PENDAHULUAN
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum
ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua
sensasi akibat induksi obat. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi
dan secara intravena.1
Terdapat beberapa jenis anestesi, antara lain lokal / infiltrasi, blok / regional,
umum /general. Anestesia umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat dapat pulih kembali (reversibel).
Komponen anestesia yang ideal terdiri dari hipnosis (hilang kesadaran), analgesi
(hilang rasa sakit), dan relaksasi.2
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan
tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam
saluran pernapasan bagian atas.Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah
ekstubasi. Dalam pelaksanaan ekstubasi dapat terjadi gangguan pernapasan yang
merupakan komplikasi yang sering kita temui pasca anestesi. Komplikasi bisa
terjadi setelah dilaksanakannya ekstubasi seperti pengeluaran sekret dari mulut
yang menyumbat jalan napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring.
Komplikasi pernapasan pasca anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan
hipoksemia.3
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga
perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama.
Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan
bedah, misalnya pada perforasi, atau perdarahan, infeksi, obstruksi atau
strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan
kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.4
Ileus obstructive atau disebut juga ileus mekanik adalah keadaan dimana isi
lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan kedistal atau anus karena adanya
sumbatan/ hambatan mekanik yang disebabkan kelainan dalam lumen usus,
dinding usus atau luar usus yang menakan atau kelaianan vaskularisasi pada suatu
1
segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut sehingga laporan
kasus ini bertujuan untuk membahas mengenai manajemen anestesi pada pasien
ileus dengan tindakan laparotomi.4
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk RS dengan keluhan nyeri perut yang dialami 5 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan belum BAB
bersamaan dengan nyeri perutnya. Perut kembung(+) disertai belum
pernah. Mual (+), muntah (+), demam (+), BAK lancar seperti biasa.
Riwayat AMPLE
o A (Alergy) : Tidak didapatkan Alergi terhadap obat, asma (-)
o M (Medication) : tidak sedang menggunakan pengobatan tertentu
o P (Past History of Medication) : Riwayat DM (-), HT (-), icterus (-),
riwayat penggunaan obat-obat (-).
3
o L (Last Meal) : Pasien terakhir makan 1 hari SMRS, mual (+),
muntah (+)
o E (Elicit History) : Nyeri perut di seluruh lapangan perut yang
diawali dengan nyeri pada perut bagian tengah sejak 5 hari SMRS.
4
b. Imunoserologi
HBsAg Non Reaktif
5
Airway Ootracheal airway
Tape Plester untuk fiksasi
Introducer Untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
Connector Penyambung antara pipa dan ventilator
Suction Memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
o Peralatan monitor : tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut.
o Peralatan resusitasi dan obat-obatan emergensi : sulfas atrofin,
adrenalin, dan efedrin.
6
Laporan Monitoring Anestesi
Nadi Sistolik diastolik Terapi
Jam (x/menit)
Propofol 100 mg
Atracurium bromide 25 mg
15.55 105 150 100
Ranitidine 1 amp
Ondancentron 1 amp
16.00 100 150 100
16.05 100 150 100
16.10 100 150 100
16.15 95 150 110
16.20 100 150 110
16.25 110 145 100 Fentanyl
16.30 105 145 95
16.35 110 140 95
16.40 110 145 90
16.45 120 145 90
16.50 115 150 90
16.55 110 140 100 Rucum bromide
17.00 120 130 105
17.05 120 120 110
17.10 115 120 105
17.15 110 125 110
17.20 100 130 115
17.25 105 120 105
17.30 95 140 125
17.35 100 135 120
17.40 100 130 115
7
17.45 105 135 120
17.50 105 140 125
17.55 110 130 115
18.00 110 125 110
18.05 100 120 105
18.10 90 120 105
18.15 90 120 105
18.20 85 120 105
18.25 85 120 105
18.30 80 120 105 Dexametasone 10 mg
18.35 85 120 105
18.40 85 120 105
18.45 90 125 110
18.50 90 125 110
18.55 95 130 110
19.00 100 135 115 Ketorolac 30 mg
19.05 100 135 110
19.10 105 140 95
19.15 110 135 90
19.20 110 130 80
19.25 100 130 70
19.30 100 130 70
19.35 95 130 70
19.40 100 130 70
19.45 105 130 70
19.50 105 130 70
19.55 110 130 70
8
160
140
120
100
Nadi
80
Sistolik
60
diastolik
40
20
19.30
Jam
16.00
16.15
16.30
16.45
17.00
17.15
17.30
17.45
18.00
18.15
18.30
18.45
19.00
19.15
19.45
b. Terapi Cairan :
BB : 51 kg
EBV : 65 cc/kg BB x 51 kg = 3315 cc
Jumlah perdarahan : 500 cc
% perdarahan : 500/3315 x 100% = 15,08 %
Pemberian Cairan:
o Cairan masuk :
Pre operatif : Kristaloid RL500 cc
Durante operatif :Kristaloid RL 1000 cc
Kristaloid Nacl 500 cc
Koloid Gelafusal 500 cc
Transfusi Whole Blood 350 cc
Antibiotik Metronidaxole 100 ml
Total input cairan : 2950 cc
o Cairan keluar :
Durante operatif : Perdarahan : 500 cc x 3 = 1500 cc
Urin : 200 cc
Total output cairan : 1700 cc
9
PERHITUNGAN CAIRAN
a. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance (M) : = 35 cc/KgBB/24jam
= 35 x 51 kg= 1785 cc/ 24 jam = 74,37 cc/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) :
Lama puasa x maintenance = 7 jamx 74,37= 520,5 ml
() ()
() =
(20)
20 420
() = (20)
= 420 ml
Jadi, defisit cairan pengganti puasa selama 7 jam adalah 520,5 - 420 =
100,5 ml, tersisa cairan preoperatif RL 80 cc
3. Stress Operasi Besar : 8 cc x 51 kg = 408 ml/jam
4. Cairan defisit darah dan urin: Perdarahan (500 cc x 3) 1500cc + 200 cc =
1700 cc
Total kebutuhan cairan selama 4 jam operasi = (74,37 cc/jam x 4 jam =
297,48) + (defisit cairan pengganti puasa)100,5 ml + (stress operasi besar)
408 ml+ (defisit daraah dan urin) 1700 ml= 2.505,98
b. Cairan masuk :
c. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk cairan dibutuhkan = 2.530 ml 2.505 ml = +25 ml
10
2.8 Post Operatif (15 Juli 2017)
1. Nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Memasang O2 2 L/menit nasal kanul.
o Nadi : 86 x/menit
o RR: 22 x/menit
o TD: 120/70
o VAS Score: 6
3. Skor pemulihan pasca anestesi: Alderette Score
o Aktivitas = Dua ekstremitas dapat digerakkan (2)
o Respirasi = Dangkal namun pertukaran udara adekuat (1)
o Sirkulasi = TD 20% dari nilai pre anestesi (2)
o Kesadaran = sadar, siaga, orientasi (2)
o Warna kulit = pucat (2)
o Skor Pasien (9): pasien ACC dipindahkan ke ICU.
11
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien laki-laki usia 18 tahun dengan diagnosis ileus
obstructive ec adhesive band dengan rencana tindakan laparatomi. Setelah
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
disimpulkan keadaan umum pasien tergolong dalam status fisik ASA II E karena
pasien memiliki penyakit sistemik ringan dengan peningkatan hasil laboratorium
yang bermakna dan bersifat emergensi. Pada kasus ini diputuskan untuk
melakukan general anestesi dengan teknik intubasi endotrakeal.Pada pasien ini,
pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis general anastesi. Adapun indikasi
dilakukan general anastesi adalah karena pada kasus ini diperlukan
mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernafasan, mempermudah pemberian anestesia, mencegah kemungkinan
terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan
tidak ada refleks batuk) dan pemakaian ventilasi mekanis yang lama, serta
mengatasi obstruksi laring akut. Teknik anestesinya semi closed inhalasi dengan
pemasangan endotrakheal tube. Posisi Pasien untuk tindakan intubasi adalah leher
dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini
disebut sebagai Sniffing in the air possition. Secara umum indikasi bagi
pelaksanaan intubasi endotrakheal antara lain :5
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen
arteri) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui
masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Sebagai proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
12
d. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena
pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask
tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
e. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan
tidak ada ketegangan.
f. Operasi intra-torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan
mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan
tekanan intra pulmonal.
g. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
h. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
Selain itu, terdapat juga indikasi intubasi nasal antara lain :
a. Bila oral tube menghalangi pekerjaan dokter bedah, misalnya tonsilektomi,
pencabutan gigi, operasi pada lidah.
b. Pemakaian laringoskop sulit karena keadaan anatomi pasien.
c. Bila direct vision pada intubasi gagal.
d. Pasien-pasien yang tidak sadar untuk memperbaiki jalan nafas.
Beberapa kontraindikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara
lain : 5
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah
cricothyrotomy pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Alternatif anestesi regional untuk operasi laparotomi adalah anestesi epidural
dan spinal. Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi tunggal
karena pada operasi laparotomi membutuhkan level blok yang tinggi, perubahan
posisi yang ekstrem, dan adanya pneumoperitoneum yang bisa menyebabkan
gangguan mekanik respirasi. Laparotomi ini membutuhkan blok pada level yang
tinggi untuk mendapat relaksasi otot yang lengkap dan untuk mencegah iritasi
diafragma yang disebabkan oleh insuflasi gas dan manipulasi
13
pembedahan.Anestesi spinal memiliki beberapa efek samping, salah satunya yang
paling sering adalah hipotensi yang diakibatkan blokade simpatis.
Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh otot
disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan beberapa alas an
yaitu adanya resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan
intraabdominal saat insuflasi; perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah
hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi secara relatif karena
pneumoperitoneum, kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan karena tekanan
insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah
pergerakan pasien yang tidak diinginkan.
Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terkait
tindakan yang akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematologi
untuk mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan. Pada pasien ini,
pemeriksaan fisik ataupun laboraturium tidak menunjukkan adanya gangguan
yang dapat menjadi kontraindikasi dilakukannya tindakan.6
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 7 jam. Tujuan puasa
untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah
pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat
anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama
anestesia. Cairan maintanance untuk orang dewasa adalah 35cc/KgBB/24 jam,
untuk pasien ini memiliki BB 51 Kg sehingga didapatkan 74,37cc/jam.7
Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan
menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Cairan yang
seharusnya masuk karena puasa harus diganti sesaat sebelum operasi dimulai.
Defisit ini dapat diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance dengan
lamanya puasa yaitu 7 jam x 74,37 = 520,5 ml
() ()
() =
(20)
20 420
() = (20)
= 420 mL
14
Sehingga diperoleh defisit cairan pengganti puasa selama 7 jam adalah 520,5 -
420 = 100,5 ml.
Pada kasus ini dilakukan pembedahan jenis laparatomi, dimana operasi
laparatomi ini merupakan operasi yang berat, sehingga perlu juga kita mengetahui
cairan yang hilang berdasarkan jenis operasinya, sebagaimana rumus yang bisa
kita gunakan adalah :8
Trauma Ringan 2 ml/kgbb/jam
Trauma Sedang 4 ml/kgbb/jam
Trauma Berat 6-8 ml/kgbb/jam
15
untuk mengurangi rasa nyeri saat pembedahan, mengurangi kecemasan dan
ketegangan, menekan tekanan darah dan nafas serta merangsang otot polos.
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah
induksi.Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anastesi intravena yaitu
Propofol 100 mg I.V (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB) karena memiliki efek induksi
yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol
dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini
mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik..
Penggunaan premedikasi pada pasien ini bertujuan untuk menimbulkan rasa
nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi
dengan menghilangkan rasa khawatir.
Pemberian Injeksi atracurium 100 mg (Tramus) sebagai pelemas otot untuk
mempermudah pemasangan Endotracheal Tube. Merupakan obat pelumpuh otot
non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin.
Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit,
sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit.10
Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek
induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya
pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk
induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun
relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia9. Pemberian Ranitidin dan
Ondancentron untuk menurunkan produksi asam lambung serta menekan pusat
muntah.
Injeksi fentanyl 20 mcg pada awalnya sebagai analgesik, potensinya
diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek
dibanding meperidin. Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik
opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150
mcg/kgBB. Opioid dosis tinggi yang diberikan selama operasi dapat
16
menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat
mengganggu ventilasi secara akut.10
Pemberian Rocum Bromide 2,5 mg sebagai anastesi tambahan,
metronidazole 100 ml sebagai obat antimikroba untuk menangani infeksi. Serta
Dexametasone dan ketorolac sebagai antiiflamasi10
Pada pukul 19.55 WITA, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan
akhir TD 110/70 mmHg; Nadi 110 x/menit, dan SpO2 100%. Pembedahan
dilakukan selama 4 jam dengan perdarahan 500 cc. Pasien kemudian dibawa ke
ruang pemulihan (Recovery Room). Aldrete score 9, maka dapat dipindah ke ICU.
17
BAB IV
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
19