Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

GANGGUAN SOMATISASI

Gangguan somatisasi ditandai oleh banyaknya gejala somatik yang tidak dapat

dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan

somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan lain

melibatkan sistem organ yang multipel (sebagai contoh, gastrointestinal dan neurologis).

Gangguan ini adalah kronis (dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai

sebelum usia 30 tahun) dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna. Gangguan

fungsi sosial dan pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.(1)

Gangguan ini merupakan pasien-pasien yang terutama menujukkan keluhan somatis

yang tidak dapat dijelaskan dengan adanya gangguan depresif, anxietas atau penyakit medis.

Ada da gangguan yang termasuk kelompok gangguan somatoform; pertama, yang gambaran

utamanya adalah kekhawatiran tentang gejala somatik itu sendiri (antara lain gangguan

somatisasi, disfungsi automik persisten, dan gangguan nyeri sebelum persisten).(2)

Gambaran somatisasi telah dikenal sejak zaman mesir kuno, nama awal untuk

gangguan somatisasi adalah histeria,suatu keadaan yang secara tidak tepat diperkirakan hanya

mengenai wanita. Kata histeria didapatkan dari bahasa Yunani untuk rahim, hystera. Istilah

simatoform berasal dari bahasa Yunani soma yang artinya tubuh. Gangguan ini merupakan

kelompok besar dari berbagai gangguan yang komponen utama dari tanda dan gejalanya

aalah tubuh.(1.2) Gangguan ini mencakup interaksi tubuh-pikiran (body-mind). Pemeriksaan

fisik dan laboratorium tidak menunjukkan adanya kaitan dengan keluhan pasien. Gangguan
ini mencakup: (1) gangguan somatisasi, (2) gangguan konversi, (3) hipokondriasis, (4)

body dysmophic, (5) gangguan nyeri.

Gangguan somatisasi dicirikan dengan gejala-gejala somatik yang banyak yang tidak

dapat dijelaskan berdasarkan pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Keluhan yang

diutarakan pasien sangat melimpah dan meliputi berbagai sistem organ seperti

gastrointestinal, seksual, saraf dan bercampur dengan keluhan nyeri. Gangguan ini bersifat

kronis, berkaitan dengan stresor psikologis yang bermakna, menimbulkan hendaya di bidang

sosial dan okupsi, serta adanya perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan. Dikenal

juga sebagai Briquets syndrome.

Prevalensi sepanjang hidup 0,2-2% pada wanita dan 0,2% pada pria. Wanita lebih

banyak menderita gangguan somatisasi dibandingkan pria dengan rasio 5 dibandingkan 1.

Awitan gangguan ini sebelum usia 30 tahun dan biasanya dimulai ketika usia remaja.(3)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINSI

Somatisasi adalah suatu proses seseorang mengalami dan mengungkapkan rasa

ketidaknyamanan emosional atau stres psikososial dengan meggunakan gejala-gejala fsisik.(2)

Gangguan somatisasi merupakan salah satu bentuk gangguan somatoform, yang sumber

gangguannya adalah kecemasanyang dimanifestasikan dalam keluhan fisik,sehingga orang

lain tidak akan mengertijika individu tidak mengeluh (Davison dan Neale, 1986, 2001).

Somatisasi juga merupakan suatu bentuk gangguan yangditunjukkan dengan satu atau

beberapa macam keluhan fisik akan tetapi secara medis tidak mempunyai dasar yang jelas.

Gangguan somatisasi ini juga disebut sebagai briquets syndrome, setelah Paul Briquet

mengidentifikasi pasien-pasiennya yang mengeluh gejala medis pada tubuhnya namun tidak

ada bukti medis (Mayou, 1993; Bell, 1994).

Kaplan dan Sadock (1991) menjelaskan lebih lanjut bahwa gangguan somatisasi adalah suatu

gangguan fisik kronis yang tidak dapat diterangkan secara medis dan berhubungan dengan

masalah ketegangan psikologis. Individu yang mengalami gangguan somatisasi tidak hanya

mengeluh adanya gangguan fisik akan tetapi individu tersebut ingin mendapatkan bantuan

dan penanganan secara medis (Barsky, 1995). Somatisasi juga merupakan bentuk respon

psikologis yang berujud pemanfaatan tubuh atau soma untuk tujuan-tujuan psikologis dan

pencapaian tujuan pribadi (Ford, 1983;1986). Timbulnya gangguan somatisasi ini dapat

terjadi karena adanya konflik intrapsikis, masalah hubungan interpersonal atau masalah

lingkungan dan sosial, serta bentuk kecenderungan pada individu untuk mengekspresikan

atau mengkomunikasikan pengalaman psikologis yang tidak mengenakkan ke dalam gejala -

gejala fisik dan untuk meyakinkan orang lain bahwa dirinya sakit dengan jalan individu
mencari bantuan medis untuk dirinya (Ford, 1986). Hal ini senada dengan pendapat Edelman

(Kendal dan Hammen,1998) yang menyatakan bahwa individu yang mengalami gangguan

somatisasi cenderung mengalami konflik psikologis dan distress yang dimanifestasikan

dalam bentuk gejala fisik atau keluhan fisik akan tetapi tidak ada bukti medis. Escobar (1987;

1996) menyatakan bahwa somatisasi merupakan bentuk gejala-gejala fisik akan tetapi secara

organis tidak ada bukti patologis, baik dengan evaluasi laboratorium maupun medis.

Dikatakan lebih lanjut bahwa keluhan fisik tersebut terjadi karena ada hambatan untuk

mengkomunikasikan keadaan emosi yang dialami individu dan merupakan bentuk

penghindaran diri dari konflik emosional (Scicchitano dkk, 1996).(4)

2.2 EPIDEMIOLOGI

Prevalensi seumur hidup menderita gangguan pada populasi umum diperkirakan

adalah 0,1 sampai dengan 0,2 persen, walaupun beberapa kelompok persisten percaya bahwa

angka sesungguhnya mungkin mendekati 0,5 persen. Wanita dengan gangguan somatisasi

melebihi jumlah laki-laki sebesar 5-20 kali, walaupun perkiraan tertinggi mungkin karena

kecenderungan awal yang tidak mendiagnosis gangguan somatisasi pada laki-laki.

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa gangguan somatisasi sering kali

bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Kira-kira dua pertiga dari semua persesn

dengan gangguan somatisasi memiliki gejala psikiatrik yang dapat di identfikasi.(3)

2.3 ETIOLOGI

Penyebab gangguan somatisasi belum diketahui dengan pasif tetapi banyak teori telah

diajukan untuk menjelaskan penyebab somatisasi yaitu:

1. Neurologis
Pengaturan sistem saraf pusat yang abnormal untuk informasi sensorik yang masuk

menyebabkan gangguan pada pemrosesan atensi oral.

2. Psikodinamik

Somatisasi merupakan suatu mekanisme pertahanan.

3. Perilaku

Somatisasi merupakan suatu perilaku yang dipelajari sehinggan sekarang pendorong

pendorong lingkungan melestarikan perilaku sakit yang abnormal.

4. Sosiokultural

Cara-cara benar mengahadapi emosi dan perasaan perasaan ditetapkan oleh

budaya.Teori- teori ini satu sama lain tidak ekslusif, dan kemungkinan somatisasi

merupakan suatu fenomena komplek dengan banyak faktor resiko yang memainkan

penyebabnya. Pada seorang pasien tertentu, tiga kesatuan atau kelompok faktor

berikut dapat ditemukan:

a. Faktor predisposisi

Termasuk karakteristik biologi, perkembangan, kepribadian, dan sosiokultural pasien.

Teori bahwa somatisasi disebabkan oleh pengaturan sistem saraf pusat yang abnormal

untuk informasi sensorik yang masuk (inhibisi kortikufugal).

b. Faktor pencetus

Termasuk peristiwa-peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres (misal; penyakit)

dan konflik antar pribadi.


c. Faktor penunjang

Termasuk interaksi-interaksi antar pasien , keluarga, dan dokter dan sistem sosial.

Keuntungan finasial dan bentuk bentuk lain keuntungan sekunder memperkuat

somatisasi, demikian pula faktor faktor iantrogenik seperti pengujian yang tidak

perlu, efek samping obat, dan komplikasi pemeriksaan invasif.(5)

2.4 GAMBARAN KLINIS

Ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan keluhan gejala fisik yang berulang

ulang disertai dengan permintaan pemeriksaa medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti

hasilnya negatif dan juga sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan

kelinanyang menjadi dasar keluhannya.

Penderita juga menyangkal jdan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan

antara keluhan fisiknya dengan problem atau konflik dalam kehidupan yang dilaminya,

bahkan meskipun didapatkan gejala-gejla anxietas dan depresi.(6)

2.5 DIAGNOSIS

1. Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi

a. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebeum usia 30 tahun yang terjadi

selama periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan

gangguan bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.

b. Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahkan tidak

ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.

c. Terdapat disbilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluargannya yang berkaitan

dengan sifat keluhan keluhannya dan dampak dari perlakunya.(6)


2.Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi

a. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau

sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain.

b. Faktor psikologis atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik

atau sterssor lain.

c. Gejala atau defisit lain tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat buat (seperti

pada gangguan buatan atau berpura-pura).

d. Gejala atau efisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan,dijelaskan

separuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai

perlaku atau pengalaman yang diterima secara kultural.

e. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau

gangguan dalam fungsi sosial, atau fungsi penting lain atau memelukan pemeriksaan

medis.

f. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi

semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi dan tidak dapat diterangkan

dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.(6)

Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR memberi syarat awitan gejala

sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus memenuhi 4

gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta

tak satu pun dapat dijelaskan melalui pemerikasaan fisik dan laboratorik. Berikut kriteria

diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IIV-TR:


A. Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama

periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan dan hendaya

dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.

B. Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi kapan pun

selama perjalanan dari gangguan:

1.) Empat gejala nyeri: riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya 4 tempat atau

fungsi yang berbeda (mis: kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rektum,

selama menstruasi, selama berhubungan seksual, atau selama buang air kecil)

2). Dua gejala gastrointestinal: sedikitnya 2 riwayat gejala gastroinstestinal selain

nyeri (mis: mual, kembung, muntah bukan karena kehamilan, diare, atau intoleransi beberapa

makanan berbeda)

3). Satu gejala seksual: sedikitnya 1 riwayat gejala seksual atau reproduktif selain

nyeri (mis: indiferens seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, haid tak teratur, pendarahan

haid berlebihan, muntah sepanjang kehamilan)

4). Satu gejala pseudoneuroligik: sekurangnya 1 riwayat gejala atau defisit

pseudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi neurologik tak terbatas pada nyeri

(gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau kesimbangan, paralisi atau kelemahan

lokal, sulit menelan atau mearasa ada gumpalan tenggorokan, afonia, retensi, urin, halusinasi,

kehilangan sensasi rasa sakit dan raba, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan; gejala

disosiatif amnesia, hilang kesadaran bukan karena pingsan:

C. Salah satu dari 1) atau 2):


1). Setelah penelusuran yang sesuai, tiap gejala pada kriteria B tak dapat sepenuhnya

dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum atau merupakan efek langsung dari zat (mis:

penyalahgunaan zat, karena medikasi).

2). Apabila terdapat kondisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau hendaya

sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melibihi daripada yang diharapkan berdasarkan

riwayat, penemuaan fisik dan laboratorium.

D. Gejala-gejalanya tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura (seperti pada gangguan

buatan atau berpura-pura).(2)

3. Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis

a. Keyakinan yang menetap adanya sekurang-rangnya satu penyakit fisik yang serius yang

melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang

adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang menetap kemungkinan

deformitas atau perubahan bentuk penampilan fisiknya (tidak sampai waham).

B Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak

ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya.

C. lama gangguan sekurangnya 6 bulan.

4. Kriteria Diagnostik Disfungsi otonomik Somatoform.

a. Adanya gejala-gejala otonomik, seperti palpitasi, berkeringat, tremor muka panas/ flushing

yang menetap atau menganggu.

b. Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu(gejala tidak khas).

c. Preokupasi dengan dan penderitaan (distress) mengenai kemungkinan adanya gangguan

yang serius (sering kali tidak begitu khas) dari sistem atau organ tertentu, yang tidak
terpengaruh oleh hasil pemeriksaan berulang, maupun penjelasan penjelasan dari para

dokter.

d. Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur fungsi dari sistem atau

organ yang dimaksud.

6. Kriteria Diagnostik Gangguan Nyeri Somatoform Menetap.

a. Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan

sepenhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya gangguan fisik.

b. Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau problem psikososial

yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi terjadinya gangguan

tersebut.

c. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal maupun medis

untuk yang bersangkutan.

7. Kriteria Diagnostik Gangguan Somatoform Lainnya

a. Pada gangguan ini keluhannya tidak melalui sistem saraf otonom, dan tebatas

secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem tertentu. Ini sangat berbeda dengan gangguan

somatisasi dan gangguan somatoform yang tak terinci yang menunjukkan keluhan yang

banyak dan berganti-ganti.

b. Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.(5)


2.6 TERAPI

1. Farmakologi

Tidak ada percobaan klinis terapi obat yang adekuat untuk somatisasi primer. Obat obat

yang efektif dalam situasi situasi sebagai berikut:

a. Gejala gejala spesifik yang sulit disembuhkan seperti nyeri kepala, mialia, dan

bentuk-bentuk penyakit kronik lainnya dapat hilang dengan antidepresi trisiklik yakni

(amitriptyline, imipramine, clomipramine, tianeptine). Demikian pula pasien pasien cemas

dengan terapi alprazolam, benzodiazepin, atau beta-bloker. Walaupun pasien-pasien tersebut

tidak memenuhi kriteria gangguan panik atau kecemasan.

b. Obat-obat simtomatik murni (misal; analgesik, antasida).(6)

2. Konsultasi psikiatrik

Kita harus merujuk pasien pada suatu pelayanan hubungan konsultasi atau kepada

seorang dokter ahli jiwa konsultasi mengakibatkan intervensi psikiatrik, jangka pendek selain

strategi-strategi penatalaksanaan yang dianjurkan oleh dokter perawatan primer.

Pasien dengan somatisasi kronik berat mungkin mendapatkan perbaikan dengan program-

program terapi rawat inap. (4)

3. Startegi Penalaksanaan

Terapi perilkau kognitif (CBT, cognitive behaviour theraphy), akan bermanfaat jika

diadaptasi untuk keluhan keluhan soatisasi utama. Pasien mungkin perlu dibantu untuk

mengenal dan mengatasi stressor sosial yang dialami.(4)


2.7 PROGNOSIS

1. Sebagian besar pasien dengan gejala-gejala somatik fungsional sembuh tanpa

intervensi khusus. Faktor-faktor yang lebih prognostik antara lain awitan yang akut dan

durasi gejala yang singkat, usia muda, kelas sosioekonomi tinggi, tidak ada penyakit organik,

dan tidak ada gangguan kepribadian.

2. Prognosa jangka panjang untuk pasien gangguan somatisasi dubia ad malam, dan

biasanya diperlukan terapi sepanjang hidup. Bila somatisasi merupakan sebuah topeng atau

gangguan psikiatrik lain, prognosanya tergantung pada prognosis masalah primernya.

3. Gejala- gejala konversi yang diskret mempunyai prognosis yang lebih baik. Gejala-

gejala ini mungkin dapat hilang secara spontan bila sudah tidak diperlukan lagi atau berepon

baik terhadap psikoterapi spesifik.(5)


BAB III

KESIMPULAN

1. Gangguan psikosomatis merupakan gangguan yang melibatkan pikiran dan tubuh.

Hal ini berarti bahwa adanya faktor psikoligisnya yang mempengaruhi kondisi medis.

2. Komponen emosional memainkan peranan penting pada gangguan psikomatis.

3. Manifetasi penyakit fisik juga sering diturunkan dan kepribadian seseorang

4. Gangguan psikomatis melibatkan berbagai sistem organ didalam tubuh sehingga

memerlukan penanganan secara terintegerasi dari ahli medis psikiatri.

5. Pengobatan gangguan psikomatik dari sudut pandang psikiatrik adalah tugas yang

sulit.

6. Tujuan terapi haruslah menjadi motivasi dan mekanisme gangguan fungsi dan

untuk membantu pasien mengerti sifat penyakitnya.

7. Tilikan tersebut harus menghasilkan pola perilaku yang berubah dan lebih sehat

8.Terapi kombinasi sangat bermanfaat untuk mencapai resolusi gangguan struktual

dan reorganisasi gangguan kepribadian.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI,Sadlock Bj, sinopsis psikiatri jilid II, Edisi ketujuh, binarupa

aksara,Jakarta 1997,hal 84-90.

2. Utama H, Buku Ajar Psikiatri, Edisi Kedua, Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta2014, hal 287-291.

3. Pardamean Engelberta,Sinopsis sehari kesehatan jiwa dalam rangka menyambut

hari kesehatan jiwa sedunia, update 27 oktober 2007,Availible from

http://www.idijakbar.com/prosiding/gangguan-somatoform.htm.

4. Puri Basant K, Buku Ajar Psikiatri edisi II, EGC, Oxford, United Kingdom..

5. Maslim R, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa , Rujukan Ringkasan dari PPDGJ

III, Jakarta:2001, hal 84-86.

6. Maslim Rusdi, Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

FK Unika Atma Jaya, Jakarta 2002.

Anda mungkin juga menyukai