1,2
Kira-kira 33% pasien dengan luka bakar yang luas menderita trauma inhalasi,
dan risikonya meningkat sesuai dengan luas permukaan tubuh yang terbakar.
Trauma inhalasi yang berdiri sendiri akan meningkatkan mortalitas sebesar
20%. 2
Trauma inhalasi telah dikenal sejak abad pertama Masehi. Banyak
korban musibah kebakaran menderita trauma inhalasi dan trauma panas.
Trauma inhalasi yang disebabkan oleh asap dan produk-produk noksius dari
luka bakar merupakan 75% penyebab kematian akibat luka bakar di Amerika
Serikat. Kasus kematian tersebut banyak yang sebenarnya dapat dihindari. 3,4
Di Amerika Serikat luka bakar adalah penyebab kematian akibat
kecelakaan nomor tiga pada semua kelompok umur, nomor dua untuk
penyebab kematian di rumah untuk semua kelompok umur, dan khusus untuk
anak-anak dan dewasa muda menjadi penyebab kematian di rumah nomor
satu. Insidensi trauma inhalasi meningkat sesuai luas permukaan tubuh yang
terbakar. Pada luka bakar 5% insidensinya kurang dari 10% sedangkan pada
luka bakar 85% atau lebih mencapai 80%. Trauma inhalasi terdapat pada
sepertiga dari pasien-pasien yang dirawat di unit luka bakar. Adanya trauma
inhalasi memberikan efek mortalitas yang lebih tinggi daripada usia pasien
maupun luas permukaan tubuh yang terbakar. 4,5
Meskipun penanganan yang baik di unit perawatan luka bakar saat ini
telah menurunkan mortalitas akibat luka bakar superfisial, mortalitas injuri
pulmonal justru meningkat. Diagnosis trauma inhalasi tidak selalu dapat
segera ditegakkan, tidak ada uji skrining yang sensitif, dan gejala-gejalanya
dapat timbul belakangan hingga 24-36 jam setelah trauma. 6
TINJAUAN PUSTAKA
PRODUKSI ASAP
Asap dapat dihasilkan dari pembakaran bahan apapun dan merupakan
suatu campuran gas dan partikel dalam suspensi. Produksi asap bergantung
pada dua proses: pirolisis dan oksidasi. Pirolisis adalah fenomena di mana
elemen-elemen bahan bakar dibebaskan melalui pencampuran dan pemanasan
oleh panas semata-mata. Oksidasi adalah proses reaksi kimiawi antara oksigen
dan molekul-molekul bahan bakar, yang memecahkannya menjadi komponenkomponen kecil dan menghasilkan cahaya serta panas. Sebagai contoh akibat
oksidasi adalah karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), dan sulfur
dioksida (SO2). Proses manapun dari kedua itu yang lebih menonjol, bersama
dengan suhu, ventilasi, dan jenis bahan yang terbakar di sekitarnya, dapat
menyebabkan produksi elemen-elemen asap dalam jumlah besar, masingmasing dengan tingkat toksisitas dan mekanisme injuri yang khas. 7
Produksi asap dapat dibagi menjadi dua kelompok: partikel dan gas.
Keduanya dapat menyebabkan trauma jalan nafas, meskipun mekanisme kerja
dan daerah yang terkena trauma berbeda.
Partikel dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas melalui deposisi
(secara langsung) dan merangsang bronkospasme (secara tak langsung).
Bergantung pada ukuran partikel, daerah yang terkena bervariasi. Partikel
lebih besar dari 5 m cenderung deposit di jalan nafas atas, sedangkan yang
lebih kecil dari 1 m dapat mencapai kantong alveolus. Meningkatnya aliran
udara yang disebabkan oleh takipnea dapat mengakibatkan peningkatan
deposit partikel di jalan nafas yang lebih distal. 8
Berdasarkan mekanisme kerjanya, gas dapat dibagi menjadi dua
kategori: iritan dan asfiksian. Gas-gas iritan menyebabkan injuri mukosa
melalui reaksi denaturasi atau oksidasi. Gas-gas ini dapat menyebabkan
bronkospasme, trakeobronkitis kimiawi, dan bahkan edema paru. Daerah kerja
gas iritan bergantung terutama pada kelarutannya dalam air. Gas-gas yang
lebih larut seperti amoniak dan sulfur dikosida umumnya menghasilkan reaksi
di jalan nafas bagian atas, menyebabkan rasa nyeri di mulut, hidung, faring,
bahkan di kedua mata. Sebaliknya, gas-gas yang kurang larut dalam air
bertanggung jawab atas injuri di jalan nafas yang lebih distal, dan oleh karena
hanya sedikit mengiritasi jalan nafas maka hanya sedikit gejala yang timbul
sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya injuri parenkim. Gas-gas
asfiksian didefinisikan sebagai gas-gas yang menggeser oksigen dari
lingkungan. Penggeseran oksigen disebabkan baik oleh penurunan fraksi
oksigen terinspirasi (FiO2) dan mekanisme lainnya yang mencegah
pengambilan dan pendistribusian oksigen dalam sistem kardiovaskuler.
Konsekuensinya, baik karbon dioksida (yang menurunkan fraksi oksigen di
lingkungan) dan karbon monoksida (yang mengikat hemoglobin sehingga
menurunkan suplai oksigen ke jaringan) digolongkan sebagai gas asfiksian. 7,8
Gambar 1. Hasil akhir trauma inhalasi menurut tipe pemaparan yang lebih dominan. 7
MEKANISME INJURI
Ada empat mekanisme yang bertanggung jawab atas terjadinya injuri
inhalasi:
1) Injuri termal langsung
Injuri yang berhubungan dengan tingginya suhu asap yang terhirup
jarang terjadi di daerah di bawah laring. Asap cenderung kering, sehingga
kecil kemungkinan terjadinya pertukaran panas. Percobaan pada binatang
menunjukkan bahwa jika udara dengan suhu 142C dihirup, pada saat
mencapai carina suhunya turun menjadi 38C. Sebagai tambahan, area
supralaring memiliki kapasitas pertukaran panas yang lebih besar oleh karena
mukosa yang mengandung jumlah air yang relartif banyak. Injuri jalan nafas
atas ditandai dengan adanya eritema, edema, dan ulserasi di mukosa, juga
berpotensi perdarahan lokal atau bahkan obstruksi di daerah yang terkena.
9,10
Kecuali uap air, gas yang meledak dan uap cairan panas oleh karena udara
yang lembab lebih kuat menghantarkan panas daripada udara kering. 10
2) Inhalasi gas hipoksik
Selama kebakaran, konsentrasi oksigen turun dengan cepat sampai api itu
padam. Lamanya proses ini bergantung pada jenis bahan bakar. Pada
kebanyakan kasus kebakaran oleh petroleum, api akan padam saat fraksi
oksigen turun hingga kisaran 13-15%. Bila bahan yang terbakar mengandung
oksigen, kebakaran dapat bertahan dengan FiO2 kurang dari 10%. Penurunan
FiO2 ini akan menyebabkan korban mengalami dispnea atau pusing, yang
dapat diikuti kekacauan mental, mati rasa, koma, dan bahkan kematian bila
turun hingga 5%. 8,11
3) Toksin lokal
Di antara berbagai komponen asap, akrolein, formaldehida, sulfur dioksida,
dan nitrogen dioksida dapat menyebabkan injuri jalan nafas secara langsung
sebagai akibat proses inflamasi akut yang dimediasi oleh leukosit
polimorfonuklear, terutama neutrofil. Gejala-gejalanya mungkin tidak muncul
dengan
hemoglobin.
Produksi
karboksihemoglobin
tidak
karbon
monoksida
sebesar
0,2%,
akan
membentuk
oleh hipotensi, kejang-kejang, apnea, dan henti jantung dalam keadaan asistol.
11
Asfiksian
Toksin
sistemik
Inhalan
Sumber
Mekanisme injuri
Ammonia
Pupuk, bahan
pendingin, bahan
pewarna tekstil,
plastik, nilon
Klorin
Zat pemutih,
Kerusakan epitel jalan nafas
disinfektan air, produk- bawah
produk pembersih
Sulfur dioksida
Nitrogen dioksida
Pembakaran disel,
pengelasan,
pembuatan bahan
pewarna tekstil, laker,
wall paper.
Karbon
monoksida*
Pembakaran ilalang,
batu bara, gas
Hidrogen sianida
Pembakaran
poliurethane,
nitrosellulosa (sutera,
nilon, wool)
Hidrogen sulfida
Fasilitas pengolahan
sampah, gas vulkanik,
tambang batu bara,
sumber air panas
alami
Hidrokarbon
Penyalahgunaan
inhalan (toluena,
benzena, Freon);
aerosol; lem; bensin;
pembersih pewarna
kuku; cairan
penghapus; menelan
pelarut minyak,
kerosen, cairan pelitur
Organofosfat
Menghambat asetilkolinesterase,
krisis kolinergik dengan
peningkatan asetilkolin
Asap metal
Pemeriksaan Radiologis
Pada hampir semua pasien, foto thoraks awal menunjukkan hasil
normal sehingga kecil kemungkinan untuk memprediksi diagnosis trauma
inhalasi akut. Akan tetapi, bila foto thoraks menunjukkan infiltrat baru, hal itu
membuktikan trauma inhalasi yang lebih berat, sehingga mengindikasikan
prognosis yang buruk. Kegunaan utama foto thoraks adalah untuk
mengidentifikasi infiltrat baru selama evolusi trauma inhalasi pada stadium
subakut dan kronik, misalnya acute respiratory distress syndrome. Kita harus
ingat bahwa stadium kronis trauma inhalasi ditandai dengan infeksi respirasi
sekunder. Pemeriksaan radiologis yang berulang penting untuk menegakkan
diagnosis yang akurat sedini mungkin.
10
Gambar 2. Foto thoraks yang diambil 36 jam setelah inhalasi klorin menunjukkan gambaran
nodul opak difus di kedua lapang paru. 13
Bronkoskopi
11
12
diingat bahwa kadar ini menurun sejalan dengan waktu dan terapi.
Karboksihemoglobin dapat normal bila diperiksa di rumah sakit beberapa saat
setelah terpapar dan dapat mengarahkan diagnosis yang negatif palsu.
Karakteristik lain adanya karboksihemoglobin adalah overestimasi oksigenasi
dengan oksimetri pulsa. Oksimeter konvensional tak dapat membedadakan
antara
panjang
gelombang
dari
oksihemoglobin
dengan
yang
dari
Radioisotop
Pemindaian
ventilasi-perfusi
menggunakan
xenon
133
(Xe133)
memungkinkan identifikasi obstruksi jalan nafas yang kecil yang tak tampak
dengan pemeriksaan bronkoskopi. Pemeriksaan serial dilakukan setelah
pemberian radioisotop dengan tujuan untuk menentukan waktu retensi total zat
radiofarmakologis di paru-paru. Waktu retensi lebih panjang dari 90 detik atau
heterogenitas distribusi zat yang signifikan dapat menjadi prediksi trauma
inhalasi.
Pemeriksaan
Xe133
inhalation-perfusion
scintigraphy
hanya
13
Secara umum, dari tes faal paru dapat ditemukan sebagai berikut:
komplians statis dan dinamis sistem respirasi yang normal pada stadium awal
trauma, yang secara progresif menurun seiring perjalanan penyakit, atau bahkan
pada stadium kronis saat proses perbaikan mengarah ke keadaan restriktif,
dibuktikan dengan komplians sistem respirasi yang menurun dan resistensi jalan
nafas yang meningkat, sejalan dengan penurunan forced expiratory
volume in one second, rasio forced expiratory volume in one
second/forced vital capacity, dan peak expiratory flow, yang
disebabkan oleh akumulasi debu dan sekresi serta edema
mukosa jalan nafas.
Kegunaan memonitor fungsi paru tidak hanya untuk
identifikasi progresivitas penyakit tetapi juga mengevaluasi
respon terhadap terapi yang diberikan (strategi ventilator,
terapi obat-obatan, maupun fisioterapi).
7,8
14
Oksigenasi
Yang terpenting kedua dalam penanganan pasien-pasien dengan trauma
inhalasi adalah mengatasi intoksikasi karbon monoksida. Penggunaan fraksi
oksigen tinggi dianjurkan untuk semua kasus yang dicurigai intoksikasi,
meskipun hanya sedikit gejala yang ditunjukkan. Kegunaan oksigen untuk
pasien-pasien tersebut adalah untuk meningkatkan pertukaran gas, mengatasi
efek inhalasi gas hipoksik, dan jika memungkinkan untuk mendisosiasi karbon
monoksida dari tempat ikatannya. 7,11
Waktu paruh dari karbon monoksida dalam udara kamar adalah 90
menit dengan oksigen 100%, dan 23 menit dalam kamar hiperbarik dengan
tekanan 3 atm absolut. Eliminasi karbon monoksida terutama bergantung pada
hukum aksi massa, sehingga PO2 merupakan faktor yang lebih berperan
daripada ventilasi alveolus dalam mengeluarkan karbon monoksida.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa waktu paruh secara klinis
adalah sekitar 75 menit bernafas dengan oksigen 100% melalui sungkup muka
non-rebreathing atau pipa endotrakea. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
meskipun sangat bergantung pada PO2, waktu paruh tidak bergantung pada
jenis kelamin, usia, riwayat penurunan kesadaran, riwayat merokok tembakau,
beratnya asidosis metabolik, ataupun kadar karbon monoksida awal. 17
Alat yang paling berguna adalah sungkup muka dengan reservoir
oksigen. Alat ini dapat meningkatkan fraksi oksigen terinspirasi mendekati
100%. Penggunaan sungkup muka ini sederhana dan sangat efektif untuk
memberikan fraksi oksigen yang tinggi tanpa bantuan ventilasi. 11
Pasien-pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik yang sangat
rentan terhadap retensi karbon dioksida, bersama-sama dengan pasien yang
koma, adalah kelompok yang perlu sesegera mungkin diintubasi untuk
15
Bantuan Ventilasi
Dalam beberapa tahun terakhir, bantuan ventilasi untuk pasien-pasien
luka bakar mendapat paling banyak perhatian, dilihat dari jumlah penelitian
yang dilakukan. Dengan pengembangan ventilasi non-invasif, ide untuk
menghindari intubasi menjadi sangat menarik, terutama apabila intubasi
menjadi prediktor morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada pasienpasien tertentu. Adanya cedera pada wajah dengan risiko penurunan perfusi
jaringan pada tempat yang dipasang sungkup muka untuk ventilasi non-infasif,
menyebabkan teknik ini terbatas pemakaiannya. Akan tetapi, hal tersebut tidak
mencegah penelitian tentang penggunaannya secara intermiten, yang telah
menunjukkan kemampuannya mempertahankan rekrutmen alveolus, sehingga
mengurangi kebutuhan intubasi trakea. Fakta ini saja telah menjadikan teknik
ini menarik, bahkan untuk tambahan fisioterapi agar jalan-jalan nafas dan
ruang alveolus tetap terbuka. Pengembangan alat-alat ventilasi non-infasif
yang kurang menekan wajah telah menjadi alternatif untuk penggunaan
ventilasi non-infasif yang berkepanjangan sebagai prosedur bantuan ventilasi
pada pasien-pasien dengan trauma inhalasi. 18
Jika diperlukan intubasi trakea, strategi bantuan ventilasi invasif adalah
untuk menjaga paru-paru tetap terbuka dan untuk pembersihan sekresi, selain
mengoptimalkan pertukaran gas. Strategi ventilasi yang tepat tergantung pada
jenis insufisiensi respirasi yang diderita pasien. Hal ini disebabkan oleh karena
pada tahap awal mekanisme patofisiologis yang utama adalah trauma jalan
nafas langsung, dengan edema dan perdarahan, yang terkombinasi dengan
akumulasi partikel padat dan sekresi. Pada kasus-kasus ini, strategi ventilasi
agresif, seperti penggunaan possitive end expiratory pressure (PEEP) tinggi,
jarang diperlukan. Untuk kasus-kasus berat, baik pada tahap awal maupun
16
Terapi Antibiotika
Penggunaan awal antibiotika pada saat belum ada bukti jelas infeksi
tidak meningkatkan survival ataupun mengurangi kemungkinan terjadinya
pneumonia, yang dianggap sebagai komplikasi infeksi tersering yang
berkaitan dengan trauma inhalasi. Oleh karena itu penggunaannya tidak
dianjurkan.
Insidensi infeksi tertinggi terjadi pada hari ketiga sejak kejadian luka
bakar. Terapi antibiotika harus dimulai berdasarkan penemuan radiologis,
pemeriksaan sputum, dan leukositosis. Yang terakhir sangat mungkin
disebabkan oleh bakteri gram negatif. Pada kasus yang lebih akut, bakteri
gram positif lebih dominan. Kegunaan bronkoskopi untuk lavase bronkus dan
identifikasi zat penyebab, baik sebagai identifikasi awal ataupun untuk
menyesuaikan regimen antibiotik empiris, masih harus diteliti.
17
peroksidasi
lipid
dan
pembentukan
radikal
bebas
hiperpnea
isokapnik,
yakni
pasien-pasien
yang
terintubasi
18
pasien
mengalami
bronkospasme
dan
pemberian
19
SIMPULAN
1. Diagnosis trauma inhalasi tidak selalu dapat segera ditegakkan, dan gejalagejalanya dapat timbul belakangan hingga 24-36 jam setelah trauma.
2. Hipoksia, hiperkarbia, dan edema paru adalah tanda-tanda yang
menunjukkan kemungkinan inhalasi zat-zat toksik.
3. Mekanisme injuri pada trauma inhalasi dapat berupa injuri termal
langsung, inhalasi gas hipoksik, toksik lokal, dan toksik sistemik.
4. Pada setiap kejadian trauma inhalasi, harus dicari tanda dan gejala yang
mengarah kepada intoksikasi. Adalah penting untuk secara aktif mencari
intoksikasi yang berhubungan dengan trauma inhalasi terutama bila ada
keterlibatan sistem saraf pusat.
5. Diagnosis trauma inhalasi ditegakkan melalui pemeriksaan bronkoskopi
jalan nafas bagian atas dan trakea. Meski demikian, injuri pada jalan nafas
bagian bawah dapat terjadi tanpa keterlibatan jalan nafas bagian atas.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Ryan CM, Schoenfeld DA, Thorpe WP, Sheridan RL, Cassem EH,
Tompkins RG. Objective estimastes of the probability of death from burn
injuries. New Engl J Med 1998; 338: 362-6.
2. Clark WR Jr. Smoke inhalation: diagnosis and treatment. World J Surg
1992; 16(1): 24-9
3. Istre GR, McCoy MA, Osborn L. Deaths and injuries from house fires. N
Engl J Med 2001; 344(25): 1911-6.
4. DiGuiseppi C, Roberts I, Wade A. Incidence of fires and related injuries
after giving out free smoke alarms: cluster randomised controlled trial.
British Med J 2002; 325(7371): 995.
5. Darling GE, Keresteci MA, Ibanez D, Pugash RA, Peters WJ, Neligan PC.
Pulmonary complications in inhalation injuries with associated cutaneous
injury. J Trauma 1996; 40: 83-9.
21
22
23