAR

1. Keadaan Alam di India

2. Ciri-Ciri Umum dari Alam Fikiran India

3. Beberapa dakwaan yang dituduhkan pada Filsafat India

4. Nilai dari Studi yang ditujukan pada Filsafat India

5. Berbagai Periode di dalam Perkembangan Alam Fikiran India

BAB. II : PENUTUP KATA

6. Perkembangan Filsafat

7. Kesatuan dari Semua System

8. Kemunduran Filsafat di Hari-hari Belakangan

9. Keadaan Sekarang

Corak umum Filsafat India Keadaan alam di India Banyaknya perhatian akan hal-hal di lapangan
intelektual - Kepribadian Filsafat India Pengaruh dari Barat Corak Kejiwaan/Kerohanian di dalam
alam fikiran India Hubungan yang erat antara filsafat dengan hidup seseorang dan Agama Tekanan
pada subyektivitet Dasar Psychologis dari Metaphysica Apa yang dicapai oleh India dalam lapangan
Ilmu Pengetahuan yang positif Synthesis teoritis dan analysa Ilmiah Timur Sedang merenung
Idealisme yang Monistis Bentuk yang bermaam-macam dari Idealisme yang Monistis, yaitu Non
Dualisme, Minisme murni, Monisme yang tidak murni (modified) dan Monisme yagn tidak dinyatakan
(Implicit) Tuhan yagn didasarkan atas intuisi Darsjan syarat-syarat yang diajukan oleh Syamkara
bagi mereka yagn hendak mempelajari Filsafat Conservatisme yang construtif di dalam alam fikiran
India Persesuaian dan kontinuitit (kelangsungan) yagn terdapat di dalam alam fikiran Inida Meninjau
dakwaan-dakwaan yang ditutudkan pada Filsafat India seperti misalnya pessimisme, dogmatisme, sikap
acuh tak acuh terhadap Ethica dan corak yang tidak progresif Bernilaianya studi yang ditujukan pada
Filsafat India Mengapa kita mempergunakan istilah Filsafat India Methode Historis Kesulitan
dalam menetapkan urut-urutan menurut waktu (Chronologi) - Berbagai periode di dalam perkembangan
Alam Fikiran India Hal-hal yang berhubungan dengan Weda, Cerita-cerita kepahlawanan, systimatik
dan scholastik Buku-buku Sejarah Filsafat India sebagaimana ditulis oleh Pengarang-pengarang India.

1. KEADAAN ALAM DI INDIA

Syarat pertama yang diperlukan oleh Filsafat untuk berkembang, dan diperlukan oleh kesenian serta ilmu
pengetahuan untuk berbunga, adalah adanya masyarakat yang berdiri kukuh, yang dapat menjamin
keamanan serta ketenangan hidup. Tidak mungkin ada kebudayaan yang beranekaragam, apabila anggota-
anggota masyarakatnya masih mengembara untuk berjuang bagi hidupnya, dan mati karena kelaparan.
Dewi nasib telah menempatkan India pada bagian permukaan bumi, di mana alam membagi-bagikan
kekayaannya dengan leluasa, dan dimana segi-segi penghidupan memberikan harapan-harapan yang
menyenangkan.

Untuk waktu yang lama, Pegunungan Himalaya yang menjulang tinggi dan membujur panja g di sebelah
sana, serta lautan luas yang mendampingi pantai di sebelah sini, telah membantu India dalam menolak
serangan/serbuan dari luar/ Alam yagn dermawan memberi makanan yang berlimpah-limpah, sehingga
penduduknya tidak usah bekerja mati-matian, dan tidak usah berjuang untuk hidup. Tidak pernah
dirasakan oleh orang India bahwa dunia itu merupakan pusat pertengkaran, dimana orang berebutan
kekuasaan, kekayaan dan pengaruh. Bilama orang sudah tidak perlu memaksa sumber sumber-sumber
alamnya untuk memberikan hasil yang sebesar-besarnya dan tidak perlu berusaha untuk mengimbangi
kekuatan-kekuatan/kekuasaan-kekuasaan di bumi ini, maka ia lalu mulai memikirkan tentagn cara hidup
yang bertingkat lebih tinggi, yaitu suatu cara hidup yang lebih didasarkan atas kerohanian/kejiwaan.
Barangkali juga iklim yang Memenatkan (enervating) itu, sedikit banyak telah ikut mendorong orang
India untuk menghindari keramaian hidup, dan mencari tempat untuk beristirahat. Hutan belukar dengan
lorong-lorongnya yang luas dan teduh, memberi kesempatan banyak kepada Jiwa-Jiwa yagn salah
untuk mengembara di situ dengan hati yang tenang, untuk memimpikan hal-hal yang aneh-aneh, dan
untuk menyanyikan lagu-lag yang riang gembira. Mereka yang sudah bosan akan keramaian hidup
mengadakan semacam perjalanan Jemaah Haji (pilgrimage) ke tempat-tempat yang demikian itu, untuk
memperoleh rasa tenang di dalam sanubarinya, dengan mengalihkan perhatiannya keapda menderunya
angin dan gemerciknya air yang menetes, mendengar musik-musik indah yang dinyanyikan oleh daun-
daun, sehingga akhirnya dapat pulih kembali hati mereka dan segar kembali jiwa mereka. Dan tempat-
tempat yang dipakai oleh pera perenung India dalam bersamadi untuk memikirkan soal-soal hidup secara
mendalam adalah yang di dalam bahasa kami disebut Asjrama-asjrama dan Teponawa-teponawa
atau tempat-tempat bertapa di dalam hutan. Yang ikut mendorong orang India untuk menyelenggarakan
ara hidup yang bertingkat lebih tinggi itu adalah :

1. Adanya ketentraman di dalam hidup.

2. Adanya kekayaan akan sumber-sumber alam.

3. Terhindarnya orang-orang India dari kegelisahan-kegelisahan batin, dan

4. Adanya rasa acuh-tak acuh terhadap kenikmatan-kenikmatan di dalam hidup.

Hal ini menyebabkan bahwa sejak permulaan Sejarah India, di sna terdapat :

1. Sikap jiwa yang tidak mau bertawakal.

2. Cinta akan kebijaksanaan akal.

3. Nafsu besar dalam mengejar cita-cita tinggi dari akal.

Dengan adanya bantuand ari alam, dan adanya keleluasan intelek untuk merenungkan tentag kesulitan-
kesulitan yang dihadapi, orang India berhasil menghindari keruntuhan yang menurut Plato akan menimpa
mereka yang membenci akal. Katanya (Bacalah Phaedo) :

Ada satu hal yagn perlu sekali mendapat perhatian, yaitu janganlah kita sampai mendatangkan
kecelakaan besar dengan menjadi manusia yang membenci akal.

Kenikmatan yang dirasakan dalam memahami sesuatu, merupakan kemurnian batin yang paling luhur
yang pernah dapat dicapai oleh manusia. Dan nafsu orang India untuk memperoleh kemurnian itu,
menjiwai semangat yang menyala-nyala di dalam akalnya.

Di banyak negeri-negeri lain, orang-orang gyang memikirkan tentang Apakah hidup itu? Dan Apakah
yang dapat disebut ada/Berada, itu tergolong oang-orang yang melakukan pekerjaan mewah. Di negeri-
negeri itu, titik berat diletakkan pada perbuatan-perbuatan, sedang cita-cita filsafat hanya ditempatkan Di
antara kurung saja. Di India Kuno, Fiflsafat tidaklah dimaksudnkan untuk sekedar membantu sesuatu
cabang ilmu pengetahuan atau pun sesuatu cabang kesenian, melainkan senantiasa mempunyai kedudukan
penting sebagai Ilmu yang berdiri sendiri. Sebaliknya, di barat Malahan juga ketika Filsafat Barat
sedang mengalami masa semarak diwaktu mudanya, yaitu pda jaman Plato dan Aristoteles orang
lebih condong untuk mengatakan bahwa Filsafat adalah alat pembantu dalam mempelajari hal-hal lain,
seperti halnya dalam mempelajari politik atau pun Ethica. Pada jaman abad-abad pertengahan, Filsafat itu
merupakan theologi; bagi Bacon dan Newton, Filsafat adalah ilmu pengetahuan alam kodrat, sedang para
ahli fikir dari abad ke-19 menganggap Filsafat sebagai Sejarah, Politik dan Sosiologi. Di India, Filsafat
itu Berdiri di atas kakinya sendiri sedang ilmu-ilmu lainnya memandangnya sebagai sesuatu yang dapat
diharapkan akan memberikan ispirasi-inspirasi (ilham-ilham) serta kekuatan kepadanya. Di sini, Filssafat
merupakan ilmu pengetahuan induk yang memimpin ilmu-ilmu pengetahuan lainnya; dan tanpa Filsafat,
ilmu-ilmu pengetahuan ini dengan mudah akan menjadi kosong dan menjadi tertawaan orang banyak. n
mengenai Dewa/Tuhan yang abadi, yang menjadi dasar dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Di dalam
Mundaka Upanisad dikatakan tentang : Brahma-Widya atau ilmu pengetahuan,

Berkatalah Kautilya : Filsafat adalah lampu yang menerangi semua Ilmu Pengetahuan saja; Filsafat
adalah alat penjaga bagi segala macam kewajiban.

Oleh karena Filsafat itu adalah suatu usaha menusia untuk menelaah persoalan-persoalan mengenai alam
semesta, maka sebagai usaha manusia, Filsafat itu lalu juga terpengaruh oleh faktor-faktor kebangsaan
dan kebudayaan/peradaban. Masing-masing bangsa mempunyai cara berfikir dengan coraknya sendiri-
sendiri. Sejak berabad-abad di dalam sejarah, melewati pasang ssurutnya nasib yang pernah dialami oleh
India, dapatlah terlihat di sana adanya ciri-ciri yang sama, yaitu : Selalu nampak gejala-gejala/peristiwa-
peristiwa psycologis tertentu, yang secara turun temurun dan waris mewaris akan tetap menjadi tanda
chusus bagi rakyat India, selama mereka ini masih dianugerahi untuk menjalani hidup yang tersendiri.

Artinya Hidup tersendiri ialah bahwa mereka berkembang dengan cara yang tidak tergantung pada
pengaruh dari bangsa lain. Jadi tidak usah berarti : Berkembang dengan cara yang tidak sama dengan
bangsa lain. Sebab, secara mutlak, Ketidak samaan yang 100% itu tidak ada, tidak lain karena di
mana-mana saja (di bumi ini) menasia itu tetap sama, terutama kalau dilihat segi-segi kejiwaannya.
Adanya perbedaan-perbedaan kecil itu disebabkan karena bangsa yang satu dengan bangsa yang lain itu :

1. Berbeda lam usia.

2. Berbeda dalam sejarah, dan

3. Berbeda di dalam watak.

Dengan adanya perbedaan-perbedaan yang kecil ini, maka kebudayaan dunia lalu boleh dikata
bertambah kaya dan jalan yang ditempuh dalam mengejar perkembangan-perkembangan di lapangan
Filsafat itu sudah terang tidak lebih mudah daripada jalan mana saja yang memberi kemungkinan bagi
tercapainya hasil-hasil lain yang juga mempunyai arti bagi umat manusia. Sebelum kita kembali
membicarakan berbagai ciri-ciri khusus dari alam fikiran India, ada baiknya kiranya untuk menyapaikan
lebih dahulu kepada para pembaca, sepatah dua patah kata tentang pengaruh Barat terahdap alam fikiran
India.

Berulang-ulang orang menanyakan ya atau tidaknya serta sampai berapa jauhnya alam pikiran Idnia itu
mengoper ide-ide dri sumber-sumber asing, misalnya dari Yunani. Beberapa di antara pendapat-pendapat
yagn diajukan oleh ahli-ahli pikir India, menyamai ajaran-ajaran dari yunani Kuno sedemikian rupa
hingga siapa saja yang berkehendak mencurigai kemurniannya sesuatu system pikiran juga berasal dari
India, mudah saja dapat menuruti kehendaknya itu. Adalah suatu usaha yagn sia-sia belaka, untuk
menyelidiki apakah ada pertalian antara ide-ide dari India dan ide-ide dari Yunani Kuno. Adanya
persamaan-persamaan secara kebetulan itu, oleh mereka yang tak memihak dianggap sebagai suatu
pralelisme di dalam sejarah. Mungkin ada berbagai orang yang telah mengalami hal hal yang sama; dan
persamaan di dalam pengalaman ini sudah tentu dapat menimbulkan pandagan-pandangan. Pendapat-
pendaat yang sama pula. Tidak ada bukti-bukti yang nyata, untuk menunjukkan adanya pengoperan-
pengoperan langsung ide-ide Barat oleh orang-orang India. Uraian kami di bawah ini akan
memperlihatkan bahwa alam pikiran India berupa suatu usaha akal manusia yang tidak pernah kena
pengaruh dari luar. Di India persoalan-persoalan Filosofis didiskusikan tanpa ada pengaruh atau pun
pertalian dengan Barat. Meskipun sekali-sekali ada pergaulan antara India dan Barat, namun India telah
berkesempatan untuk mengembangkan cara hidupnya sendiri, Filsafatnya sendiri, dan agamanya sendiri,
sesuai dengan cita-citanya sendiri. Entah manakah tempat asal yang sebenarnya dari kaun Arya (Aryans)
yang datang ke semenanjung kami, tetapi yang tearng ialah bahwa mereka kemudian tidak lagi
berhubungan dengan keluarga-keluarga sedarah mereka di Barat atau pun di Utara, dan bahwa mereka
berkembang menurut lini-lini (garis-garis) mereka sendiri. Memang benar, bahwa India berulang-ulang
diserbu oleh musuh yang masuk ke daerah kami melalui tapal batas Barat Laut; tetapi selalu Iskandar
(Alexander), tidak ada di antara mereka yang telah berusaha untuk melancarkan hubungan kejiwaan
antara Barat dan Timur. Hanaya sejak hari-hari belakangan ini saja (yaitu setelah erbuka pintu-pintu
lautan) makin dipererat hubungan-hubungan yang akrab, yang hasil-hasilnya.akibat-akibatya dpat
dikatakan sekarang, karena hasil-hasil/akibat-akibat inimasih tenagh menjadi. Maka untuk praktisnya,
marilah kita sekarang memandang alam pikiran India sebagai suatu System yang tertutup atau suatu
pertumbuhan yangautonom.

Catatan Penulis :
Sudah cukup kalau diperhatikan di sini, bahwa di antara aliran-aliran kefilsafaan yang terdapat di India,
alairan Nyanya yang pertama nampak sesuai sekali dengan aliran partipatetis; aliran Nyaya yang kedua
(kadang-kadang disebut Waisyesika) adalah sesuai dengan kefilsafatan India; kedua aliran Mimamsa
(satu di antaranyasering disebut Wedanta) sesuai dengan kefilsafatan Plato; aliran Samkhya yang pertama
itu sesuai dengan aliran Italia (yaitu madzhab keagamaan dan kefilsafatan yagn didirikan oleh Pythagoras
di Italia bagian Selatan), dan aliran kedua dari Patanjali nampak sesuai dengan kefilsafatan kaum Stoa.
Dengan demikian maka Gautama itu dapat dikatakan sebanding dengan Aristoteles, Kanada sebanding
dengan Thales, jaimini dengan Socrates, Wyasa dengan Plato, Kapila dengan Pythagoras, dan Patanjali
dengan Zeno).

Banyak orang berpendapat bahwa alam pikiran Yunani telah kena pengaruh dari India,s edang sebaliknya
hanya sedikit orang yang mengemukakan bahwa alam pikiran India banyak dipengaruhi oleh Yunanni.

2. CIRI-CIRI UMUM DARI ALAM PIKIRAN INDIA

Pada hakekatnya, Filsafat India itu bersifat kejiwaan/kerohanian (spiritual). Dan yang memungkinkan
India sampai dapat bertahan terhadap serbuan-serbuan sepanjang waktu dan terhadap kejadian-kejadian
di luar perhitungan sepanjang Sejarah, adalah keteguhan jiwa/rohaninya, jadi bukanlah struktur
politiknya atau pun organisasi sosialnya. Berulang-ulang di dalam sejarah, serbuan-serbuan dari luar dan
percekcokan-percekcokan di antara kami dengan kami sendiri, hampir saja merusak kebudayaan India.
Orang-orang yang datang dari baik Yunani maupun dari Scythia, orang-orang Iran dan orang-orang
Mongol, Orang-orang Perancis dan orang-orang Ingris, berganti-ganti telah berdaya-upaya untuk
menindasnya, tetapi India tetap berdiri dengan tegak. Akhirnya ternyata bahwa India tidak dapat
ditaklukkan, dan semangatnya yan menyala-nyala sejak dahulukala, masih tetap berkobar sampai
sekarang. Sepanjang hidupnya, orang India itu selalu mengejar satu tujuan. Yaitu, mereka berjuang demi
kebenaran dengan menjauhi kesesatan. Mungkin kami telah membuat kesalahan-kesalahan besar, tetapi
apa yang kami lakukan itu sudah sesuai dengan kecakupan yang kami iliki. Sejarah alam pikiran India
menggambarkan penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh akal dengan tiada hentinya, yaitu
penyelidikan-penyelidikan yang ditujukan pada soal-soal yang tetap lama, tetapi sekaligus juga tetap baru.

Seluruh kehidupan di India dikuasai oleh cita-cita kerohanian/kejiwaan. Yang diperhatikan oleh Filsafat
India adalah tempat-tempat kedamaian yang tetap bagi manusia, jadi bukannya kesepian yang lebih
sunyi dariapda di bulan. Yang dijadikan titik permulaan dari Filsafat India adalah hidup, dan setelah
melewati berbagai-bagai madzhab/aliran, maka Filsafat ini dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Buah-buah karangan yang ternama mengenai Filsafat India itu tidak ditulis dengan sikap yang angkuh,
dan juga tidak memaksa secara mutlak para pembacanya untuk menurutinya. Jadi tidak seperti yan
banyak di usik-usik oleh kritik-kritik dan komentar-komentar di hari-hari belakangan. Berbiara tentang
Gita dan Upanisad-upanisad, tidak dapat dikatakan bahwa buah-buah karanganini adalah jauh dari
kepercayaan rakyat. Tulisan-tulisan tersebut tidak saja berupa bahan literatur yang tinggi nilainya, tetapi
sekaligus juga merupakan ?Kendaraan dari system-system pikiran yang besar dan hebat. Di dalam
Purana-purana terdapat kebenaran yang diberi bentuk Mythe dan cerita, dengan maksud supaya dengan
jalan demikian kebenarannya itu dapat dipahami oleh orang-orang banyak. Di India, suatu tugas yagn
sulit sekali, yaitu tugas untuk menarik perhatian khalayak ramai serta mengarahkan perhatian itu pada
metaphysica, sudah dapat terpenuhi.

Yang menjadi tujuan daripada peletak dasar-dasar Filsafat, adalah mengadakan pembaharuan-
pembaharuan di lapangan sosial dan kerohanian di dalam negeri. Bilamana kebudayaan India itu disebut
kebudayaan Brahmana, maka yangdimaksudkan hanyalah bahwa orak pokok dan alasan-alasan yang
dijadikan alat pendorong di situ berupa hasil-hasil ciptaan dari baik hali-ahli Filsafatnya maupun dari
pikiran yang religiuas, sedang pencipta-penciptanya sendiri bukan semuanya orang-orang yang menurut
kelahirannya tergolong kasta Brahmana. Ide Plato bahwa para ahli filsafat harus menjadi penguasa dan
pimpinan masyarakat, itu dipraktekkan di India. Di sini orang berpendapat bahwa kebenaran-kebenaran
yang terdalam (ultimate) berupa kebenaran-kebenaran yang terletak di bidang kerohanian/kejiwaan, dan
di dalam cahaya kebenaran-kebenaran kerohanian/kejiwaan ini, orang harus menuju ke kemurnian hidup
yagn sesungguhnya.

Keagamaan di India itu tidak didasarkan atas dogma-dogma, melainkan atas :

Sythesis-synthesis akal, di mana terus menerus dikumpulkan konsep-konsep baru, sesuai dengan
kemajuan-kemajuan di lapangan Filsafat. Keagamaan India banyak didasarkan atas experimnet-
experiment, sedang sifatnya hanyalah sementara saja; tidak lain karena di situ diusahakan supaya jalannya
dapat sejajar dengan kemajuan-kemajuan pikiran manusia.

Banyak dilancarkan kritik-kritik yang isinya begini :

Karena lama pikiran India menitik-beratkan pada intelek, maka Filsafar lalu menduduki tempat Agama.

Kritik-kritik ini menggambarkan coraka rationil yang terdapat di dalam keagamaan di India. Di India
belum pernah kami menjumpai gerakan keagamaan yagn tidak mengandung isi kefilsafatan; dan isi
kefilsafatan ini selalu dipelihara baik-baik dan diperkembangkan sebagai alat penguatnya. Berkatalah
Havell (Di dalam bukunya yang berjudul : Aryan Rule in India) :
DI India, Agama itu sukar dapat disebut dogma, melainkan berupa Hypothesis kerja dari tingkah laku
manusia, yang di sesuaikan dengan berbagai fase/tingka perkembangan jiwa dan dengan berbagai syarat-
syarat hidup.

Setiap usaha untuk mengkristalisasikan Agama menjadi sesuatu kepercayaan tertentu, pasti disusul
usaha-usaha menghidupkan kembali peninggalan-peninggalan lama yang bersifat kerokhanian.kejiwaan,
dan juga disusul dengan reaksi-reaksi filosofis yang melancarkan perang kritik untuk membela apa yang
benar dan menghantam apa yang salah. Sudah berulang-ulang dan juga untuk seterusnya, kai telah dan
akan menyaksikan, bahwa stiap kali apabila kepercayaan-kepercayaan yang tradisional itu pada sesuatu
saat sudak sesuai lagi, atau pun tidak lagi benar karena jamannya sudah berubah, maka lalu datanglah
bimbingan di dalam bentuk suatu pandangan dari seorang guru baru, entah Buddha, entah Mahawira,
Entah Wiyasa, entah Syamkara, yang kembali mengeduk bagian terdalam dari hidup
kejiwaan/kerohanian. Sudah terang ini merupakan saat-saat penting di dalam sejarah alam pikiran India,
yaitu saat-saat dimana dilakukan testing/ujian terhadap bagian terdalam dari diri manusia, saat-saat di
mana orang membalik matanya untuk memandang dirinya sendiri secara mendalam. Saat-saat di mana
jiwa manusia memulai pengembaraan-pengembaraan baru, atas desakan dari semangat yang
menyemburkan jalannya ke sisi yang larut, dan yang tidak diketahui darimana datngnya. Yang
menyebabkan ke-Agamaan di India dapat tetap hidup dan nyata Adalah : Adanya hubungan yang erat
antara kebenaran-kebenaran yang diakui dalam dalam Filsafat dan kehidupan sehari-hari dari rakyat
India.

Soal-soal keagamaan yang mengobarkan semangat di lapangan Filsafat. Secara tuun-temurun pikiran
orang India telah di arahkan pada soal soal mengenai :

1. Sifat-sifat Ketuhanan.

2. Akhir dari hidup.

3. Hubungan antara Jiwa/roh individual (perseorangan) dan jiwa universal.

Walau pun pada umumnya Filsafat India itu tidak terlepas 100% dari pertimbangan-pertimbanganpara
pemuda keagamaan, namun diskusi-diskusi kefilsafatan selalu diselenggrakan tanpa gangguan-gangguan
dari formalitet-formalitet keagamaan. Orang tidak pernah mencampur-adukan Agama dengan Fisafat.
Dan karena ada hubungan yang erat antara teori dan praktek, antara ajaran dan praktek hidup, maka :
Bagi kefilsafatan yang tidak tahan terhadap ujian-ujian di dalam praktek-hidup sehari-hari (tidak di
dalam arti yang pragmatis, melainkan di dalam arti yang lebih luas), tidak ada kemungkinan untuk tetap
berpengaruh.
Bagi mereka yang menyadari pertalian darah yang sebenarnya antara praktek hidup dan teori, maka
filsafat dijadikan pegangan hidup dan dipraktekkan dengan suatu cara hidup yang ditujukan untuk
melaksanakan keinginan-keinginan di dalam lapangan kejiwaan/kerohanian. Tidak pernah ada sesuatu
ajaran (ajaran-ajaran di dalam Samkhya-pun tidak) yang hanya tetap berupa kta-kata indah atau pun
dogma sesuatu madzhab saja. Setiap ajaran telah meresp sebagai keyakinan di dalam jiwa,
menggerakan hati manusia dan memperepat berdebar-debarnya jantung.

Tidaklah benar, kalau orang mengatakan bahwa Filsafat di India tidak pernah menyadari dirinya, atau pun
tidak pernah menapai tingkat yang kritis, pun pada fase-fase permulaan, renungan-renungan akal sudah
ditujukan untuk mengoreksi keperayaan yagn dicapai dengan jalan keagamaan. Ikutilah kemajuan-
kemajuan Agma sebagaimana dapat disaksikan di dalam proses perkembangan dari nyanyian-nyanyian
pujaan Weda sampai lahirnya Upanisad-upanisad. Kemudian seaktu kami menginjak jaman Bduddhisme,
semangat yang menyala-nyala di dalam lapangan Filsafat itu sudah mempunyai bentuk tertentu, yaitu
sudah menjadi suatu sikap akal (attitude of mind) yang dalam menghadapi hal-hal yang bercorak
intelektual tidak mau mendengarkan perimbangan-pertimbangan pihak luar (bagaimana pun besarnya
juga kewibaan dari pihak luar itu), dan yang tidak mau mengakui adanya batasan-batasan di dalam
lapangan kerjanya; kecuali apabila batasan-batasan itu merupakan hasil-hasil penyelidikan logika yang
dilakukan secara mendalam, yang menguji segala sesuatu, dan yang mengikuti jalan pikiran ke manapun
juga tanpa takut-takut. Setelah India memperoleh beragai darsjana atau system-system pikiran orang
dapat menarik konklusi adanya usaha yang keras dan terus-menerus , untuk berpikir secara systimatis.

System-system tersebut sama sekali lepas dari faktor-faktor keagamaan yang tradisional, dan juga terlepas
dari purbasangka-purbasangka.

Buktinya : Di dalam Samkhya, tidak disebut-sebut tentang adanya Tuhan, dan juga diyakini bahwa hal
itu tidak dapat dibuktikan seara teoritis.

Di dalam Wisjesika dan Yoga diterima danya makhluk yang tertinggi, tetapi makhluk ini tidak dianggap
sebagai pencipta dari alam semesta. Dan bilamana Jaimini menunjuk pada Tuhan, maka itu hanya
dimaksudkan untuk menyangkal adanya pimpinan dari Tuhan, dan untuk menyangkal bahwa Tuhan
menguasai dan menetapkan tata susila di dunia ini. Sudah terkenal bahwa system-system Buddhisme
yang dulu-duu, sama sekali acuh tak acuh terhadap Tuhan. Ada orang-orang yang materialistis, yaitu
kaum Carwaka, yang menyangkal adanya Tuhan, menertawakan para pendeta, mencemooh Weda-Weda
dan mencari kebahagiaan di dalam kesenangan-kesenenangan.
Meskipun agama dan tradisi-tradisi sosial memegang peranan utama di dalam hidup, namun itu tidak
mengganggu penyelidikan-penyelidikan Filsafat, yang dilakukan dengan bebas. Ada suatu hal yang
berupa paradox yagn aneh, tetapi namun demikian toh jelas-jelas meruakan suatu kebenaran, yaitu :
Walau pun hidup sosail dari seorang individu itu masih terikat pada pembedaan-pemebedaan yang
diadakan antara kasta yang satu dengan kasta yang lain, namun orangnya sendiri masih bebas untuk
mengikuti pendapatnya pribadi.

Seara bebas dan leluasa, akal orang India dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mengkritik
kepercayaan-kepercayaan yang mengurung manusia sejak ia dilahirkan. Inilah sebabnya mengapa di India
pikiran-pikiran yang menyimpang dari keagamaan yang berpengaruh, pikiran-pikiran yang sceptis,
pikiran-pikiran yang menentang keagaam, pikiran-pikiran yang rasionalistis, pikiran-pikiran yang
menetang kepercayaan-keprcayaan yang dogamtis, itu semuanya dapat tumbuh dengan suburnya.
Menurut Mahabharata : Masing-masing MUNI pasti mempunyai pendapatnya sendiri-sendiri.

Semuanya ini menunjukkan bahwa akal orang India mempunyai corak intelektual yang kuat, yaitu sejenis
akal yang berusaha mengetahui kebenaran yang sedalam-dalamnya serta semua segi kegiatan-kegiatan
manusia. Dorongan yang intelektuil ini tidak hanya berbatas pada Filsafat dan Theologi saja, teteapi juga
melebar sampai di lapangan-lapangan Logica an Gramatica, rhetorica 9ilmu pidato) dan bahasa
kedokteran dan astronimo; pada kenyataannya malahan sampai di semua lapangan kesenian dan ilmiah,
dari ilmu bangun-bangunan (architecture) sampai ilmu hewan. Segala apa saja yagn bermanfaat bagi
hdiup atau menarik bagi akal, dijakdikan obyek dari penyeledikian dan kritik. Anda akan memmpunyai
sekedar bayangan betapa luasnya hidup keintelektualan di India itu, bila mana anda mempunyai
gambaran bahwa pun untuk hal-hal yang keil-kecil seperti misalnya hal memelihara kuda dan melatih
gajah, itu ada SASTRA-SASTRANYA dan literaturnya sendiri.

Usaha Filsafat untuk menetapkan sifat-sifat dari apa yan dinamakan Kenyataan itu ada yang dimulai
dengan berpokok pangkal pada DIRI YANG BERFIKIR dan ada pula yang dimuali dengan berpokok
pangkal pada OBYEK_OBYEK PIKIRAN. Kalai tindajauannya sedang diarahkan kelaur (artinya di
luar diri manusia), maka yang dijadikan obyek pikiran adalah kejadian-kejadian yang datang dan lalu di
dalam waktu yang singkat dan di dalam jumlah yang banyak. Di dalam Atmanam Widdhi atau
Kenalilah diri kita Disebutkan dengan singkat :

Apa yang merupakan hukum, dan juga disebut Nanam-nama para Nabi. Di dalam diri manusia terdapat
jiwa yang menjadi pusat dari segala sesuatu. Psykchologi an Ethica meerupakan ilmu-ilmu pengetahuan
yang pokok. Digambarkan bermacam-macam bentuk dari cara hidup yang berdasarkan akal, dengan
varietet-varietetnya yang serba dynamis, dan dengan sisi-sisinya yang terang serta sisi-sisinya yang
gelap.

Psychologi India menyadari : Bernilainya pemusatan pikiran (concentration), dan ini dianggap
merupakan alat untuk menangkap kebenaran. Ada kepercayaan bahwa segala macam tingkat hidup atau
pun tingkat pikiran itu dapat diapai dengan jalan melatih secara methodis kehendak serta pengtehauan
manusia.

Psychologi tersebut mengakui adanya hubungan yan erat antara rohani dan jasmani. Pengalaman-
penagalaman psychis seperti di dalam telepathi dan di dalam memperoleh penglihatan tanpa
mempergunakan pancaindra (Clairvoyance; Halderziendhied), tidak dianggap sebagai hal-hal yang
abnormal atau pun hal-hal yang ajaib. Itu bukan akibat sakitnya akal dan juga bukan ilham yang diberikan
oleh Tuhan, melainkan itu merupakan kekuatan-kekuatan yang dapat dimiliki oleh akal manusia setelah
memenuhi syarat-syarat tertentu; dan syarat-syarat ini telah ditetapkan dengan seksama.

Akal manusia itu mempunyai tiga aspek, dan sesuatu pengetahuan itu dapat :

1. Menyelam di bawah kesadaran.

2. Di sadari (Consciousness), atau

3. Dapat berlomba di atas kesadara (superconsciousness).

Peristiwa-peristiwa psychis yang dikatakan abnormal, yaitu yang disebut dengan istilah-istilah keadaan
bahagia dan terharu yang berlebih-lebihan (ecstasy), Kepandaian yang luas biasa (Genius), Inspirasi
keadaan gila, itu semuanya adalah hasil/akibat dari bekerjanya akal di dalam wilayah yang berada di
atas kesadaran. System kefilsafatan Yoga terutama memperhatikan pengelaman-pengalaman seperti ini,
sedang system-system lainnya sering menunjukkan pada pengalaman-pengalaman itu untuk dipergunakan
bagi kepentingannya sendiri.

Bagian-bagian (sschema-schema) di dalam Metaphysica, itu didasarkan atas materi (bahan) yang
diberikan oleh ilmu psychologi. Kritik-kritik yang dilemparkan pada Metaphysica Barat, bahwa
Metaphysica Barat ini sifatnya berat sebelah karena hanya memperhatikan Keadaan bangun saja,
memang ada dasar-dasarnya pula ( yang bukan keadaan bangun), dan yang sama-sama berhak untuk
dijadikan bahan pertimbangan. Alam pikiran India memperhitungkan :

1. Bentuk-bentuk terjaga/bangun.

2. Keadaan bermimpi, dan


3. Keadaan tidur tanpa bermimpi.

Bilamana kira meninjau kesadaran di dalam keadaan bangun sebagai keseluruhan, maka kita lalu
memperoleh konsep-konsep yang realistis, dualistis dan pluralistis mengenai retaphysica. Bilamana kita
mempelajari kesadaran di dalam keadaan bermimpi, maka hal itu akan membawa kita pada ajaran-ajaran
yang subyectivistis. Dan studi akan keadaan tidur tanpa bermmpi membawa kita pada teori-teori yang
abstrak dan mystis. Untuk memperoleh kebenaran, kita harus mempertimbang-timbangkan dan
memperhitungkan segala macam bentuk-bentuk kesadaran.

Adanya perhatian yang meluap-luap akan subyektivisme ini belum berarti bahwa di lapangan ilmu-ilmu
pengetahuan yag obyektif, India lalu tidak berhak untuk ikut bersuara. Sebab apabila kita melihat hasil-
hasil yagn telah dicapai oleh India di dalam lapangan ilmu pengetahuan yang positif, kita malahan akan
menyaksikan hal yang sebaliknya. Orang-orang India pada jaman dulu-dulu, telah melatakkan dasar-dasar
dari pengetahuan mathematica dan mechanica. Mereka berhasil untuk mengukur kekuatan cahaya lampu,
membagi-bagi tahun, membagi-bagi ruang angkasa, menyelidiki jalannya matahari dan planet-planet
melewati ruang mintaku al buruj (zodiacal), menganalisa susunan dari apa yang disebut kebendaan dan
mempelajari sifat-sifat burung dan binatang-binatang lain, tanam-tanaman dan bibit. Kami kutip di sini
sebagaian dari apa yagn dimuat di dalam Aitareya Brahmana, yaitu yang telah diutlis sedikit-dikitnya
2.000 tahun sebelum Copernicus dilahirkan. Matahari tidak pernah terbenam atau pun terbit. Bilamana
orang berkata kepada dirinya bahwa matahari akan terbenam, maka sebentar lagi matahari akan
mengubah siang yang ada di bawahnya, menjadi malam; dan mendatangkan siang pada bagian lain.
Sedangkan kalau orang berkata bahwa matahari terbit pada pagi hari, maka itu berarti bahwa matahari
hanya sekedar menggese tempatnya pada berakhirnya malam, dengan mendatangkan siang di bawahnya,
dan mendatangkan malam pada bagian lainnya. Pada kenyataannya, matahari itu tidak pernah terbenam.

Walau pun ini hanya idceritakan sebagai hikayat (folklore) saja, toh itu menarik perhatian kita.

Di dalam Indian Wisdom buah arangan Monier Williams, tertulis : Bagaimana pun juga konklusi kita,
dalam kita menyelidiki sumber manakah yang pada aslinya telah memberikan ide-ide pertama di dalam
lapangan astronomi yang sekarang sudah tersebar di seluruh dunia, namun selalu da kemungkinan bahwa
pendapatan aljabr di lapangan astronomi dan geometri itu adalah berkat jasa-jasa orang-orang Hindu ini,
orang-orang Arab menerima tidak saja konsep-konsep pertama mengenai analysa yang berdasarkan Al
Jabar, tetapi juga simbol-simbol angka yagn tidak ternilai harganya itu, serta cara-cara menulis angka-
angka desimal (angka di belakang koma sebagai tanda persepuluhan) yang sekarang dipergunakan di
mana-mana di Eropa, dan juga memberi jasa-jasa pada kemajuan ilmu hitung.
Colebrooke yang meneterjemahkan buku karangan Bhaskara mengenai Aljabar, mengemukakan :
Jalannya bulan dan matahari telah diikuti dengan seksama oleh orang-orang Hindu, dan hasil-hasil yang
mereka capai asalah sedemikian baiknya hingga teori mereka mengenai beredarnya bulan itu lebih tepat
daripada yang pernah diajukan ole orang-orang Yunani. Mereka membagi-bagi Eclipcita (yaitu
lingkungan besar yang menurut pandangan mata adalah jaan yang dilalui oleh Matahari tiap-tiap
tahunnya, red) di dalam 17 dan 28 bagian. Ini merupakan suatu pembagian yang aaagaknya didasarkan
atas pendapatan mereka sendiri, sedang inspirasinya telah mereka peroleh sewaktu mereka mempelajari
Periode Bulan (Moons periode) yang mereka nyatakan dengan jumlah hari. Mereka terutama cakap
sekali dalam menggambarkan jalannya planet yagn sinarnya paling terang kalau dibandingkan dengan
planet-planet pening lainnya (yaitu Yupiter, red) dan mereka menemukan Periode Yupiter yang
dihubungkan dengan periode matahari dan periode bulan, dan yang dimasukkan ke dalam penanggalan
mereka, yaitu suatu penanggalan yang didasarkan atas cyclus yagn terdiri atas 60 bulan, dan yang sudah
lazim dipakai di kalangan orang-orang Kadec (Chaldeans).

Di dalam Sanskrit Literature buah karangan Max Muller tertulis : Sekarang oran sudah bersepakat
bahwa orang-orang Hindu pada jaman dahulu sudah menguasi dan mengembangkan dua macam ilmu
pengetahuan, yaitu Logica dan Gramatika.

Wilson mengemukakan (Lihatlah Works) : Di dalam ilmu kedokteran, seperti juga di dalam Astonomi
dan Metaphysica, orang-orang Hindu pernah mengalami jaman yang dapat menandingi hasil-hasil yang
dicapai oleh bangsa-bangsa yang paling maju di dunia ini. Di dalam hal obat-obatan dan ilmu bedah
mereka memperoleh kecakapan yang tidak kalah dengan siapa saja yang hasil-hasil penyelidikannya
pernah didokumentasikan (dan dapat dilaksanakan) sewaktu dunia belum diperkenalkan dengan ilmu
anatomi oleh penyelidik-penyelidik dari jaman modern.

Memang benar bahwa kami tidak pernah memperoleh pendapatan-pendapatan yang berupa alat-alat
mechanis besar. Ini tidak lain disebabkan karena kami sudah dianugerahi oleh Alam dengan saluran-
saluran air yagn besar-besar, dan dengan persediaan makanan yang banyak. Ada juga baiknya untuk
mengingat bahwa bagaimanapun juga, pendapatan-pendapatan mechanis itu termasuk abad ke-16 dan
abad-abad kemudian sewaktu India kehilangan kemerdekaannya, sehingga kami lalu hidup di dalam
wilayah orang lain. Pada saat India kehilangan kemerdekaannya, dan kemudian bertingkah dengan
bangsa-bangsa lain, India boleh dikatakan kena tulah, sehingga berubah menjadi batu. Sampai dengan
waktu itu, India dapat memelihara kecakapannya di dalam lapangan kesenian, pekerjaan tangan dan
industri, dan sudah barang tentu juga di dalam lapangan Mathematica, Astronomi, ilmu kimia, obat-
obatan, ilmu bedah dan juga di dalam cabang-cabang ilmu pengetahuan Physis sebagaimana sudah
dipraktekkan pada jaman kuno. Orang India mengetahui bagaimana caranya memahat batu, membuat
lukisan-lukisan, menggilapkan emas, dan menenun bahan-bahan pakaian yang indah. India telah
mengembangkan segala macam kesenian (baik yang Halus mau pun yang dikerjakan dengan mesin)
yagn dibutuhkan oleh setiap mesyarakat yang beradab. Kapal-kapal India mengarungi Saumudra besar,
dan kekayaannya melimpah-limpah sampai mengalir ke Judea (Negeri bangsa Yahudi), Mesir dan Roma,
Konsep-konsepnya mengenai manusia dan masyarakat, tata-susila dan Agama, benar-benar menarik
perhatian (untuk waktu itu). Tidak ada dasarnya untuk mengatakan bahwa rakyat India berlomba-lomba
di dalam pusisi dan mytologi, atau pun untuk mengatakan bahwa mereka membenci ilmu pengetahuan
serta Filsafat, sekali pun benar juga kalau orang mengatakan bahwa mereka lebih bermaksudd mencari
kesatuan di dalam segala sesuatu, daripada menonjol-nonjolkan perbedaan-perbedaannya.

Kalau pembaca mengijinkan, ssaya akan membeda-bedakan antara :

Akal yang speculatif (yang murni teoritis), dan

Akal yang bersifat /bercorak ilmiah.

Akal yagn speculatif atau murni teoritis itu lebih bersifat syntheteis, sedang akal ilmiah itu lebih bersifat
Analystis. Akal yagn speculatif lebih cenderung untuk menciptakan kefilsfatan-kefilsafatan cosmis
(cosmos = Dunia) yang dengan pandangan yang luas dapat memberi keterangan tentang asal usul dari
segala sesuatu saja, keteranagan-keterangan mengenai sejarah (Yang dimulai sejak sekian abad yag lalu),
dan juga mengenai leburnya serta mundurnya dunia kita ini.

Sebaliknya, akal ilmiah itu mempunyai kecondongan untuk merenungkan secara mendalam tentang hal-
hal yang chusus serta keistimewaan-keistimewaan dari dunia ini, sehingga mengabaikan arti kesatuan
dan Keseluruhan. Alam pikiran India berusaha untuk : Meninjau segala sesuatu saja dengan pandangan
yang luas dan yang tidak terikat pada perseorangan (Impersonal).

Dengan demikian maka ada bahan untuk mengkritik bahwa alam Pikiran India lebih bersifat idialistis dan
teoritis, kaerna menciptakan khayalan-khayalan di dalam dunia impian, dan membuat penganut-
penganutnya menjadi dicap sebagai orang-orang asing di dunia ini. Sebaliknya, alam pikiran Barat itu
lebih bersifat khusus, lebih terikat pada perseorangan dan lebih ditujukan untuk memenuhi kepentingan
umum (pragmatistic).

Akal yang bercorak ilmiah menggantungkan diri pada pancaindra, sedang akan yang speculatif berpegang
pada perasaan jiwa Sekali lagi saya kemukakan di sini bahwa yang menyebabkan orang India (yang
tanpa gangguan dari dunia luar mendpat keanugerahan untuk sesuka hati menikmati hal-hal yang indah di
dalam dunia ini, dan juga untuk melahirkan kekayaan jiwanya di dalam bentuk nyanyian dan dongengan,
musik dana tari-tarian, rite-rite dan Keagamaan), meleburkan dirinya ke alam renungan-renungan, adalah
keadaan alam sekitarnya. Berulang-ulang orang mengejek dengan kata-kata : Awas! Timur Sedang
merenung!, dan ini memang mengandung kebenaran.

Karena adanya pandangan yang systhematis, Filsafat India lalu meliputi berbagai ilmu pengetahuan yang
di dalam jaman moderen ini menjadi di-differensiasi-kan (diperinci). Selama kira-kira seratus tahun yagn
akhir-akhir, berbagai cabang pengetahuan yag mula-mula termasuk Filsafat, antara lain Ekonomi, Politik,
Tata Susila, Psychologi, Pendidikan, itu telah melepaskan diri satu persatu. Pada jaman Plato, yang
termasuk Filsafat itu adalah semua imu pengetahuan saja, yang berhubungan dengan sifat-sifat manusia
dan yang menjadi pusat perhatian dari renungan-renungan menusia. Demikian juga naskah-naskah India
yang kuno-kuno menggambarkan suasana kefilsafatan didalam arti yang seluas itu. Pada hari-hari
kemudian, Filsafat Barat itu menjadi synonim (sama) dengan Metaphysica, yang terdiri atas diskusi-
diskusi yang Gelap dan dalam (Abstruse) mengenai pengetahuan, mengenai sifat ada / ke-beradaan dan
mengenai nilai. Maka terdengarlah keluh kesah bahwa Metaphysica itu sifatnya menjadi 100% teoritis,
karena dipisahkan dari aspek-aspek yang praktis dan juga dari persangkaan-persangkaan (imagination)
yang biasa dilakukan oleh manusia.

Setelah kita mengetahui bahwa pikiran orang India di titik-beratkan pada soal subjectivitet, yang berjalan
bersama dengan suatu kecenderungan untuk mencapai pandangan yagn synthetis, maka tidaklah sukar
untuk sampai pada kesimpulan bahwa di dalam keadaan yang demikian :

Idealisme yang Monistis-lah yang dianggap merupakan sumber kebenaran dari segala sesuatu yang kita
hadapi.

Catatan Redaksi :

Monisme (monos = tunggal) alah filsafat yang mendasarkan segala-galanya pada Satu Azas semata-mata.
Lawan : Dualisme dan Pluralisme.

Seluruh pertumbuhan pikiran yang berhubungan dengan Weda di dasarkan atas itu. Dan Idelisme yang
Ministis ini menjadi dasar dari Agama Buddha dan Agama Brahma. Idelisme yang Monistis merupakan
Kebenaran yang Tertinggi yang diwahyukan kepada India. Malahan juga system-system yang
menamakan dirinya Dualistis dan Pluralistis itu agaknya sudah kemasukan corak Ministis yagn kuat.
(Dualisme adalah Filsafat yang mengajarkan bahwa kenyataan itu berdasarkan dua azas. Hakekat yang
tidak berhubungan satu dengan lainnya. Dan Pluralisme mendasarkan kenyataan itu pada pelbagai
azas/hakekat yang masing-masing tidak berhubungan satu dengan lainnya, Red.). Bilamana kita dapat
mengabstraksikan pendapat-pendapat yang saling berbeda, dan menemukan corak umum yang terdapat
pada alam fikiran India, maka kita akan mengatakan bahwa : Filsafat India mempunyai kecenderungan
untuk menafsirkan hidup dan alam kodrat itu sesuai dengan pandangan Idealisme yang Ministis. Tetapi
kecenderungannya ini adalah sedemikian plastisnya, sedemikian hidupnya dan sedemikian banyak
macamnya, hingga mempunyai bentuk yag rupa-rupa dan terlahirkan di dalam bermacam ragam ajaran-
ajaran yang dapat saling bermusuhan.

Marilah kita meninjau dengan singkat bentuk-bentuk pokok dari Idealisme yang Monistis sebagaimana
terdapat di India, tanpa memperhatikan detil-detil dari perkembangannya, ata pun penilaian-penilaian
yang diberikan di dalam bentuk kritik. Dengan jalan demikian kita akan dapat mengenal corak dan fungsi
Filsafat menurut pandangan orang India. Untuk maksud ini, kita menggolong-golongkan Idelisme yang
Monistis itu ke dalam empat type, yaitu :

1. Non Dualisme atau Adwaitisme.

2. Monisme yang murni.

3. Monisme yang dimodifikasi-kan (yang diberi bentuk lain; jadi sudah tidak murni lagi), dan

4. Monisme yang implicit (artinya tidak dinyatakan, tetapi sudah terkandung secara diam-diam, Rd).

Penyelidikan-penyelidikan filsafat dilakukan atas dasar fakta-fakta yagn telah dialami. Dibutuhkan jalan
fikiran yang logis untuk menentukan apakah fakta-fakta yang nampak pada seseorang itu dapat diterima
oleh semua orang saja, ataukah hanya bersifat subyectif. Orang baru mau menerima kebenaran sesuatu
teori, bilama teori ini dapat memberi keterangan yang memuaskan tentang fakta/fakta-fakta yang
bersangkutan. Sudah saya kemukakan bahwa fakta-fakta yang berupa fikiran atau kesadaran manusia itu
telah dipelajari oleh ahli-ahli fikir India dengan perhatian dan kecermatan yagn tidak kurang daripada
yang dicurahkan oleh tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dari jaman moderen pada studi mengenai fakta-fakta
di dunia luar (artinya di luar diri manusia). Konklusi-konklusi kefilsafatan yagn disampaikan oleh
Monisme yang Adwaitis di dasarkan atas : Bahan-bahan yang diperoleh dengan jalan pengawasan-
pengawasan dalam lapangan psycologi.

Kegiatan-kegiatan manusia itu dapat berlangsung di dalam :

1. Keadaan terjaga/bangun (state of waking).

2. Keadaan bermimpi (state of dreaming), atau.

3. Keadaan tidur tanpa mimpi (state of dreamless sleep).


Di dalam keadaan bermimpi, kita berhadapan dengan sebuah dunia yang benar-benar konkrit. Tetapi
dunia ini tidak kita sebut nyata, oleh karena di dalam keadaan bangun kita berkesimpulan bahwa dunia
impian itu tidak sesuai dengan dunia yang kita hadapi di dalam keadaan bangun. Tetapi bagaimana pun
juga, kalau ditinjau dari keadaan bermimpi (jadi suatu tinjauan yang sifatnya relatif), maka dunia impian
pun adalah nyata. Dan kalau kita berpendapat bahwa keadaan bermimpi itu kurang nyata daripada
keadaan bangun, maka yang menjadi dasar dari pendapat itu bukanlah pengetahuan kita akan tetapi yang
merupakan kebenaran yang sesungguhnya, melainkan kalau kita berpendapat lain, ini akan bertentangan
dengan norma-norma yagn sudah diakui di dalam hidup dengan keadaan bangun (Waking life).

Tetapi sebaliknya, kenyataan yang diakui di dalam keadaan bangun pun adalah suatu hal yang relatif.
Sebab kenyataan itu tidak terus menerus ada, dan hanya bertalian dengan keadaan bangun saja. Segera
setelah kita mulai bermimpi atau pun tidur, kenyataan yang demikian itu menjadi lenyap. Hubungan
antara kesadaran bangun dan dunia yang dihadapi olehnya ialah : Serupa dengan hubungan antara
kesadaran bermimpi dan dunia impian.

Jadi kedua-duanya tidak dapat disebut nyata secara mutlak. Berkatalah Syamkara : Dunia impian itu
sehari harinya menghilang/menyelam (untuk sementara) ke sesuatu tempat di bawah kesadaran kita,
sedang dunia pancaindra itu menghilang/menjelma di dalam keadaan-keadaan yang khusus/khas.

Di dalam keadaan tidur tanpa mimpi berhentilah kesadaran yang kita alami secara empiris (yang kita
alami berkali-kali dengan panca indra. Red). Beberapa ahli fikir India berpendapat bahwa di dalam
keadaan tersebut kita mempunyai : Kesadaran yang tidak berobyek.

Bagaimanapun juga, teranglah sudah bahwa di dalam keadaan tidur tempat mimpi kita tidak dapat
mengatakan bahwa kesadaran kita menjadi Tidak ada, sebab pendapat atau hypothesis yagn demikian
adalah bertenetangan dengan apa yang nanti kita ingat setelah kita bangun kembali dengan segar bugar.
Kita sudah dengans endirinya mengakui bahwa diri kita terus-menerus tetap ada, meskipun pada saat-
saat itu (yaitu dalam keadaan tidur tanpa mimpi) tidak da hal-hal yang kita alami. Pada saat-saat itu tidak
terasa adanya obyek, dan obyeknya memang tidak ada selama kita tidur dengan nyenyak. Diri murni kita
agaknya tidak terganggu oleh timbul dan lenyapnya ide-ide macam apa saja, yang (timbul dan lenyap itu)
disertai dengan perasaan-perasaan tertentu.

Diri manusia tidak berbeda pada saat yang satu dan saat yang lain, dan juga tidak berubah-ubah seperti
hal-hal/barang-barang yang mengelilingi nya. Hal-hal/barang-barang inilah yang berubah ubah dan
berbeda-beda pada saat yang satu dan saat yang lain (Bhamati).
Jadi, diri yang tetap sama dan satu di tengah-tengah segala macam perubahan-perubahan itu mempunyai
sifat-sifat yang berlainan dengan perubahan-perubahan tersebut. Yang berubah-ubah adalah keadaanya,
sedang Dirinya adalah tetap sama.

Dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, sepanjang cyclus waktu, yang entah panjang entah pendek,
baik pada masa lampau maupun pada masa depan, hanya kesadaran yang menerangi dirinya sendiri inilah
yang tidak pernah terbit atau pun terbenam (Pancadasji).

Di sini dirasakan adanya suatu kenyataan yang tak bersyarat yaitu bahwa waktu dan ruang bersama-
sama dengan obyek-obyeknya pada sesuatu saat akan lenyap. Tatapi diri kita menjadi penonton tetap dari
seluruh drama dari ide ide yang bertalian dengan suasana hati/perasaan-perasaan pada waktu bangun,
pada waktu bermimpi dan pada waktu tidur. Kita meyakini bahwa pada kita ada sesuatu yang
melebihi/mengatasi rasa senang dan sedih, melebihi/mengatasi kebajikan dan kejahatan, baik dan buruk,
yaitu ada diri yang : Tidak pernah mati, tidak pernah dilahirkan. Karena tidak dilahirkan, kekal dan
abadi, maka yang sudah ada sejak sedia kala ini tidak akan ikut rusak dengan hancurnya jasmani.
Bilamana si pembunuh mengira bahwa ia dapat membunuh, atau pun yang di bunuh mengira bahwa ia
dibunuh, maka kedua-duanya tidak mengetahui apakah kebenaran itu. Sebab diri (the self) itu tidak
membunuh dan juga tidak dibunuh (Katha Up.).

Diri yag tetap sama itu didampingi oleh obyek-obyek yang menurut pengalaman-pengalaman kita, adalah
berbeda-beda. Diri tersebut sifatnya adalah permanen dan terus menerus sama, sedang obyek-obyeknya
bersifat tidak permanen dan selalu berubah-ubah. Diri ini sifatnya adalah : Absolut ( Mutlak), dan tidak
tergantung pada obyek-obyek, sedang obyek-obyek ini berubah-ubah menurut suasana yang meliputi hati
manusia. (Moods).

Lalu bagaimanakah keterangannya mengenai keadaan di dudnia ini? Di dalam dunia, perubahan-
perubahan yang kita alami itu terikat pada : 1. Ruang, 2. Waktu, dan 3. Musabab (Sebab).

Berbeda dengan Diri yang satu, yang universal, yang tetap sama itu, di dalam dunia terdapat banyak
sekali pribadi-pribadi/hal-hal khusus (particulars) yang sifat-sifatnya saling bertentangan. Tentang hal-hal
yang khusus ini kita hanya dapat berkata bahwa itu Bukan Diri, melainkan obyek-obyek dari sesuatu
subyek. Sifatnya tidaklah nyata, di dalam keadaan yang bagaimana pun juga. Katagori-katagori pokok di
dalam dunia pengalaman, yaitu waktu ruang dan musabab, sifatnya bertentangan dengan dirinya sendiri
(Self contradictory). Sebab waktu, ruang dan musabab adalah istilah-istilah relatif yang masing-masing
tergantung pada bahan-bahan atas mana pengertian-pengertian itu tersusun. Waktu, ruang dan musabab
itu pada kenyataannya tidak sungguh-sungguh ada. Namun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa waktu,
ruang dan musabab itu sama sekali tidak ada.

Dunia mengelilingi kita. Kita bekerja di dunia, dan kita menjelajahinya. Tetapi kita tidak tahu dan tidak
dapat mengetahui mengapa dunia ini ada. Kenyataan inilah, yaitu : Kenyataan bahwa orang tidak dapat
menerangkan mengapa dunia ini ada, adalah yang dimaksud dengan istilah MAYA.

Kalau kita bertanya apakah hubungannya antara DIRI yang mutlak dan perubahan-perubahan yang
Empiris, dan bertanya mengapa dapat terjadi dan baaimana terjadinya, sampai ada dua macam hal itu,
maka kita sebetulnya sebelum apa-apa sudah menerima bahwa segala sesuatu itu mempunyai mengapa-
nya dan bagaimana-nya. Dan kalau orang mengatakan (sekedar sebagai jawaban atas pertanyaan
pertanyaan di atas itu) bahwa yang KEKAL dan ABADI menjadi fana, atau pun bahwa yang kekal dan
abadi itu melahirkan diri-Nya di dalam bentuk kefanaan, maka pembelaan semacam itu adalah omong
kosong belaka. Yang fana dan terbatas tidak dapat merupakan suatu perwujudan dari yang Kekal dan
TAK TERBATAS. Andaikan yang abadi itu melahirkan diri-NYA din dalam bentuk kefanaan, maka
pada saat itu terjadi, hilangnya sifat keabadian-Nya, sehingga menjadi fana pula. Dan kalau orang
mengatakan bahwa yang MUTLAK turun derajatnya atau mundur sampai menjadi empiris (artinya
sampai dapat dialami dengan pancaindra, Red), maka itu sama saja dengan mengatakan bahwa yang
Mutlak itu tidak sungguh-sungguh mutlak. Tidak mungkina ada kemunduran yang menimpa sesuatu yang
Sempurna, dan tidak mungkin ada kegelapan yang berlindung di dalam kecemerlangan-Nya yang
sempurna. Kita tidak mau mengakui bahwa yagn Sempurna sedang berubah, dan menjadi fana karena
perubahan itu. Sebab perubahan itu mengandung arti berkehendak atau pun mempunyai suatu
keinginan, dan yang dapat berkehedak atau mempunyai keinginan itu tidak lain hanyalah hal-hal yang
tidak sempurna saja.

Diri yang Mutlak tidak dapat menjadi obyek pengetahuan, sebab segala sesuatu yang diketahui itu
sifatnya terbatas dan relatif. Pikiran kita yang serba terbatas itu tidak dapat menerobos ikatan-ikatan
waktu, ruang dan musabab. Pikiran kita merupakan bagian dari dunia relatif. Maka dengan demikian tidak
dapatlah kita dengan pikiran (yang sifatnya relatif itu) mengenal Diri yang Mutlak. Pengalaman-
pengalaman kita yang hanya relatif itu adalah : Suatu impian di dalam keadaan bangun.

Ilmu pengetahuan dan Logica merupakan baik bagian-bagian maupun hasil dari impian di dalam keadaan
bangun itu. Kegagaan Metaphysica untuk menangkap hal-hal di luar dunia pengalaman itu tidak usah
ditangisi atau ditertawakan, tidak usah dipuji atau pun di cela, melainkan harus dimengerti/ dipahami.
Dengan kerendahan hati yang menjadi tanda dari kekuatan akalnya, entah Plato entah Nagarjuna, entah
Kent entah Syamkara, menerangkan baha pikiran manusia itu hanya berkisar pada hal-hal yang relatif,
dan tidak berurusan dengan yang mutlak.

Walau pun yang mutlak tidak dapat dikenal/diketahui dengan jalan Logica, namun siapa saja yang
berusha mengetahui apakah kebenaran itu, tentu mau mengakui bahwa yang Mutlak itu merupakan suatu
lingkungan kenyataan, di mana kita hidup, bergerak dan berada, Hanya dengan : Perantaraan yang Mutlak
atau Kenyataan itu, segala sesuatu lainnya dapat dikenal/diketahui. Yang Mutlak itu merupakan Saksi
Abadi dari segala Pengetahuan.

(1)

Para pengikut Non Dualisme menyiarkan ke mana-mana, bahwa teori mereka didasarkan atas hubungan
yagn logis dari fakta-fakta. Menurut Mereka : Yang merupakan kenyataan yang Terdalam adalah Diri,
yang dirasakan oleh semua saja, oleh karena Diri ini adalah Diri dari segala sesuatu yagn diketahui
danjuga dari segala sesuatu yang tidak diketahui. Jadi adanya diri itu hanya dirasakan saja, tidak di
kenal/diketahui, sebab satu-satunya pihak yangg mengenal-Nya/mengetahui-Nya, tidak lain hanya Diri itu
sendiri. Bagi mereka, Diri itu adalah yang merupakan satu-satunya Kebenaran dan Keabadian, dan di
samping itu tidak ada lainnya. Mengenai hal-hal beraneka warna yang kita alami sehari-hari itu pengikut-
pengikut Non Dualisme mengatakan : Yah! Hal-hal itu memang ada di muka kita, tetapi tidak untuk
seterusnya, sebab tentu akan berakhir pula. Kita tidak tahu, dan juga tidak dapat mengetahui mengapanya.
Semua obyek-obyek pengalamana merupakan hal-hal yang bertentangan, teteapi namun demikian,
semuanya itu adalah fakta-fakta yang sebenarnya. Demikian inilah sikap filosofis dari Adwaita, ata pun
sikap Non Dualisme sebagaimana dibela oleh Gaudapada dan Syamkara.

(2)

Ada pengikut-pengikut Adwaitisme yang tidak puas dengan pandangan ini, dan merasa bahwa tidak ada
baiknya untuk menutupi kekacauan pikiran kita dengan mempergunakan perkataan Maya sebagai
perisai. Maka berusahalah mereka untuk memberi keterangan-keterangan yang positif, mengenai
hubungan antara keadaan yang sempurna (yang tidak mengandung sesuatu yagn negatif, yang tetap nyata,
dan dapat dirasakan di dalam inti terdalam dari pengalaman-pengalaman kita) dan dunia perubahan (Yang
keadaannya tidak sempurna). Untuk membela dan melindungi Kesempurnaan dari Kenyataan yagn Satu
itu, mereka terpaksa mengatakan bahwa : Perubahan-perubahan itu tidak disebabkan karena kenyataan
yang sempurna ditambah dengan unsur dari luar, sebab di luar-Nya sudah tidak ada apa-apa. Yang
menyebabkan perubahan-perubahan itu tidak lain jalan karena Kenyataan yang Sempurna itu dikurangi
unsur-unsur-Nya.
Jadi prinsip yang mereka pakai untuk menerangkan perubahan-perubahan di dalam alam semesta itu
sifatnya negatif, seperti yagn dikemukakan oleh Plato dengan istilah Ke-tidak ada- an, dan juga oleh
Aristtoteles dengan istilah Kebendaan/kejasmanian. Dengan mempergunakan prinsip yang negatif ini,
yang Tetap dan Tidak Berubah-ubah lalu digambarkan sebagai tersebut di dalam kejamakan yang
bergerak (teh moving many). Tetapi yang tetap dan tidak Beruba-ubah itu tidak terkandung di dalam
kenyataan yang bergerak/berubah-ubah. Seperti halnya dengan sinar-sinar yagn mengalir dari matahari,
padahal mataharinya sendiri tidak mengandung sinar-sinar itu. Bagi mereka : MAYA adalah prinsip
negatif yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dan timbulnya kejadian-kejadian di mana-
mana, dan bersama itu juga menciptakan kegadudhan-kegaduhan tanpa akhir serta huru-hara yagn terus
menerus.

Jadi, perubahan yang terus menerus di dalam alam semesta itu diterangkan sebagai disebabkan oleh
degradasi (kemunduran, turunnya derajat) dari yang Tetap dan Tidak Berubah-ubah. Penkataan Nyata
itu adalah untuk menggambarkan segala sesuatu yang di dalam proses perubahan menjadi positif. Segala
sesuatu di dunia senantiasa berjuang untuk memperoleh kembali sifat nyatanya, berjuang untuk mengisi
kekurangan-kekurangannya, berjuang untuk membersihkan diri dari kekususannya serta kesendiriannya.
Akan tetapi ini terhalang, karena masing-masing mempunyai kekosongan di bagian dalamnya (Inner
Void), yaitu masing-masing mempunyai MAYA yang negatif yang berupa interval (celah) antara Apa
ujudnya dan Apa seharusnya masing-masing itu. Bilamana kita bisa menghilangi MAYA, yaitu kita
meniadakan kecondongan kita ke arah ke-Duaan (artinya kita janganlah membeda-bedakan antara Diri
yagn Mutlak dan Perubahanperubahan yang Empiris sebagai dua hal yang berdiri sendiri-sendiri, Red),
menghapus interfalnya mengisi kekurangan-kekurangannya sehingga memungkinkan berhentinya
kegaduhan-kegaduhan, maka ruang, waktu dan perubahan akan kembali ke dalam keadaannya yang asli
dan murni. Selama MAYA masih merajalela dengan kekurangan-kekurangannya seperti sedia kala, maka
segala sesuatu itu ditakdirkan untuk tetap berada di dalam dunia ruang-waktu-musabab. Maya bukanlah
buatan manusia. Maya sudah ada sebeum intelek kita ada, dan maya juga tidak tergantung pada intelek
kita. Maya benar-benar : Merupakan generator (alat pembangkit gaya/tenaga) dari segala sesuatu yagn
ada di dunia; juga generator dari intelek. Maya adalah kekuatan raksasa yang terkandung di dalam dunia
seluruhnya. Kadang-kadang maya juga disebut Prakitri.

Di susulnya pertumbuhan oleh kemudnuran, terjadinya evolusi-evolusi cosmis secara berulang-ulang, itu
semua menandakan bahwa dunia masih terdiri atas kekurangan-kekurangan. Dikatakan bahwa dunia
perubahan itu adalah suatu interupsi terhadap keberadaan. Maya mencerminkan kenyataan. Proses
keduniawian itu lebih banyak merupakan kebalikan (inversion), dan bukannya penyalinan (translation)
dari Ke-Berada-an yang Tetap dan Tak Berubah-ubah (immutable being). Namun demikian, dunia maya
tidak dapat berdiri sendiri kalau dipisahkan dari ke Berada-an yang Murni. Andaikata tidak ada Ke-Tetap-
an yagn Tak Berubah-ubah, niscaya tidak akan ada gerakan; sebab gerakan itu adalah suatu degradasi saja
dari yang Tetap dan Tak Berubah-ubah. Keadaan yang tidak bergerak merupakan : Kebenaran yang
tersembunyi di belakang gerakan-gerakan yang Universal.

Seperti juga Menjadi itu adalah kemunduran/penyelewengan dari Berada, maka :

Awidya pun atau Ke-Tidak-tahu an merupakan kemunduran dari Widya atau pengetahuan

Untuk mengetahui kebenaran itu, dan untuk memahami apakah yang merupakan Kenyataan, kita lebih
dahulu harus membebaskan diri kita dari awidya dan dari ukuran-ukuran yang didasarkan atas intelek.
Sebab alat-alat pengukur ini akan pecah dan rusak pada saat kita hendak memasukkan (dengan paksaan)
kenyataan ke dalamnya.

Ini tidak dimaksudkan sebagai uraian untuk minta maaf karena adanya kelmabatan/kemalasan berfikir. Di
dalam pandangan ini, Filsafar sebagai Logica dalam mempergunakan pikira, membujuk penganutnya
untuk meninggalkan saja konsep-konsep yang berdasarkan intelek. Sebab konsep-konsep intelektual ini
hanya dapat dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan praktis di dalam dunia perubahan. Di sini Filsafat
menyampaikan kepada kita, bahwa selama kita masih terika intelek, dan selama kita masih tersesat di
dalam dunia keanekawarnaan atau dunia kejamakan, maka akan sia-sialah usaha kita untuk kembali ke
kesederhanaan dari yang Satu- itu.

Apabila kita bertanya mengapa ada Awidya, mengapa ada Maya, yang menyebabkan mundurnya Windya
dan mundurnya tingkat berasa maka pertanyaan yang demikian itu tidak dapat terjawab. Di sini Filsafat
sebagai logika mempunyai fungsi yang negatif yaitu :

1. Untuk memperlihatkan bahwa semua katagori-katagori intelektual itu tetap tidak akan mencukupi.

2. Untuk menunjukkan bagaimana terikatnya obyek-obyek di dunia ini kepada akal yang
memikirkan tentang obyek-obyek itu; dan bahwa tanpa obyek akalitu tidak dapat berdiri sendiri.

Akal tidak dapat memberi tahu apa-apa mengenai yang abadi dan yang tidak berubah-ubah, yang berada
secara tersendiri, artinya tidak tergantung pada kejadian-kejadian di dunia. Dan akal tidak dapat
menceritakan sesuatu tentang Maya yang menyebabkan terciptanya dunia. Akal tidak dapat membantu
kita untuk secara langsung sampai pada kenyataan. Sebaliknya, akal malahan mengatakan kepada kita
bahwa untuk mengukur Kenyataan, kita harus memberi bentuk baru (yang mungkin sekali berbeda amat
dengan ujud yang sesungguhnya, Red). Kepada apa yang disebut Kenyataan itu. Sebab, bilamana akal
pada suatu hari dapat mengenakan suatu ujud tertentu pada Kenyataan, hal itu mungkin dapat membantu
manusia di dalam usahanya untuk mencari Kebenaran. Yaitu kita lalu dapat memikirkannya sampai
sedetail-detailnya, kita dapat mempertahankannya secara logis, dan kita dapat menolongnya untuk
Berbiak.

Akan tetapi para penegak Monisme yang Murni mengatakan bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi dan
lebih besar daripada akal abstrak, yaitu suatu kekuatan yang memungkinkan manusia untuk merasakan
Daya Pendorong dari kenyataan. Tidak lain orang harus mengendepkan dirinya ke dalam : Kesadaran
yang Universil, dan membuat dirinya menjadi Lebar dan Luas di tengah-tengah segala sesuatu yagn
juga serba lebar dan luas itu.

Dengan cara demikian, orang lalu lebih banyak mengalami daripada memikirkan Kenyataan, sehingga ia
lalu ikut menjadi nyata sendiri, tanpa banyak mengetahui tentang apakah Kenyataan itu. Monisme yagn
Extrem demikian, yang membeda-bedakan :

1. Antara Logika dan Intuisi.

2. Antara Kenyataan dan Ke-Berada-an.

Kita dapatai pada beberapa Upanisad, pada Nagarjuna dan pada Syamkara kalau suasana hatinya sedang
diliputi dengan perasaaan-perasaan yang Ultra Filosofis (Ultra = berlebih-lebihan); pada Syri Harsa dan
juga pada penganut-penganut aliran Wedanta Adwaita, sedang kumandangnya di Barat terdengar pada
Parmenides dan Plato, Spinoza dan Plotinus, Bradley dan Bergson, dan jangan dilupakan : pada Mystik
Barat.

-------------------------------------------------------------------------

Catatan Penulis :

Dapat dikatakan bahwa di dalam kefilsafatan Samkhya terdapat keterangan-keterangan yagn serupa
mengenai pengalaman-pengalaman manusia. Tidak ada kata-kata yang menyinggung kelemahan-
kelemahan/kekurangan-kekurangan dari alat-alat yang dipergunakan untuk dapat mengalami sesuatu.
Perbedaannya hanyalah bahwa di dalam kefilsafatan Samkhya ada prasangka-prasangka yagn pluralistis,
tanpa dasar-dasar yagn logis. Kalau pluralisnya hapus (sebagaimana akan terjadi bilamana diuji sebentar
saja dengan logika), maka teori Samkhya menjadi identik (sama) dengan Monisme Murni yagn
digambarkan did atas.

-------------------------------------------------------------------------
Entah apakah artinya Ke-Beradaan yang Murni bagi intuisi, tetapi bagi intelek ke-Beradaan yang Murni
itu tak lain dan tak bukan adalah suatu abstraksi yagn absolut. Ada anggapan, bahwa ke-Berada-an itu
berlangsung terus, juga andaikata tiap-tiap fakta dan tiap-tiap obyek pancaindra sama sekali di hapus.
Shingga dengan demikian, ke-Berada-an itu adalaha :

Sisa/Ampas yagn tinggal sebagai hasil peng-abstraksi-an dari alam semesta seluruhnya.

Memang adalah suatu latihan yang sulit bagi pikiran manusia, untuk menghilangkan lautan dan daratan,
waktu, matahari dan bintang-bintang, ruang dan waktu, manusia dan Tuhan, dari kesadarannya. Tetapi
kalau kita berusaha untuk menghapus alam semesta, maka agaknya lalu tidak ada sisa lagi untuk dijadikan
obyek pikiran. Pikiran manusia yang sifatnya terbatas dan rational, dengan kegelisahan yang mendekatai
ke-putus-asa-an, sampai kepada kesimpulan bahwa lalu tidak ada apa-apa lagi kalau segala sesuatu
dihapus. Jadi dalil pokok dari intuisi, bahwa Ke-Berada-an itu ya ada begitu saja, itu bagi akal artinya
tidak ada apa-apa mengingat kata-kata Hegel :

Akal hanya dapat bekerja kalau menghadapi fakta-fakta tertentu, hal-hal yang sudah konkrit. Bagi akal,
setiap pernyataan yang memperkuat hal sesuatu, itu sekaligus juga mengandung penyangkalan terhadap
hal itu, dan sebaliknya setiap pernyataan yang menyangkal hal sesuatu, itu sekaligus juga mengandung
penguatan terhadap hal itu. Setiap fakta yang konkrit adalah suatu Kejadian yang timbul dari kombinasi
antara Ada dan Tidak ada, antara yang positif dan yang negatif.

Mereka yang tidak puas dengan hanya merasakan Ke Berada an atas dasar intuisi ssaja, emnginginkan
suatu synthesis yang dicapai dengan jalan akal (sedang akan ini menurut indting bawaannya selalu
menuju ke hal-hal yang kongkrit). Mereka ini lalu tertarik akan system : Idealisme yang obyectif.

(3).

Penganut-penganut idealisme yang kongkrit ini berusaha menyatukan kedua konsep, yaitu :

1. Konsep mengenai ke-Berada-an yang Murni, dan

2. Kosnep mengenai Perubahan-perubahan yang Nampak.

Ke dalam satu systhesis, dengan mengemukakan adanya Tuhan. Pun para pengikut Monisme yagn extrem
mengakui bahwa Perubahan itu tergantung pada Ke-Berada-an, sedang sebaliknya ke-Berada-an itu tidak
tergantung pada perubahan. Dengan jalan demikian orang sampai pada sejenis kemutlatakan yang
terbias (refrated absolute), yaitu orang sampai pada Tuhan yang memungkinkan terbentuknya dunia .
Sifat-sifat Tuhan merupakan kombinasi :
1. Antara hakekat ke-Berada-an dan hakekat Perubahan.

2. Antara Ke-Satu-an dan ke-Jamak-an.

3. Antara sifat Tidak Terbatas dan Sifat Terbatas.

Yang mula-mula merupakan ke-Beradaan yang Murni; sekarang menjadi Subyek yagn mengubah dirinya
menjadi obyek, dan kemudian memungut kembali obyeknya itu untuk dimasukkan lagi ke dalam dirinya.
Untuk mempergunakan istilah-istilah Hegel :

Posisi, oposisi dan komposisi terus menerus susul-menyusul di dalam proses yang abadi. Yaitu suatu
proses yang jalannya ibarat berputar-putar di dalam sebuah lingkaran.

(Catatan Penulis : Istilah-istilah Hegel ini lebih terkenal dengan the is, antithesis dan synthesis).

Hegel dengan tepat telah melihat bahwa dua syarat yang harus dipenuhi untuk adanya sebuah dunia yang
kongkrit itu ialah :

a. Harus ada subyek, dan

b. Harus ada obyek.

Di dalam segala sesuatu yagn kongkrit, tentu ada kombinasi antara subyek dan obyek, jadi antara dua hal
yang berlawanan. Pun tentang Tuhan Yang Maha Agung dikaakan bahwa pada diri-Nya terdapat dua
corak yagn berlawanan, di mana corak yang satu tidak saja ditimbulkan oleh yang lain, tetapi corak yagn
satu itu adalah juga corak yang lain. Dan bilamana orang sudah menyatakan adanya Tuhan yagn dynamis
yang secara abadi teriakt apda berputarnya roda maka ia dengan sendirinya lalu menyadari bermacam-
macam tingkat Berada, dari Beredanya kesempurnaan Tuhan sampai Beradanya debu yang hina.
Bersamaan dengan itu, maka setelah ditetapkan adanya Tuhan yang demikian, orang lalu juga
memperkuat adanya bermacam-macam tingkat Kenyataan, dari tingkat yagn sungguh-sungguh Nyata
sampai tingkat / keadaan yagn hampa samasekali (Nothing). Dengan demikian maka atas dasar fikiran,
orang telah menyusun suatu alam semesta yang sesuai dengan kehendak fikiran, yang memenuhi syarat-
syarat sebagaimana ditetapkan oleh fikiran. Di dalam alam semesta yang demikian itu, adanya subyek dan
obyek merupakan faktor-faktor yang penting. Di sini pengertian-pengertian ruang, waktu dan musabab
tidak dianggap sebagai hal-hal yagn subyectif, sebab itu memenuhi prinsip-prinsip universil dari fikiran.

Bilaman orang dalam mengikuti pandangan Monisme yang Murni tidak begitu mengerti mana yang sama
dan mana yang berbeda, maka di sini (yaitu dalam mengikuti pandangan Idealisme yang obyektif) ia akan
memperoleh pengertian yang lebih terang, Dikatakan bahwa :
Dunia telah bertumbuh dari sesuatu yang satu dan Sama menjadi hal-hal yang berbeda satu dengan
lainnya. Maka dari itu persamaan dan perbedaannya tidak dapat dipisah-pisahkan. Tuhan merupakan
dasar yang terdalam yaitu dasar persamaan; sedangkan dunia adalah bentuk luarnya, yaitu tempat di mana
dipancarkan Kesadaran yagn mula-mula hanya ada di bagian terdalam.

Pengikut-pengikut monisme yang murni tidak dapat menerima adanya Tuhan yang demikian itu. Sebab,
menurut teori mereka, Tuhan semacam itu justru merupakan kemunduran ini hanya selangkah saja,
artinya di mana interval yagn memisahkannya dari keberadaaan yang Murni atau kemutlakan itu adalah
sekecil-kecilnya. Jadi lalu merupakan hasil dari awidya yang terpisah dari widya oleh interval yagn
sekecil-kecilnya.

Dengan perkataan lain, Tuhan yang konkrit ini merupakan hasil tertinggi dari kecerdasan manusia. Tetapi
sayangnya iayalah bahwa sekali pun Tertinggi, tetapi toh tetap masih merupakan hasil saja. Sedang
kecerdasan kita, sekalipun sudah berdekatan sekali dengan widya, toh masih belum merupakan widya.
Tuhan seperti yang digambarkan ini, mengalami keberadaan tingkat Maximum, sedang kekurangannya
adalah minimum sekali. Tetapi, bagaimana pun juga, toh masih ada kekurangannya. Sekali tersentuh oleh
kekuatan maya yagn sekecil-kecilnya, sekali mundur dari keberadaan yang sempurna, maka terlemparlah
Tuhan ke dalam ruang dan waktu, sekali pun ruang dan waktu ini masih berdekatan sekali dengan ke
tidak terbatasan dan keKekekalan yang mutlak. Di sini yang mutlak berubah menjadi Tuhan Pencipta
Alam Semesta yagn sekarang berada di dalam sesuatu ruang (entah ruang mana), dan yang dari bagian
dalam menggerakkan segala sesuatu tanpa beralih tempat. Dengan demikian Tuhan mencerminkan
kemutlakan yang sudah di objectivir, artinya dibuat jelas bagi pengertian manusai dengan ditempatkan-
Nya disesuatu ruang dan dengan digambarkan-Nya sebag Sesuatu, yaitu sebagai Jiwa/roh yang masuk
ke dalam segala sesuatu/ Jiwa/roh ini adalah Brahmanmaya, ada dan tidak ada, obyek dan subyek,
kekuatan abadi, Penggerak yang tak bergerak menurut Aritoteles, Diri yang Mutlak menurut Hegel,
wisyistadwaita (absolut dan relatif) menurut Ramanudja, baik causa Efficiens mau pun Causa Finalis dari
alam semata. Dunia itu tidak mempunyai permulaan dan tidak mempunyai akhir, oleh karena kekuatan
yang diberikan oleh Tuhan mustahil mempunyai permulaan, dan juga musthil akan pernah berakhir.
Memang sudah menjadi sifat hakekat-Nya, bahwa Tuhan tidak pernah berhenti atau pun beristirahat.

Tidak usah diragu-ragukan lagi, bahwa gambaran di atas ini merupakan konsep tertinggi yagn dapat
dicapai oleh pikiran manusia. Bilmana kita mengikuti pikiran kita sampai ke ujung-ujung-nya, di mana
intelek kita selalu berusaha untuk mempersatukan segala sesuatu yagn ada di dunia ini, dan berusaha
amenciptakan synthesis antara hal-hal yang berlawanan, maka akhirnya kita akan memperoleh suatu
konsep yang sifatnya adalah antara ada dan tidak ada, atau merupakan kombinasi antara kedua-duanya.
Dan konsep ini telah kita peroleh setelah kita mengepres (dengan paksaan) segala sesuatu ke dalam suatu
keseluruhan. Di dalam hal ini, Filsafat mempunyai corak yang constructif, dan karenanya, Filsafat lalu
bersifat positif dan berfungsi Synthetis.

Pun di sini, pemahaman yagn berdasarkan logika dan permainan abstraksi, melarang kita masuk ke
dunia kekonkritan, padahal hanya di dalam dunia yang konkrit abstraksi-abstraksi itu dapat hidup dan
bergerak. Bilamana ada hal-hal yang kurang logis, sehingga sukar untuk dipahaminya, maka ratio
manusia lalu mencari jalan keluar, Dengan berpangkal pada dunia pengalaman, pikiran menusia mencari
jalan dan naik sampai tercapainya prinsip ke-Tuhan-an. Dan setelah dengan jalan dmeikian, orang
menemukan konsep mengenai keseluruhan, maka turunlah kembali pikirannya, untuk meneliti detail-
detailnya, dan meninjau kembali bagian-bagian dari keseluruhannya itu. Tetapi segala macam
dogmatisme di dalam lapangan logika, yang bagaimana pun besarnya juga kepercayaannya akan kekuatan
akal, akan berhenti pada konsep mengenai dunia ini, tanpa mengharapkan hasil yang lebih dari itu. Dan
kalau orang sudah ragu-ragu akan kemutlakan pikirannya, maka timbul lah kesulitan-kesulitan. Orang
mulai bertanya : Apakah adal larangan, bahwa pengetahuan kita disesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhan dari akal yang menurut sifatnya ingin mempersatukan dan memisah-misahkan segala
sesuatu. Barangkali kalau ada akal yang sifatnya lain (jadi yang tidak ingin mempersatukan dan memisah-
misahkan segala sessuatu), dibutuhkan pula pengetahuan yang laind aripada pengetahuan kita sekarang.
Pada hemat kita , semua pengetahuan it sama saja bentuknya. Tetapi kalau ada kritik-kritik yang
membantahnya, sukar juga untuk membela pendapat itu. Betul, konsep kita mengenai Kenyataan itu
mungkin dianggap benar oleh pikiran kita, tetapi bagaimana mungkinnya menggambarkan Kenyataan
dengan pikiran, di mana Kenyataan itu tidak identik dengan pikiran? (Kita toh juga tidak dapat
mengganbarkan kambing dengan sapi, satu kambing 1/3 sapi?. Pen). Dan kalau kita mengepres semua
konsep ke dalam satu konsep saja, itu belum berati bahwa kita lalu sudah mengatasi semua konsep. Kita
masih bisa membela Ya, tetapi dengan demikian kita lalu tahu hubungannya antara konsep yagn satu
dengan yang lain! Tetapi ini pun akan dijawab dengan Ada atau tidak adanya hubngan itu ditetapkan
oleh akal kita. Mungkin di antara hal-halnya sendiri (yang kita konsepkan) itu tidak ada hubungannya
sama sekali. Hubungan-hubungan itu hanya terdapat pada akal, sebab akal inilah yagn selalu
menghubung-hubungkan. Dan bagaimana pun cerdasnya sesuatu akal, hingga dapat menemukan hal-hal
yang bukan-bukan, akal itu toh tetep akal manusia biasa saja.

Teori dari Monisme yagn dimodifikasikan sebagaimana telah digambarkan di atas, diterima oleh beberapa
Upanisad dan oleh Bhagawatgita, oleh beberaa penganut Budhhisme dan oleh Ramanuja, dan mungkin
juga oleh Badarayana. Di Barat pendpat semacam itu kita jumpai pada Aristotele dan Hegel.
Menurut pendapat Non Dualisme atau Adwaitisme, Ke-Beradaan yagn sempurna itu, sifatnya adalah
nyata, sedang perubahan-erubahan yagn tidak nyata itu merupakan fakta-fakta. Tetapi mengapa demikian
halnya mereka tidak tahu. Menurut pandangan Monisme yang Murni, perubahan-perubahan di dunia itu
adalah suatu penceburan (precipitation) dari ke-Beradaan yagn Murni ke dalam ruang dan waktu, akrena
terdorong oleh kekurangan-kekuarangan yang ditimbulkan oleh kekurangan-kekurangan. Menurut
pandangan Monisme yang dimodifikasikan, hasil tertinggi yang dapat kita peroleh adalah suatu synthesis
yang berupa Tuhan, Yaitu suatu synthesis antara ke-Beradaan yang Murni dan ke-Tidak Berada-an.

(4)

Dengan demikian Logica seakan-akan memaksa kita untuk memperkuat adanya bermacam-macam
tingkat Kenyataan. Bilamana kita menolak konsep mengenai Ke-Beradaan yang Murni karena tidak dapat
dipergunakan di dalam dunia pengalaman ini, dan kita menolak juga ide mengenai Tuhan Pencipta Alam
Semesta karena tidak logis, maka lalu hanya tinggal perubahan-perubahan saja, yang banyak sekali
jumlahnya dan yang masing-masing senantiasa hendak berubah-ubah lagi menjadi sesuatu lain. Maka
lalu tercapailah prinsip pokok dari Buddhisme. Yaitu bahwa atas dasa hypothesis dari Monisme yang
dimodifikasikan , corak/watak khusus dari bermacam-macam tingkat sebagaimana terdapat di dunia ini,
harus diukur menurut jarak yang memisahkannya dari Kenyataan yang sempurna. Semuanya ini
mempunyai persamaan, yaitu bahwa semuanya saja terikat pada ruang dan waktu. Tetapi kalau masing-
masing itu kita perhatikan dari jarak yang lebih dekat, maka kita akan menemukan makin banyak tanda-
tanda yang khusus. Kalau kita sekarang menerima adanya perbedaan antara kenyataan-kenyataan yang
berpikir (Thinking reals) dan obyek-obyek yang tidak berpikir (unthinking object), maka kita akan sampai
pada kefilsafatan dualistis dari Madwa. Ini pun pada dasarnya adalah suatu Monisme, selama kenyataan-
kenyataan itu masih dianggap tergantung (paratantra) padsa Tuhan, dan selama Tuhan ini masih dianggap
sebagai satu-satunya yang berdiri sendiri dan tidak tergantung pada siapa atau apa pun juga (swatantra).

Sebaliknya kalau kita menitik beratkan, bahwa mahluk-mahluk yang berpikir itu tidak tergantung pada
siapa atau apa pun juga, meka kita lalu sampai pada Pluralisme yang dianut oleh Samkhya, asal adanya
kita di sini dengan mengusik-usik tentang adanya Tuhan, yang toh tidak dapat dibuktikan. Kalau sekarang
masih ditambahkan adanya obyek-obyek di dalam jumlah yang jamak/banyak (Pluralisme), maka kita
sampai pada Realisme yang Pluralistis, di mana Tuhan Pun dianggap sebagai salah satu diantara
kenyataan-kenyataan lainnya, Sekali pun Tuhan ini lebih luhur dan lebih berkuasa daripada lainlainnya.

Dalam membicarakan tentang tingkat-tingkat kenyataan yang berbeda-beda, agaknya masing-masing ahli
Filsafat mempunyai pendapatnya sendiri-sendiri mengenai bagaimana coraknya Kekhususan yang
terdapat pada tiap-tiap hal. Dan apakah sesuatu system itu menuju ke Atheisme atau ke Theisme, hal itu
sma sekali tergantung pada banyak sedikitnya perhatian yagn dicurahkan pada ada atau tidak adanya
sesuatu yang Mutlak sebagai pihak yang mengawasi/melindungi permainan drama alam semesta. Kadang-
kadang suatu system memang menjadi kilau kemilau kalau pusat perhatiannya disinarkan pada Tuhan,
tetapi kadang-kadang juga malahan menjadi kabur. Maka dengan demikian ada bermacam-macam jalan
yang dapat ditempuh oleh manusia dalam ia menyatakan reaksinya terhadap persoalan-persoalan di dunia
ini, dan jalan yang dipilihnya itu sudah tentu harus sesuai dengan pikirannya sendiri.

Di dalam alam pikiran India benar-benar dapat dikatakan adanya : Harmoni (keselarasan) antara Tuhan
dan manusia. Jadi tidak seperti di Barat, di mana perbedaannya malahan agak menonjol.

Menonjolnya perbedaan itu nampak pada mythologi-mythologi. Mytho mengeneai Promotheus yagn
dianggap sebagai pembela umat manusia (oleh karena ia berusaha membela nasibnya terhadap usaha Zeus
untuk memusnahkan jenis manusia dengan makhluk jenis lain), juga cerita tentang Hercules yang dengan
bekerja berat berdaya upaya untuk menghindarkan kemusnahan dunia, atau pun konsep mengenai Kristus
sebagai Putra Manusia (Son of Man), semuanya menunjukkan bahwa manusia itu dijadikan pusat
perhatian orang Barat. Memang benar, bahwa Kristus juga disebut Putera Tuhan, yaitu Putera tertua yang
harus dikorbankan untuk meredakan amarah Tuhan. Tetapi bagaimana pun juga, yang hendak saya
tandaskan di sini yaitu bahwa : Di dalam kebudayaan barat terdapat suatu kecenderungan pokok untuk
mengemukakan adanya oposisi antara manusia dan Tuhan, dimana manusia melawan kekuasaan Tuhan
dan Mencuri api-Nya (di sini penulis menunjukkan pada Promethous yang menccuri apai dari Zeus,
yaitu api yang hendak dipergunakan untuk membasmi umat manusia, Pen) dalam membela nasibnya
sendiri.

Menurut Anggapan orang India :

Adanya manusia itu adalah karena Tuhan. Karena pengorbanan Tuhan lah dunia seluruhnya itu dapat
berujud seperti yang kita saksikan ini.

Di dalam Purusa Suktadikemukakan adanya Pengorbanan abadi yang dilakukan oleh Tuhanuntuk dapat
memelihara manusia serta dunia. Di dalam Purusa Sukta tersebut, dunia seluruhnya itu digambarkan
sebagai sesuatu yang luasnya serta besarnya tidak ada bandingnya, dan yang menjadi hidup karena
digerakkan oleh sesuatu roh/Jiwa. Di dalam Substansi Roh/Jiwa ini sudah terkandung segala macam
bentuk hidup. Yang memegang peranan utama di dalam alam pikiran India, yaitu yang memberi warna
pada kebudayaannya, dan yang memberi bentuk. Ujud pada pikiran-pikirannya, adalah : Corak
kerohaniannya/kejiwaannya.
Yang dijadikan dasar dari Sejarah Kebudayaan India adalah pengalaman-pengalaman di dalam lapangan
kerohanian/kejiwaan. Pada khususnya, pengalaman-penglamana ini adalah suatu : Mysticisme. Bukan
Mysticisme di dalam arti mempergunakan kekuatan-kekuatan gaib melainkan semata-mata suatu desakan
untuk menundukkan sifat-sifat manusia akepada suatu disiplin yang akan membantu manusia dalam
usahanya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya di dalam lapangan kerokhanian/ Kejiwaan.

Dimana kitab-kitab dari Kaum Yahudi dan kaum Nasrani itu banyak menunjukkan coraknya yang religius
dan Ethis, di dalam kitab-kitab suci dari orang-orang Hindu itu lebih nampak corak
kerohaniannya/kejiwaannya, sedang di samping itu ada pula desakan untuk mengikat hidup manusia pada
disiplin keagamaan. Sehingga menurut kenyataannya. : Satu-satunya hal yang benr-benar hidup di India
adalah ke Beradaan Abdai dari Tuhan.

Di dalam proses perkembangan dari kefilsafatan mana saja, pada akhirnya tentu akan tercapai suatu
anggapan bahwa segala sesuatu yagn nyata itu tidak dapat bertentangan dengan dirinya sendiri (Self
contradictory). Menurut Sejarah Filsafat, dibutuhkan waktu yang lama, sebelum manusia menyadari
pentingnya anggapan yang demikian itu serta mempraktekkannya dengan penuh keyakinan. Tanpa
menyadarinya betul-betul, maka sesuai dengan apa yang tertera di dalam Reg Weda, orang India
menganggap pengetahuan itu sebagai bernilai. Kemudian setelah tercapai tingkatan Upanisad, muncullah
persoalan-persoalan yang dialecttis dan dirasakan adanya kesulitan-kesulitan yagn timbul dari
pengetahuan. Di sini nampak adanya usah-usaha untuk memberi batas-batas pada pengetahuan manusia
dan untuk memberi tempat kepada intuisi. Tetapi usaha-usaha ini dilakukan dengan cara ygn semi
filosofis (jadi tidak 100% filosofis). Dan sewaktu orang mulai meragu-ragukan kekuatan dari akan, maka
munculllah scepticisme, dan muncul pula kaum materialist serta kaum nihilist (Kaum Nihilist adalah
mereka yang hendak meruntuhkan segala macam keyakinan yang dimiliki oleh manusia, Pen). Karena
menyetujui apa yang tertera di dalam Upanisad-Upanisad, yaitu bahwa kenyataan yang tidak nampak itu
tidak dapat dipahami denganintelek yang bersenjatakan Logica, maka Buddhisme lalu memperkkuat
ajaran yang mengatakan bahwa : Dunia yang nampak ini bukanlah merupakan suatu kenyataan. Bagi
Kaum Bidhhist, adanya pertentangan-pertentangan dan perlawanan-perlawanan itu memang suatu hal
yang sudah sewajarnya, sedang dunia pengalaman itu menurut mereka semata-mata merupakan tekanan
(tension) yagn ditimbulkan oleh pertentangan-pertentangan dan perlawanan-perlawanan itu. Manusia
tidak dapat mengetahui apakah masih ada hal-hal lain di samping apa yang ada di sekitar kita ini, sedang
apa yang ada ini tidaklah merupakan kenyataan karena mengandung pertentangan-pertentangan terhadap
dirinya sendiri (self contadictory).

Konklusi yagn demikian ilah yagn akhirnya dicapai di dalam perkembangan Buddhisme.
Di dalam teori Nagarjuna dinyatakan bahwa pandangan yang terdapat di dalam Upanisad-upanisad itu
mempunyai kedudukan yang central (menduduki tempat pusat). Pernyataan Nagarjuna ini di sandarkan
atas dasar-dasar yang logis. Dan pandangan yang dikatakan mempunyai kedudukan yagn central itu
adalah demikian :

Kenyataan itu ada, sekali pun kita tidak dapat mengenalnya atau mengetahuinya. Dan segala sesuatu yang
kita ketahui itu tidaklah nyata, sebab tiap-tiap usaha untuk menafsirkan dunia ini sebagai Systemn yagn
masuk akal pasti akan gagal,

Pandangan yang demikian ini sduah abrang tentu mendorong timbulnya kritik-kritik yagn meremehkan
kekuatan akal, dan kritik-kritik ini dilancarkan dengan penuh keyakinan. Di katakan bahwa : Pikiran itu
sifatnya bertentangan dengan dirinya sendiri (Self Contradictory), atau bahwa pikiran itu tidak
mencukupi.

Berbedalah jawaban-jawaban yang diberikan atas pertanyaan : Mengapa pikiran itu tidak mampu untuk
menangkap kenyataan? Ada yang menjawab :

1. Karena Pikiran itu hanya mengenai bagian-bagian saja dan tidak mengenai keseluruhan.

2. Karena strukturnya memang kurang sempurna, atau karena sifatnya memang sudah bertentangan
dengan dirinya sendiri.

Sebagaimana telah kita lihat,a da juga pihak-pihak yang mempertahankan bahwa Kenyataan itu, sifatnya
rational, tetapi dengan catatan bahwa Kenyataan itu bukan ratio semata-mata (melainkan lebih dari itu).
Sehingga ratio manusia itu tidak akan mampu untuk menangkap Kenyataan seluruhnya. Jadi yagn
merupakan Kenyataan itu adalah lebih daripada yang dapat diberi tahukan oleh pikiran/akal.

Pikiran itu memberikan kepada kita suatu pengetahuan mengenai Kenyataan. Jadi melulu suatu
pengetahuan saja, dan bukan Kenyataannya sendiri.

Ada pihak lain yagn merasa bahwa yagn disebut Kenyataan itu sifatnya sama sekali sesuai dengan
dirinya sendiri (self Consistent), sedang yang disebut Pikiran itu sifatnya bertentangan dengan dirinya
sendiri (Self Contradictory). Bekerjanya pikiran itu selalu didasarkan atas adanya subyek dan obyek,
sedang Kenyataan yang mutlak itu adalah sesuatu di mana akedua antithesis tersebut sudah hapus. Pikiran
yang bagaimana pun juga konkritnya, artinya pikiran yagn sudah berusaha mati-matian untuk
mengkombinasikan Kejamakan sampai menjadi Kesatuan itu toh masih tetap abstrak saja, sebab
sifatnya memang bertentangan dengan dirinya sendiri. Maka apabila kita hendak menangkap kenyataan,
pikiran kita harus dilenyapkan lebih dahulu.
Sehubungan dengan hypothesis yagn menyatakan bahwa pikiran itu hanya mengenai bagian-bagian saja,
dan tidak mengenai keseluruhan, orang mengemukakan : Apa yang kita tangkap dengan jalan pikiran itu
tidak bertentangan dengan Kenyataan, tetapi itu hanya menyampaikan kepda kita sebagian saja dari
kenyataan. Pandangan-pandangan yang menegnai bagian-bagian itu saling bertentangan oleh karena
hanya mengenai bagian-bagian saja. Pandangan-pandangan demikian dapat benar juga, asal diingat
bahwa kebenarannya itu hanya terbatas pada bagian-bagian saja, jadi tidak merupakan seluruh
kebenaran.

Dari hypothesis ygn kedua, yaitu yang menyatakan pikiran tidak mampu untuk menangkap Kenyataan
karena strukturnya memang kurang sempurna, atau karena sifatnya memang sudah bertentangan dengan
dirinya sendiri, orang sampai pada suatu pendapat bahwa Kenyataan itu dapat ditangkap dengan : Sejenis
perasaan atau intuisi.

---------------------------------------------

Catatan Penulis :

Bandingkanlah dengan Bradley yang mengatakan bahwa kita dapat mencapai sampai pada Kenyataan
dengans ejenis perasaan, dan Mc. Taggart yang menganggap Cinta.kasih sayang sebagai cara yang paling
memuaskan mencerminkan kenyataan yang Mutlak.

------------------------------------------------------

Juga pendapat yang pertama tadi mendesakkan supaya pikiran kita ditambah dengan perasaan, bilamana
kita masih inging menangkap Kenyataan yang lengkap.

Dengan demikian orang India agaknya membutuhkan sesuatu unsur lain untuk ditambahkan pada pikiran,
dan ini disarankan dengan adanya istilah Darsjana yang berarti sesuatu system kefilsafatan atau sesuatu
Syastra (Ajaran).

Istilah Darsjana itu berasal dari perkataan Darsj yang berarti melihat. Dengan Penglihatan ini dapat
didmaksudkan suatu pengawasan yagn dilakukan dengan pancaindra, dapat juga suatu pengetahuan yagn
didasarkan atas konsep-konsep pikiran, dan dapt juga suatu pemadnangan yang dalam yagn diperoleh
dengan jalan intuisi. Darsj dapat berarti menyelidiki fakta-fakta, menyelidiki dengan mempergunakan
dasar-dasar logica, atau memperoleh pemandangan yang dalam dengan perantaraan roh/jiwa. Pada
umumnya, darsjana itu berarti pembahasan yang kritis, pemeriskaan dengan mempergunakan dasar-dasar
logica atau pun System. Tetapi sewaktu pikiran-pikiran yang filosofis masih berada pada tingkat
pendahuluan (artinya belum mengalami perkembangan-perkembangan lebih lanjut), yaitu sewaktu filsafat
masih banyak didasarkan atas intuisi melulu, tidak pernahlah perkataan Darsjana dipergunakan di dalam
arti sebagaimana diuraikan di atas tadi. Hal ini menunjukkan bahwa darsjana bukanlah intuisi, sekali pun
mungkin banyak pertaliannya dengan itu. Barangkalai darsjana itu memang dimaksuddkan untuk
menujuk pada :

Suatu System yang telah didperoleh dengan jalan intuisi dan yang kemudian diberi dasar-dasar yang
logis.

Di dalam system-system Monisme yang extrem, Filsafat membuka jalan bagi tercapainya pemandangan
yang dalam dengan jalan intuisi, karena di situ digambarkan bagaimana lemahnya kekuatan dari pikiran
manusia. Di dalam system-system Monisme yang tidak extrem, dimana kenyataan itu digambarkan
sebagai suatu keseluruhan yang konkrit, Filsafat paling berhasil untuk memberi gambaran tentang
kenyataaan yang memenuhi angan-angan manusia.

Tetapi bagaimana pun juga, yang disebut Kenyataan itu itu jauh melebihi/mengatasi katagori-katagori
yang dikenal oleh manusia. Menurut Monisme yagn extrem, hanya suatu pemandangan yang dalam yagn
kita peroleh dengan jalan intuisi, dapat menyampaikan kepada kita betapa penuhnya dan lengkapnya apa
yang disebut Kenyataan itu. Sedang menurut Monisme yang konkrit, yagn dapat menyampaikan itu
adalah suatu penglihatan yang dalam (Insight) dimana pengetahuan manusia sudah bercampur gaul
dengan perasaan-perasaan dan emosi. Dikatakan bahwa dengan mempergunakan konsep-konsep pikiran,
orang tidak dapat memperoleh kepastian seperti dengan jalan mengalami. Sekali lagi saya ulangi,
bahwa suatu pendapat atau pandangan yang bagaimana pun juga logisnya, hanya diterima sebagai benar,
bilamana dapat bertahan terhadap ujian-ujian hidup.

Pengertian yang diberikan oleh perkataan Darsjana itu memang samar-samar, sebab dengan istilah itu
tidak saja dilukiskan pembelaan yang dealectis sebagaimana dilakukan oleh Monisme yagn extrem, tetapi
juga kebenaran intutionil (kebenaran yang diterima atas dasar intuisi) yagn menjadi dasar dari pembelaan
itu. Filosofis, Darsjana di sini berarti menguji kekuatan intuisi dan mempropagandakannya dengan
mempergunakan dasar-dasar logica. Malahn di dalam system-system lainnya, darsjana itu berarti menguji
logis tidaknya suatu uraian pembelaan terhadap kebenaran yagn telah diperoleh atas dasar konsep-konsep
pikiran, dengan atau pun tanpa bantuan intuisi. Dengan demikian maka darsjana itu menguji segala
pandangan saja yang dimiliki oleh manusia dalam ia hendak menggambarkan kenyataan. Dan apabila
yang disebut Kenyataan itu hanya Satu, maka segala macam pandangan yang menggambarkan Kenyataan
yang satu itu, tentunya harus Sesuai dan sepakat satu dengan lainnya. Di dalam padnangan-
pandanganitu tidak boleh ada sesuatu yagn terselip di situ secara kebetulan saja, melainkan masing-
masing harus mencerminkan sudut pandangnya sendiri-sendiri dalam meninjau kenyataan yang satu itu.
Dan setelah orang mengumpulkan semua sudut-sudut pandangan yagn saling berbeda itu (berbedanya
disebabkan karena masing-masing memotret Kenyataan yang Satu itu dari lain sudut) untuk
dipertimbang-timbangkan secar mendalam, maka gambaran tentang Kenyataan yang kemudian deiberikan
dengan dasar-dasar Logica, adalah setingkat lebih tinggi. Tetapi setelah ia menyadari bahwa kosnep-
konsep pikiran itu tidak mampu untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai Kenyataan, maka ial
lalu mencoba untuk menangkap Kenyataan dengan jalan intuisi, dimana ide-ide yang didasarkan intelek
kehilangan perannya. Di sinilah orang berhadapan dengan Monisme yagn extrem did alam keadaan yang
semurni-murninya. Tetapi dari sini mereka kembali lagi menggambarkan Kenyataan menurut Logica
pikiran, kembali lagi mereka mempertimbang-timbangkan detil-detilnya dengan hanya maju melangkah
demi selangkah. Hasil dari pertimbangan-pertimbangan ini, mereka nyatakan di dalam system-system
yang beraneka warna itu. Dan kalau di dalam hal yang terakhir ini orang mempergunakan istilah darsjana,
maka itu berarti suatu pembahasan ilmiah yang ditujukan untuk menggambarkan Kenyataan. Inilah
enaknya mempunyai perkataan yang samar-samar; satu perkataan saja sudah dapat melukiskan
bermacam-macam inspirasi kefilsafatan yagn serbag kompleks itu.

Suatu darsjana adalah suatu Pengnangkapan dengan perantaraan roh/jiwa kita suatu pemandangan yang
lengkap lalu menampakkan diri, pada mata jiwa/mata roh (soulsense). Pandangan jwia ini, juga hanya
dapat dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar merasakan filsafat di dalam cara hidupnya, (di India)
menjadi : Tanda yagn membedakan ahli filsafat yagn sebenarnya dari lain-lainnya.

Dengan demikian maka yang dapat mencapai hasil-hasil tertinggi di dalam fislafat, itu hanyalah : Mereka
saja yang pada dirinya sendiri sudah berhasil lebih dahulu untuk mensucikan roh/jiwanya.

Penyucian ini harus dapat dilakukan, setelah orang menerima adanya kekuatan lain yagn amsih
tersembunyi di dalam ddirinya. Dan ini abru diyakini, setelah ia benar-benar menemukan kekuatan itu,
yang memungkinkan dia untuk memeriksa serta memahami hidup seluruhnya. Karena adanya sumber
yang dalam ini, maka seorang ahli Filsafat dapat mengajar pada kita tentang kebenaran hidup. Yaitu
suatu kebenaran yang tidak dapat ditemukan dengan mellu mempergunakan intelek. Dan pandangannya
mengenai hidup itu, boleh dikatakan timbul dengan sendirinya. Laksana buah yang tumbuh dari sekuntum
bunga, atas dasar suatu kekuatan gaib yagn dicari oleh manusia dengan bermacam-macam jalan.

Sebelums eseorang yang mencari kebenaran itu dapat mulai dengan penyelidikan-penyelidikannya, ia
lebih dahulu harus smemenuhi syarat-syarat pokok tertentu. Di dalam komentar yang ditulis oleh
Syamkara mengenai Sutra (buku penuntun) pertama dari Sutra-Sutra Wedanta, ia mengatakan bahwa
setiap siswa yang mempelajari filsafat harus memenuhi 4 macam syarat, yaitu :
1.

Ia harus tahu adanya perbedaan yang abadi dan yagn tidak abadi. Ini tidak berarti bahwa ia harus
mempunyai pengetahuan yang lengkap mengenai itu, sebab pengetahuan yang demikian tentunya baru
dapat diperoleh pada akhir-akhir penyelidikannya. Yang dimaksudkan hanyalah bahwa ia harus
mempunyai kecenderungan yang metaphyssis, artinya janganlah ia menerima begitu saja atau
menganggap segala sesuatu yagn dilihatnya itu sebagai nyata secara mutlak. Jadi supaya pada setiap
saat si penyelidik itu sudah siap-sial untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada dirinya sendiri, Ia
harus :

1. Mempunyai jiwa yang bersedia untuk memeriksa serta menguji segala sesuatu dengan ketelitian;

2. Mempunyai kekuatan untuk membayang-bayangkan (imagination) mana yang benar dan mana
yang tidak, dan membayang-bayangkan kebenaran apa yang dapat di abstraksikan dari kejadian-kejadian
yagn nampaknya tidak berhubungan satu dengan lainnya.

3. Mempunyai kebiasaan untuk bersemdi, sehingga pikirannya tidak akan terbuang-buang karena
melayang ke tempat-tempat yagn bukan menajdi tujuannya.

2.

Ia harus dapat mengekang keinginan-keinginannya akan melihat buah-buah dari usahanya, baik
mengekang untuk hidupnya sekarang maupun untuk hidupnya di masa depan.

Di sini orang harus menjauhkan diri dari :

1. Segala macam keinginan, sampai juga keinginan yang hampir-hampir tak berarti;

2. Alasan-alasan perseorangan;

3. Kebutuhan-kebutuhan praktis.

Tujuannya tak lain ialah menyelidiki apakah pikirannya dapat mencerminkan keadaan yang sebenarnya.

Bagaimanakah seseorang dapat mempergunakan inteleknya sebaik-baiknya? Tidak lain, ia harus benar-
benar memahami segala sesuatu yang baik maupun yang buruk. Seorang ahli Filsafat adalah seorang
naturalis, artinya ia harus mengikuti segala kejadian tanpa menonjol-nonjolkan kebaikannya atau pun
meremehkan keburukannya atas dasar prasangka sendiri. Ia haruss berdiri di luar hidup, dan dari situ ia
meninjau hidup. Mereka dikatakan bahwa orang yang demikian tidak boleh menyayangi baik masa
sekarang mau pun masa depan. Setelah itu, barulah ia dapat berpikir dengan erang, dapat menilai dengan
kesungguhan hati, dan dapat memperoleh suatu pandangan cosmis yagn tak terikat pada perasaan-
perasaan perseorangan, sedang perhatiannya terpusatkan pada faktanya melulu. Untuk mencapai tingkat
ini, ia lebih dahulu harus menyesuaikan suasana hatinya, sebagaimana diminta oleh syarat yagn ke tiga.

3.

Ia harus :

1. Mempunyai hati yang tenang.

2. Menguasai dirinya sendiri.

3. Membelakangkan dan rela mengorbankan kepentingan dirinya sendiri,

4. Sabar

5. Tenteram pikirannya.

6. Beriman/Berketeguhan batin.

Hanya dengan jiwa yang terlatih, yang menguasai seluruh raga.jasmani dengan 100%, orang dapat
melakukan penyelidikan-penyelidikan dan melakukan semadi/perenungan dengan tiada hentinya (selama
masih hidu). Tak sesaat pun obyeknya akan hilang dari pikirannya, dan tak sesaat pun perhatiannya akan
tergoda oleh keinginan-keinginan keduniawian. Seorang pencari kebenaran harus berani mengorbankan
segala-galanya untuk mencapai tujuannya yang tertinggi. Maka diperlukan sekali bahwa ia :

1. Menundukkan dirinya pada suatu discipline yagn keras.

2. Menjauhkan dirinya dari kesenangan-kesenangan.

3. Menderita kesedihan, dan

4. Tahan terhadap penghinaan-penghinaan.

Dengan adanya disiplin kejiwaan yang juga mengandung suatu ujian tanpa rasa sayang terhadap dirinya
sendiri, maka si pencari kebenaran dapat sampai pada suatu tingkat di mana kebebasannya akan berakhir
(end of Freedom).

4.

Sebagai syarat ke-4 dikemukakan bahwa siswa yang mempelajari Filsafat harus mempunyai hasrat besar
untuk mencapai moksa atau pembebasan. Orang yang jiwanya sudah bersuasana metaphysis, yang telah
melepaskan segala macam keinginannya dan telah menjalani nya dan telah menjalani latihan-latihan
seperti tersebut di atas tadi, hanya memiliki satu hasrat besar, yaitu untuk mencapai Titik Akhir atau
Tingkat Abadi.

------------------------

Rakyat India itu sedmeikian besar rasa hormatnya terhadap para ahli Filsafat yagn cemerlang dalam
mempergunakan daya pengetahuan serta inteleknya, hinggga mereka benar-benar memuja tinggi ahli-ahli
filsafat itu. Nabi-Nabi ini, yagn dengan rasa setia akan kebenaran berusaha keras untuk memahami
rahasia-rahasia dunia dan untuk merumuskannya, yang siang malam memeras peluhnya, benar-benar
mencerminkan istilah Ahli Filsafat di dalam artinya yangpokok. Demi kepentingan umat manusia,
mereka menarik pelajaran dari hal-hal yang dialaminya. Maka dari itu jgua tidak mengherankan bahwa
untuk selama-lamanya, makhluk yang berjenis manusia akan tetap berterima kasih pada mereka.

Corak kebangsaan lain yang terdapat di India, berupa : Pemujaan/penghormatan terhadap masa yang
lampau.

Di sana nampak adanya semnagat untuk mempertahankan hal-hal yang lama, dari abad ke abad dengan
kesetiaan yang berlebih-lebihan. Apabila orang India menghadapi sesuatu kebudayaan baru atau pun
suatu pengluasan pengetahuan yagn datang mendadak, ia tidak akan menyerah begitu saja pada kehendak
hatinya pada saat itu, melainkan ia akan berpegang erat pada kepercayaannya yagn treadisionil, dan ia
akan berusaha untuk memasukkan yang baru ke dalam yang lama. Adanya Liberalisme yang
conservatife ini menjadi pendorong dalam tercapainya hasil-hasil yang gemilang di lapangan
kebudayaan dan peradaban India. Di antara akebudayaan-kebudayaan tinggi yang terdapat pada jaman
Kuno, sekarang hanya tinggal kebudayaan India saja yang masih hidup. Kejayaan dari
peradaban/kebudayaan Mesir hanya dapat kita pelajari dan laporan-laporan para ahli archeologi atau dari
tulisan-tulisan Hieroglyphe yang ditinggalkan oleh orang-oran Mesir dari jaman Kuno. Dari kerajaan
Babylon yang dahulu mempunyai tokoh-tokoh yang luar biasa pandainya di dalam lapangan ilmiah,
irigasi dan tehnik, sekarang hanya tinggal timbunan puing saja. Kebudyaan romawi yagn tersohor karena
lembaga-lembaga politiknya dan cita-citanya ke arah keadilan dan persamaan, sebagian bear boleh
dikatakan sudah termasuk/ masa yang silam. Sebaliknya peradaban/kebudayaan India yang menurut
taksiran paling sedikit sudah 4.000 tahun usianya, kini masih tetap hidup di dalam bentuk-bentuknya
yangpokok. Kebudayaan yang sudah bersinar sejak jaman Weda itu, boleh di kata adalah muda dan tua
sekaligus. Sudah berulang-ulang terjadi, bahwa akebudayaan tersebut mengalami peremajaan, setiap kali
kalau perjalanan sejarah menghendakinya. Dan kalau sampai ada perubahan-erubahan, maka perubahan-
perubahan ini tidaklah disadari. Bagaimana pun juga, setiap kali terjadi perubahan, maka katanya aitu
hanya suatu pemberian nama baru saja kepada cara berpikir yang lama. Di Alam Reg Weda: kita dapat
membacanya, betapa besarnya perhatian orang-orang Arya yang menyerbu dahulu (yang keyakinan-
keyakinanya di dalam soal-soal keagamaan sangat terkenal) akan konsep-konsep yang dimiliki oleh
penduduk bumiputra. Di dalam Weda Atharwa kita dapat melihat bahwa di samping Dewa-Dewa Langit
dan Matahari, Api dan Angin, sebagaimana dipuja oleh orang-oran Arya dari Gangga sampai Hellespont,
masih ditambah lagi Dewa-Dewa cosmis yang diperincinya tidak begitu tegas. Upanisad-Upanisad
dianggap sebagai peninggalan yang tetap berjiwa atau lebih tepat : dianggap sebagai perwujudan dari
sesuatu yagn sudah tercantum di dalam nyanyian-nyanyian pujaan Weda. Orang mengatakan bahwa
Bhagawadgita (di blog yang sama ada Bhagawat Gita Bahasa Jawa). Menyebutkan secara berturut-turut
ajaran-ajaran yang tertera di dalam Upanisad-Upanisad. DI dalam syair-syair kepahlawanan India,
terdapat :

Titik pertemuan antara konsep-konsep religius terpenting yagn datang dari laur dan pemujaan terhadap
keadaan alam sebagaimana dilakukan pada jaman sebelum masuknya orang-orang luar.

Adanya rasa hormat dan pemujaan terhadap jaman kuno, menggalang jalan bagi tercapainya hasil-hasil
yang gemilang pada jaman baru.

-------------------------------------------

Catatan Penulis :

Bandingkanlah denngan apa yang ditulis oleh Gilbert Murray di dalam Four Stages of Greek Religion: :
Pernyataan bahwa hal sesuatu baru merupakan hal yang lama, adalah ciri umum yang menjadi tanda dari
pergerakan-pergerakan besar. Demikian dikatakan bahwa Reformasi itu adalah suatu pergerakan untuk
kembali ke-Kitab Injil, Pergerakan Evangeli di Inggris menyatakan hendak kembali ke Injil, sedang
pergerakan Gereja Tinggi (High Church) hendak kembali ke Gereja yagn dulu-dulu. Unsur yang penting
ini kita dapati pula di dalam Revolusi Perancis, yaitu usaha terkuat di dalam sejarah manusia untuk
mematahkan ikatan-ikatan/tradisi-tradisi dari jama yang lampau, di mana orang bercita-cita akan kembali
ke Kebajikan Republik Romawi (Th. 510 27 sebelum M.) ataupun kembali pada kesederhanaan
manusia yang sewajarnya.

--------------------------------------------

Semangat yang lama tetap dipertahankan, sekali pun tidak di dalam bentuk-bentuknya yagn lama.
Kecenderungan ini, yaitu kecenderugnan untuk mempertahankan type/pola yang sama, telah
menimbulkan sementara pernyataan yang ganjil sekali, sebab orang India dikatakan tidak mobil (tidak
suka bergerak). Padahal, pikiran oarng India itu tidak bernah berhenti, sekali pun tidak dikehendaki
patahnya ikatan-ikatan dengan jaman yang lampau.

Adanya rasa hormat terahdap masa yang silam menyebakan bahwa di dalam alam pikiran India terdapat
continutit (kelangsungan) yagn terus menerus, tanpa ada titi-titik berhenti. Abad yagn satu teriakt apda
abad yagn lain oleh suatu cinta saleh yagn terdapat di dalam hati sanubari orang India. Kebudayaan Hidnu
adalah buah yagn dihasilkan oleh pergantian-pergantian abad, dan juga deikerjakan oleh breatus-ratus
generasi. Di antara generasi-generasi ini ada yang berbadan panjang, yang bekerja lambat denga muka
suram, tetapi ada pula yang berbadan pendek, yagn bekerja cepat dengan muak berseri-seri. Masing-
masing di antara mereka ini telah menyumbangkan sesuatu kwalitet pada tradisi yang luhur dan kaya itu,
yang tetap masih hidup, walau pun juga mengandung tanda-tanda dari msa lampau yang sudah mati. Jalan
hidup yagn ditempuh oleh Filsafat India itu diibaratkan jalannya iar yang meluncur berguling-guling
dengan suka ria dari sumbernya di antara puncak-puncak pegunungan di sebelah Utara, yagn kemudian
menderas melintasi lembah-lembah dan padang-padang yagn teduh dengan menyerkap di dalam arusnya
yagn perkasa itu, aliran-aliran lain yang lebih kecil, sehingga akhirnya sekausa raja berjalanlah ia dalam
santun melewati negeri-negeri dan rakyat-rakyat yagn tersangkut paut hart akekayaannya. Dengan
nejinjing ribuan perahu di dlam pangkuannya. Siapa gerangan yang tahu apakah dan kapankah arus yang
super kuasa itu, yang kini masih terus menerus mengalir dengan hiruk pikuk dan dengan kemauan yang
penuh rasa gembira, akan masuk ke dalam Samudra, yaitu ayah dari semua arus dan aliran.

Dengan tiada perkecualian, semua ahli pikir India menganggap keseluruhan dari Filsafat India, sebagai :
Satu system wahyu-wahyu yagn saling susul menyusul secara terus menerus.

Mereka percaya bahwa tiap-tiap peradaban/Kebudayaan itu sudah dengan sendirinya mengembangkan
sesuatu pikiran yagn berasal dari Dewa/Tuhan.

-------------------------------------------

Catatan Penulis :

Sifat pembawaan yagn terdapat pada setiap bangsa ini, yaitu keyakinan bahwa yagn dilaksanakan dan
diperkembangkan itu adalah pikiran yang berasal dari Dewa/Tuhan, oleh orang Yunani deisebut Sifat
Asli (Nature), dan oleh Orang India disebut Dharma.

-------------------------------------

Di sini terkandung suatu teologi (filsafat yagn mengajarkan bahwa segala kejadian di alam ini disebabkan
dan ditentukan oleh tujuannya atau causa finalisnya, Pen) Yang mengajarkan bahwa hidup tiap-tiap
bangsa itu berkembang menuju ke kesempurnaan) Mengenai hal ini ada berbagai padnangan yang
berbeda-beda, tetapi semuanya dianggap sebaga cabang-cabang dari satu pohon. Pandangan yangsatu
menempuh jalan yang salah, yang lain terbentur pada jalan buntu, tetapi bagaimana pun juga, bersama-
sama mereka akan menemukan jalan raya yang menuju ke kebenaran. Antara kita dengan kita, caranya
mendamaikan ke enam system yang orthodox itu digambarkan sebagai seorang Ibu yang menunjukkan
bulan kepada anaknya dengan berkata Liharlah lingkaran yang bersinar di atas pohon itu! Ini mudah
sekali di tangkap oleh si anak, tanpa juga menyebut-nyebut tentang jauhnya jarak yang memissahkan
bumi dari bulan. Sebab kalau itu disebut-sebut, akibatnya akan membingungkan si anak saja. Demikian
juga kalau kita mengikuti pandangan-pandangan yang berbeda-beda itu, kita akan menjadi bingung, sebab
tiap-tiap pandangan itu telah disesuaikan dengan apa yang dapat dipahami oleh sekelompok manusia
tentunya, masing-masing dengan kelemahannya sendiri-sendiri.

Di dalam Prabodhacandrodaya, yaitu sebuah drama (ceritera sedih) yagn coraknya filosofis, dikatakan :

Keenam system kefilsafatan Hindu itu tidak dapat dilepaskan satu dari lainnya, tetapi dengan sudut
pandangan yang berbeda-beda, mereka bersama-sama mendukung kemegahan dan kebesaran Tuhan yag
Satu dan yagn tak terciptakan, Keenam-enamnya bersma-sama merupakan focus (titik api) yang hidup
dari sinar-sinar yang bercerai berai sebagaimana dipancarkan oleh umat manusia (dengan segi-seginya
yang bermacam-macam) dalam mereka hendak menggambarkan matahari yagn amat indah itu.

Di dalam Sarwadarsanasamgraha, yatu buah ciptaan Madhwa (1380 M) disebut tentang adalah 16 system
pikiran yang amsing-masing diberi nomor urut, dan di susun dari bawah ke atas, untuk menunjukkan
adanya rentetan system-system yagn saling susul-menyusul melewati garis yang menanjak. Yang
ditempatkan di atas sendiri adalah Wedanta adwaita (atau Non dualisme), Madhwa menempatkan dirinya
pada sudut pandangan Hegel, dan menganggap Sejarah Filsafat India sebagai suatu usaha yagn progesif
untuk memperoleh konsep yagn tegas dan terang mengenai dunia. Ia mengatakn bahwa :

Dengan adanya system-system yang susul-menyusul itu, apa yang disebut kebenaran dikeluarkan dari
selubungnya sedikit demi sedikit. Dan kita baru akan memperoleh kebenaran yagn lengkap apabila
rentetan system-system itu sduah lengkap. Di dalam Wedanta Adwaita, sinar-sinar yang bercerai berai
sudah dipersatu-padukan sedemikian rupa hingga bersama-sama mempunyai focus satu.

Wijnanabhiksu, seorang theolog dan ahli pikir dari abad ke 16- beranggapan bahwa system-system itu
semeuanya mempunyai kewibawaannya sendiri-sendiri. Di dalam usahanya untuk menyesuaikan system
yagn satu dengan yang lain, ia membeda-bedakan, antara :
Kebenaran praktis dan kebenaran metaphysis, sedang samkhya diapndang berisikan pernyataan yang
memberi keputusan terakhir di dalam soal kebenaran.

Madhusudana Saraswati menulis di dalam buah karangannya yang berkepala Prasthanabheda :

Maksud yang dikandung oleh para Muni, yaitu penulis-penulis dari system-system tersebut, adalah
mendukung teori maya, sedang tujuan mereka yalah menetapkan atas dasar bukti-bukti, adanya Satu
Tuhan yang tertinggi yang merupakan sat-satunya hakekat. Dan pendapat dari muni-muni itu mustahil
keliru, sebab mereka mengetahui segala-galanya.

Karena mereka melihat bahwa manusia itu tidak dapat secara sekaligus memasuki wilayah kebenaran
yang Tertinggi, tidak lain karena masih terikat pada kebiasaannya untuk mengejar-ngejar obyek-obyek
pancaindra, maka mereka lalu memberikan kepada umat manusia bermacam-macam teori dengan maksud
supaya orang jangan jatuh ke dalam jurang atheisme. Tetapi ada banyak orang yang mengerti tujuan apa
yang hendak dicapai oleh para muni. Dan karena ada anggapan yagn salah, yaitu bahwa para muni
malahan memberi pelajaran yang bertentangan dengan isi Weda-Weda, maka orang lalu lebih suka
mempelajari semua ajaran saja yang diberikan oleh madzhab-madzhab/aliran-aliran yang ada. Dengan
demikian orang India menjadi penganut dari berbagai system bersama-sama.

Maka lalu juga ada usaha-usaha untuk menyesuaikan system yang satu dengan lainnya. Dan ini memang
banyak diusahakan oleh hampir semua kritisi dan komentator. Bedhanya system yagn satu dengan lainnya
itu lalu hanya berkisar pada apa yang dianggap sebagai kebenaran. Para pembela Nyaya (seperti misalnya
Udayana) menganggap Nyaya sebagai satu-satunya kebenran, sedang para Theist menganggap Theist
sebagai yang benar. Adalah sesuai dengan jiwa kebudayaan India, untuk beranggapan bahwa arus-arus
pikiran yang bermacam-macam sebagaimana mengalir di tanah India itu, akan melapaskan airnya ke
dalam satu-satunya sungai yang air bahnya akan menuju ke Hadirat Tuhan.

Sudah dari permulaan, orang India merasa bahwa yang dinamakan Kebenran itu mempunyai banyak
sisinya. Masing-masing pandangan mendekatinya dari sisi yang berlainan. Maka apa yang dicerminkan
oleh masing-masing pandangan itu tentunya kurang lengkap darpada yang dicerminkan oleh semua
pandangan bersama-sama. Adanya pandangan dasar yang demikian ini menyebabkan bahwa orang India :
Sifatnya toleran (meneggang rasa atau hati orang lain) dan dapat menerima pandangan-pandangan lain.

Pun ajaran-ajaran yang berbahaya diterima olehnya tanpa ras takut-takut, asal saja ajaran-ajaran itu
tersandarkan pada Logica. Malahan dimana mungkin, ia akan tetap membantu supaya semua ajaran-
ajaran itu dapat hidup langsung. Ini suatu hal yang juga termasuk tradisi India. Dalam mempelajari
Filsafat India, kita akan menjumpai berbagai contoh di mana orang India benar-benar memperlihatkan
toleransi yang sebesar-besarnya.

Sudah barang tentu, bahwa berpandangan yang seluas itu ada bahaya-bahayanya. Dan memang sudah
kerap kali terjadi bahwa sikap yang demikian ini :

1. Mendatangkan pikiran-pikiran yagn kabur dan samar-smar pada ahli-ahli filsafat India.

2. Menyebabkan mereka menerima begitu saja pandangan-pandangan baru tanpa banyak


memikirkannya, dan

3. Membawa mereka ke-eclecticisme yang murah-murahan.

3. BEBERAPA DAKWAAN YANG DITUDUHKAN PADA FILSAFAT INDIA

Kita banyak mendengar bahwa di dalam serangan-serangan yang dilakukan terhadap filsafat India orang
menonjol-nonjolkan :

1. Pesimisnya;

2. Dogmatismenya;

3. Sikapnya yang acuh tak acuh terhadap Ethica, dan

4. Sifatnya yang tidak progresif.

Hampir setiap kritik yang dilancarkan terhadap filsafat dan Kebudayaan India menonjol-nonjolkan
pessimismenya. Kami sebaliknya, tidak mengerti bagaimana pikiran manusia dapat bekerja dengan bebas
dan dapat memberi bentuk baru pada cara-cara hidup, andaikata sudah penuh berisikan rasa payah
andaikata sudah penuh berisikan rasa payah dan muak serta tertimpa oleh perasaan putus asa. Baiklah
dikatakan sebelumnya, bahwa lapangan kerja dan kebebasan Filsafat India itu tidak dapat menerima
adanya pessimisme yang berlebih-lebihan. Boleh juga orang mengatakan bahwa Filsafat India itu
pessimistis, asal saja perkataan pessimistis itu diambil di dalam arti : Tidak puas dengan apa adanya.

Tetapi kalau diambil arti ini, lalu semua kefilsafatan adalah pessimistis. Sebab yang menimbulkan
persoalan-persoalan Filsafat dan Agama itu adalah penderitaan-penderitaan yang terdapat di dunia ini.
System-system ke-Agamaan yang menitik beratkan pada pembebasan (dari dosa-dosa) itu mencari jalan
untuk dapat lolos dari hidup yang singkat ini. Tetapi apa buruknya untuk mencari kenyataan di dalam
keadaannya yang sebenarnya (Sebagaimana diusahakan oleh Filsafat India)? Di dalam Filsafat India
istilah SAT itu baik menunjukkan apda Kenyataan mau pun Kesempurnaan. Kebenran dan Kebaikan
atau lebih tepat : Kenyataan dan Kesempurnaan, itu berjalan bersama-sama. Kenyataan mempunyai nilai
yang tertinggi, dan bukankah nilai yang tertinggi itu menjadi dasar dari segala macam optimissme

Prof. Bosanquat menulis :

Aku percaya akan optimisme, tetapi masih harus ditambahkan bahwa optimisme itu baru mempunyai
arti, bilamana terus menerus berjalan bersama-sama dengan pessimisme, sampai tiba pada sesuatu titik di
mana apa yang disebut pessimisme itu sudah teratasi/terlampau. Aku yakin bahwa apa yang kunyatakan
ini harus menjadi jiwa yang sebenarnya dari hidup. Dan bilamana ada orang yang menyatakan bahwa
pernyataanku ini mengandung bahaya, dan menganggapnya sebagai alasan yang dicari-cari saja untuk
membenarkan adanya ketawakalan pada hal-hal yang buruk, maka aku akan menjawab bahwa setiap
kebenaran saja yang diteropong dengan ketelitian, dengan demikian lalu juga ada bahayanya kalau
dipraktekkan. (Bacalah Social and Internasional Ideals, dan bandignkanlah dengan apa yang dikatakan
oleh Schopenhauer : Bilamana optimisme itu hanya berupa omong kosong belaka tanpa dasar-dasar
pikiran, maka itu semata-mata akan menggabarkan kegilaan dan penderitaan manusia yang tidak dapat
dinyatakan dengan kata-kata.

Para ahli pikir India memang dapat disebut pessimisme,a sal saja diambil di dalam arti bahwa mereka :
Memandang tata dunia ini sebagai suatu hal yang buruk, dan sebagai suatu khayalan/kebohongan belaka.

Tetapi, di samping itu merupakan juga optimistis, oleh akrena mereka merasa bahwa tentu ada jalan
kelaurnya, yang menuju ke wilayah Kebenaran atau juga di wilayah kebaikan.

Orang mengkritik bahwa Filsafat India itu dogmatis melulu, padahal Filsafat di dalama rti yang
sebenarnya tidak boleh dan tidak dapat hidup langsung atas dasar penerimaan sesuatu dogma. Apakah
tuduhan yang demikian ini benar atau tidak, hal itu saya serahkan pada anda yaang tengah mempelajari
buku ini. Banyak di antara system-system Filsafat India mempersoalkan pengetahuan manusia,
memperbincangkan asal mulanya serta nilainya sebgai alat untuk mempelajari soal-soal lain. Memang
benar bahwa pada umumnya orang memandang Weda atau Sruti sumber pengetahuan yang
berkewibawaan, sehingga orang juga banyak menghormatinya. Akan tetapi, sessuatu kefislafatan hanya
akan menjadi dogmatis, apabila kefilsafatan itu sebelum apa-apa sudah beranggapan bahwa did alam hal
ini :

Pernyataan-pernyataan yang tertera di dalam weda dapat lebih dipercaya daripada pancaindra kita, dan
mempunyai tingkat yang lebih tinggi daripada konklusi-konklusi akal manusia.
Pernyataan-pernyataan di dalam Weda-weda berupa Aptavacana atau sabda-sabdadari para arif bijaksana.
Dan kalau kamis edang menghadapi sesuatu persoalan yang sulit, kami dapat mengharap bantuan dari apa
yang tercantum di dalam sabda-sabda itu, asal saja ada keyakinan pada kami bahwa para arif bijaksana itu
mempunyai alat-alat yang lebih baik dariiapda alat-alat manusia biasa untuk menilai bermacam-macam
persoalan. Pada umumnya, pernyataan-pernyataan di dalam Weda itu menuju pada pengalaman-
pengalaman para Nabi (Seers) yang harus diperhatikan dalam hal orang hendak menafsirkan Kenyataan
secara rational. Penglaman-pengalaman tersebut berupa pengalaman-pengalaman dalam memperoleh
pemadangan yang terang dan dalam dengan jalan intuisi (Intuitional Experiences), dan dapat diperoleh
siapa saja, asal mau! Bantuan yang kami harapkan dari Weda-weda itu tidaklah mengenai soal-soal yang
extra filosofis. Seseorng yang hatinya suci muerni, tanpa ragu-ragu menerima apa yang dialaminya
dengan jalan intuisi, jadi disamakan dengan orang biasa yang menerima begitu saja sesuatu dogma.

Memang benar bahwa di kemmudian hari, sewaktu komentar-komentar di tulis, di dalam lapangan
Filsafat terdapat suasana yang orthodox (jadi di mana orang berpegang erat pada pedoman-pedoman
lama. Pen) yaitu sewaktu orang hanya memikirkan bagaimanakah cara yang sebaik-baiknya untuk
membela secara academis (jadi teoritis melulu) dogma-dogma yang telah diterima. Meskipun tentang
system-system yang dulu-dulu juga dikatan bahwa sifatnya hanya menerangkan/menjeaskan semata-mata,
dan bahwa system-system tersebut berupa komentar-komentar atas naskah-naskah lama, namun tidak
pernah dikandung maksud bahwa system-system itu akan diterima begitu saja., oleh karena memang di
insyafi bahwa Upanisad-upanisad yang merupakan sumber ilmu bagi system-system itu, mempunyai
banyak segi-segi yang bermacam-ragam, Tetapi sesudah abad ke-8, pertengkaran di dalam lapangan
filsafat memperoleh corak yang tradisional dan scholastis (artinay di mana kaum muda di didik untuk
mengoper pendirina guruny, dst. Pen). Sehingga tidak lagi terdapat kebebasan seperti di dalam periode-
periode sebelumnya. Para pendiri-pendiri madzhab dinyataan sebagai orang-orang yang kudus/suci,
sehingga tidak mungkin lagi untuk menyelidiki atau menguji pendpat-pendapat mereka, sebab itu
dianggap mengurangi penghormatan dan mengurangi penghargaan yang layak diberikan kepada mereka.
Dengan demikian sudah tertancaplah dalil-dalil pokok yang akan didengung-dengungkan untuk
seterusnya, sedang yang menjadi fungsi dari para guru itu hanyalah menyampaikan saja kepercayaan dari
aliran/ madzhabnya, dengan sekedar perubahan-perubahan yang dibutuhkan oleh jaman.

Orang mencari alasan-alasan baru untuk menegakkan konklusi-konklusi dari jaman yang sudah lama
lampau, dan menempuh jalan keluar baru sampai terbentur pada kesulitan kesulitan yag beru pula,
sehingga akhirnya kembali lagi dia pada pegangan-pegangan yang lama dengan mengubah sedikit pokok
persoalannya. Orang tidak banyak merenungkan lagi tentang soal-soal hidup yang sifatnya lebih
mendalam, sedang terlalu banyak diskusi dicurahan pada hal-hal yang dibikin-bikin oleh manusia.
Kekayaan tradisi India membeleenggu orang-orangnya dengan beban yang sedemikian beratnya, hingga
ilsafat berhenti bergerak, dan kadang-kadang malahan hampir-hampir berhenti bernafas. Tuduhan yang
pada umunya dilemparkan pada keseluruhan dari Filsafat India, yaitu bahwa Filsafat India tidak memberi
sesuatu manfaat, mungkin ada dasarnya, kalau kita melihat kata-kata yang berlimpah-limpah sebagaimana
dinyatakan di dalam risalah para komentator. Mereka ini semata-mata mencari nafkah sebagai ahli
Dialectica (Ahli-ahli debat yang mempergunakan dasar-dasar Logika.Pen) Jadi bukan Rasul-Rasul
berilham. Yang menunjukkan jalan-jalan hidup atau pun menunjukkan jalan ke keindahan, seperti halnya
dengan ahli-ahli filsafat dari generasi yang dulu-dulu. Namun demikian, di bawah lapisan kerak yang
melekat pada taman itu, jiwa orang india masih tetap muda, sehingga sekali-kali kerak itu diterobosi
dengan tunas yang hijau dan lunak. Tampillah ke muka tokoh-tokoh seperti Syamkara atau Madhwa, yang
menamakan dirinya komentator, tetapi sekaligus juga memperhatikan adanya azas kejiwaan yang
menuntun gerakan-gerakan di dunia ini.

Acap kali dikemukakan bahwa Filsfat India tidak bercorak Ethis, Farcuhar menulis di dalam Hibbert
Journal : Boleh dikatakan bahwa di dalam batas-batas alam pikiran Hindu, tidak terdapat kefilsafatan
ethis.

Tuduhan yang demikian ini tidak dapat dipertahankan. Adalah suatu hal yang lajim, bahwa orang India
selalu berusaha untuk mengisi seluruh hidupnya dengan kekuatan kejiwaan/kerohanian. Konsep yang
terpenting di dalam alam pikiran India adalah yang mengenai Kenyataan, dan kemudian yang mengenai
Dharma. Dan apakah intinya ethis atau tidak mengenai hal itu dapat dikatakan bahwa baik Buddhisme,
Jainisme mau pun Hinduisme tidak kalah ethisnya dengan kefilsafatan-kefilsafatan lainnya. Sebab di situ
ada anggapan bahwa kesempuranaan di dalam lapangan Ethica merupakan langkah pertama ke arah
pengetahuan yang bercorak keagamaan.

Ada tuduhan bahwa Filsafat India tetap berhenti di tempatnya saja (stationary) dan berupa proses
menebah jerami tua dengant idak hentinya. Istilah timur yang tidak berubah-ubah juga dipakai untuk
menyatakan bahwa di India jarum yang menunjukkan waktu itu sudah tidak maju-maju lagi, dan malahan
berhenti untuk selama-lamanya.

a. Kalau dimaksudkan bahwa Filsafat India itu tidak prograsif karena persoalan-perosalannya sama,
maka janganlah tuduhan yang demikian itu hanya dilemparkan pada Fislafat India saja,s ebab did alam
perkembangan dari kefilsfatan apa saja, tentu terdapat ke-tidak progresif-an. Dari abad-ke abad,d an
dimana pun juga persoalan-persoalan lama mengenai Tuhan, mengenai kebebasan, dan mengenai
keabadian itu selalu berkali-kali diulangi, dan selalu berakhir dengan pemecahan yang tetap tidak
memuaskan. Tetapi meskipun bentuk persoalannya sama, namun materinya (isinya) berlainan. Misalnya
da perbedaan yang besar sekali antara Tuhan yang digambarkan di dalam nyanyian-nyanyian pujaan
Weda, dan Diri Yang Mutlak sebgaimana digambarkan oleh Sjamkara. Filsafat adalah kumandang dari
suatu keadaan tertentul dan oleh karena setiap keadaan itu menjadi baru lagi pada tiap-tiap generasi,
maka usaha-usaha di dalam lapangan Filsafat pun perlu diperbaharui pula.

b. Ataukah dimaksudkan bahwa tidak terdapat perbedaan pokok antara pemecahan yang diberikan di
dalam kitab-kitab suci India Kuno dan yang diberikan di dalam buah-buah kerangka Plato atau pun di
dalam kitab-kitab Agama Nasrani? Kalau ini yang dimaksudkan, maka ini hanya menunjukkan bahwa
Jiwa Universil yang Satu itu, yang selalu membagi-bagikan kasih sayang-Nya dari zaman ke zaman
(sekali pun dengan jangka waktu yang agak panjang) memperdengarkan kembali suara-Nya untuk
menyampaikan pesan-Nya kepada umat manusia. Pesanan yang kudus /Suci ini menerobos rintangan-
rintangan zaman dengan bentuk dan warna yang berbeda-beda, sesua dengan adanya bangsa-bangsa dan
tradisi-tradisi yang berbeda-beda pula.

c. Ada juga kemungkinan, bahwa yang dimaksudkan yaitu adanya penghormatan tertentu terhadpa
masa lampau, yang memaksa para ahli piir India untuk menuang minuman anggur baru ke dalam botol-
botol yang lama. Tetapi kalau ini yang dimaksudkan, maka saya akan kembali menandaskan pernyataan
saya di muka, yaitu bah hal ini justru merupakan tanda khusus dari alam pikiran India. Filsafat India
bertubuh dengan memungut kembali segala kebaikan yang pernah rontok pada hari-hari yang lampau,
untuk ditambah dengan kebaikan-kebaikan lain. Sedikit-demi sedikit. Oang India mewaris kepercayaan
nenek moyangnya, yang diubah sedikit bentuknya untuk memenuhi panggilan jaman. Kalau orang
mengkritik bahwa alam pikiran India tidak dapat disebut bernilai karena tidak disesuaikan dengan
kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan, maka saya akan menjawab bahwa orang-orang yang sedang
sibuk-sibuknya mengenyam sesuatu perkembangan baru, selalu cenderung untuk memberi cap yang
demikian itu pada hal-hal yag menurut pandangannya sudah ketinggalan jaman. Yang mengkritik
demikian itu mungkin mengira, bahwa perkembangan-perkembangan ilmiah telah menimbulkan
perubahan-perubahan besar pada inti/hakekat filsfat. Kalau ditinjau dari segi-seginya ilmiah, memang
teori-teori seperti yang mengenai Evolusi biologis dan mengenai relavitet physik itu adalah
revolusioner sekali, tetapi sebaliknya, teori-teori tersebut sama sekali tidak mengacaukan kefilsafatan-
kefislafatan lama, melainkan malahan memperkuat kebenarannya, dengan menilainya dari sudut-sudut
pandangan baru.

d. Tentang tidak progresifnya Filsafat India dan tetap berhentinya di tempat yang sama, itu memang
suatu tuduhan yang benar, asal saja dituduhkan pada periode yang datang sesudah jaman para komentator
ulung yang pertama-tama. Beban yang ditinggalkan oleh masa lampau terasa semakin berat, segala
inisiatif terkekang kuat-kuat, dan dimulailah suatu pekerjaan yang serupa dengan apa yang telah
dilakukan oleh para scholastici apad aabad pertengahan, dimana kewibawaan serta tradisi dihormati
sebesar-besarnya, dan dimana prasangka-prasangka theologis sduah meresap dalam-dalam. Andai kata
ada lebih banyak kebebasan, maka sudah terang bahw para ahli Filsafat India lalu akan lebih berhasil
dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai. Sebab untuk melanjutkan perkembangan daari
Filsafat yang hidup, dan untuk tetap memelihara dan menyuburkan tenaga-tenaga yang kreatif,
dibutuhkan adanya kontak secara bebas dengan gerakan-gerakan hidup di dunia ini, supaya benar-benar
dapat terselenggara kebebasan di dalam alam pikiran. Filsafat India yang telah kehilangan kekuatan serta
tenaganya sejak negaranya menderita kekalahan politik, baranggkalai akan mendapat ilham-ilham baru
dan dorongan baru dari jaman yang sekarang sedang menyingsingkan fajarnya di atas India. Bagaimana
pun juga , bila mana para ahli pikir India dapat mengkombinasikan cintanya akan masa lampau dengan
kehausannya akan Kebenaran, maka Filsafat India akan menginjak suatu masa depan yang segemilang
masa lampaunya.

4. NILAI DARI STUDI YANG DITUJUKAN PADA FILSAFAT INDIA

Orang mempelajari Filsafat India tidak sebagai barang antik (kuno) semata-mata. Ada manfaatnya juga
untuk mengerti bagaimana jalan pikirannya para ahli filsafat pada masa yang lampau, dan bagaimana
ujudnya ide-ide yang menghinggapi mereka. Hal sesuatu yang pernah menjadi pusat perhatian orang
banyak, untuk seterusnya tidak akan kehilagan seluruh nilainya. Dengan menilik kembali kaum Arya
yang memuja-muja Weda, orang dapat menyaksikana danya pergulatan besar antara pikiran yang kuat
dengan persoalan-perosalan yang tergolong paling sulit diantara yang pernah dihadapi oleh manusia yang
berpikir, Kata Hegel :

Sejarah Filsafat di dalam arti yang sebenarnya, tidak berkisar pada amsa yang lampau, melainkan
berkisar apda masa sekarang yang kita hadapi di manapun kita berada. Dan hasilnya bukanlah sebuah
musium yang berisikan kesesatan-kesesatan dari intelek manusia, melainkan sebuha bangsal dimana
orang mendewa-dewakan tokoh-tokoh yang mewakili berbagai tingkat Logica, di dalam alam pikiran
seluruh umat manusia (Logicc terjemahan Wallace).

Aka ternyata pula bahwa Sejarah Filsafat India berlainan sekli dengan kesan pertama yang kita peroleh
daripadanya. Sebab Filsafat India bukanlah semata-mata suatu rentetan saja dari ide-ide yang susul-
menyusul di dalam jangka waktu yang pendek.
Memang mudah sekali untuk memandang Filsafat sebagai olah raga saja, sebab bagi mereka yang sudah
puas dengan hidup berpancaindra dan berpikir tanpa aturan, persoalan-persoalan Filsafat nampak sebagai
hal-hal yang tidak nyata dan yang tidak masuk akal. Mereka yang memusuhi Filssafat mengkritik bahwa
pihak-pihak yang menjelang gerakan diskusi-diskusi Fislafat itu membuang-buang waktu saja dengan
saling damprat mendamprat secara logis dan main sulap dengan intelek manusia, sedang yang dibicarakan
panjang lebar itu tak lain daripada teka-teki seperti : Mana yang ada lebih dulu, telor atau ayam?
(Bagaimanapun juga, ini ternyata bukan soal yang remeh-remeh. Bacalah Luck or Cunning buha
karangan Samuel Butler).

Persoalan-persoalan yang dibicarakan di dalam Filsafat India telah mengagumkan umat manusia sejak
dahulu kala, sekali pun persoalan-persoalan itu belum pernah duga mendapat penyelsaian yang
memuaskan. Agaknya manusia itu mempunyai kebutuhan atau keinginan besar untuk mengetahui sifat
hakekat baik dari apa yang dinamakan roh/Jiwa mau pun dari Tuhan. Setiap orang yang mau memikirkan
bahwa dirinya dari lahir sampai mati nyata-nyata terseret oleh arus yang mengalir tanpa berhenti mau
memikirkan tentang alun hidup yang makin meninggi, tentang hal-hal yang jadi menjadi dan susul
menyusul dengan tiada hentinya, tentu akan bertanya :

Apakah maksudnya ini semua? Apakah artinya sebagai keseluruhan, kalau kita menyampingkan dulu
kejadian-kejaidan yang kecil-kecil dan membingungkan?

Filsafat bukanlah suatu keanehan, melainkan suatu hal yang memenuhi kepentingan/kebutuhan orang
India. Memang ada orang-orang yang berfilsafat untuk mencari nafkah; dan ini boleh jadi adalah suatu
pekerjaan yang sia-sia. Tetapi kalau itu kita kesampingkan, maka dapat dikatakan bahwa di dalam
lapangan logica, di India terdapat perkembangan-perkembangan pikrian yang paling maju. Buah-buah
karya dari para ahli filsafat India adalah sedemikian bernilainya bagi kemajuan pengetahuan manusia,
sehingga akami menganggap pekerjaan mereka sebgai sesuatu yang patut dipelajari dengan sungguh-
sungguh, sekalipun mungkin juga mengandung kekeliruan yang menyolok mata. Bilamana adanya
sophisme-sophisme yang mencemarkan nama Fislafat pada waktu yang lampau itu dijadikan alasan untuk
meniadakan pelajaran fislafat, maka tidak hanya studi akan Filsafat India saja, tetapi juga seluruh studi
yang berbau filsafat itu sebaiknya dihapuskan pula.

Bagaimana pun juga, ampas ayang masih tinggal di dalam saringan yang dipakai untuk menepis
kebenaran yang tetap (Boleh diakui bahwa ini adalah iuran yang berfaedah sekali bagi perkembangan
pikiran manusia), Itu tidak seberapa banyak, juga setelah diperhitungkan buah-buah kerja dari ahli-ahli
pikir Barat yang besar-besar seperti Plato dan Aristoteles. Orang mudah tersenyum geli, kalau
menghadapi langgam musik halus yang menggema di dalam buah-buah karangan Plato, atau menjumpai
dogmatisme Descartes yang buta celik, atau berhaapan dengan Empirisme Hume yang kruang segar, atau
meninjau paradox-paradox Hegel yang menyengangkan. Tetapi bagaimana pun juga, tidak dapat kita
bantah studi yang dipusatkan pada buah-buah kerja mereka itu menguntungkan juga.

Kembali pada filsafat India, walau pun di antara kebenran-kebenran hakiki dari Filsafat India itu hanya
sedikit saja yang telah ikut membentuk sejarah alam pikiran manusia, namun di situ terdapat synthetis-
synthetis umum serta konsep-konsep yang diajukan dengan cara yang systematis oleh entah Badarayana
entah Syamkara, yang sebagai patokan-patokan pembatasan di dlaam pikiran manusia dan sebagai tugu-
tugu peringatan akan kepandaian sesama kita, sudah barang tentu akan menghias sejarah kita untuk
selama-amanya.

------------------------------------

Catatatn Penulis :

Catatan penulis :

Banyak sarjana-sarjana Barat mengakui bernilainya Fislafat India. Kata Victor Cousin :

Sebaliknya apabila kita mengikuti pergerakan-pergerakan di Timur dalam lapangan kepujanggaan dan
Filsafat, maka yang terutama berasal dari India (dan yang mulai menyebar ke Eropah) itu menarik
perhatian karna banyaknya kebenraan-kebenaran yang terdapat di dalamnya. Dan kebenaran-kebenaran
ini sedemikian dalamnya, dan sedemikian berbedanya dengan hasil-hasil remeh yang kadang-kadang
menyebabkan para ahli di eropah menghentikan pekerjaannya, hingga kita terpaksa membuka topi dan
mengakui bahwa di Timur kita menemukan tanah air dari kefilsafatan tingkat Tertinggi.

Menurut Max Muller :

Sampai kini orang eropa itu kebanyakndisuapi saja dengan pikiran-pikiran Yunani dan Romawi, dan
jgua dengan ide-ide yang berasal dari bangsa Yahudi. Tetapi jikalau sekarang aku merenung diri, untuk
memikirkan tentang kesusteraan manakah yang sekiranya dapat memberikan kepada oran Eropa jalan
baru yang paling banyak memenuhi harapan, yang dapat lebih difahami, yang lebih universal sifatnya,
yang pada kenyataannya lebih cocok dengan sifat-sifat manusia, yang tidak saja sesuai dengan hidup
sekarang tetapi juga dengan suatu hidup abadi yang memenuhi idam-idaman manusia, maka aku sekali
lagi akan menunjuk ke arah India.

Max Muller juga berkta :


Di antara bangsa-bangsa yang apda hakekatnya berpegang teguh pada kefilsafatannya dan
metaphysicanya sendir, dan yang pada bakatnya mempunyai hasrat untuk menyelaminya, seperti bangsa
Jerman apda jaman sekarang dan bangsa Yahudi pada jaman dahulu terdapat juga bangsa Hindu yang
menduduki tempat nomor satu kalau ditinjau dari lamanya waktu.

-----------------------------------------

Bagi seorang Pelajar India, studi akan Filsafat India saja sudah dapat memberikan kepada suatu
penglihata yang tajam perihal kedudukan India pada masa yang lampau. Pada waktu sekarang, orang
Hindu pada umumya menganggap system-syste dari jaman yang lampau, yatu Buddhisme dan
Adwaitisme, semuanya sebaga sama-sama bernilai dan dapat diterima oleh akal. Pengarang-pengaran dari
system-system it dipuja-puja, sebagai Dewa. Studi akan Filsafat India akan membawakan baik pengertian
yang jelas tentang situasinya, sudut pandangan yang tehuh dan tak memihak, mau pun keinsyafan bahwa
segala sesuatu dari jaman kuno itu tidak boleh dianggap sduah sempurna. Dan tercapainya keinsyafan
yang demikian ini adalah sesuatu yang pantas dicita-citakan. Sebab apabila intelek itu sudah dilepaskan
dari tekanan-tekanannya, maka lalu dimungkinkan tembulnya pikiran-pikiran yang asli dan usaha-usaha
yang kreatif. Boleh jadi ada orangg-orang India yang pada waktu sekarang dengan hati berat merasa puas
dengan mengetahui beberapa detail saja dari permulaan sejarah negerinya. Memang orang-orang tua itu
suka menghibur dirinya dengan ceritera-ceritera dari masa mudanya; dan suatu cara untuk melupakan
masa sekarang yang seburuk ini, adalah membaca tentang masa lampau yang serba gemilang.

5. BERBAGAI PERIODE DI DALAM PERKEMBANGAN ALAM PIKIRAN INDIA

Saya pandang perlu untuk sekedar memberi alasan mengapa saya telah memilih Fislafat India sebagai
kepala dari buku ini, dan mengapa saya membicarakan fislafat orang-orang Hindu terlepas dari suku-suku
bangsa lain yang juga berdiam di India. Yang terutama menjadi alasan adalah :

Adanya kebiasaan untuk mempergunakan istilah itu. Pun pada waktu sekarang ini dapat dikatakan
bahwa istilah India itu terutama berarti Hindu. Dan yang kita bicarakan di sini adalah Sejarah Alam
Pikiran India, hanya sampai tahun 1.000 M. Atau lewat sedikit. Jadi sebelum kekayaan-kekayaan orang
Hindu menjadi didpertalikan dengan hl-hal yang bukan asli Hindu.

Berbagai-bagai orang pada jaman yang berbeda-beda telah memberikan sumbangannya kepada
perkembangan yang terus menerus dari alam pikiran India. Dan kekuatan jiwa India telah memberikan
pengaruhnya yang tidak sedikit. Bagi kita tidaklah mungkin untuk mempunyai kepstian tentang
chronologi (urut-urutan waktu) dari fase-fase perkemebangan itu. Tetapi bagaimana pun juga, kita akan
berusaha untuk meneropong alam pikiran India dari sudut sejarah.

Ada berbaai aliran yang ajaran-ajarannya bersangkut paut dengan keadaan sekitarnya, dan sebaiknya
semuanya ini di tinjau bersama-sama. Sebab, kalau ditinjau satu per satu, akan hilanglah daya penariknya,
dan kita akan memandangnya sebagai tradisi-tradisi yang sudah mati.

Tiap-tiap system kefilsafatan itu adalah jawaban atas suatu pertanyaan positif yang timbul pada periode
yang bersangkutan. Dan kalau orang pada sesuatu periode memnadang suatu persoalan dari sudutnya
sendiri, maka ia tentu akan menemukan sesuatu kebenaran juga. Kefilsafatan-kefilsafatan India itu
bukanlah sejumlah dalil-dalil yang memberikan penyelesaian ata pun juga yang dijadikan pegangan orang
tanpa diketahui artinya yang sebenarnya, melainkan merupakan :

Pernyatan dan evolusi sesuatu pikiran, yang perlu kita selami dahulu, kalau kita ingin mengetahui
bagaimana terbentuknya system-system tersebut.

Kita berusaha mengakui adanya :

Hubungan setia-kawan (Solidarity) antara ffilsafat dan Sejarah antara hidup yang berdasarkan inntelek
dan keadaan-keadaan sosial.

Dalam gambaran Walter Pater :

Seperti pohon cemara yang tumbuh dengan gerak berputar (suatu hal yang tentunya dipandang sebagai
perminan alam belaka kalau kebetulan terjadi di tenagh-tengah lapangan rumput di Inggris) itu dapat
dianggap sebagai akibat dari pergulatan antara kekuatan-kekuatan dari arus-arus air yag mengalir di
pegunungan Lapa (Alpine), atau dianggap sebagai ciptaan yang dipaksakan oleh keadaan, atau juga
sebagai ciptaan yang sudah logis kalau melihat adanya fakta-fakta tertentu, maka demikian juga
kepercayaan-kepercayaan yang bagaimana pun anehnya itu akan dilihat sebagai hal-hal yang sudah
semestinya, asal saja orang tahu bagaimana cara menghubung-hubungkan dengan keadaan sekitarnya.
Sebenarnya, kepercayaan-kepercayaan itu merupakan bagian-bagian dari keadaan sekeitarnya (Plato and
Platonism).

Methode historis menghendaki supaya kita jangan memihak dalam kita meninjau pertarungan antara
berbagai aliran, tetapi supaya kita mengikuti perkembangannya dengan sikap tak peduli mana yang
menang dan mana yang kalah.
Karena kita menyadari betapa pentingnya peranan waktu di dalam Sejarah, maka kita juga sangat
menyayangkan bahwa di India hampir-hampir tak pernah diadakan pencatatan tentang kapan lahirnya
sesuatu system. Sehingga orang tidak dapat mengetahui system mana yang ada lebih dahulu, yang ini atau
yang itu. Orang India pada jaman kuno sedemikian sedikit perhatiannya akan Sejarah, atau barangkali
juga dapat dikatakan sedemikian berlebih lebihan perhatiannya akan filsafat, hingga kita sekarang lebih
banyak mengetahui tentang kefilsafatannya daripada tentang ahli-ahli filsafatnya. Tetapi sejak lahirnya
Buddha, orang menaruh lebih banyak perhatian akan urutan waktu. Meluasnya apengaruh Buddhisme
terjadi bersamaan dengan meluasnya kekuasaan orang Iran sampai sungai Indus, di bawah Dynasti
Achaemenidia dari Iran. Dan menurut pendengaran, Buddhisme ini menjadi sumber dari mana orang
Barat mulai mengetahui sesuatu tentang India, yaitu karena dipelajari oleh Hecateus dan Herodotus.

Di dalam garis besarnya, Filsfat India itu dibagi-bagi sebagai berikut :

1.

Periode Weda (Tahun 1.500 600 sebelum Masehi) yang meliputi jaman tegaknya kekuasaan orang-
orang Arya dan meluasnya kebudayaan serta peradaban Arya secara selangkah-demi selangkah. Pada
periode ini tercatat berdirinya Universitas-Universitas kehutanan dimana idealisme tinggi dari India
mulai berkembang. Di situ kita menghadapi aliran-aliran pikiran yang susul menyusul dan yang dapat
mudah dikenal karena adanya Mantra-Mantra atau nyanyian-nyanyian pujaan, pemeluk-pemeluk Agama
Brahma, dan Upanishad-uphanisad. Pendapat-pendapat yang diajukan di dalam periode ini belum dapata
disebut filosofis menurut arti katanya juga teknis. Ini adalah suatu periode di mana orang masih meraba-
raba dan mencari-cari di mana pikiran dan tachayul saling bercakar-cakaran. Tetapi untuk memenuhi
ketertiban dan urut-urutan dalam menguraikan pokok pembicaraan kita ini, perlulah kita mulai dengan
membahas pendapat-pendapat yang ermuat di dalam nyaian-nyanyian pujaan Regweda, dan
membicarakan tentang sudut pandangan yang terdapat di alam Upanishad-Upanishad.

2.

Periode hikayat/cerita-cerita kepahlawanan (epic Periode ; 600 sebelum Masehi sampai 200 sesudah
Masehi). Di sini berkembanglah baik Upanishad-Upanishad yang dulu-dulu, mau pun darsjana-darsjana
atau system-system kefilsafatan. Hikayat Ramayana dan Mahabharata menjadi alat pemancar dari amanat
baru yang datang dari hubungan antara sifat kepahlawanan dan sifat Ke-Tuhanan di dalam diri manusia.
Pun di dalam periode ini kita menjumpai suatu pen-demokrasiansecara besar-besaran dari ide-ide
Upanishad ke dalam Buddhisme dan kedalam Bhagawadgita. System-system yang religius dari
Buddhisme, Jainisme, Syiwaisme, dan Wishnuisme termasuk periode ini. Perkembangan dari pikiran-
pikiran abstrak, yang mencapai puncaknya pada berbagai aliran/madzhab Fislafat India di dalam bentuk
dasjana, juga termasuk periode ini. Kebanyakan di antara system-system itu mulai timbul kira-kira
bersamaan dengan melebarnya Buddhisme, sedang system system ini berkembang dari abad ke abad
secara berdampingan. Tetapi buah-buah kerja yang disusun systematis oleh aliran/aliran/madzhab-
madzhab tersebut baru selesai dan baru dapat kita saksikan pada periode yang kemudian.

3.

Lalu datang periode Sutra )Sejal 200 tahun, sesudah Masehi) Yang dijadikan pokok pembicaraan menjadi
sedemikian banyaknya, hingga sukar sekali untuk menguasai seluruhnya. Maka juga dirasakan perlunya
untuk membuat sekema kefilsafatan yang pendek dan ringkas. Ikhtisar ini dibuat di dalam bentuk Sutra.
Sutra-sutra ini tidak dapat dimengerti kalau tidak ada komentarnya, maka juga tidak mengherankan
bahwa komentar-komentarnya menjadi lebih penting daripada sutra-sutranya sendiri. Di dalam
perkembangan pada periode ini sudah tercapai suatu sikap yang kritis di dalam lapangan filsafat. Di
dalam periode-periode sebelumnya kita sudah menjumpai diskusi-diskusi kefilsafatan dimana akal tidak
bagitu saja menerima apa yang dikatakan orang, hingga terdapat suatu permainan yang mengitari pokok
persoalannya, dengan mengajukan keberatan-keberatan dan jawaban-jawaban atas itu. Dengan jalan
intuisi, para ahli pikir dapat sampai pada prinsip-prinsip umum yang bagi mereka agaknya dapat
menerangkan segala aspek alam semesta. Sekali pun di sini synthesis-synthesis kefilsafatan itu sifatnya
sudah mendalam dan cermat, namun keadaannya boleh dikata menderita terus menerus karena tidak ada
sikap yang terutama kritis seperi dianjurkan oleh Knt. Tanpa amengkritik lebih dahulu apakah manusia itu
mampu untuk memecahkan persoalan-persoalan filosofis, mereka mengarahkan pandangannya kepada
dunia dan berpikir-pikir sampai tercapai konklusi-konklusinya. Usaha-usaha pertma yang diadakan untuk
memahami dan menerangkan dunia, belum dapat disebut Sungguh-sungguh filosofis, oleh karena
mereka belum diganggu oleh suara-suara yang menanyakan sampai berapa jauhkah kekuasaan manusia di
dalam hal ini. Dan apa sudah tepatkah alat-alat dan criterium-criterium yang dipergunakan di sini. Seperti
dikatakan oleh Caird : Akal manusia sedang begitu sibuk menyelidiki obyeknya, hingga tidak ada
kesempatan untuk mengawasi dirinya sendiri. (Bacalah Critical Philosophy of Kant). Setelah sampai
pada sutra-sutra, maka barulah pikiran-pikiran dan renungan-renungan itu menyadari dirinya, sehingga
pikiran-pikiran dan renungan-renungan tidak lagi semata-mata merupakan paham-paham satau pun
menggambarkan kebebasan yang masih dipengaruhi oleh Agama. Mengenai system-systemnya sendiri
tidak dapat dikatakan dengan tepat, mana yang lahir lebih dahulu dan mana yang datang belakangan.

Aliran-aliran itu saling tunjuk menunjuk, yaitu di dalam hal yang satu menerima pandangan Samkhya,
dan Waisyesika mengakui kebenaran pandangan Nyata maupun samkhya. Nyaya menunjuk pada baik
Wedanta mau pun samkhya. Secara langsung atau tidak langsung, Mimamsa mengakui bahwa aliran-
aliran lainnya telah muncul lebih dahulu daripadanya. Tetapi demikian juga pendapat Wedanta. Menurut
Prof. Garbe, aliran yang tertua adalah aliran Samkhya, Kemudian muncul Yoga, dan yang terakhir adalah
Waisjesika dan Nyaya. Periode Sutra tidak dapat dibedakan dengan tegas dari periode scholastik para
komentator. Kedua periode tersebut boleh dikata masih berlangsung sampai kini,

4.

Periode Scholastik pun mulai sejak abad ke 2 sesudah M. Mustahil bagi kami, untuk menarik garis
perbatasan yang tegas antara Periode ini dan Periode Sutra. Tetapi di sini tercatat nama-nama besar
seperti Kumarila, Syamkara, Syridhara, Ramanudja, Madhwa, Wacaspati, Udayana, Bhaskara, Jayanta,
Wijnanabhiksu dan Raghunatha. Kesustraan yang terdapat di dalam periode ini pada umumnya berbentuk
pertengkaran pena. Kita menghadapi di sini guru-guru Filsafat yang bercekcok karena masing-masing
mempunyai teori-teorinya sedniri yang cerdik licin, dengan mengajukan alasan-alasan yang tersusun
rapih. Mereka dengan ganas bertengkar dalam menetapkan sifat-sifat umum atas dasar Logica. Banyak
sarjana-sarjana India takut membuka buku-buku mereka ini, sebab buku-buku itu tidak memberi
penjelasan, melainkan acapkali malahan membingungkan. Tidak soerang pun menyangkal bahwa mereka
cerdik dan penuh bersemangat. Tetapi dari mereka kita hanya menerima kata-kata saja, dan bukan sesuatu
jalan pikiran. Kita tidak memjumpai filsafat, melainkan suatu pertengkaran dengan kata-kata yang tepat
sekali kalau dipandang dari sudut Logika. Ini juga jamannya komentar-komentar dari jenis yang paling
buruk, yang pikirannya samar-samar, tetapi yang menguasai Logica didalam bentuk kata-kata yang
tersusun rapih, sedang mereka bersikap tidak sabar terhadap pihak lawan. Sudah barang tentu ada pula
komentar-komentar dari jenis yang lebih baik, dan yang nilainya sama tingginya dengan ahli-ahli pikir
kuno yang dikomentari buah karyanya. Komentator-komentator seperti syamkara dan Ramanuja, kembali
menandaskan ajaran-ajaran lama, dan pernyataan mereka adalah sama nilainya dengan sesuatu
pendapatan baru di dalam lapangan kejiwaan/kerohanian.

Ada beberapa buku Sejarah Filsafat India yang semuanya ditulis oleh pengarang-pengarang India.
Hampir semua komentator di kemudian hari mendiskusikan ajaran-ajaran orang lain yang ditilik dari
sudut pandangnya sendiri. Sehingga dari komentator meraka ini kita dapat mempunyai bayangan tentang
bagaimana pandangan-pandangan orang pada jaman yang menjadi obyek pembicaraan itu. Ada pula
orang-orang yang dengan hati sadar berusaha untuk menguraikan system-system yang beraneka warna itu
secara berturut-turut.

Di antara Laporan-laporan historis tersebut dan beberapa yang penting , dan yang akan saya sebutkan di
bawah.
1. Saddara Jamuccaya atau Ringkasan dari enam system adalah nama buah karangan yang
ditulis oleh Haribhadra. Kata Barth : Haribhadra yang menurut tradisi meninggal pada tahun 529
sesudah Masehi. Tetapi menurut penyelidikan yang lebih seksama ternyata hidup apda abad ke 9, yang
suka mempergunakan kata-kata yang sama tetapi lain artinya, adalah seorang gpenganut Brahmanisme
yang kemudian beralih menganut Jainisme. Ia masih termasyhur sebagai pengarang dari 1400 Prabandha
(artinya 1400 bab) dan agaknya ia adalah salah seorang di antara mereka yang pertama-tama telah
memasukkan bahasa Sanskerta ke dalam literatur kefilsafatan dari pengikut-pengikut Janisme
Sywetambara. Bagi penganut-penganut Brahmanisme, apa yang disebut 6 system itu terdiri atas : Kedua
Mimasa, Samkhya dan Yoga, Nyata dan Waisyesika. Sebaliknya Haribadra di dalam buah pena tersebut
telah membahas secara pendek dan obyektif di dalam 87 Sloka, prinsip-prinsip pokok dari Kaum
Buddhist, dari Jainisme, dari pengikut-pengikut Nyata, dari Samkhya, dari Waisyesika dan dari
Mimamsa. Dengan demikina maka Haribhadra menempatkan alirannya sendiri (yaitu Jainisme), bersma-
sama dengan aliran-aliran yang mempunyai banyak pertalian dengan jainisme, di antara aliran-aliran lain
yang menjadi lawan. Dan lawan mereka adalah kaum Budhhist dan kaum Ritualist dari aliran Jainisme.
Yang akhir ini dipersekutukan olehnya dengan kaum Lokayatika, yaitu kaum Materialist yang atheistis.
Ini dilakukan olehnya, tidak karena ia fanatik sekali dalam soal penggolong-golongan sekte, dan juga
tidak untuk menuruti keinginannya sendiri, melainkan atas dasar suatu pendapat yang pada waktu itu
memang banyak dianut, juga diantara para penganut Brahmanisme (Bacalah Indian Atiquary).

2. Orang berpendapat bahwa Samantabhadra, seorang pengikut Jainisme digambarkan dari abad
ke-6, telah menulis buku yang berkepala Aptamimamsa, dimana ia memperkenalkan kita dengan aliran-
aliran filosofis yang beraneka warna itu (Bacalah buah karangan Widyabhushan Mediaeval Systems of
Indian Logic).

3. Seorang Buddhist Madhya-Muka, yaitu Bhawawiweka, termashur sebagai pengarang dari


Tarkajwala yang berupa suatu kritik terhadap aliran-aliran Mimamsa, Samkhya, Weisyesika dan
Wedanta.

4. Menurut mereka yang sudah membaca, Widyananda, seorang pengikut Jainisme Digambarkan
di dalam bukunya Astasahasri dan juga :

5. Merutungga (juga seorang Jainist Digambara) di dalam bukunya Saddarsjana Vicara


(Tahun 1.300 sesudah M) telah mengkritik system-system Hindu.
6. Pembahasan mengenai Filsafat India yang terkenal sekali, adalah yang dilakukan oleh
Madhawacarya (Seorang penganut aliran Wedanta yang termasyhur) di dalam buku yang berjudul
Sarwadarsjanasamgraha, Ia hidup pada abad ke 14, di India Selatan.

7. Sarwaseddhantasarasamgraha yang menurut anggapan telah ditulis oleh Syamkara


(Anggapan ini agaknya keliru. Bacalah Indian Logic, buah karangan Keith) dan :

8. Prasthananabheda, buah karangan Madhusudana Saraswati (bacalah Six Systems, buah


karangan Max Muller), mengandung bahan-bahan yang berguna sekali dalam mempelajarai kefilsafatan-
kefilsafatan India yang beraneka warna itu.

BAB.II : PENUTUP KATA

6. PERKEMBANGAN FILSAFAT

Jalan yang ditempuh oleh Filsafat Hindu di dalam proses perkembangannya Kesatuan dari system-
system yang bermacam-macam Semangat di dalam lapangan Filsafat mengalami kemudnuran di hari-
hari belakangan Kontak/Hubungan dengan Barata Keadaan sekarang - Conservatisme dan
Redicalisme - Masa Depan.

7. PERKEMBANGAN FILSAFAT

Sepanjang sejarah, bangsa India selalu digoda-goda oleh pikiran untuk menemukan sebuah dunia idam-
idaman, yang lebih nyata dan lebih sukar didekati daripada dunia nyata dan lebih sukar didekati daripada
dunia yang biasa kita hadapi sehari-harinya, dan yang merupakan tempat kediaman yang sebenarnya dari
roh/jiwa. Apa yang kita lihat di India, benar-benar melukiskan usaha manusia yang tak kunjung padam
untuk memecahkan teka-teki yang menyelubungi Sphinx, dan untuk menempatkan dirinya pada tangga
kesusilaan dan kerohanian/kejiwaan, yang menjulang tinggi di atas watak-watak kebinatangan.
Perjuangan ini telah berlangsung sejak 4.000 tahun yang lalu (atau lebih, kalau penemuan-penemuan para
ahli purbakala di Sind dan di Punjab baru-baru ini, yang membuka tabir penutup jaman yang sudah lama-
silam, ikut didperhitungkan), Sejarah manusia telah mencatat berbagai hal yang akan tetap merupakan
tugu-tugu peringatan di dalam perkembangan filsafat, yaitu :
a. Adanya kepercayaan seperti yang terdapat pada kanak-kanak saja (Naviva) bahwa dunia itu
dikuasai oleh Dewa-dewa Matahari dan Langit, yang dari atas mengawasi baik buruknya tingkah laku
manusia;

b. Adanya kepercayaan bahwa Dewa-Dewa yang dapat dipaksa secara halus dengan doa atau rite
untuk memenuhi permintaan manusia, itu adalah bentuk-bentuk ssaja dari Satu Makhluk Tertinggi;

c. Adanya keyakinan besar bahwa jiwa yang suci murni yang memberi tahu bahwa hidup itu abadi,
adalah Satu dengan roh terdalam dari manusia (Innermost soul of man);

d. Timbulnya materialisme, scepticisme dan fatalisme, dan digantikannya isme-isme tersebut dengan
system-system ethis dari Buddhisme dan Jainisme yang pada pokoknya mengajarkan bahwa dengan atau
tanpa Tuhan, orang dapat membebakan diri dari segala macam bencana, yaitu dengan jalan menjauhi
kejahatan/keburukan, baik di dalam pikiran, perkataan mau pun perbuatan;

e. Theisme liberal dari Bhagawadgita yang mengajarkan bahwa di samping kesempurnaan


metaphysis, jiwa itu masih harus dilengkapi dengan kesempurnaan ethis;

f. Schema Nyaya yang didasarkan atas Logica. Daripadanya, dunia pengetahuan telah mendapat
katagori-katagori yang sampai kini masih tetap dipergunakan;

g. Caranya system Waisyesika menafsirkan alam kodrat;

h. Teori-teori Samkhya di dalam lapangan ilmiah dan psychologi;

i. Schema Yoga yang menunjukkan jalan ke arah Kesempurnaan;

j. Tata tertib di dalam lapangan Ethisca dan Sosial sebagaimana dianjurkan oleh Mimamsa, dan
penafsiran religius mengenai kenyataan tertinggi sebagaimana diajukan oleh Syamkara, Ramanuja,
Madhwa dan Mimbarka, Wallabha dan Jiwa Goswami.

Di dalam urut-urutan yang logis, type yang satu menyusul type yang lain, dan aliran yang satu menyusul
aliran yang lain. Selama hidupnya, orang India tidak pernah berhenti bergerak, dan di dalam
perkembangan ini, cara hidupnya yang makin konkrit bentuknya itu kadang-kadang berubah,s esuai
dengan kebutuhan-kebutuhan physik, sosial dan cultural. Mula-mula, sewaktu orang India melakukan
segala sesuatu baru untuk pertama kalinya, tidak ada praktek-praktek dari masa lampau yang dapat
dicontoh. Bagaimana dapat mencontoh kebijaksaan kalau ini belum pernah ada sebelumnya, dan
bagaimana caranya mengatasi kesulitan-kesulitan yang bukan main banyaknya itu! Namun demikian,
hasil-hasil yang mereka capai di dalam alam pikiran dan praktek, bolehlah dibanggakan. Tetapi hasil-hasil
ini belum lengkap, dan masih dapat diharapkan perkembangan-perkembangan lain, sebab Sphinx-nya
masih tetap tersenyum simpul. Filsafat India belum lagi mencapai tingkat kedewasaannya.

Dalam mempelajari filsfat India (dan Juga dalam mempelajari Filsafat-filsafat lainnya), orang tak saja
mendapat bayangan tentang betapa sulitnya memecahkan soal Keberadadaan yang luas lainnya serta
banyak rahasisa-rahasianya itu, tetapi juga mendapat bayangan tentang betapa bernilainya usaha-usaha
manusia yang tak kenal lelah itu untuk memahaminya. Rentetan panjang ahli-ahli pikir, berjuang mati-
matian untuk menyumbangkan sekedarnya pada Kuil Kebijaksanaan, dan untuk menambahkan sesuatu
baru pada pengetahuan manusia yang masih kurang-kurang gsaja. Tetapi pikiran manusia belum lagi
mampu untuk mendekati cita-cita yang tak mungkin ditinggalkan tetapi juga tak mungkin terlaksanakan.
Kami jauh lebih yakin akan gelapnya keadaan yang mengelilinginya dan akan kurangnya tenaga serta
kekuatan manusia untuk menerangi kegelapan itu dengan obor yang kami waris dari jaman-lampau yang
gilang-gemilang. Bagaimana pun juga, jarak yang masih memisahkan kami dari tujuan terakhir, tidak
begitu jauh lagi kalau dibandingkan dengan keadaan pada jaman-jaman yang lampau. Tetapi jarak itu
nampaknya tidak mungkin terlampaui, dan manusia barangkali akan teteap terikat seperti Prometheus
pada batu rahasia, dengan tali temali dari akal yang serba terbatas.

Kata Xenophanes (Gomperz : Greek Thinkers) :

Tidak seorang pun pernah berhasil memperoleh kepastian mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
Dewa-Dewa dan yang berhubungan dengan apa yang ku namakan Sifat-sifat Universal, dan di masa
depan pun tidak akan ada orang yang dapat mencapainya. Malahan andaikata ada yang kebetulan
menemukan kebenarannya, ia sendiri toh tidak tahu, sebab segala sesuatu saja dapat nampak benar.

Tetapi, filsafat tidak dimaksudkan untuk menelorkan usaha-usaha yang sia-sia belaka. Filsafat menolong
kita untuk ikut merasakan bahwa tali- temali yang mengikat manusia itu makin berubah dari jaman ke
jaman. Filsfat mempertebal keyakinan manusia akan ke-tidak-sempurnaannya. Sehingga makin
mendalamlah pengertiannya tentang apa yang dinamakan Kesempurnaan, dan makin terasalah bahwa
hidupnya masih jauh dari sempurna. Bahwa Dunia tidak dapat dibuka tabir rahasianya oleh intelek
manusia seperti yang menjadi keinginan kita, tidak usah dikagumi, sebab ahli filsafat itu adalah pecinta
kebijaksanaan semata-mata, dan bukannya pemiliki kebijaksanaan. Yang dipersoalkan bukan akhirnya
perjalanan, melainkan perjalanannya sendiri. Lebih baik masih di tengah jalan, daripada sudah sampai.

Menjelang tamatnya buku ini, kita boleh bertanya :

1. Apakah fakta-fakta yang diketahui dari Sejarah itu memperkuat kepercayaan manusia akan adanya
kemajuan-kemajuan?
2. Apakah perjalanan yang ditempuh oleh pikiran manusia itu, maju atau mundur arahnya?

Pertanyaan ini mempunyai ekor-ekornya yang tidak dapat diabaikan. Di India orang percaya bahwa ia
mendapat kemajuan-kemajuan, sebab seperti yang sudah saya katakan, cyklus-cyklus waktu di sana saling
terikat oleh seutas tali yang hidup. Pada intinya, perkembangan-perkembangan yang selalu maju ke depan
itu tidak pernah mengenal titik berhenti. Malahn juga revolusi-revolusi yang mengancam akan menelan
masa yang lampau, judtru menolong memperbaiki kerusakan-kerusakannya. Angin-angin yang
berhembus ke arah belakang, ternyata lebih memperkuat daripada menghambat proses perkembangan itu.
Periode dkemunduran seperti yang dialami dihari-hari belakangan ini, sebetulnya amerupakan periode
peralihan saja dari cara hidup yang lama ke cara hidup yang baru. Dua macam arus, yang satu maju yang
lain mundur, bercampur di sini. Pada sesuatu waktu, arusnya amengalir maju dengan kencangnya, pada
lain waktu lagi, nampaknya lebih mundur daripada maju, tetapi : Kalau ditilik perkembangan
seluruhnya, maka arus itu terang-terang maju ke depan.

Tidak ada gunanya untuk memungkiri bahwa di dalam proses itu tercatat hal-hal yang tenggelam musnah.
Tetapi lebih baik kehilangan barang yang tidak seberapa jumlahnya daripada membendung arus yang
didorong oleh jaman lampau dan yang telah mengakibatkan menetesnya air mata banyak. Bagaimana pun
juga, andaikata perkembangannya tidak berlangsung seperti yang kita saksikan ini, maka akibat-akibatnya
tentu akan lebih buruk. Yang kami pentingkan ialah amsa depan. Kami sekarang dapat mempunyai
pemandangan yang lebih terang dan lebih jauh daripada mereka yang hidup sebelum jaman kami, sebab
kami sekarang dapat berdiri di atas punggung mereka. Daripada menikmati saja ahasil-hasil dasar yang
dengan kemuliaan hati telah dicapai di dalam masa yang silam, lebih baik kami sekarang mendirikan
bangunan yang lebih tinggi dan luhur, dengan usaha-usaha yang senilai dengan yang dilakukan dahulu
dan yang sesuai dengan pandangan-pandangan moderen.

8. KESATUAN DARI SEMUA SYSTEM

Dua buah pedoman yang di dalam bentuk yang berbeda-beda telah memberi warna kepada usaha-usaha
para ahli pikir India, adalah :

1. Rasa setia terhadap tradisi, dan

2. Sumpah taat pada kebenaran.

Setiap ahli pikir mengakui bahwa prinsip-prinsip yang menjadi pegangan para tokoh dari jaman yang
lampau, berupa tugu-tugu yang terbikin di dalam pabrik kerohanian.kejiawaan. dan bilamana tugu-tugu
ini sampai kena fitnah, maka fitnahan ini akan memerciki kebudayaannya sendiri. Karena rakyat India
bersifat prosesif, dan kaya raya akan tradisi-tradisi, maka mereka lalu berjaga-jaga, jangan sampai
kebudayaan mereka terlantar, sekali pun mungkin juga mengandung unsur-unsur yang tidak construktif,
Ahli-ahli pikiran berusaha sekeras-kerasnya untuk menerangkan, melambangkan, mengubah dan
memuliakan penuturan-penuturan yang tradisional, karena emosi-emosi manusia terpusatkan di sekitar
penuturan-penuturan itu. Ahli-ahli filsafat India di kemudian hari membenarkan ketereangan-keterangan
filosofis yang bermacam ragam sebagaimana diberikan oleh tokoh-tokoh yang hidup lebih dahulu dalam
menafsirkan alam semesta, dan mereka menganggap penafsiran-penafsiran ini sebagai cara yang berbeda
beda untuk mendekati kebenaran. Pendapat-pendapat yang berbeda-beda itu tidaklah dianggap sebagai
petualangan-petualangan pikiran manusia begitu saja di dalam wilayah asing yang belum di kenal orang,
yang tidak berhubungan satu dengan lainnya, dan juga tidak dianggap sebagai koleksi (kumpulan)
keanehan-keanehan filosofis, melainkan dianggap sebagai pernyataan dari Satu Akal, yang telah
mendirikan sebuah Kuil/Candi besar, terddiri dari banyak sekali tembok-tembok dan bangsal-bangsal,
gang-gang dan tiang-tiang.

Logica dan Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Agama, saling terikat seperti bagian bagian tubuh dari mahkuk
hidup. Setiap langkah baru di dalam kemajudan pikiran manusia, selalu dilantik dengan perbaikan-
perbaikan di dalam lapangan logica. Persoalan mengenai methode, yang erat hubungannya dengan sifat-
sifat akal manusia, dipandang mempunyai nilai yang tinggi.

Menurut System Nyata :

Sesuatu kefilsafatan hanya dapat berdiri kukuh apabila didasarkan atas logica.

System Waisyesika memperingatkan bahwa :

Sesuatu kefilsafatan hanya dapat memperoleh hasil-hasil yang baik, apabila mempertimbang-tibangkan
dan memperhitungkan susunan-susunan dari perujudan-perujudan physis.

Ini mengandung anjuran, janganlah kita sampai membangun di awang-awang. Sekali pun Physica dan
Metaphysisca itu berbeda sekali dan tidak dapat dicampur adukkan, namun suatu skema kefilsafatan itu
harus sesuai dengan hasil-hasil Ilmu Pengetahuan alam Kodrat.

Tetapi system Samkhya memperingatkan :

Awas!!!!.... Janganlah kita beranggapan bahwa hukum-hukum yang berlaku bagi dunia phisis, itu
berlaku juga bagi alam semesta seluruhnya. Sebab kesesatan yang demikian selalu merupakan yang
bercorak ilmiah.
Sumber-sumber alam tidak menghasilkan kesadaran. Tidak dapa Keadaan Alam itu dinyatakan dengan
istilah Kesadaran atau dijabarkan menjadai Kesadaran, dan demikian juga sebalinya; maka usaha-
usaha dari baik Metaphysica yang murni ilmiah mau pun metaphysica yang psichologis untuk melakukan
hal itu, akan sia-sia belaka.

Yang menjadi pokok pembiacaraan di dalam aliran Yoga, adalah : Pengalaman-pengalaman di lapangan
Keagamaan.

Kenyataan itu tidak hanya terdapat di dalam Ilmu Pengetahuan dan di dalam hidup manusia saja, tetapi
juga di dalam pengalaman-pengalaman ke-Agama-an.

System-syste Purwa Mimamsa dan Wedanta menitik beratkan pada : )ethica dan Agama.

Persoalan kefilsafatan yang terutama di perhatikan oleh aliran Wedanta adalah :

Hubungan antara alam kodrat dan akal/pikiran.

Ada pepatah yang menyatakan bahwa orang-orang yang kudus/suci tidak saling bertentangan, dan
demikian juga halnya dengan kefilsafatan-kefilsafatan di India. Realisme dari system-system Nyaya dan
Waisyesika, Dualisme dari system-system Samkhya dan Yoga, dan monisme dari system Wedanta itu
tidak saling berbeda karena yang satu benar yang glains salah, melainkan hanya karena : Yang satu lebih
benar daripada yang lain.

Sebab, yang tersebut pertama memang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dari mereka yang tidak
begitu cerdas (mandadhikari), yang ked dua disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dari mereka yang
biasa saja pikirannya (madhyamadhikari), dan yang ketiga disesuaikan dengan kebutuhan=kebutuhan dari
mereka yang panda-pandai (Uttamadhikari).

Bandingkanlah dengan apa yang dikatakan oleh Kant (diambil dari buku J.Ward A study of Kant) :

Suatu cara untuk mempertahankan kehormatan akal manusia ialah menyesuaikan pernyataan-pernyatan
dari akal itu sebagaimana kita dapati pada para ahli pikir yang jitu-jitu, dan menemukan apa yang
merupakan kebenaran. Sebab mustahil tokoh-tokoh yang bekerja dengan cermat dan teliti itu akan 100%
keliru dalam mengincar Kebenaran, sekalipun pendapat-pendapatnya dapat saling bertentangan.

Pandangan-pandangan yang berbeda-beda itu semuanya :

Terpahat dari sebuah batu saja, sedang pandangan-pandangan itu bersama-sama merupakan Satu
Keseluruhan. Masing-masing tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan yang tertutupitu.
Sesuatu sckema mengenai alam kodrat hanya dapat dipandang lengkap, bilamana :

Sudah memperhitungkan segi-segi Logica, Physica, Psychologi dan Esthica, Metaphysica dan Agama
secara bersama-sama.

Setiap system pikiran di India menyumbangkan teorinya sendiri mengenai pengetahuan, dan
menyumbangkan penafsirannya sendiri mengenai alam kodrat dan akal, Ethica dan Agama. Apa yang kita
ketahui mengenai alam semesta, makin lama makin banyak dan mendalam, karena adanya bimbingan dari
ilmu-ilmu pengetahuan alam kodrat. Maka dari itu kita juga tidak dapat merasa puas, apabila hidup
manusia itu hanya ditinjau dari sesuatu sudut pandangan tertentu saja. Kalau di masa depan masih ada
usaha-usaha untuk meperkembangkan Filsafat, maka :

Harus diperhitungkan pula hasil-hasil dan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan alam kodrat dan
psychologi di hari-hari belakangan ini.

9. FISAFAT DAN HIDUP

Yang menjadi fungsi dari Filsafat adalah :

Mengatur Hidup dan menuntun manusia di dalam perbuatan-perbuatannya.

Filsfat memegang pucuk pimpinan dalam menentukan arah perjalanan kita, melewati hutan-hutan
Perubahan yang tersebar di seluruh dunia. Filsafat hanya dapat hidup, kalau berdekatan dengan hidup
manusia. Perkembangan pendapat-pendapat serta ide-ide para ahli pikir itu berlangsung di dalam proses
sejarah belajar bagaimana menghormati ahli-ahli pikir itu, tetapi juga bagaimana caranya memperoleh
semangat kerja seperti mereka itu. Nama-nama seperti Wisywamitra, Yadjnawalkya dan Gargi, Buddha
dan Mahawira, Gautama dan Kanada, Kapila dan Patanjali, Badarayana dan Djaimini, Syamkara dan
Ramanudja, itu menarik perhatian para penulis-penulis sejrah, tiada karena dpat menjadi
bahanpembicaraan semata-mata, melainkan karena itu adalah :

Contoh-contoh dari tokoh-tokoh yang berkepribadian.

Karena mereka, Filsafat dapat meneropong dunia dengan kekuatan yang berdasarkan pikiran dan
pengalaman. Kalau pikiran sudah sampai pada akhir perjalanannya, maka setelah dipraktekkan dan diuji
dengan ujian hidup, berubahlah pikiran itu menjadi Agama. Menaati discipline Filsafat itu berarti :
Memenuhi Panggilan Agama.

10. KEMUNDURAN FISLAFAT DI HARI-HARI BELAKANGAN


Buku ini tidak dimaksudkan untuk memperkuat kritik yang banyak dilemparkan, yaitu bahwa seakan-
akan sudah sesuai dengan jiwa India, Kalau orang takut-takut mempergunakan pikirannya. Tidak dapat
kami mengabaikan begitu saja seluruh kemajuan-kemajuan yang telah dicapai di dalam alam Filsafat
India, dengan alasan bahwa kita lebih suka menghormati jiwa ketimuran yang masih mengambang-
ambang di dalam khayalan-khayalan dan mythologi kanak-akank. Tetapi bagaimana pun juga, di dalam
tiga atau empat abad yang terakhir ini, emmang ada banyak hal yang memperkuat prasangka-prasangka
yang demikian itu.

India sekarang sudah kehilangan peranan historisnya; India tidak lagi menjadi pelopor pengetahuan tinggi
di Asia.

----------------------------------------

.Catatan Penulis :

Di bawah Judul Chinas debt to India, Prof. Liang Ghi Cho, menulis :

India telah mengajar kami untuk menginsyafi arti dari kebebasan yang mutlak. Prinsip pokok ini, yang
menghendaki kebebasan di dalam cara-cara berpikir, memungkina manusia untuk melepaskan diri baik
dari ikatan-ikatan adat dari jaman yang lampau, mau pun dari kebiasaan-kebiasaan dari jaman ini. Dengan
adanya kebebasan berpikir, manusia dapat menjauhkan diri dari kekuatan-kekuatan yang timbul dalam
mengejar kepentingan-kepentingan materiil, yang selalu hendak memperbudak kita .................. India juga
telah mengajar kami tentang apakah artinya Cinta yang mutlak itu. Yaitu sejenis perasaan kasih sayang
murni terhadap semua makhluk yang hidup, yang meniadakan godaan-godaan seperti iri hati, rasa marah,
sikap tak sabar, rasa jijik dan nafsu berkonkurensi, Yaitu suatu cinta merasa yang dengan rasa sayang
menaruh sympathi pada hal-hal yang tidak normal, pada kejahatan-kejahatan dan pada perbuatan-
perbuatan dosa. Itulah cinta mutlak, yang mengakui bahwa segala sesuatunya tidak dapat dipisah-
pisahkan satu dari lainnya.

Ia meneruskan uraiannya dengan menerangkan sumbangan-sumbangan apa yang telah diberikan oleh
India kepada Tiongkok di dalam lapangan kesusasteraan dan kesenian, musik dan ilmu bangun-bangun,
seni lukis dan seni pahat, drama, puisi dan cerita-cerita chayalan, astronomi dan kedokteran, sosial dan
pendidikan. Sudah terkenal bahwa India telah memancarkan pengaruhnya ke Birma dan Sailan, Jepang
dan Korea.

---------------------------------------------
Ada beberapa orang yang mendapat kesan, bahwa sungai yang telah mengalir dengan derasnya dari abad
ke abad, itu nampaknya akan berakhir di dalam rawa yang airnya menggenang tanpa guna. Ahli-ahli
filsafat atau lebih tepat : penulis-penulis risalah kefilsafatan pada masa kemunduran ini menamakan
dirinya Pemuja-pemuja kebenran. Tetapi sayangnya, bagi mereka memuja kebenaran itu berarti :

1. Menghormati uraian-uraian yang nampaknya logis, tepat dan rapih, tetapi sebetulnya tidak
(Sophistreis, dan

2. Menjunjung tinggi usaha-usaha untuk membeda-bedakan sampai ke detail-detailnya dogma-


dogma dari sesutu aliran.

Orang-orang ini, yang mencari nafkah dengan berkedok ahli dialectica, mengira bahwa saluran keccil
yang mereka pancurkan ke dalam pasir dan menguap menjadi kabut, itu merupakan sungai raksasa dari
Filsafat India.

Hal ini adalah akibat dari berbagai sebab. Perubahan-perubahan di dalam lapangan politik, yang terjadi
setelah orang-orang Islam berpengaruh di sana, membuat otak dan jiwa menuasia menjadi alat-alat mesin
yang conservatif. Dan di dalam suatu jaman, dimana hampir setiap hidung membanggakan dirinya sendiri
dan ingin mengadili sendiri, sehingga tata tertib sosial serta pegangan-pegangan/keyakinan-keyakinan
lama diancam akan dihancur leburkan ke dalam kekacauan anarchi, maka sudah tentu orang lalu
menginginkan sesuatu kekuasaan yang berkewibawaan. Kemenangan pihak Islam, bersama-sama dengan
proganda-propagandanya, dan kemudian pergerakan-pergerakan misi agama Nasrani, telah berusaha
keras untuk menggoncangkan masyarakat Hindu yang kukuh sentausa. Dan setelah kemudian orang
benar-benar menginsyafi adanya kegoncangan-kegoncangan dan kegoncangan-kegoncangan, maka
kekuasaan yang berkewibawaan lah yang dianggap sebagai satu-satunya tiang yang dapat menopang
keamanan sosial dan tata tertib Ethis. Orang Hindu yang melihat akan terjadinya bentrokan antara
kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, memperkuat kedudukannya dengan mengadakan
perserikatan-perserikatan sebagai pagar untuk merintangi masuknya ide-ide dari luar. Tetapi masyarakat
yang tidak mempunyai kepercayaan terhadap akal, dan yang sudah tidak mau mendengarkan lagi
petunjuk-petunjuk yang sehat, menceburkan dirinya ke dalam pelukan kekuasaan asing, yang melarang
setiap pikiran untuk mengembara dengan bebas dan leluasa. Maka pada saat itu lah akal orang India mulai
melalaikan kewajibannya. Tidak ada lagi ahli-ahli pikir, melainkan pelajar-pelajar saja yang terlalu payah
untuk membuat coretan-coretan baru, dan yang sudah puas kalau dapat mengumandangkan suara-suara
lama. Sepanjang beberapa abad, mereka ini berhasil untuk membohongi dirinya sendiri dengan teori-teori
yang katanya sudah dapat memutusi segala persoalan. Dengan lenyapnya jiwa yang creatif, maka
Filsafat menjadi dicampur adaukkan dengan Sejarah Filsafat. Filsafat tidak lagi memenuhi
fungsinya, dan sekarang menjadi terbalut singsat di dalam kubu bayang-bayang. Dengan demikian, maka
Filsafat lalu menyalahi dirinya sendiri, karena tidak lagi menjadi pembimbing dan penjaga akal yang
sehar. Banyak di antara mereka ini menyangka bahwa bansga India telah mengadakan perjalanan yang
jauh sekali, dan telah sampai pada tujuannya dengan menghabiskan tenaga terakhir. Mereka sudah penat
dan letih, dan rasanya akan jatuh-jatuh saja, karena ingin berbaring untuk melepaskan lelahnya. Mereka
yang tahu bahwa perjalanannya belum berakhir, dan yang melihat bahwa di muka masih terbentagn
wilayah yang luas, malahan takut akan bahaya-bahaya yang mungkin menunggu di sebelah sana, Mereka
yang berkecil hati ini, tidak berani menanyakan apa artinya hidup bertangan hampa, atau menanyakan
tentang ada tidaknya nilai-nilai yang abadi. Sebab hantu yang mengawasi penyelidikan-penyelidikan di
dalam wilayah yang belum dikenal, tidak mudah diusir, dan malahan juga ingin disingkiri oleh mereka
yang berbesar hati, bilaman mungkin! Kekuatan manusia yang bagaimana pun juga besarnya, kadang-
kadang dikendurkan oleh kuman-kuman penyakit tidur. Dan di dalam tiga atau empat abad yagn terakhir
ini, Filsafat India benar-benar terserang oleh peneyakit ini.

11. KEADAAN SEKARANG

Agama-Agama yang mempunyai kedudukan penting di dunia ini dan bermacam ragam aliran-aliran
pikiran, kini telah saling bertemu di wilayah India. Adanya kontak dengan orang dan jiwa Barat,
mengusikm perasaan puas yang sementara itu dapat menenangkan hati serta pikiran orang India. Setelah
orang India ini mulai mengenal dan kemudian menyelami materi dari kebudayaan asing, ia mendapat
kesan bahwa tidak ada sesuatu jawaban resmi yang dapat diberikan atas persoalan-persoalan yang intinya
terlalu Dalam (ultimate problems). Orang tidak lagi percaya akan benarnya jawaban-
jawaban/pemecahan-pemecahan yang tradisional, dan hal ini sedikit banyak telah ikut membuat pikiran
manusia menjadi :

1. Lebih bebas, dan

2. Lebih mudah dapat menyesuaikan diri dengan pandangan-pandangan lain.

Orang tidak lagi berpegang pada tradisi, dan di samping para ahli pikir yang sedang sibuk-sibuknya
membangun rumah di atas pondasi lama, ada pula anasir-anasir yang hendak membuat fundamen yang
sama sekali baru. Tidak dapat tidak, perhatian kita tentu tertarik oleh jaman peralihan ini, yang
mempercepat berdebar-debarnya jantung kita.

Paling belakang ini, India enak-enak termenanung saja di tanah becek di pinggir sungai, tanpa juga
dihampiri oleh saluran pikiran yang apda waktu yang bersamaan sedang mengalir dengan derasnya. Akan
tetapi, India tidak lagi terpencil sendirian. Kalau kita menunggu tiga atau empat abad lagi, mungkin para
penulis sejarah dapat bercerita banyak tentang hasil-hasil/akibat-akibat dari pergaulan antara India dan
Eropah ini. Tetapi bagi kita sekarang, hasil-hasil/akibat-akibat itu masih belum nampak. Di India sendiri,
pada dewasa ini tercatat :

1. Usaha-usaha untuk memperluas pengalaman.

2. Tumbuhnya sikap yang krits dan

3. Adanya rasa segan untuk meneburkan diri di dalam yang teoritis melulu.

Tetapi di samping itu masih ada juga sudut pandangan lain. Sebab memang sudah menjadi hasilnya,
bahwa baik di dalam pikiran mau pun di dalam perbuatan-perbuatannya, orang India harus mengalami
kemunduran; mundur ke arah anarchi dan mundur ke tingkat budak. Bagi kebudayaan dan peradaban,
kedua-duanya tidak baik. Anarchi dapat membawa rasa tak aman di dalam soal-soal materiil, keruntuhan
kekuatan ekonomi dan bahaya sosial, yaitu kekeruhan-kekeruhan yang dapat segera lenyap, asal orang
mau menjadi budak dari kekuasaan asing.Tetapi adalah suatu hal yang keliru sekali, untuk mengatakan
bahwa yang menjadi ukuran dari tinggi rendahnya tingkat kebudayaan atau peradaban itu adalah ada atau
tidak adanya kemakmuran economis dan dapat atau tidaknya tata-tertib sosial itu ditegakkan.

Bagaimana pun juga, dapat mudah dimenegrti bagaimana perasaannya orang-orang India ketika pada
awal abad ke 19 (setelah generasi-generasinya sekian lama menyaksikan pertengkaran-pertengkaran di
antara orang-orangnya sendiri dan mengalami penderitaan-penderitaan di dalam hati sanubarinya) mereka
menyambut dengan gembira datangnya pemerintahan Ingris, yang diharapkan akan dapat menuntun
mereka ke abad Keemasan. Tetapi di samping itu, kita juga dapat setuju dengan apa yang dirasakan oleh
orang-orang India dewasa ini, yaitu bahwa jiwa manusia :

1. Tidak ingin hidup enak, melainkan ingin bahagia.

2. Tidak menginginkan keamanan, melainkan ingin hidup bebas.

3. Tidak menginginkan stabilitasi ekonomi atau pun Pemerintahan yang baik, melainkan ingin
membersihkan diri dari dosa-dosa, tanpa segan-segan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat atau
pun penderitaan kalau ini memang harus dilaksanakan dahulu untuk mencapai itu.

Karena tidak ada autonomi politik, maka lalu tidak ada daya pendorong bagi timbulnya kebajikan-
kebajikan, juga kebajikan-kebajikan yang sifatnya tidak politis. Ingris telah mendatangkan perdamaian
dan keamanan di wilayah Inida, tetapi ini bukanlah merupakan tujuan kita yang terakhir. Sebab kita harus
mengakui bahwa stabilisasi ekonomi dan keamanan politik itu hanya alat-alat saja (sekali pun juga alat-
alat yang penting sekali) untuk mencapai kebebasan di lapangan kejiwaan/kerohanian. Pemerintah Ingris
yang dengan keras kepala selalu meementingkan dan memaksa kehendaknya sendiri, sudah barang tentu
melupakan kebutuhan-kebutuhan para hambanya di lapangan kejiwaan. Maka sekali pun membawa
perbaikan-perbaikan dan keringanan-keringanan, tidak berhasillah mereka untuk tetap melakukan
penindasan, dan tidak berhasillah mereka untuk meyakinkan para hambanya akan baiknya system
pemerintahan Ingris. Dan bilamana sumber-sumber hidup menjadi makin kering, bilamana idam-idaman
yang diimpi-impikan oleh bangsa India sejak ribuan tahun makin menjauh, bilamana cahaya yang
menerangi kesadaran jiwa manusia makin kurang berkilaunya. Bilamana orang tidak lagi begitu bebas
dalam mempraktekkan kemampuan-kemampuannya masing-masing, bilamana keindahan serta
kenikmatan hidup, dan rasa tenang dan damai sudah makin berkurang, atau sebagaimana dikatakan oleh
orang India, Bilamana Pranaramam, mana anandam, santi samrddham menjadi makin mundur, maka
tidaklah mengherankan bahwa orang India lalu tidak lagi merasakan ringannya tanggungannya,
melainkan hanya meyakini adanya beban berat yang menindas dan menggencatnya.

Tidak ada manfaatnya untuk membicarakan tentang betapa hebatnya pekeraan orang-orang Ingris dahulu,
sebab sejarah sudah terlanjur memberikan keputusannya, justru suatu keputusan yang didasarkan atas
tinggi rendahnya nilai kejiwaan/kerohanian yang terdapat di dalam di dalam pekerjaannya itu. Bahwa
dpemimpin-pemimpin dari generasi belakangan ini sduah merasa puas dengan hanya mengumandangkan
lagu-lagu lama saja, dan tidak memperdengarkan suara-suara baru, bahwa mereka hanya merupakan
perantara-perantara indtelektual saja dan bukannya ahli-ahli pikir yang asli, itu seberapa banyak adalah
akibat dari perkenalan yang mengejutkan dengan jiwa Barat, dan juga akibat dari perbudakan yang
membuat orang India berputih mata \. Orang-orang Ingris sendiri tahu juga, bahwa sikap India dewasa ini,
yang entah disebut mengacau keamanan, entah memberontak, entah menentang, itu mempunyai dasar-
dasarnya yang dalam. Orang-orang Inggris berdaya upaya untuk meresapkan kebudayaan mereka ke
dalam hati orang-orang India, dan sudah barang tentu mereka menganggap kebudayaannya sendiri lebih
tinggi tingkatannya. Mereka merasa bahwa cara yang sebaik-baiknya ialah menyalurkan kebudayaan
mereka melalui penerangan dan pendidikan, dan ini mereka lakukan tanpa ragu-ragu dan tanpa kenal
payah, dengan suatu system yang memang rapih sekali.

Tetapi orang India tidak dapat menerima politik Imperalisme kebudayaan ini. Ia berpegang erat pada
adat kebiasaan kuno dan ini adalah salah satu sebabnya, mengapa ia dapat berhasil mengendalikan
kegoncangan nafsunya, berhasil membuka matanya, dan berhasil memberantas penyelewengan-
penyelewengan dari keinginannya. Siapa saja yang kenal akan sejarahnya, tentu dapat sehati dengan
hasrat orang India untuk mendiami rumah kejiwaannya sendiri, sebab : Sarwas swe swe grhe raja,
artinya setiap orang adalah raja didalam rumahnya sendiri.
Karena tidak ada kemerdekaan di dalam lapangan politik, maka jiwa orang India yang hendak bergerak
secara bebas, lalu mendapat gangguan. Maka tidak mengherankan, bahwa hal ini dirasakan sebagai
penghinaan besar. Pekik swaradji! dimaksdukan sebagai pernyataan dari hasrat orang India untuk
melindungi, jangan sampai ada gangguan-gangguan yang dapat berpengaruh di lapangan kerja dari
jiwa/roh.

Bagaimana pun juga, masing-masing memberi banyak harapan. Bilamana orang India dapat
membersihkan gangguan-gangguan tersebut dan mencapai kemerdekaan di lapangan kejiwaan, bantuan
besar bagi perkembangan jiwa orang India.

Di dalam lapangan kebudayaan, tidak pernah alam pikiran Hindu menghasilkan ajaran-ajaran yang
menyerupai ajaran Monroe. (Doktrina Monroe yang juga terkenal sebagai ajaran Amerika untuk bangsa
Amerika, menghendaki bahwa Eropah tidak boleh campur tangan di dalam urusan-urusan Amerika, dan
sebaliknya Amerika juga tidak akan ikut campur tangan di dalam urusan orang-orang Eropah. Pen).
Malahan juga pada zaman kuno, sewaktu India masih dapat memberikan cukup banyak santunan-
santunan rohani kepada rakyatnya sendiri, tidak pernah mereka mengalami sesuatu periode di mana
mereka segan-segan untuk menerima dengan baik hasil-hasil dari ide orang asing. Pada zaman yang
cemerlang itu, sikap orang-orang India dapat disamakan dengan sikap orang-orang Athena yang terkenal
karena kecerdasannya, di mana Pericles berkata : Kita dengan senang mendengarkan pendapat-pendapat
orang lain, dan kita tidak memalingkan muka terhadap mereka yang tidak stuju dengan pendapat kita.

Ketakutan orang India pada pengaruh dari luar, sudah seimbang dengan kelemahan-kelemahannya, dan
seimbang dengan tidak adanya kepercayaan pada dirinya sendiri. Kami mengakui, bahwa kini pada muka
kami nampak kerut-kerut akibat kesedihan, sedang rambut kami nampak putih karena umur lanjut. Yang
sehat-sehat pikirannya di antara kami, hatinya makin lama makin was-was, dan malahan ada yang
menjadi pessimistis sekali, hingga menjadi pertapa-pertapa intelektual. Dengan demikian maka tidak
adanya kerja sama antara Kebudayaan Timur dan Barat di sini adalah akbita dari suatu keadaan yang
tidak wajar (Unnatural), jadi hal itu tidak akan teteap demikian untuk seterusnya. Tetapi walau pun tidak
ada kerja sama, namun ada usaha-usaha untuk mengerti dan menerima baik jiwa dari kebudayaan barat.
Apabila India dapat memasukkan untnsur-unsur yang bernilai dari kebudayaan Barat, kemudian
kebudayaannya sendiri, maka hal itu semata-mata akan merupakan ulangan belaka dari parallelisme-
parallelisme yang sudah kerap kali terjadi di dalam Sejarah Alam Pikiran India.

Orang-orang yang sama sekali tidak kena pengaruh Barat, kebanyakan tergolong lapisan intelektual dan
bangsawan-bangsawan yang bermoral. Mereka itu acuh tak auh terhadap perkembangan-perkembangan
politik, dan tidak begitu mengharap-harapkan sesuatu, karena mereka sudah bertawakal pada keadaan,
dan hidup menyendiri. Mereka beranggapan bahwa tidak ada banyak hal lagi yang patut dipelajari atau
patut ditinggalkan. Dan satu-satunya hal yang mereka lakukan sebagai kewajiban, adalah melamunkan
Dharma abadi dari masa yang lampau. Mereka menginsyafi adanya kekuatan-kekuatan lain yang sedang
mengamuk dan yang belum dapat dikuasai. Mereka menganjurkan supaya angin-angin badai dan
kekecewaan-kekecewaan yang mengancam hidup dari segala sudut itu dihadapi saja dengan penuh
ketenangan dan penuh rasa harga diri.

Andaikata mereka ini hidup di dalam jaman yang lebih baik niscaya mereka akan lebih berhasil untuk
menyesuaikan dirinya dengan keadaan sekitarnya, dan niscaya mereka tidak akan mau berhenti
mengadakan usaha-usaha untuk menyesuikan Filsafat yang rational dengan agama rakyat. Mereka selalu
bersedia memberi penjelasan-penjelasan mengenai Agama, dan bersedia membelanya terhadap kecaman-
kecaman dari pihak yang tidak percaya, dengan mempergunakan methode allegoris (Methode yang
didasarkan atas sysbol-symbol/lambang-lambang,Pen) dalam memberi tafsiran-tafsiran yang theologis. Di
dalam gambaran mereka lapangan kerja Agama itu meliputi seluruh sifat-sifat manusia meliputi
kecerdasannya dan cita-citanya, baik cita-cita yang praktis maupun yang emosional (yang berdasarkan
getaran-getaran jiwa, Pen,) Andaikata kini, mereka yang mewakili kebajikan jaman kuno itu juga
mempunyai inspirasi-inspirasi seperti tokoh-tokoh dahulu, niscaya mereka dengan kecerdasan yang
diwaris dari jaman kuno, sudah membangun suatu skema baru yang mentereng karena garis-garisnya
yang asli, dan karena suasananya yang bebas. Jadi mereka tidak akan duduk menganggur begitu saja,
untuk memperlihatkan bahwa mereka tidak suka bekerja sama dengan kekuasaan asing. Sebaliknya
mereka ini menghormati setinggi-tingginya penuntun-penuntun yang berkewibawaan (Authtority) di
dalam alam pikiran dan alam perbuatan, baik yang berhubungan denegan kejiwaan amupun dengan hal-
hal yang nilainya tahan lama, sehingga dengan demikian mereka mudah dituduh sebagai Budak-budak di
lapangan kejiwaan dan sebagai pekerja-pekerja di dalam kamar gelap. Dimana dahulu orang mampu
dan bersedia memberikan alasan-alasan yang rasional, mengapa mereka tetap setia pada sesuatu
penuntun berkewibawaan yang menjadi pilihannya (entah apakah penuntun-pemilihannya ini berupa
Weda atau Agama), dan di mana dahulu, penuntun-penuntun yang berkewibawaan itu memperdengarkan
amanatnya melalui censur logika akal yang menyaringnya secara kritis dan menafsirkannya secara
filosofis, sekarang penghormatan tentang penuntun-penuntun yang berkewibawaan itu justru
merupakan penjara bagi jiwa manusia. Orang beranggapan bahwa menguji kebenaran naskah-naskah
kuno itu berarti kurang menghormati tokoh-tokoh yang sudah meninggal. Sebaliknya, kalau orang
menerima kebenarannya, maka itu diangggap sebagai tanda kesetiaan. Setiap pertanyaan atau pun keragu-
raguan ditindas dengan mendengungkan naskah-naskah kuno, sedang kebenaran-kebenaran ilmiah itu
tidak diakui 100% kalau tidak sesuai dengan Agama/kepercayaan yang dianut. Sikap yang passif dan
sabar, menurut dengan patuh dan tanpa bertanya, dan bertawakal pada nasib dan keadaan, dipandang
sebagai hal-hal yang mempunyai nilai utama di dalam lapangan intelektual. Maka juga sama sekali tidak
mengherankan bahwa risalah-risalah kefilsafatan dari jaman belakang ini, tingkatnya jauh lebih rendah
daripada buah-buah karya dari abad-abad yang lampau. Andaikata pikiran mereka tidak begitu tegang,
keras dan liat, maka pandangan mereka tentu tidak sesempit itu.

Ahli-ahli pikir India adalah waris-waris dari :

Tokoh-tokoh yang mempunyai tradisi luhur, yaitu yang menaruh kepercayaan pada Akal.

Bukanlah menjadi keinginannya para Nabi dahulu, untuk menyalin/meniru hal-hal yang lama, melainkan
untuk :

Menciptakan hal-hal yang beru.

Nabi-Nabi itu senantiasa mempunyai hasrat besar untuk :

1. Mencari kebenaran-kebenaran baru di dalam wilayah yang belum di kenal, dan

2. Mencari jawaban atas teka-teki pengalaman-pengalaman yang selalu berubah-ubah, jadi yang
selalu merupakan bahan baru.

Warisan sebanyak itu, pada aslinya tidak pernah dimaksudkan untuk memperbudak jiwa dari generasi-
generasi yang datang gkemudian. Maka janganlah kita hanya menyalin/meniru saja pemecahan-
pemecahan yang diberikan oleh jaman yang lampau, sebab tidak pernah sejarah itu berulang di dalam
ujud yang persis sama. Apa yang sudah dijalankan pada masa yang silam, tidak perlu diulangi lagi pada
masa kita sekarang. Kita hendaknya mengikuti segala sesuatu dengan mata terbuka, supaya dapat
menemukan persoalan-persoalan yang perlu kita renungkan, dan juga perlu kita pecahkan dengan
inspirasi dari jaman yang lampau. Semangat mencari kebenaran itu tidak selalu mempunyai bentuk-
bentuk yan sama saja. Maka hendaknya kita setiap kali memperbaharui lagi bentuk-bentuk yang lama.
Malahan juga kalimat-kalimat yang lama, harus dipergunakan dengan cara yang berlainan. Filsafat dari
masa sekarang harus mempunyai arti bagi masa sekarang, tidak bagi masa yang silam. Yang ditafsirkan
oleh filsafat, adalah hal ikhwal mengenai hidup, yang disifatinya tetap asli saja. Maka Filsafat sebagai
juru tafsirnya, harus pula mempunyai bentuk dan isi yang sama aslinya dengan itu. Dan oleh karena masa
sekarang itu adalah lanjutan dari masa yang lampau, maka dengan demikian juga continuitet yang
berlangsung dari dahulu sampai sekarang, juga tidak akan terpatahkan karenanya.
Salah satu di antara alasan-alasan yang dikemukakan oleh kaum conservatif yaitu bahwa :
KEBENARAN ITU TIDAK TERPENGARUH OLEH WAKTU Mustahil sesuatu kebenaran itu dapat
diganti, seperti juga tidak mungkin untuk mengganti keindahan matahari terbenam atau pun kasih sayang
ibu terhadap anak. Saya mengakui, memang kebenaran itu boleh jadi tidak berubah-ubah, tetapi
kebenaran yagn tetap sama itu dilahirkan di dalam sesuatu bentuk yang berdasarkan unsur-unsur yagn
dapat berubah-ubah. Maka bolehlah jiwa kita itu sama dengan jiwa kuno, sebab benih dari ide-ide kuno
itu tetap memegang peranan pening, tetapi tubuh kita dan juga berdebarnya jantung kita, tidak boleh
ketinggalan jaman. Orang lupa, bahwa Agama kita ini adalah hasil dari perubahan-perubahan dan
pergantian-pergantian abad. Maka kiranya juga tidak ada alasan untuk melarang Agama berganti/berubah
bentuknya, asal saja dikehendaki oleh jiwa dari jaman baru. Boleh orang tetap setia sesetia-setianya pada
kepercayaan yang lama, tetapi jiwanya (yang sudah ketinggalan jaman) haruslah diubah. Andaikata para
pemimpin dari orang-orang Hindu yang hidup 2.000 tahun yang lalu (yang tidak banyak mengenyam ilmu
pengetahuan tetapi yang berjiwa besar) itu datang kembali lagi ke bumi, maka mereka akan menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, bahwa di antara penganut-penganut mereka yang paling setia (artinya yagn
berpegang erat pada penafsiran secara lurus/ leterlijk dari ajaran-ajaran mereka, dan tidak ada seorang pun
yang mengikuti langkah-langkah mereka, dan tidak pernah menyeleweng dari itu), tidak ada seorang pun
yang mengikuti langkah-langah mereka tepat 100% seperti yang mereka kehendaki dahulu.

-----------------------------------------

Catatan penulis :

Bandingkanlah dengan aapa yang dikatakan oleh Aurobindo Ghosh, di dalam Arya :

Andaikata orang India dari jaman Upanisad, atau dari jaman Buddha, atau dari abad klasik yagn datang
kemudian, itu pada jaman moderen ini kembali melihat tanah airnya, amak ia akan menyaksikan betapa
eratnya bangsa India berpegang pada bentuk-bentuk luar, rangka-rangka dan kulit-kulit dari jaman yang
lampau, tanpa juga mengerti banyak akan intinya yang sebenarnya. Sebab intinya yang sebenarnya adalah
jauh lebih luhur dan mulia daripada yang mereka sangka.

Ia akan tercengang melihat betapa miskinnya jiwa mereka, betapa tipisnya keinginan mereka untuk
bergerak, betapa statisnya sikap mereka hingga mengulang-ulangi saja lagu-lagu yang lama, betapa
sedikitnya perhatian mereka akan ilmu pengetahuan, betapa tipisnya hasil mereka di dalam lapangan
kesenian, dan betapa lemahnya daya pencipta mereka.

----------------------------------------
Pada dewasa ini, kukup yang bertumpuk-tumpuk, sudah menghalang-halangi mengalirnya air, dan
merintangi gerak bebas dari jiwa. Apabila orang berkata bahwa bentuk-bentuk kuno yagn sudah mati
(sebab tidak lagi mengandung kebenaran-kebenaran yang tidak boleh diabaikan) itu terlalu antik dan
terlalu berkewibawaan untuk dibuat main-main, maka itu berarti memperpanjang saja penderitaan pasien
yagn sudah lama merana karena racun dari sampah-sampah busuk yang ditinggalkan oleh masa yang
silam. Seharusnya jiwa yang conservatif itu membuka pintu untuk memberi jalan kepada perubahan-
perubahan yagn tidak dapat kita cegah. Tetapi karena pintunya tidak terbuka lebar, tidak lain karena orang
belum merasa apa perlunya mengadakan perubahan-perubahan, maka di dalam lapangan Filsafat lalu
mendapat suatu campuran yang aneh. Yaitu campuran antara kecerdasan yang meresap ke mana-mana
dan kebingungan-kebingungan yagn sifatnya ajauh dari filosofis.

Mereka yang mau berpikir, seharusnya mengerahkan sebagaian besar dari tenaganya pada soal-soal :

1. Bagaimana caranya membebaskan kepercayaan lama serta kekuatan-kekuatan lama dari


kukupnya;

2. Bagaimana caranya menyesuaikan Agama dengan jiwa ilmiah;

3. Bagaimana caranya memenuhi dan menafsirkan permintaan-permintaan dari tabiat-tabiat


perseorangan, dan

4. Bagaimana caranya menguasai kekuatan-kekuatan yang bercerai berai dengan mendasarkan diri
atas kepercayaan orang-orang dari Jaman Kuno.

Tetapi sayangnya. Ada beberapa orang yang pikirannya tidak dicurahkan pada soal-soal tersebut,
melainkan pada hal-hal yang menarik perhatian para ahli purbakala. Dan dilapangan ini kemudian
memang terdapat berbagai specialis (ahli). Pendidikan yang diberikan oleh Negara, sifatnya religius dan
tidak didasarkan atas pandangan yang luas. Orang belum insyaf-insyaf saja bahwa jiwa yang diwaris dari
jaman kuno itu tidak hanya diperuntukkan bagi beberapa gelintir manusia saja. Ide-ide adalah kekuatan,
dan kekuatan-kekuatan ini harus dipancarkan, apabila tidak dikehendaki bahwa generasi sekarang akan
mengakhiri hidupnya. Dan memang akan mengherankan sekali, andaikata jiwa dari Upanisad, dari Gita
dan dari dialog-dialog Buddha (yang dahulu dapat menggerakkan manusia sampai menciptakan hasil-
hasil yang gemilang) itu tidak lagi dapat memberikan pengaruhnya kepada manusia jaman sekarang.
Jikalau (sebelum terlambat) sekarang diadakan reorganisasi di dalam tata hidup nasional, maka alam
pikiran India akan dapat melangkah ke suatu mada depan yang penuh harapan. Dan orang tidak dapat
meramalkan sebelumnya, bunga-bunga apakah yang akan mekar nanti, dan buah-buah apakah yang masih
dapat masak pada pohon-pohon tua yang masih tetap tahan uji.
Di samping orang-orang yang conservatif (kolot) di dalam pikiran dan perbuatan, yang tidak kena
pengaruh dari kebudayaan Barat, ada beberapa lainnya yang setelah mendapat pendidikan di dalam cara-
cara berpikir secara Barat, kemudian menganut suatu kefilsfatan yagn Rationalistis Naturalistis, dan minta
supaya mereka dibebaskan dari beban yagn ditinggalkan oleh jaman kuno. Mereka itu mempunyai tradisi
yang tidak kenal toleransi, dan tidak begitu percaya bahwa kebijaksanaan orang India sudah mencapai
tingkat kedewasaannya. Dikap dari mereka yang menyebut dirinya Progressif ini, dapat mudah
dimengerti. Jiwa yang diwaris oleh bangsa kami, tidak dapat melindungi India terhadap serangan-
serangan dari para penyerbu dan para perusak itu. Agaknya India telah dikhianati sedemikian rupa
hingga sekarang kehilangan kemerdekaannya. Sebab mereka yang menamakan dirinya pecinta tanah air
ini, berharap besar untuk meniru negara-negara Barat dalam mengejar dan memenuhi keinginan-
keinginan materiil. Mereka menghancurkan akar-akar dari kebudayaan kuno, untuk memberi tempat
kepada barang-barang baru yang diimpor dari Barat. Sampai di hari-hari belakangan, Filsafat India telah
dijadikan obyek di dalam studi yagn diselenggarakan pada Universitas-Universitas India, dan malahan
pada saat ini kedudukannya di dalam rencana pelajaran Filosofis pada Universitas-Universitas itu tidaklah
begitu besar artinya. Seluruh system pendidikannya mengandung saran, seakan-akan kebudayaan India itu
lebih rendah tingkatannya. Sekali pun politik yang dipraktekkan oleh Macauly itu mengandung nilai-nilai
kebudayaan, namun itu terang-terangan menyebelah pihak dan berat sebelah. Politik tersebut dilakukan
dengan sangat berhati-hati, dan mempergunakan kata-kata pilihan yang halus untuk memperingatkan kita
pada kekuatan dan pada pentingnya kebudayaan Barat. Tetapi bagaimana pun juga berhati-hatinya, dan
bagaimana pun halusnya juga kata-katanya, politik itu tidak mendorong orang India untuk menyayangi
kebudayaannya sendiri. Harapan Macaulay sedikit banyak telah terpenuhi, sebab akhirnya telah dididik :
Orang India yang lebih Ingris daripada orang Ingris sendiri.

Sudah barang tentu bahwa bebereapa diantara mereka ini sependapat dengan kritik-kritik orang luar, yang
memang memusuhi kebudayaan India. Kalau kita melihat evolusi kebudayaan India. Kalau kita melihat
Evolusi kebudayaan di India, demikian akta mereka, maka kita akan menyaksikan pemandangan yang
suram. Sebab di situ kita akan mendapat kebodohan-kebodohan dan takhayul-takhayaul, tanpa melihat
satu keselarasan pun. Baru-baru ini, seorang di antara mereka mengatakan : Kalau India masih ingin
maju dan masih ingin menginjak jaman yagn bersemarak, maka di dalam lapangan kejiwaan, Inggris
harus menjadi ibunya, sedang yunani harus menjadi neneknya!

Tetapi karena ia tidak menaruh kepercayaan pada agama, maka ia juga tidak ingin mengganti Hinduisme
dengan Agama Nasrani.
Orang-orang yang menjadi korban dari jaman yang penuh dengan kekecewaan-kekecewaan dan
penderitaan-penderitaan ini, memberi kesan kepada kita, bahwa yagn merupakan sisi lemah dari benteng
pertahanan nasionalisme itu ialah :

Tidak adanya cinta akan alam pikiran India. Tetapi mungkin ini alah akibat dari bertingkahnya golongan
intelektual saja!

Adalah suatu peristiwa yang mencengangkan, bahwa justru sewaktu Barat mulai menghargai kebudayaan
India, beberapa di antara putra-putra India sendiri malahan mulai menghinanya. Berkali-kali Barat telah
berdaya upaya untuk meyakinkan orang-orang India, bahwa Filsfat India tidak dapat masuk akal, bahwa
kesenian India tidak berjiwa, bahwa Agama India menggelikan, dan bahwa Ethica India mengerikan.
Kemudian setelah Barat merasa bahwa apa yang dikatakan itu tidak 100 persen benar, maka beberaepa di
antara orang-orang India sendiri justru memperkuat kebenarannya 100%.

Sekali pun sukar juga untuk menarik manusia kembali ke kebudayaannya sendiri, yang lebih rendah
tingkaatannya kalau ditinjau dari sudut logica pikiran Barat, yaitu dengan maksud supaya kita dapat
membersihkannya dari keragu-raguan dan kekuatan-kekuatan dialectica yagn destructif, namun jangan
dilupakan bahwa kita akan lebih mudah membangun di atas fundamen yang sduah ada, daripada berusaha
untuk menggantinya dengan stuktur yang sama sekali baru, mengenai tata susila, mengenai tata hidup,
dan mengenai ethica. Kita tidak dapat memotong-motong dan memisahkan diri kita dari sumber-sumber
hidup kita. Berlainan dengan konstruksi konstruksi di dalam ilmu ukur, skema-skema kefislafatan ittu
adalah buah-buah dari hidup manusia. Apa juga yang diwariskan oleh sejarah kepada kita, adalah
makanan yang harus kita hirup, kalau kita tidak mau mati karena kehabisan tenaga.

Kaum conservatif benar-benar yakin akan kemegahannya warisan-warisan dari jaman kuno, dan mereka
benar-benar yakin bahwa kebudayaan moderen tidak memberi tempat kepada Tuhan. Demikian juga
kaum Radical mempunyai kepastian bahwa warisan-warisan dari jaman kuno itu tidak berguna, dan
bahwa yang bernilai tinggi itu adalah Rationalisme yang Naturalistis. Banyak dapat dikatakan tentang
kedua pandangan itu. Tetapi kalau kita mempelajari sejarah Alam Pikiran India dengan baik, maka kita
akan berkesimpulan bahwa : baik pandangan kaum Conservatif mau pun pandangan kaum Radical itu
kedua-duanya sama-sama kelirunya.

Mereka yang mencacimaki kebudayaan India karena dikatakan tidak berguna, terang-terang tidak
mengetahui banyak tentang hal itu, sedang mereka yang memuja-mujanya karena dianggap paling
sempurna, juga erang-terang tidak mengetahui banyak mengenai kebudayaan-kebudayaan lain. Kaum
Radical dan Kaum Conservatif, yang satu dengan cita-citanya akan mencapai hal-hal yang baru, yang lain
dengan idam-idaman untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran yang lama, kedua-duanya harus saling
dekat mendekati dan saling paham-memahami pendiriannya. Sebab tidak dapat orang itu menyendiri di
dalam sebuah masyarakat kecil, di mana umat manusia tersebar di dunia yagn luas, dengan kapal-kapal
terbang, kapal-kapal, kereta api dan P,T,T, yang menghubungkan orang satu dengan yang lain hingga
menjadi satu keseluruhan hidup. System pikiran kita harus mengadakan aksi dan reaksi terhadap
kemajuan-kemajuan dunia. System-system yang tidak bergerak itu sama saja dengan kolam air yang
dikerumuni oleh tumbuh-tumbuhan yagn tak sedap dipandang mata, sedang sebaliknya sungai-sungai
yang mengalir, itu setiap kali membawa persediaan air baru dari sumber-sumber inspirasinya. Tidak ada
salahnya untuk meresapkan kebudayaan-kebudayaan lain di dalam hati sanubari kita. Hanya saja, kita
harus : Menambah, mempertinggi dan memurnikan unsur-unsur yang kita oper, untuk diolah bersama-
sama dengan yang paling baik di antara unsur-unsur kebudayaan kita sendiri.

Bagaimana caranya mengolah dan menggodok berbagai unsur itu di dalam kuali nasional, hal itu didalam
garis besarnya diterangkan di dalam buah-buah karangan dari Gandhi dan Tagore, dari Aurobindo Ghosh
dan Bhagawandes. Buah-buah karangan ini memberi sementara harapan akan datangnya masa depan yang
gemilang, menunjukkan beberapa bukti bahwa pandangan-pandangan yang scholastis sudah tertaklukkan,
dan juga mengumandangkan suara-suara yang kembali menuju ke keagungannya kebudayaannya sendiri.
Di samping mengoreti sumber-sumber dari Idealisme yagn Humanistis di India dahulu, penulis-penulis
itu memperingatkan supaya kita memperhatikan alam pikiran Barat, dan supaya itu diresapkan di dalam
hati sanubari kita. Mereka berhasrat akan mempergunakan kembali sumber-sumber dari jaman kuno, dan
berhasrat akan mengalirkan airnya ke tanah-tanah di mana merajalela bahaya kelaparan dan kehausan,
dengan pimpinan yang suci murni dan yang bersih dari segala macam korupsi.

Tetapi apda prakteknya, masa depan yang akan datang, tidak akan memenuhi idam-idaman kita
seluruhnya. Dengan lesunya kegiatan-kegiatan di dalam lapangan politik (yang telah menghabiskan
banyak tenaga dan pikiran terutama dari yang pandai-pandai di antara orang-orang bangsa India), dengan
diperbanyaknya dan didperluasnya studi mengenai alam pikiran India pada Universitas-universitas baru
(sedang Universitas-universitas yang lama lambat laun mengikuti juga, sekali pun dengan perasaan
enggan), mungin fajar masih dapat menyingsing. Sedang Kaum Conservatif, yang lebih suka melihat
masa yagn silam daripada masa depan, nampaknya tidak akan berdaya lagi di hari-hari yang akan datang.

Persoalan yang apda dewasa ini sedang dihadapi oleh Filsafat India, yaitu :

1. Apakah Filsafat India akan dijadikan suatu upacara/ibadah keagamaan (cult) saja, dengan
lapangan kerja yang terbatas dan tanpa dibolehkan menyelidiki fakta-fakta yagn sekarang ada, atau;
2. Apakah Filsafata India akan diberi hidup dan dibuat nyata, agar supaya tidak menyalahi dirinya
sendiri dan dapat merupakan salah satu dari unsur-unsur penting yang menentukan kemajuan umat
manusia, dengan jalan mempertalikan pengetahuan modern (yang sudah luas sekali) dengan cita-cita dari
ahli-ahi Filsafat dari jaman kuno.

Semua gejala-gejala yang ada, menunjukkan bahwa masa depan akan menyaksikan terlaksananya
akemungkinan yagn nomor dua, agar supaya orang dapat setia akan system-system pikiran yang dahulu-
dahulu, dan sekaligus juga memenuhi panggilan Filsafat, maka ia harus : mempunyai pandangan yang
makin lama makin bertambah luas.

Hanya bilamana Filsafat India dapat maju dan dapat memuliakan hidup kita, maka barulah itu ada artinya
bagi amsa sekarang, dan barulah orang mau mengakui bahwa filsafat India itu memang benar-benar
diperlukan. Mudah-mudahan hal itu dapat terlaksana hendaknya, sebab kalau kita melihat proses
perkembangan filsafat India dari masa yang lalu, maka kita benar-benar mempunyai banyak harapan.
Terutama dengan adanya ahli-ahli pikir yang ulung-ulung seperti Yadjna Walkya dan Gargi, Buddha dan
Mahawira, Gautama dan Kapila, Sjamkara dan Ramanudja, madhwa dan Wallabha, dan banyak lainnya,
maka India menjadi berhak untuk ikut menghias kulit bumi. Sebab tokoh-tokoh itu merupakan bukti yang
nyata, bahwa : Bansga India adalah suatu bangsa yang bermartabat, suatu bangsa yang berjiwa.

Lain dari pada itu, mereka juga menunjukkan adanya kemungkinan, bahwa India masih sanggup bangkit
untuk berdiri lebih tinggi daripada tingkatnya sekarang, dan bahwa kesanggupan yang seluhur itu dapat
terlaksana pula.

Anda mungkin juga menyukai