Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyusun tugas ini yang berjudul " Askep Jiwa Pada Lansia " tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan
dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak,
untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Manado ,11 September 2017

Penyusun
Kelompok 11

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ 1


DAFTAR ISI ............................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ........................................................................... 3
B. Tujuan ....................................................................................... 4
C. Manfaat ..................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN TEORITIS


A. Pengertian .................................................................................. 5
B. Aspek-aspek yang memepengaruhi kesehatan lansia ............... 5
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kesehatna Jiwa Lansia .............................................................. 7
D. Masalah kesehatan lansia .......................................................... 9
E. Penyakit Psikiatris ................................................................... 10
F. Pendekatan perawatan lansia................................................... 12

BAB III ASUHAN KEPERAWATN TOERITIS


A. Pengkajian ................................................................................ 15
B. Diagnosa ................................................................................... 20
C. Intervensi .................................................................................. 20
E. Evaluasi..................................................................................... 25

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 29
B. Saran ......................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses atau keadaan menjadi tua,senescence,merupakan
fenomena perkembangan manusi yang alamiah dimana secara berangsur-
angsur terjadi kemunduran dari kapasitas mental,berekurangnya minat
social dan menurunnya aktifitas fisik serupa dengan masa kanak-
kanak,remaja,dewasa,menjadi tua adalah hal yang normal yang disertai
pula dengan problema yang khusus pula. Tekanan hidup yang beraneka
ragam yang terdapat dalam masyarakat ikut membentuk keadaan istimewa
atau khusus ini pada usia lanjut.
Keperawatan geriatrik adalah cabang keperawatan yang
memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan
psikologis pada lanjut usia dan dengan meningkatkan umur panjang.
Pelayanan/ asuhan keperawatan gangguan mental pada lanjut usia
memerlukan pengetahuan khusus karena kemungkinan perbedaan dalam
manifestasi klinis, patogenesis, dan patofisiologi gangguan mental antara
dewasa muda dan lanjut usia. Faktor penyulit pada pasien lanjut usia juga
perlu dipertimbangkan; faktor-faktor tersebut adalah sering adanya
penyakit dan kecacatan medis penyerta, pemakaian banyak medikasi, dan
peningkatan kerentanan terhadap gangguan kognitif.
Program Epoidiomological Catchment Area (ECA) dari National
Institute of Mental Health telah menemukan bahwa gangguan mkental
yang paling sering pada lanjut usia adalah gangguan depresif, gangguan
kognitif, fobia, dan gangguan pemakaian alkohol. Lanjut usia juga
memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri dan gejala psikiatrik akibat obat.
Banyak gangguan mental pada lanjut usia dapat dicegah, dihilangkan, atau
bahkan dipulihkan. Sejumlah faktor resiko psikososial juga
mempredis[osisiskan lanjut usia kepada gangguan mental. Faktor resiko
tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian

3
teman, atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi,
keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perawatan usia lanjut
yang keadaan kesehatannya terutama dipengaruhi oleh proses
ketuaannya,maka penulis mengambil judul makalah ini Asuhan
Keperawatan pada Pasien Lansia.

B. Tujuan
1. Dapat mengetahui konsep teori keperawatan jiwa pada lansia
2. Dapat mengetahui asuhan keperawatan jiwa pada lansia meliputi
pengkajian, diagnose, intervensi, implementasi dan evaluasi.

C. Manfaat
Manfaat penulis makalah ini yaitu sebagai wawasan atau pandangan mengenai
komunikasi terapeutik dengan tenaga kerja/pelayanan lain.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Lansia adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti died dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan
yang diderita.
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya
penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi
satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.
Lansia adalah seseorang yang lebihdari 75 tahun.
Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Walaupun
proses penuaan benar adanya dan merupakan sesuatu yang normal, tetapi
pada kenyataannya proses ini menjadi beban bagi orang lain dibadingkan
dengan proses lain yang terjadi. Perawat yang akan merawat lansia harus
mengerti sesuatu tentang aspek penuaan yang normal dan tidak normal

B. Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Perubahan Fungsi Lansia


Masalah kesehatan mental pada lansia dapat berasal dari 4 aspek
yaitu fisik, psikologik, sosial dan ekonomi. Masalah tersebut dapat berupa
emosi tidak labil, mudah tersinggung, gampang merasa dilecehkan,
kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan, dan tidak berguna. Lansia
dengan problem tersebut menjadi rentan mengalami gangguan psikiatrik
seperti depresi, ansietas (kecemasan), psikosis (kegilaan) atau kecanduan
obat. Pada umumnya masalah kesehatan mental lansia adalah masalah
penyesuaian. Penyesuaian tersebut karena adanya perubahan dari keadaan

5
sebelumnya (fisik masih kuat, bekerja dan berpenghasilan) menjadi
kemunduran.
Aspek psikologi merupakan faktor penting dalam kehidupan
seseorang dan menjadi semakin penting dalam kehidupan seorang lansia.
Aspek psikologis ini lebih menonjol daripada aspek materiil dalam
kehidupan seorang lansia. Pada umumnya, lansia mengharapkan: panjang
umur, semangat hidup, tetap berperan sosial, dihormati, mempertahankan
hak dan hartanya, tetap berwibawa, kematian dalam ketenangan dan
diterima di sisi-Nya, dan masuk surga. Keinginan untuk lebih dekat
kepada Allah merupakan kebutuhan lansia. Proses menua yang tidak
sesuai dengan harapan tersebut, dirasakan sebagai beban mental yang
cukup berat.
Aspek sosial yang terjadi pada individu lanjut usia, meliputi
kematian pasangan hidupnya/teman-temannya, perubahan peran seorang
ayah/ibu menjadi seorang kakek/nenek, perubahan dalam hubungan
dengan anak karena sudah harus memerhitungkan anak sebagai individu
dewasa yang dianggap sebagai teman untuk dimintai pendapat dan
pertolongan, perubahan peran dari seorang pekerja menjadi pensiunan
yang sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah.
Aspek ekonomi berkaitan dengan status sosial dan prestise. Dalam
masyarakat sebagai seorang pensiunan, perubahan pendapatan karena
hidupnya tergantung dari tunjangan pensiunan. Kondisi-kondisi khas yang
berupa penurunan kemampuan ini akan memunculkan gejala umum pada
individu lanjut usia, yaitu perasaan takut menjadi tua.
Pada umumnya, perubahan ini diawali ketika masa pensiun.
Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati
hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan
sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status, dan harga diri.
Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model
kepribadiannya dan sangat tergantung pada sikap mental individu dalam
menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada yang menerima, ada

6
yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua
dan ada juga yang seolah-olah pasrah terhadap pensiun.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa aspek mental yang ada
pada diri manusia adalah aspek-aspek yang dapat menentukan sifat dan
karakteristik manusia itu sendiri. Perbuatan dan tingkah laku manusia
sangat ditentukan oleh keadaan jiwanya yang merupaka motor penggerak
suatu perbuatan. Oleh sebab itu aspek-aspek mental tersebut bisa manusia
kendalikan melalui proses pendidikan.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan
jiwa lansia. Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak
sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia.
Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat
mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi
adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple
pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin
keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dan sebagainya.
Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa
lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua
dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik
maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan
ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat
tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan
kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial,
sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan
yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu
mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat
dan bekerja secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual

7
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan
jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes millitus, vaginitis, baru
selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena
pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang,
penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid,
tranquilizer.
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
a. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada
lansia
b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta
diperkuat oleh tradisi dan budaya.
c. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya.
d. Pasangan hidup telah meninggal.
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah
kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dan
sebagainya.

3. Perubahan Aspek Psikososial


Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi
proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-
lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin
lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,
koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga
mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan
keadaan kepribadian lansia.

8
4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun.
Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat
menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya
sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai
kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status
dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih
tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan
pada point tiga di atas.

D. Masalah Kesehatan Lansia


Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah
kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang
merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala
aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial,
kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI, 1992:6)
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari masalah
kesehatan pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif
dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia.
Sementara Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran jiwa yang
mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lansia yang menyangkut aspek
promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang
menyertai kehidupan lansia.
Ada 4 ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan
Psikogeriatri, yaitu :
1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin
meningkatnya usia
2. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif
3. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila :
Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang
lain).

9
Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan
karena berbagai sebab, diantaranya setelah menajalani masa pensiun,
setelah sakit cukup berat dan lama, setelah kematian pasangan hidup
dan lain-lain.
4. Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan
(homeostasis) sehingga membawa lansia kearah kerusakan /
kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis
yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis dan
sebagainya. Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor
psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan hidup,
kematian sanak keluarga dekat, terpaksa berurusan dengan penegak
hukum, atau trauma psikis.

E. Penyakit Psikiatris
Gangguan yang paling banyak diderita adalah gangguan depresi,
demensia, fobia, insomnia, paranoid dan gangguan terkait penggunaan
alkohol. Lansia dengan usia di atas 75 tahun juga beresiko tinggi
melakukan bunuh diri. Banyak gangguan mental pada lansia dapat
dicegah, diperbaiki, bahkan dipulihkan.
1. Gangguan demensia
Faktor resiko demensia yang sudah diketahui adalah usia, riwayat
keluarga, dan jenis kelamin wanita. Perubahan khas pada demensia
terjadi pada kognisi, memori, bahasa, dan kemampuan visuospasial,
tapi gangguan perilaku juga sering ditemui, termasuk agitasi,
restlessness, wandering, kemarahan, kekerasan, suka berteriak,
impulsif, gangguan tidur, dan waham.
2. Gangguan depresi
Gejala yang sering muncul pada gangguan depresif adalah
menurunnya konsentrasi dan fisik, gangguan tidur (khususnya bangun
pagi terlalu cepat dan sering terbangun [multiple awakenings]), nafsu
makan menurun, penurunan berat badan, dan masalah-masalah pada
tubuh.

10
3. Gangguan kecemasan
Termasuk gangguan panik, ketakutan (fobia), gangguan obsesif-
kompulsif, gangguan kecemasan yang menyeluruh, gangguan stres
akut, dan gangguan stres pasca trauma.
Tanda dan gejala ketakutan (fobia) pada lansia tidak seberat daripada
yang lebih muda, tetapi efeknya sama. Gangguan kecemasan mulai
muncul pada masa remaja awal atau pertengahan, tetapi beberapa
dapat muncul pertama kali setelah usia 60 tahun.
Pengobatan harus disesuaikan dengan penderita dan harus
diperhitungkan pengaruh biopsikososial yang menghasilkan gangguan.
Farmakoterapi dan psikoterapi dibutuhkan.
4. Gangguan insomnia
Kebiasaan atau pola tidur lansia dapat berubah, yang terkadang dapat
mengganggu kenyamanan anggota keluarga lain yang tinggal serumah.
Perubahan pola tidur dapat berubah tiak bisa tidur sepanjang malam
dan sering terbangun pada malam hari, sehingga lansia melakukan
kegiatannya pada malam hari.
Penyebab insomnia pada lansia:
a. Kurangnya kegiatan fisik dan mental sepanjang hari sehingga
mereka masih semangat sepanjang malam
b. Tertidur sebentar-sebentar sepanjang hari
c. Gangguan cemas dan depresi
d. Tempat tidur dan suasana kamar kurang nyaman
e. Sering berkemih pada waktu malam karena banyak minum pada
malam hari
f. Infeksi saluran kemih
5. Gangguan paranoid
Lansia terkadang merasa bahwa ada orang yang mengancam mereka,
membicarakan, serta berkomplot ingin melukai atau mencuri barang
miliknya
Gejala Paranoid:

11
a. Perasaan curiga dan memusuhi anggota keluarga, teman-teman,
atau orang-orang di sekelilingnya
b. Lupa akan barang-barang yang disimpannya kemudian menuduh
orang-orang di sekelilingnya mencuri atau menyembunyikan
barang miliknya
c. Paranoid dapat merupakan manifestasi dari masalah lain, seperti
depresi dan rasa marah yang ditahan
d. Tindakan yang dapat dilakukan pada lansia dengan paranoid adalah
memberikan rasa aman dan mengurangi rasa curiga dengan
memberikan alas an yang jelas dalam setiap kegiatan.
Konsultasikan dengan dokter bila gejala bertambah berat.

F. Pendekatan Perawatan Lansia


Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia
sangat perlu ditekankan pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik,
psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut karena pendekatan dari satu
aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut usia
yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif. Pendekatan
inilah yang dalam bidang kesehatan jiwa (mental health) disebut
pendekatan eklektik holistik, yaitu suatu pendekatan yang tidak tertuju
pada pasien semata-mata, akan tetapi juga mencakup aspek psikososial
dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik adalah
pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk meningkatkan derajat
kesehatan lanjut usia, secara utuh dan menyeluruh.
1. Pendekatan fisik
Perawat mempunyai peranan penting untuk mencegah terjadinya
cedera sehingga diharapkan melakukan pendekatan fisik, seperti
berdiri disamping klien, menghilangkan sumber bahaya dilingkungan,
memberikan perhatian dan sentuhan, bantu klien menemukan hal yang
salah dalam penempatannya, memberikan label gambar atau hal yang
diinginkan klien.

12
2. Pendekatan psikologis
Disini perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan
pendekatan edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan
sebagai supporter, interpreter terhadap segala sesuatu yang asing,
sebagai penampung rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang
akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam
memberikan kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk
menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa puas.
Perawat harus selalu memegang prinsip Tripple, yaitu sabar,
simpatik dan service. Hal itu perlu dilakukan karena perubahan
psikologi terjadi karena bersama dengan semakin lanjutnya usia.
Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti menurunnya
daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi, berkurangnya kegairahan
atau keinginan, peningkatan kewaspadaan, perubahan pola tidur
dengan suatu kecenderungan untuk tiduran diwaktu siang, dan
pergeseran libido. Perawat harus sabar mendengarkan cerita dari masa
lampau yang membosankan, jangan menertawakan atau memarahi
klien lanjut usia bila lupa melakukan kesalahan . Harus diingat
kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Bila
perawat ingin merubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap
kesehatan, perawat bila melakukannya secara perlahan lahan dan
bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah
pemuasan pribadi sehinga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak
menambah beban, bila perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini
mereka puas dan bahagia.
3. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam
hubungan lansia dengan Tuhan atau agama yang dianutnya dalam
keadaan sakit atau mendeteksi kematian. Sehubungan dengan
pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang menghadapi kematian.
Seorang dokter mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah
rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam faktor,

13
seperti ketidakpastian akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit
dan kegelisahan kumpul lagi dengan keluarga dan lingkungan
sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan
memberikan reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara
dalam mengahadapi hidup ini. Adapun kegelisahan yang timbul
diakibatkan oleh persoalan keluarga, perawat harus dapat meyakinkan
lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi ditinggalkan , masih ada
orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu
menghantui pikiran lanjut usia.
4. Pendekatan social
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu
upaya perawat dalam pendekatan social. Memberi kesempatan untuk
berkumpul bersama dengan sesama klien usia berarti menciptakan
sosialisasi mereka. Jadi pendekatan social ini merupakan suatu
pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk
sosial yang membutuhkan orang lain. Penyakit memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lanjut usia untuk
mengadakan konunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi,
nonton film, atau hiburan lain. Tidak sedikit klien tidak tidur terasa,
stress memikirkan penyakitnya, biaya hidup, keluarga yang dirumah
sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan
rasa kecemasan. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian
diantara lanjut usia, hal ini dapat diatasi dengan berbagai cara yaitu
mengadakan hak dan kewajiban bersama. Dengan demikian perawat
tetap mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun
terhadap petugas yang secara langsung berkaitan dengan pelayanan
kesejahteraan sosial bagi lanjut usia.

14
BAB III
Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Lansia

1. Pengkajian Pasien Lansia


Pengkajian pasien lansia menyangkut beberapa aspek yaitu
biologis, psikologis, dan sosiokultural yang beruhubungan dengan
proses penuaan yang terkadang membuat kesulitan dalam
mengidentifikasi masalah keperawatan. Pengkajian perawatan total
dapat mengidentifikasi gangguan primer. Diagnosa keperawatan
didasarkan pada hasil observasi pada perilaku pasien dan berhubungan
dengan kebutuhan.
a. Wawancara
Dalam wawancara ini meliputi riwayat: pernah mengalami
perubahan fungsi mental sebelumnya?. Kaji adanya demensia,
dengan alat-alat yang sudah distandardisasi (Mini Mental Status
Exam (MMSE)).
Hubungan yang penuh dengan dukungan dan rasa percaya sangat
penting untuk wawancara yang positif kepada pasien lansia. Lansia
mungkin merasa kesulitan, merasa terancam dan bingung di tempat
yang baru atau dengan tekanan. Lingkungan yang nyaman akan
membantu pasien tenang dan focus terhadap pembicaraan.
b. Keterampilan Komunikasi Terapeutik
Perawat membuka wawancara dengan memperkenalkan diri dan
menjelaskan tujuan dan lama wawancara. Berikan waktu yang
cukup kepada pasien untuk menjawab, berkaitan dengan
pemunduran kemampuan untuk merespon verbal. Gunakan kata-
kata yang tidak asing bagi klien sesuai dengan latar belakang
sosiokulturalnya. Gunakan pertanyaan yang pendek dan jelas
karena pasien lansia kesulitan dalam berfikir abstrak. Perawat
dapat memperlihatkan dukungan dan perhatian dengan

15
memberikan respon nonverbal seperti kontak mata secara
langsung, duduk dan menyentuk pasien.
Melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan sumber data
yang baik untuk mengidentifikasi masalah kesehatan pasien dan
sumber dukungan. Perawat harus cermat dalam mengidentifikasi
tanda-tanda kepribadian pasien dan distress yang ada. Perawat
tidak boleh berasumsi bahwa pasien memahami tujuan atau
protocol wawancara pengkajian. Hal ini dapat meningkatkan
kecemasan dan stres pasien karena kekurangan informasi. Perawat
harus memperhatikan respon pasien dengan mendengarkan dengan
cermat dan tetap mengobservasi.
c. Setting wawancara
Tempat yang baru dan asing akan membuat pasien merasa cemas
dan takut. Lingkungan harus dibuat nyaman. Kursi harus dibuat
senyaman mungkin. Lingkuangan harus dimodifikasi sesuai
dengan kondisi lansia yang sensitif terhadap suara berfrekuensi
tinggi atau perubahan kemampuan penglihatan.
Data yang dihasilkan dari wawancara pengkajian harus dievaluasi
dengan cermat. Perawat harus mengkonsultasikan hasil wawancara
kepada keluarga pasien atau orang lain yang sangat mengenal
pasien. Perawat harus memperhatikan kondisi fisik pasien pada
waktu wawancara dan faktor lain yang dapat mempengaruhi status,
seperti pengobatan media, nutrisi atau tingkat cemas.
d. Fungsi Kognitif
Status mental menjadi bagian dari pengkajian kesehatan jiwa lansia
karena beberapa hal termasuk :
Peningkatan prevalensi demensia dengan usia.
Adanya gejala klinik confusion dan depresi.
Frekuensi adanya masalah kesehatan fisik dengan confusion.
Kebutuhan untuk mengidentifikasi area khusus kekuatan dan
keterbatasan kognitif .
e. Status Afektif

16
Status afektif merupakan pengkajian geropsikiatrik yang penting.
Kebutuhan termasuk skala depresi. Seseorang yang sedang sakit,
khususnya pada leher, kepala, punggung atau perut dengan sejarah
penyebab fisik. Gejala lain pada lansia termasuk kehilangan berat
badan, paranoia, kelelahan, distress gastrointestinal dan menolak
untuk makan atau minum dengan konsekuensi perawatan selama
kehidupan.
Sakit fisik dapat menyebabkan depresi sekunder. Beberapa
penyakit yang berhubungan dengan depresi diantaranya gangguan
tiroid, kanker, khususnya kanker lambung, pancreas, dan otak,
penyakit Parkinson, dan stroke. Beberapa pengobatan da[at
meningkatkan angka kejadian depresi, termasuk steroid,
Phenothiazines, benzodiazepines, dan antihypertensive. Skala
Depresi Lansia merupakan ukuran yang sangat reliable dan valid
untuk mengukur depresi.

f. Respon Perilaku
Pengkajian perilaku merupakan dasar yang paling penting dalam
perencanaan keperawatan pada lansia. Perubahan perilaku
merupakan gejala pertama dalam beberapa gangguan fisik dan
mental. Jika mungkin, pengkajian harus dilengkapi dengan kondisi
lingkungan rumah. Hal ini menjadi modal pada faktor lingkungan
yang dapat mengurangi kecemasan pada lansia.
Pengkajian tingkah laku termasuk kedalam mendefinisikan tingkah
laku, frekuensinya, durasi, dan faktor presipitasi atau triggers.
Ketika terjadi perubahan perilaku, ini sangat penting untuk
dianalisis.
g. Kemampuan fungsional
Pengkajian fungsional pada pasien lansia bukan batasan indokator
dalam kesehatan jiwa. Dibawah ini merupakan aspek-aspek dalam
pengkajian fungsional yang memiliki dampak kuat pada status jiwa
dan emosi.

17
h. Mobilisasi
Pergerakan dan kebebasan sangat penting untuk persepsi kesehatan
pribadi lansia. Hal yang harus dikaji adalah kemampuan lansia
untuk berpindah di lingkungan, partisipasi dalam aktifitas penting,
dan mamalihara hubungan dengan orang lain. Dalam mengkaji
ambulasi , perawat harus mengidentifikasi adanya kehilangan
fungsi motorik, adaptasi yang dilakukan, serta jumlah dan tipe
pertolongan yang dibutuhkan. Kemampuan fungsi
i. Activities of Daily Living
Pengkajian kebutuhan perawatan diri sehari-hari (ADL) sangat
penting dalam menentukan kemampuan pasien untuk bebas. ADL (
mandi, berpakaian, makan, hubungan seksual, dan aktifitas toilet)
merupakan tugas dasar. Hal ini sangat penting dalam untuk
membantu pasien untuk mandiri sebagaimana penampilan pasien
dalam menjalankan ADL.
j. The Katz Indeks
Angka Katz indeks dependen dibandingkan dengan independen
untuk setiap ADL seperti mandi, berpakaian, toileting, berpindah
tempat , dan makan. Salah satu keuntungan dari alat ini adalah
kemampuan untuk mengukur perubahan fungsi ADL setiap waktu,
yang diakhiri evaluasi dan aktivitas rehabilisasi.
k. Fungsi Fisiologis
Pengkajian kesehatan fisik sangat penting pada pasien lansia
karena interaksi dari beberapa kondisi kronis, adanya deficit
sensori, dan frekuensi tingkah laku dalam masalah kesehatan jiwa.
Prosedur diagnostic yang dilakukan diantaranya EEG, lumbal;
funksi, nilai kimia darah, CT Scan dan MRI. Selain itu, nutrisi dan
pengobatan medis juga harus dikaji.
1. Nutrisi
Beberapa pasien lansia membutuhkan bantuan untuk makan
atau rencana nutrisi diet. Pasien lansia yang memiliki masalah
psikososial memiliki kebutuhan pertolongan dalam makan dan

18
monitor makan. Perawat harus secara rutin mengevaluasi
kebutuhan diet pasien. Pengkajian nutrisi harus dikaji lebih
dalam secara perseorangan termasuk pola makan rutin, waktu
dalam sehari untuk makan, ukuran porsi, makanan kesukaan
dan yang tidak disukai.
2. Pengobatan Medis
Empat faktor lansia yang beresiko untuk keracunan obat dan
harus dikaji yaitu usia, polifarmasi, komplikasi pengobatan,
komorbiditas.
3. Penyalahgunaan Bahan-bahan Berbahaya
Seorang lansia yang memiliki sejarah penyalahgunaan alcohol
dan zat-zat berbahaya beresiko mengalami peningkatan
kecemasan dan gangguan kesehatan lainnya apabila mengalami
kehilangan dan perubahan peran yang signifikan.
Penyalahgunaan alcohol dan zat-zat berbahaya lainnya oleh
seseorang akan menyebabkan jarak dari rasa sakit seperti
kehilangan dan kesepian.
4. Dukungan Sosial
Dukungan positif sangat penting untuk memelihara perasaan
sejahtera sepanjang kehidupan, khususnya untuk pasien lansia.
Latar belakang budaya pasien merupakan faktor yang sangat
penting dalam mengidentifikasi support system. Perawat harus
mengkaji dukungan sosial pasien yang ada di lingkungan
rumah, rumah sakit, atau di tempat pelayanan kesehatan
lainnya. Keluarga dan teman dapat membantu dalam
mengurangi shock dan stres di rumah sakit.
5. Interaksi Pasien- Keluarga
Peningkatan harapan hidup, penurunan angka kelahiran, dan
tingginya harapan hidup untuk semua wanita yang berakibat
pada kemampuan keluarga untuk berpartisipasi dalam
pemberian perawatan dan dukungan kepada lansia.
Kebanyakan lansia memiliki waktu yang terbatas untuk

19
berhubungan dengn anaknya. Masalah perilaku pada lansia
kemungkinan hasil dari ketiakmampuan keluarga untuk
menerima kehilangan dan peningkatan kemandirian pada
anggota keluarga yang sudah dewasa.

2. Diagnosa Keperawatan
a Gangguan pola tidur b.d ansietas
b Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori,
degenerasi neuron irreversible.
c Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis
daan kognitif.
d Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan
persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori ( defisit neurologist).
e Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting
berhubungan dengan ketergantungan fisiologis dan atau psikologis.
f Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan
dengan pengaruh penyimpangan jangka panjang dari proses
penyakit

3. Intervensi Keperawatan
a Gangguan pola tidur b.d ansietas.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kunjungan klien memiliki
pola tidur yang teratur.
Kriteria Hasil:
Klien mampu memahami factor penyebab gangguan pola tidur.
Klien mampu menentukan penyebab tidur inadekuat.
Klien mampu memahami rencana khusus untuk menangani
atau mengoreksi penyebab tidur tidak adekuat.
Klien mampu menciptakan pola tidur yang adekuat dengan
penurunan terhadap pikiran yang melayang-layang (melamun).
Klien tampak atau melaporkan dapat beristirahat yang cukup.

20
Intervensi :
1. Jangan menganjurkan klien untuk tidur siang apabila berakibat
efek negative terhadap tidur pada malam hari.
Rasional: irama sikardian (siklus tidur bangun) yang
tersinkronisasi disebabkan oleh tidur siang yang singkat.
2. Evaluasi efek obat klien yang mengganggu tidur.
Rasional: derangement psikis terjadi bila terdapat penggunaan
kortikosteroid termasuik perubahan mood, insomnia.
3. Tentukan kebiasaan dan rutinitas waktu tidur malam dengan
kebiasaan klien (member susu hangat).
Rasional: mengubah pola yang sudah terbiasa dari asupan
makan klien pada malam hari terbukti mengganggu tidur.
4. Berikan lingkungan yang nyaman untuk meningkatkan tidur.
Rasional: hambatan kortikal pada formasi retikuler akan
berkurang selama tidur, meningkatkan respon otomatik,
karenanya respon kardiovaskuler terhadap suara meningkat
selama tidur.
5. Buat jadwal intervensi untuk memungkinkan waktu tidur lebih
lama.
Rasional: gangguan tidur terjadi dengan seringnya tidur dan
mengganggu pemulihan sehubungan dengan gangguan
psikologis dan fisiologis, sehingga irama sikardian terganggu.
6. Berikan makanan kecil sore hari, susu hangat, mandi, dan
massage punggung.
Rasional: meningkatkan relaksasi dengan perasaan mengantuk.
7. Putarkan music yang lembut atau suara yang jernih.
Rasional: menurunkan stimulasi sensori dengan menghambat
suara lain dari lingkungan sekitar yang akan menggaggu tidur.
8. Berikan obat sesuai indikasi seperti amitriptilin.
Rasional: Efektik menangani pseudodemensia atau depresi
menigkatkan kemampuan untuk ttidur, tetapi antikolinergik

21
dapat mencetuskan bingung, memperburuk kognitif an efek
samping hipertensi ortostatik.

b. Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori,


degenerasi neuron irreversible.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kunjungan klien dapat
berpikir rasional.
Kriteria hasil :
Klien mampu memperlihatkan kemampuan kognitif untuk
menjalani konsekuensi kejadian yang menegangkan terhadap
emosi dan pikiran tentang diri
Klien mampu mengembangkan strategi untuk mengatasi
anggapan diri yang negative
Klien mampu mengenali perubahan dalam berfikir atau tingkah
laku dan factor penyebab
Klien mampu memperlihatkan penurunan tingkah laku yang
tidak diinginkan, ancaman, dan kebingungan.
Intervensi:
1. Kembangkan lingkungan yang mendukung dan hubungan
klien-perawat yang terapeutik
Rasional: mengurangi kecemasan dan emosional, seperti
kemarahan, meningkatkan pengembanagan evaluasi diri yang
positif dan mengurangi konflik psikologis.
2. Kaji derajat gangguan kognitif, seperti perubahan orientasi,
rentang perhatian, kemampuan berfikir. Bicarakan dengan
keluarga mengenai perubahan perilaku.
Rasional: memberikan dasar perbandingan yang akan datang
dan memengaruhi rencana intervensi. Catatan: evaluasi
orientasi secar berulang dapat meningkatkan risiko yang
negative atau tingkat frustasi.

22
3. Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang.
Rasional: kebisingan merupakan sensori berlebihan yang
meningkatkan gangguan neuron
4. Tatap wajah klien ketika sedang berbicara dengan klien
Rasional: menimbulkan perhatian, terutama pada klien dengan
gangguan perceptual.
5. Gunakan distraksi. Bicarakan tentang kejadian yang sebenarnya
saat klien mengungkapkan ide yang salah, jika tidak
meningkatkan kecemasan.
Rasional: lamunan membantu dalam meningkatkan
disorientasi. Orientasi pada realita meningkatkan perasaan
realita klien, penghargaan diri dan kemuliaan (kebahagiaan
personal).
6. Hormati klien dan evaluasi kebutuhan secara spesifik.
Rasional: klien dengan penurunan kognitif pantas mendapatkan
penghormatan, penghargaan, dan kebahagiaan.
7. Bantu klien menemukan hal yang salah dalam penempatannya.
Berikan label gambar atau hal yang diinginkan klien. Jangan
menentang.
Rasional: menurunkan defensive jika klien menyadari
kesalahan. Membantah klien tidak akan mengubah kepercayaan
dan menimbulkan kemarahan.
8. Berikan obat sesuai indikasi seperti, siklandelat.
Rasional ; meningkatkan kesadaran mental.

c. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis dan


kognitif.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kunjungan klien tidak
mengalami cedera.
Kriteria hasil :
Klien mampu meningkatkan tingkat aktivitas.

23
Klien dapat beradaptasi dengan lingkungan untuk mengurangi
risiko trauma atau cedera
Klien tidak mengalami trauma atau cedera
Keluarga mampu mengenali potensial di lingkungan dan
mengidentifikasi tahap-tahap untuk memperbaikinya.
Intervensi:
1. Kaji derajat gangguan kemampuan, tingkah laku impulsive dan
penurunan persepsi visual. Bantu keluarga mengidentifkasi
risiko terjadinya bahaya yang mungkin timbul.
Rasional: mengidentifikasi risiko di lingkungan dan
mempertinggi kesadaran perawat akan bahaya. Klien dengan
tingkah laku impulsive berisiko trauma karena kurang mampu
mengendalikan perilaku. Penurunan persepsi visual berisiko
terjatuh
2. Hilangkan sumber bahaya lingkungan.
Rasional: klien dengan gangguan kognitif, gangguan persepsi
adalah awal terjadi trauma akibat tidak bertanggung jawab
terhadap kebutuhan keamanan dasar.
3. Alihkan perhatian saat perilaku teragitasi atau berbahaya,
seperti memanjat pagar tempat tidur.
Rasional: mempertahankan keamanan dengan menghindari
konfrontasi yang meningkatkan risiko terjadinya trauma.
4. Gunakan pakaian sesuai dengan lingkungan fisik atau
kebutuhan klien.
Rasional: perlambatan proses metabolism mengakibatkan
hipotermia. Hipotalamus dipengaruhi proses penyakit yang
menyebabkan rasa kedinginan.
5. Kaji efek samping obat, tanda keracuna (tanda ekstrapiramidal,
hipotensi ortostatik, gangguan penglihatan, gangguan
gastrointestinal).
Rasional: klien yang tidak dapat melaporkan tanda/gejala obat
dapat menimbulkan kadar tolsisitas pada lansia. Ukuran

24
dosis/penggantian obat diperlukan untuk mengurangi
gangguan.
6. Hindari penggunaan restrain terus-menerus. Berikan
kesempatan keluarga tinggal bersama klien selama periode
agitasi akut.
Rasional: membahayakan klien, meningkatkan agitasi dan
timbul risiko fraktur pada klien lansia (berhubungan dengan
penurunan kalsium tulang).

d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan


persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori ( defisit neurologis ).
Tujuan:
Setelah dilakukan dilakukan keperawatan kunjungan tidak terjadi
penurunan lebih lanjut pada persepsi sensori klien.
Kriteria hasil :
Klien mengalami penurunan halusinasi.
Klien mampu mengembangkan strategi psikososial untuk
mengurangi stress atau mengatur perilaku.
Klien mampu mendemonstrasikan respon yang sesuai
stimulasi.
Intervensi:
1. Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan bagaimana hal
tersebut mempengaruhi klien termasuk penurunan penglihatan
atau pendengaran.
Rasional : keterlibatan otak memperlihatkan masalah yang
bersifat asimetris menyebabkan klien kehilangan kemampuan
pada salah satu sisi tubuh. Klien tidak dapat mengenali rasa
lapar atau haus.
2. Anjurkan memakai kacamata atau alat bantu dengar sesuai
kebutuhan
Rasional : meningkatkan masukan sensori, membatasi atau
menurunkan kesalahan intepretasi stimulasi.

25
3. Pertahankan hubungan orientasi realita. Memberikan petunjuk
pada orientasi realita dengan kalender, jam, atau catatan.
Rasional : menurunkan kekacauan mental dan meningkatkan
koping terhadap frustasi karena salah persepsi dan disorientasi.
Klien menjadi kehilangan kemampuan mengenali keadaan
sekitar.
4. Ajarkan strategi mengatasi stress.
Rasional : menurunkan kebutuhan akan halusinasi
5. Libatkan dalam aktivitas sesuai indikasi dengan keadaan
tertentu, seperti satu ke satu pengunjung, kelompok sosialisasi
pada pusat demensia, terapi okupasi.
Rasional : memberi kesempatan terhadap stimulasi partisipasi
dengan orang lain.
e. Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting
berhubungan dengan ketergantungan fisiologis dan atau psikologis.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatankunjungan klien mampu
melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat
kemampuan.
Kriteria hasil :
Klien mampu mengidentifikasi dan menggunakan sumber
pribadi atau komunitas yang dapat memberikan bantuan.
Intervensi:
1. Identifikasi kesulitan dalam berpakaian/ perawatan diri.
Rasional: memahami penyebab yang mempengaruhi intervensi.
Masalah dapat diminimalkan dengan menyesuaikan atau
memerlukan konsultasi dari ahli.
2. Identifikasi kebutuhan akan kebersihan diri dan berikan
bantuan sesuai kebutuhan.
Rasional: seiring perkembangan penyakit kebutuhan
kebersihan dasar mungkin dilupakan.

26
3. Lakukan pengawasan dan berikan kesempatan untuk
melakukan sendiri sesuai kemampuan.
Rasional: mudah sekali terjadi frustasi jika kehilangan
kemandirian.
4. Beri banyak waktu untuk melakukan tugas
Rasional: pekerjaan yang tadinya mudah sekarang menjadi
terhambat karena penurunan motorik dan perubahan kognitif.
5. Bantu mengenakan pakaian yang rapi dan indah.
Rasional: meningkatkan kepercayaan hidup.
f. Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan
dengan pengaruh penyimpngan jangka panjang dari proses
penyakit.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x kunjungan koping
keluarga efektif.
Kriteria hasil :
Klien mampu mengidentifikasi atau mengungkapkan sendiri
untuk mengatasi keadaan.
Keluarga mampu menerima kondisi orang yang dicintai dan
mendemonstrasikan tingkah laku koping positif dalam
mengatasi keadaan.
Klien mampu menggunakan system pendukung yang ada
secara efektif.
Intervensi:
1. Bantu keluarga mengungkapkan persepsinya tentang
mekanisme koping yang digunakan.
Rasional: keluarga dengan keterbatasan pemahaman tentang
strategi koping memerlukan informasi akibat konflik.
2. Libatkan keluarga dalam pendidikan dan perencanaan
perawatan dirumah.
Rasional: memudahkan beban terhadap penanganan dan
adaptasi dirumah.

27
3. Fokuskan pada masalah spesifik sesuai dengan yang terjadai
pada klien.
Rasional: penurunan penyakit mengikuti perkembangan yang
tidak menentu
4. Realistis dan tulus dalam mengatasi semua permasalahan.
Rasional: menurunkan stress yang menyelimuti harapan yang
keliru.
5. Anjurkan untuk tidak membatasi pengunjung.
Rasional: kontak kekeluargaan merupakan dasar dari realitas,
terbebas dari kesepian.
6. Rujuk pada sumber pendukung seperti perawatan lansia,
pelayanan dirumah, berhubungan dengan asosiasi penyakit
demensia.
Rasional: memberikan tanggung jawab pada tempat perawatan,
mengurangi kejenuhan dan resiko terjadinya isolasi social dan
mencegah kemarahan keluarga.

4. Evaluasi
Stuart dan Sundeen (1995) menyebutkan beberapa kondisi dan
perilaku perawat yang diperlukan pada saat melakukan evaluasi dalam
proses keperawatan, yaitu:
1. Kondisi perawat :
Supervisi, analisis diri, peer review, partisipasi pasien dan keluarga
2. Perilaku perawat ;
Membandingkan respon pasien dan hasil yang diharapkan, mereview
proses keperawatan, memodifikasi proses keperawatan sesuai yang
dibutuhkan, berpartisipasi dalam peningkatan kualitas dari aktifitas
yang dilakukan.

28
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan.
Perawat yang bekerja dengan lansia yang memiliki gangguan
kejiwaan harus menggabungkan keterampilan keperawatan jiwa dengan
pengetahuan gangguan fisiologis, proses penuaan yang normal, dan
sosiokultural pada lansia dan keluarganya. Sebagai pemberi pelayanan
perawatan primer, perawat jiwa lansia harus pandai dalam mengkaji
kognitif, afektif, fungsional, fisik, dan status perilaku. Perencanaan dan
intervensi keperawatan mungkin diberikan kepada pasien dan keluarganya
atau pemberi pelayanan lain.
Perawat jiwa lansia mengkaji penyediaan perawatan lain pada
lansia untuk mengidentifikasi aspek tingkah laku dan kognitif pada
perawatan pasien. Perawat jiwa lansia harus memiliki pengetahuan tentang
efek pengobatan psikiatrik pada lansia. Mereka dapat memimpin macam-
macam kelompok seperti orientasi, remotivasi, kehilangan dan kelompok
sosialisasi dimana perawat dengan tingkat ahli dapat memberikan
psikoterapi.

B. Saran
1. Diharapkan mahasiswa benar-benar mampu memahami tentang
asuhan keperawatan kehilangan disfungsional
2. Untuk institusi pendidikan hendaknya lebih melengkapi literatur
yang berkaitan dengan kehilangan

29
DAFTAR PUSTAKA

Stuart & Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psychiatric Nursing Fifth
Edition. United State of America : Mosby.
Carpenito, L. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Edisi ke-6,
EGC, Jakarta, 2000
Nugroho, Wahjudi. Keperawatan Gerontik, Edisi ke-2, EGC, Jakarta 2000.

Leeckenotte, Annete Glesler. Pengkajian Gerontologi, Edisi ke-2, EGC, Jakarta,


1997.

Watson, Roger. Perawatan Lansia, Edisi ke-3, EGC, Jakarta 2003.

Kusharyadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta:Salemba


Medika

Maryam, R. Siti. 2008. Mengenal Usi Lanjut dan Perawatannya. Jakarta:


SalembaMedika

Nugroho, Wahjudi. 1995. Perawatan Lanjut Usia.Jakarta: EGC

Tamher, S., Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan asuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Watson, Roger. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta: EGC

Stuart & Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psychiatric Nursing Fifth
Edition. United State of America : Mosby.

Carpenito, L. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Edisi ke-6,


EGC, Jakarta, 2000.

Nugroho, Wahjudi. Keperawatan Gerontik, Edisi ke-2, EGC, Jakarta 2000.

Leeckenotte, Annete Glesler. Pengkajian Gerontologi, Edisi ke-2, EGC, Jakarta,


1997.

30
Watson, Roger. Perawatan Lansia, Edisi ke-3, EGC, Jakarta 2003.

31

Anda mungkin juga menyukai