BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
membakar kulit dalam waktu singkat tapi berulang-ulang diketahui sebagai faktor
risiko utama (MacKie, Hauschild, dan Eggermont, 2009).
2.1.3. Faktor Risiko.
a. Faktor Genetik
Berdasarkan hasil penelitian 25-40% dari anggota keluarga yang
menderita melanoma maligna diidentifikasi terdapat germline mutation
pada cyclin-dependent kinase inhibitor 2A (CDKN2A) dan juga sedikit
didapatkan mutasi pada cyclin-dependent kinase 4 (CDK4). Terdapat
dasar rasional untuk hubungan antara kejadian melanoma dan mutasi
pada CDKN2A dan CDK4 karena kedua tersebut adalah tumor-
suppresor genes (Miller dan Mihm, 2006). Lima sampai sepuluh
persen dari semua melanoma maligna adalah dari pasien dengan
familial atypical multiple mole melanoma syndrome (FAMMM).
Pasien dengan FAMMM mempunyai risiko 70% selama hidup untuk
berkembangnya sebuah melanoma maligna (Holterhues, 2011).
Mutasi pada tumor-suppressor genes seperti c-kit, p53, dan
BRAF dilaporkan meningkatkan risiko melanoma maligna. Namun,
masih belum jelas seberapa pentingya mutasi dari gen-gen ini dianggap
sebagai faktor risiko melanoma maligna (Holterhues, 2011).
b. Faktor Lingkungan
Paparan radiasi ultraviolet (UV) dari matahari menjadi faktor
penting dikaitkan dengan peningkatan kejadian melanoma maligna,
terutama pada sinar matahari yang membakar kulit dalam waktu
singkat tapi berulang-ulang (Putra, 2008). Dari hasil penelitian yang
lain juga memperlihatkan bahwa paparan sinar matahari yang
berlebihan, berulang-ulang tetapi dalam waktu singkat (intermittent),
dan lama dapat menyebabkan terjadinya melanoma maligna. Terutama
pada waktu intens terpapar oleh sinar matahari seperti membakar kulit
pada waktu anak-anak ataupun remaja menjadi faktor risiko melanoma
maligna (Holterhues, 2011).
7
dari pigmen dot-like pada sebuah latar yang cokelat atau hitam
kecokelatan. Secara histologi, lesi ini memiliki peningkatan jumlah dari
kumpulan melanosit yang bersarang sepanjang lapisan basalis (Paek et
al., 2008).
b. Dysplastic Nevi (random atypia)
Selanjutnya perkembangan dari pertumbuhan yang abnormal.
Ini mungkin terdapat pada tempat yang sebelumnya ada benign nevus
atau pada tempat yang baru. Secara klinis lesi ini mungkin asimetris,
batasan tidak rata, mengandung lebih dari satu warna, atau memiliki
diameter yang lebih besar. Secara histologi, lesi ini memiliki sel yang
abnormal bentuk yang bebas dan sel-selnya tidak berdampingan lagi
(Miller dan Mihm, 2006).
c. Fase Radial-growth (pertumbuhan intraepidermal)
Selama fase radial-growth, sel-sel memiliki kemampuan
untuk berproliferasi secara intraepidermal. Secara klinis, lesi ini kadang-
kadang bisa menonjol. Lesi ini tidak lagi memperlihatkan sel abnormal
yang bebas dan sebagai gantinya dia memperlihatkan bentuk sel kanker
di seluruh lesi (Paek et al., 2008).
d. Fase Vertical-growth (invasi dermis)
Lesi yang berlanjut ke fase vertical-growth memiliki
kemampuan untuk masuk ke dermis dan membentuk nodul besar,
meluas ke papillary dermis. Sel-sel kanker bisa juga masuk ke reticular
dermis dan sel adipose (Miller dan Mihm, 2006).
e. Metastasis Melanoma
Akhir dari semua perkembangan kanker yaitu berhasil
menyebarkan sel-sel kanker ke bagian kulit lain dan organ-organ tubuh
lainnya, dimana sel-sel tersebut bisa berproliferasi dan metastasis (Miller
dan Mihm, 2006).
9
Tipe sel
Tumor infiltrating lymphocytes (TILs)
Fase pertumbuhan; vertikal atau radial (Ngrier et al.,
2001)
Ketentuan metode Breslow (Suyatno dan Pasaribu, 2010), sebagai
berikut:
Golongan I : Ketebalan tumor < 0,76 mm
Golongan II : Ketebalan tumor 0,76-1,5 mm
Golongan III : Ketebalan tumor > 1,5 mm
Tingkat invasi berdasarkan Clark (Herbst, 2014):
Tingkat I : Sel melanoma maligna terletak di lapisan luar
kulit (epidermis), disebut juga melanoma maligna in situ
Tingkat II : Sel melanoma maligna tepat dibawah lapisan
epidermis (papillary dermis)
Tingkat III: Sel melanoma maligna sampai dengan
perbatasan papillary dermis dan reticular dermis
Tingkat IV: Sel melanoma maligna sampai ke lapisan
reticular dermis
Tingkat V : Sel melanoma maligna tumbuh sampai lapisan
lemak di bawah kulit (subcutaneous fat).
2.1.7. Prognosis.
a. Usia
Beberapa penelitian melaporkan bahwa seiring bertambah usia
pasien menandakan prognosis buruk sesuai hubungannya dengan overall
survival rates. Laki-laki dengan usia lebih dari 60 tahun memiliki
mortalitas yang tinggi pada melanoma maligna. Seperti yang diketahui
bahwa semakin bertambah usia berpengaruh terhadap penurunan
mekanisme pertahanan imun tubuh (Nagore et al., 2006).
13
b. Jenis kelamin
Banyak dari penelitian telah melaporkan bahwa perempuan
memiliki survival rates yang lebih baik daripada laki-laki, walau telah
disesuaikan juga dengan tebal tumor dan letak tumor (de Vries et al.,
2007).
c. Letak tumor
Letak melanoma maligna sesuai anatomi berbagai hasil dampaknya
terhadap survival rate. Sesuai penelitian yang dilakukan AJCC, letak
melanoma maligna di badan, kepala, dan leher berhubungan dengan
prognosis buruk daripada letak melanoma maligna di ekstremitas (Garbe
et al., 1995).
d. Ketebalan tumor
Ketebalan tumor beradasarkan metode Breslow dari tumor primer
menunjukkan hubungan dengan survival rate pada penyakit stage I dan
II. semakin meningkat ketebalan tumor semakin menurun survival rate.
Sebelum AJCC 7th edition tahun 2009 di publikasikan, tingkat invasi
Clark berpengaruh terhadap survival rate, namun sekarang sudah
digantikan posisinya oleh mitotic index (de Vries et al., 2006).
e. Ulkus
Ulkus disebut sebagai faktor bebas prognosis di dalam AJCC 7th
edition tahun 2009 yang mana sangat berhubungan dengan survival.
Terdapat ulkus pada tumor primer berisiko berkembangnya penyakit
lebih parah dan menurunkan survival rate. Ulkus berhubungan dengan
ketebalan tumor, dimana ulkus jarang pada melanoma maligna yang tipis
(6% untuk melanoma maligna < 1 mm) dan banyak pada melanoma
maligna yang tebal (63% untuk melanoma maligna > 4 mm). pada
penyakit stage III, ulkus berpengaruh yang signifikan pada overall
survival (Balch et al., 2009).
f. Mitotic Index
Pada beberapa pustaka dan penelitian memperlihatkan hasil yang
mendukung hubungan yang signifikan antara tumor mitotic index dengan
14
2.2. Mitosis.
2.2.1. Definisi.
Mitosis adalah pembelahan sel dari 1 sel induk membelah menjadi 2 sel
anak yang mempunyai struktur genetika sama dengan sel induknya. Pada saat
mitosis rantai ganda DNA yang merupakan pembawa informasi gen terbelah
menjadi 2 rantai tunggal (Sukardja, 2000).
Pembelahan sel secara mitosis dilaksanakan untuk memperbanyak sel
yang ada dalam tubuh makhluk hidup sehingga makhluk hidup ini dapat
bertumbuh (Junowo dan Juniarto, 2000).
2.2.2. Fase.
a. Profase
Pada profase didalam inti nampak terdapat kromosom yang berupa
benang-benang halus. Dalam inti sel akan dapat dilihat bahwa nukleolus
akan mulai mengecil dan akhirnya menghilang dan membran inti juga
menghilang. Selain itu, sentriol menggandakan diri dan masing-masing
menuju kutub. Fase ini berlangsung selama kurang lebih 1 jam
(Sukardja, 2000).
15
b. Metafase
Sentriol yang ada di kutub nampak terdapat benang-benang halus
menuju equator kromosom mengatur diri menuju equator dan membelah
diri menjadi 2 bagian yang sama. Terbentuklah 2 sel anak yang sama
besar. Fase ini berlangsung kurang dari 1 jam (Juwono dan Juniarto,
2000).
c. Anafase
Kromosom memisahkan diri di equator dan masing-masing menuju
kutub-kutub pembelahan sel dan disamping itu membran plasma akan
tampak mulai berubah sehingga sel akan tampak lebih memanjang. Fase
ini berlangsung kurang lebih setengah jam (Sukardja, 2000).
d. Telofase
Pada fase ini akan terbentuk membran inti yang akan melingkupi
kromosom pada masing-masing kutub pembelahan sel. Kromoson juga
akan mulai tampak menipis dan akhirnya menjadi kromatin.
Pembentukan membran inti diikuti dengan pemisahan sitoplasma
berserta organel yang ada. pada akhirnya akan terbentuk 2 sel yang sama
dalam bentuk dan sifatnya (Juwono dan Juniarto, 2000).
2.2.3. Siklus Sel.
Untuk sebuah sel membelah, DNA harus diduplikasi dan disebarkan
merata ke sel-sel anak. Proses sintesis DNA dan mitosis dipisahkan oleh gaps,
selama RNA dan protein dibentuk dan sel mengatur sel itu sendiri untuk proses
pembelahan sel berikutnya, tahapan ini disebut siklus sel. Siklus sel terdiri dari 4
fase, yaitu fase Gap 1 (G1), fase Sintesis (S), fase Gap 2 (G2), dan fase mitosis
(M) (King, 2000).
Pada fase G1, dimulai dari sel anak yang baru saja membelah. Pada
kebanyakan sel, fase ini membutuhkan waktu antara 3-4 jam, tetapi beberapa jenis
sel membutuhkan beberapa hari sampai beberapa bulan maupun tahun. Pada fase
ini terjadi sintesis RNA yang akan diikuti oleh sintesis protein sehingga
sitoplasma akan bertambah banyak dan sel akan tumbuh. Sintesis RNA awalnya
terjadi dalam inti sel dimana RNA terbentuk berdasarkan model DNA yang ada
16
dalam inti sel sehingga sifat-sifat RNA juga akan spesifik sesuai dengan spesies
makhluk hidup dan protein yang akan disintesis oleh RNA juga bersifat spesifik
(Junowo dan Juniarto, 2000).
Pada fase G1 sel dewasa akan masuk ke zona perbatasan (restriction
zone) yang menentukan apakah sel itu akan berhenti tumbuh atau tumbuh terus.
Sel yang berhenti tumbuh akan masuk ke fase G0. Sel-sel yang masuk ke fase G0
ada 2 golongan, yaitu stem sel yang dapat tumbuh lagi jika ada rangsangan
tertentu dan sel yang tetap tidak akan tumbuh sampai sel itu mati (Sukardja,
2000).
Selanjutnya sel yang akan tumbuh lagi masuk ke fase S. Pada fase ini
terjadi sintesis DNA yang berlangsung selama 5-8 jam. Pada fase ini juga
dibentuk enzim, protein, dan nucleotide triphosphate. Dalam fase ini, molekul-
molekul DNA akan terbentuk melalui proses duplikasi dari molekul DNA yang
sudah ada. Selain itu, pada fase ini juga terjadi pembentukan molekul histon yang
menjadi protein dasar kromosom (King, 2000).
Kemudian masuk ke fase G2 yang merupakan fase akhir dari
pertumbuhan sel. Pada fase ini sintesis RNA masih tetap berlangsung walaupun
sudah mulai berkurang dan berhenti pada saat pembelahan sel. Fase ini hanya
berlangsung 2-5 jam. Setelah itu, sel siap masuk ke dalam fase M dimana akan
terjadi pembelahan sel sehingga terbentuk 2 sel anak dari 1 sel induk (Slingerland
dan Tannock, 1998).
Regulasi primer checkpoint dari fase G1 terdiri dari 3 keluarga protein,
yaitu cyclins, cyclin-dependent kinases (CDK), dan cyclin-dependent kinase
inhibitors (CDKN). Gambaran molekul dari protein ini juga penting pada
checkpoint fase G2 dan M. Kinases mengubah fungsi biologis dari regulasi
protein melalui phosphorylation yang merupakan satu jalan umum dari fungsi
regulasi. Pengaktifan protein oleh cyclin dan penghambatan protein oleh CDKN
berperan dalam checkpoint ini (King, 2000).
Sebuah substrat penting dari kinase adalah protein hasil dari gen
retinoblastoma Rb. Protein ini menghambat proliferasi sel pada checkpoint G1.
Penekanan ini dilepaskan oleh phosphorylation protein dan didapatkan kembali
17
Pada AJCC 7th edition tahun 2009 mitotic index telah masuk kedalam
staging pada melanoma maligna (Balch et al., 2009). Terlihat di tabel klasifikasi
tumor primer, sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Primer
Klasifikasi Tebal (mm) Status ulkus/mitosis
T
T1 1,0 a: tanpa ulkus dan mitosis
<1/mm
b: dengan ulkus atau
mitosis 1/mm
T2 1,01-2,0 a: tanpa ulkus
b: dengan ulkus
T3 2,01-4,0 a: tanpa ulkus
b: dengan ulkus
T4 >4,0 a: tanpa ulkus
b: dengan ulkus
Perhitungan mitotic index dilakukan pada jaringan yang telah diwarnai
hemtoxylin-eosin yang kemudian dilihat dengan mikroskop dengan pembesaran
kuat 400x atau lensa objektif 40x yang mana setara dengan besar area 1 mm.
kemudian dihitung jumlah sel yang mengalami mitosis pada 5 sampai 10 lapangan
pandang mikroskop, setelah itu dirata-ratakan untuk mendapatkan angka mitotic
index per millimeter kuadrat (Paek et al., 2008; Attis dan Vollmer, 2007).
Ada beberapa macam kategori nilai mitotic index dalam penelitian
terdahulu. Pada suatu penelitian ada yang hanya mengkategorikan mitotic index
menjadi 2 kategori, yaitu absent dan present (Hale et al., 2013). Dalam AJCC
edisi ketujuh setidaknya 1/mm berpengaruh terhadap prognosis melanoma dan
juga menjadikan sebagai patokan <1/mm dan 1/mm sebagai klasifikasi tumor
primer (Balch et al., 2009). Pada penelitian lain dapat dilihat pembagian nilai
mitotic index setidaknya menjadi 3 kategori yang memilki nilai likelihood ratio
lebih tinggi dibanding yang hanya 2 kategori maupun 4 kategori, seperti <1/mm,
1-4/mm, >4/mm (Attis dan Vollmer, 2007).
19
ataupun ada tapi tidak menginfiltrasi tumor dan present, diambil pada tumor yang
memiliki TILs yang brisk dan nonbrisk (Reddy et al., 2014).
berhubungan dengan mitotic index yang rendah dan meningkatkan survival rate
(Reddy et al., 2014).
Mitotic index yang rendah secara signifikan berpengaruh pada survival
rate yang lama sama halnya dengan nilai TILs yang tinggi. Dinyatakan dalam
penelitian ini, berkembangnya metastastic melanoma dinyatakan dengan
keseimbangan antara proliferasi yang tidak terkontrol (mitotic index) dan
kemunculan sistem imun (TILs). Namun belum jelas apakah proliferasi sel tumor
yang rendah pada pasien melanoma maligna memberikan kesempatan pada tubuh
untuk mengembangkan respon imun atau sistem imun yang mengontrol
proliferasi. Pasien dengan kemunculan imun pada lesi tumor cenderung
menstimulasi sel T untuk melawan tumor. Di samping itu, terlihat manfaat yang
besar dari kemoterapi pada pasien melanoma maligna yang memiliki nilai mitotic
index yang tinggi (Bogunovic et al., 2009).
24
Melanoma Regresi
Maligna Melanoma
Maligna
Proliferasi
Tumor menurun Sel Lisis
Infiltrating
Lymphocytes Mitotic Target Sel
Index
Antibodi