Anda di halaman 1dari 19

INFEKSI VIRUS PENYEBAB KANKER (ONCOVIRUS)

Dewasa ini para peneliti bidang medis mulai memperhatikan mengenai infeksi virus yang
dapat menyebabkan terjadinya penyakit kankier. Diseluruh dunia, kanker yang disebabkan oleh
infeksi virus diperkirakan mencapai angka 15% sampai 20% dari seluruh kasus penyakit kanker
yang ditemukan. Tetapi tidak semua infeksi virus dapat menyebabkan perkembangan kanker
secara progresif, ada beberapa faktor yang memicu terjadinya kanker karena infeksi virus. Faktor
tersebut diantaranya adalah faktor genetik dari hospes, terjadinya mutasi, terinfeksi virus yang
spesifik penyebab kanker, dan gangguan dari sistem imun dari hospes. Yang paling khas dan
perlu diperhatikan adalah awal terjadinya kanker sangat erat hubungannya dengan sistem imun
dari hospes, dimana terjadinya proses peradangan atau inflamasi pada jaringan hospes. Sel
kanker mempunyai karater yang berbeda dengan sel normal, dimana sel tersebut mempunyai
kemampuan tumbuh tidak terkontrol.
Hal tersebut disebabkan karena hilangnya sensitivitas anti-pertumbuhan sel tumor dan hilangnya
kemampuan proses apoptosis (program kematian sel secara alami). Trnasformasi sel normal
menjadi sel kanker yang terjadi pada orang yang terinfeksi virus disebabkan oleh terjadinya
kerusakan secara genetik dari sel tersebut. Sel tersebut diatur oleh gen virus yang
menginfeksinya dan mengakibatkan sel tersebut tumbuh tidak normal, membelah membentuk sel
baru secara terus menerus.
Peneliti mulai dapat mengenali mekanisme virus yang dapat menyebabkan tumor tersebut yaitu
dengan cara sebagai berikut: Virus masuk kedalam sel kemudian masuk kedalam nukleus dan
mengubah sel serta mengrintegrasi materi gennya (gen virus) kedalam DNA sel hospes. Integrasi
tersebut terjadi secara permanen dan berintegrasi dalam materi genetik yang tidak dapat di
eliminasi oleh sel hospes. Mekanisme insersi gen tersebut berbeda-beda bergantung padan jenis
virus, yaitu virus DNA atau RNA. Pada virus DNA, materi genetiknya dapat secara langsung
berintegrasi dengan sel DNA hospes, sedangkan virus RNA harus ditranskrip dulu menjadi
materi DNA dan kemudian di integrasikan kedalam materi gfenetik sel DNA dari hospes.

Beberapa contoh jenis virus yang menyebabkan terjadinya tumor antara lain adalah: Human
papiloma virus (HPV), virus hepatititis B (HBV), virus hepatititis C (HCV), virus Human T
limpocyte (HTLV), human papiloma virus (HPV), Kaposis sarcoma-associated herpesvirus
(HHV-8), dan EpsteinBarr virus (EBV). Walaupun kemungkinan terjadinya penyakit kanker
karena infeksi virus kemungkinannya sangat kecil, tetapi bila kondisi kesehatan tubuh sangat
menurun infeksi kronis dari virus tersebut dapat memicu terbentuknya kanker.

Jenis virus penyebab kanker dan persentase kejadiannya diantara penderita penyakit kanker
Virus Kejadian Tipe kanker
kanker(%)
Virus Hepatitis , termasuk 4.9 Hepatocellular carcinoma (kanker hati)
hepatitis B (HBV) dan
hepatitis C (HCV)
Human T-lymphotropic virus 0.03 Tropical spastic paraparesis dan leukemia
(HTLV) orang dewasa
Human papillomaviruses 5.2 Cancers cervix, anus, penis, vulva/vagina,
(HPV) dan beberapa kanker pada daerah kepala dan
leher.
Kaposis sarcoma-associated 0.9 Kaposis sarcoma, multicentric Castleman's
herpesvirus (HHV-8) disease dan primary effusion lymphoma
Merkel cell polyomavirus Belum ada Merkel cell carcinoma
data
EpsteinBarr virus (EBV) Belum ada Burkitts lymphoma, Hodgkins lymphoma,
data post-transplantation lymphoproliferative
disease dan Nasopharyngeal carcinoma.

A. Virus hepatitis B

Penyakit radang hati hepatitis B, disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang
menginfeksi hati pada primata termasuk manusia, menyebabkan terjadinya inflamasi hati atau
hepatitis. Penyakit hepatitis B telah menjadi epidemik pada sebagian kawasan Asia dan Afrika,
dan endemik di China. Sekitar sepertiga dari populasi penduduk dunia atau lebih dari dua
milyard orang terinfeksi oleh virus hepatitis B. Jumlah tersebut termasuk orang yang menderita
sebagai karier ada sekitar 350 juta orang. Penularan terjadi melalui infeksi dari darah dan cairan
tubuh. Pada kasus inflamasi hati yang akut, gejala ditandai dengan muntah, jaundice (penyakit
kuning) dan kadang terjadi kematian. Pada kasus yang kronis hepatitis B dapat menyebabkan
sirosis hepatis dan kanker hati, yang dapat mengakibatkan fatal karena sedikit merespons
terhadap pengobatan khemoterapi. Penyakit hepatitis B dapat dicegah dengan cara vaksinasi.
1. Virion dan replikasi virus

Virus hepatitis B termasuk dalam kelompok hepadnavirus dari kata hepa dari hepatotrophic
dan dna karena dari virus DNA. Genomnya berbentuk sirkuler yang terdiri dari dobel strand
DNA partial. Virus bereplikasi melalui bentuk RNA dengan jalan reverse transcripsi, sehingga
proses ini menyerupai model retrovirus. Walaupun replikasi terjadi dalam hati, tetapi virus
menyebar melalui darah dimana spesifik virus protein sebagai bentuk antibodi yang selalu
ditemukan pada orang yang terinfeksi virus hepatitis B. Sehingga uji protein darah dan antibodi
digunakan untuk mendiagnosis penyakit ini.

Partikel virus (virion), terdiri atas amplop lipida pada bagian luar dan nukleokapsid pada bagian
tengah yang berbentuk icosahedral yang menyusun protein. Nukleokapsid mengandung DNA
dan polimerase DNA yang mempunyai aktivitas reverse trannskriptase. Pada bagian luar amplop
terdapat protein yang berfungsi untuk melekatkan virus pada sel yang peka. HBV adalah virus
beramplop yang paling kecil diantara virus yang menginfeksi manusia/hewan dengan diameter
virion 42 nm. Pada permukaan partikel virus terdapat lipida dan protein disebut antigen
permukaan (HBsAg), dan diproduksi berlebihan pada saat proses siklus hidupnya. Genome HBV
berbentuk DNA sirkuler, tetapi mempunyai ciri khusus yaitu tidak sepenuhnya berpita ganda
(double-strand). Pada akhir dari salah satu pitanya tersambung dengan viral DNA polymerase.
Genome berukuran panjang pasangan basa 3020-3320 bp (bentuk panjang), dan 1700-2800 bp
(bentuk pendek). Bagian yang tidak terkode /(-) sense, adalah bagian yang saling melengkapi
(complemen) terhadap mRNA virus, Viral DNA terdapat didalam nukleus hepatosit segera
setelah menginfeksi sel. Parsial dobel strand terbentuk untuk melengkapi (+) strand dengan
mengambil molekul protein dari (-) strand dan sequen pendek dari RNA yang berasal dari (+)
sense strand. Basa yang tidak terkode diambil pada akhir dari (-) sense strand pada akhir
sambungan tersebut. Ada empat gen yang terkode pada genomik yaitu C, X, P, dan S. Core
protein terkode sebagai gen C (HBcAg), dan start codonnya keatas dalam frame AUG start
codon dimana pre-core protein diproduksi. HBcAg diproduksi dari proses proteolitik dari pre-
core protein tersebut. DNA polimerase dikode oleh gen P, sedangakan gen S adalah gen yang
mengkode antigen permukaan (HBsAg). Gen HBsAg adalah gen yang panjang dan reading
frame yang terbuka, dan mengandung tiga nukleotida pada start (ATG) codon yang membagi
gen menjadi tiga bagian yaitu: pre-S1, pre-S2, dan S (besar, medium dan kecil).
Siklus hidup virus hepatitis B cukup komplek, dimana HBV adalah satu diantara sedikit virus
non-retrovral yang menggunakan riverse transkriptase sebagai bagian dari proses replikasinya.
HBV masuk kedalam sel dengan cara melekatkan pada reseptor pada permukaan sel, dan masuk
kedalam sel melalui proses endositosis. Karena virus bermultiplikasi melalui pembentukan RNA
yang dibuat oleh enzim dari hospes, maka genomik viral ditransfer kedalam nukleus sel oleh
protein hospes yang dinamakan chaperon. Partial dobel strand DNA kemudian membentuk
dobel strand penuh ditransfer kedalam sirkuler DNA tertutup (cccDNA) yang menyediakan
lokasi untuk transkripsi dari empat viral RNA. RNA yang paling besar (lebih panjang daripada
genom viral), digunakan untuk membuat kopi baru dari genom dan untuk membuat core capsid
protein dan viral DNA polimerase. Empat viral transkript kemudian memproses berikutnya untuk
membentuk virion progeny yang dibebaskan dari sel atau masuk kedalam nukleus lagi untuk
memproduksi kopi baru yang lebih banyak. Kemudian mRNA ditransport kembali kedalam
sitoplasma dimana protein virion P mensintesis DNA melalui aktivitas revers transkriptase.

2. Gejala dan patogenesis


Infeksi akut dari virus hepatitis B dimulai dengan gejala penyakit yang umum yaitu hilang
nafsu makan, mual, muntah, rasa sakit pada seluruh bagian tubuh, demam, urine berwarna gelap,
dan berkembang menjadi jaundice. Gejala rasa gatal-gatal pada kulit sering terjadi pada
penderita hepatitis dari infeksi virus hepatitis semua tipe virus (A,B,C). Penyakit berjalan selama
beberapa minggu dan kemudian secara perlahan gejala semakin meningkat menjadi lebih parah.
Beberapa pasien menunjukkan gejala yang lebih parah (kegagalan fungsi hati), dan dapat
mengakibatkan kematian. Beberapa kejadian kasus penyakit, pada penderita kadang tidak
menunjukkan gejala sehingga tidak terdiagnosis dan tiba-tiba penyakit menjadi parah. Pada
kasus yang kronis penderita tidak menunjukkan gejala (asymptomatic), inflamasi pada hati
berjalan secara kronis (hepatitis kronis), yang mengakibatkan terjadinya sirosis hepatis dan
penyakit tersebut berjalan selama beberapa tahun. Tipe infeksi seperti ini mengakibatkan
terjadinya kanker hati (hepatocellular carcinoma). Selama terjadinya infeksi HBV, menimbulkan
respon kekebalan dari penderita yang mengakibatkan kerusakan sel hati bersamaan dengan
eliminasi virus. Walaupun sistem kekebalan alamiah (innate imunity) tidak berperan nyata pada
proses terjadinya penyakit, kekebalan adaptive (perolehan) terhadap respon infeksi virus yang
spesifik terjadi yaitu sel T-sitotoksik (cytotoxic T lymphocyte/CTLs). Sel Tc tersebut erat
hubungannya antara kerusakan sel hati dengan infeksi HBV(imunopatologi). Dalam hati platelet
menjadi teraktivasi pada lokasi infeksi yang mengakibatkan terjadinya akumulasi CTLs dalam
hati.
3. Serotipe dan genotipe

Menurut jenis tipe serumnya HBV dibagi menjadi empat serotipe utama yaitu: adr, adw, ayr, dan
ayw, yang didasarkan pada epitop antigenik yang dipresentasikan pada amplop proteinnya.
Sedangkan pembagian menurut sequen nukleotidanya HBV dibagi menjadi delapan genotipe
yaitu genotipe A sampai H menurut variasi genomnya. Pembagian menurut genotipe dibedakan
menurut distribusi geografik dan banyak digunakan untuk melacak terjadinya evolusi dan
transmisi dari virus. Perbedaan genotipe sangat penting untuk mengidentifikasi efek dari
keparahan penyakit, juga untuk menunjukkan keparahan, komplikasi, dan respon terhadap
pengobatan dan kemungkinan juga untuk penerapan program vaksinasinya. Sequen genotipe
dapat dibedakan paling tidak sekitar 8% yang telah dilaporkan pada tahun 1988 pada saat
dilakukan identifikasi genotipe A F. Dua genotipe lainnya yaitu G dan H, dimana genotipe G
ada insersi 36 nukleotida dalam satu gen core, tipe ini ditemukan di Perancis dan Amerika
Serikat. Sedangkan tipe H ditemukan di Nicaragua, Mexico dan California. Dalam genotipe juga
dapat dibedakan sub-genotipe, tipe ini berbeda sekitar 4-8% diantara sequen DNA nya. Genotipe
A ditemukan di Amerika, Afrika, India dan Eropa Barat. Genotipe B sering dijumpai di Asia,
Amerika Serikat, sub-genotipe B1 banyak dijumpai di Jepang, B2 di China dan Vietnam
sedangkan B3 ditemukan di Indonesia, dan B4 di Vietnam, sedang B5 di Philippina, dimana
semua strain virus tersebut adalah serotipe ayw1. Genotipe C banyak ditemukan di Asia dan
Amerika Serikat, subgenotipe C1 sering ditemukan di Jepang, Korea dan China. Genotipe C2
juga banyak ditemukan di China, Asia Tenggara, dan Bangladesh, sedangkan C3 di Oceania.
Semua strain virus tersebut mempunyai serotipe adr-q. Genotipe C4 dengan serotipe ayw3
ditemukan pada suku Aborigin di Australia. Genotipe D sering ditemukan pada penderita
hepatitisB di Eropa Selatan, India dan Amerika dan terdapat delapan subtipe (D1-D8), genotipe
D ini juga sering ditemukan di Turki. Genotipe E banyak dijumpai di bagian Barat dan Selatan
Afrika, sedang tipe F sering dijumpai di Amerika Tengah dan Selatan, genotipe grup F ini terdiri
dari subgenotipe F1 dan F2. Genotipe G sering ditemukan di benua Eropa dan Amerika yang
termasuk dalam kelompok serotipe adw2. Hampir semua genotipe (A-E) ditemukan di benua
Afrika, dan didominasi genotipe A di Kenya, B dan D di Mesir, D di Tunisia, A-D di Afrika
Selatan dan E di Nigeria.

4. Diagnosis, pencegahan dan Pengobatan

Uji diagnosis untuk mendeteksi penyakit infeksi virus hepatitis B dilakukan dengan uji
serologik atau tes darah, yang mendeteksi antigen virus (protein yang diproduksi virus) atau
antibodi (protein yang diproduksi penderita). Antigen permukaan virus hepatitis B (HBsAg)
sering digunakan untuk skrening terjadinya infeksi, dan sering terdeteksi sebagai antigen virus
selama infeksi. Tetapi pada awal infeksi antigen tersebut tidak dapat terdeteksi dan mungkin
tidak terdeteksi lagi bila virus dapat dihilangkan/dilawan oleh hospes. Virus dibagian core
partikel virus (virion) adalah bagian pusat virus yang paling infeksious. Partikel ikosahedral dari
virus tersebut dibentuk dari 180 atau 240 kopi protein core, sehingga disebut core hepatitis
antigen (HBcAg). Respon imun IgM dari hospes terhadap core antigen hepatitis B merupakan
kejadian infesi HBV secara serologik mengenai infeksi penyakit tersebut. Segera setelah HBsAg
terdeteksi, antigen lainnya muncul yaitu antigen e hepatitis B (HBeAg). HbeAg terdeteksi
menandakan terjadinya peningkatan replikasi virus dan berkembangnya keparahan penyakit,
tetapi beberapa kasus variant dari HBV tidak memproduksi antigen ini. Pada beberapa kasus
infeksi lain, HbeAg segera dapat diatasi dan antibodi terhadap antigen ini segera timbul (anti-
HBe). Hal tersebut terjadi dengan sendirinya dan replikasi viral turun secara drastis. Bilamana
penderita dapat melawan infeksi, maka HBsAg akan tidak terdeteksi lagi kemudian diikuti
peningkatan antibodi IgG terhadap antigen permukaan hepatitis B dan antigen core (anti-HBs
dan anti-HBc IgG). Waktu antara eliminasi HBsAg dan terjadinya pemunculan anti-HBs
dinamakan window period, seseorang yang uji tes serologinya negativ terhadap HBsAg tetapi
positiv anti-HBs dinyatakan telah dapat melawan infeksi HBV atau dia pernah divaksinasi HBV
sebelumnya.

Bila seseorang yang uji serologiknya masih terdeteksi HBsAg selama beberapa bulan,
Pencegahan penyakit hepatitis B ini dapat dilakukan dengan cara vaksinasi, beberapa jenis
vaksin HBV telah dikembangkan oleh Maurice Hilleman. Vaksin tersebut dibuat berdasarkan
pada amplop protein virus (HBsAg), dimana vaksin dibuat dari plasma penderita infeksi HBV
yang kronis(HBsAg). Dewasa ini telah dikembangkan vaksin yang dibuat dengan cara sintesis
teknologi rekombinan DNA, yang dibuat tanpa menggunakan darah. Setelah dilakukan
vaksinasi, beberapa hari kemudian kandungan HBsAg akan dapat terdeteksi, hal tersebut
dinamakan antigenemia(Ag beredar dalam darah). Vaksin dapat diberikan dalam dua, tiga atau
empat dosis pada bayi dan orang dewasa, dapat memproteksi 85-90% pada resipien. Proteksi
tersebut telah di amati paling tidak sampai 12 tahun kemudian dan menimbulkan respon imun
sampai 25 tahun.

Hepatititis B biasanya tidak menyebar melalui air dan makanan, tetapi menyebar melalui
cairan tubuh. Sehingga untuk mencegahnya dapat dilakukan dengan menghindarkan transfusi
darah dari darah yang terkontaminasi, penggunaan jarum suntik dan siring bersama, hubungan
seks tanpa pelindung, dan transmisi vertikal pada saat melahirkan. Bayi dapat divaksinasi setelah
lahir. Injeksi multipel dengan dosis kecil dari hepatitis immune globulin (HBIg: 200-400
IU/bulan), atau lamivudin (100 mg/hari) pada ibu penderita HB karier dengan kondisi infeksi
tingkat tinggi terinfeksi HB (>106 kopi/ml) pada masa akhir kehamilan (3 bulan keatas umur
kehamilan), cukup efisien dan aman untuk mencegah transmisi HBV intrauterin pada bayinya.

Pengobatan infeksi HBV akut tidak selalu perlu dilakuan, karena hampir semua penderita
dewasa dapat secara spontan melawan infeksi virus tersebut. Pemberian lebih awal obat antiviral
dapat diperlukan pada pasien, yang mengalami infeksi dengan gejala agresiv (hepatitis parah)
atau pasien yang mengalami respon proses kekebalan. Dilain pihak pengobatan diperlukan untuk
penderita hepatitis B kronis untuk menurunkan resiko terjadinya/timbulnya sirosis hati atau
kanker hati. Pada penderita infeksi kronis tes fungsi hatinya menunjukkan adanya peningkatan
kadar alanin aminotransferase (AST) dan kandungan HBV DNA, sehingga perlu dilakukan
pengobatan. Walaupun tidak satu obatpun yang dapat menghilangkan virus HBV, obat yang
tersedia paling tidak dapat menghambat replikasi dari virus tersebut. Dewasa ini di Amerika
Serikat telah diproduksi dan mendapat lisensi atas produk tersebut untuk beberapa jenis obat anti
hepatitis B. Obat tersebut dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu obat antiviral dan obat
imuno-modulator.

Obat antiviral adalah: Lamivudine (Epivir), adefovir (Hepsera), tenofovir (Viread),


telbivudin (Tyzeka) dan entecavir (Baracliude).
Obat sistem imuno-modulator adalah: interferon alpha-2a, dan PEGylated interferon alpha-
2a (Pegasys).

Pemberian obat interferon melalui injeksi dapat dilakukan setiap hari atau tiga kali dalam
seminggu (2 hari sekali), juga perlu diberi tambahan injeksi long-acting PEGylate interferon,
yang diinjeksikan hanya satu kali dalam seminggu. Tetapi respon terhadap obat tersebut biasanya
terjadi secara individu, beberapa penderita mempunyai respon pengobatan lebih baik daripada
penderita lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan genotipe dari virus yang
menginfeksi atau gen keturunan dari penderita. Pengobatan tersebut dapat
mengurangi/menurunkan replikasi virus dalam hati, akibatnya partikel virus yang beredar dalam
darah juga menurun. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita hepatitis B kronis dapat diberi
obat antibodi terhadap virus hepatitis B (HBIg/imunoglobulin HBV). Bila diberi dengan vaksin
dalam waktu dua belas jam setelah lahir, resiko untuk terinfeksi HBV dapat berkurang sampai
90%. Pada pengobatan tersebut ibu diperbolehkan menyusui bayinya dengan aman.

B. Virus hepatitis C

Infeksi virus hepatitis C (HCV) sering tidak memperlihatkan gejala (asymphtomatis), tetapi
begitu virus menginfeksi, infeksi kronis akan terjadi dan berkembang dalam hati sehingga
menyebabkan terbentuknya fibrosis yang berlanjut dengan sirosis hati, dan biasanya hal tersebut
terjadi selama bebeberapa tahun kemudian. Pada beberapa kasus, bila terjadi sirosis hati biasanya
akan berkembang menjadi kanker hati dan menyebabkan organ hati menjadi tidak berfungsi lagi,
terjadi varises pada oesofagus dan pada lambung. Virus hepatititis C menyebar melalui darah
terkontaminasi (penderita) ke darah orang yang sehat. Seseorang yang telah terinfeksi jarang
menunjukkan gejala penyakit, tetapi virus hidup persisten dalam hati sekitar 85% dari virus
tersebut. Diperkirakan sekitar 270-300 juta diseluruh dunia terinfeksi oleh virus hepatitis C,
infeksi virus ini sungguh mengancam kehidupan manusia. Hewan primata seperti simpanse atau
jenis primata lain diinfeksi virus ini unutk keperluan penelitian di laboratorium. Sampai sekarang
tidak atau belum ada vaksin untuk mencegah virus hepatitis C.

1. Virion dan replikasi virus


Virus hepatitis C pertama diidentifikasi dengan metoda molekuler kloning pada tahun
1989, semula virus tersebut terdeteksi sebagai virus non hepatitis A dan non hepatitis B. Virus
tersebut didak dapat dipupuk secara invitro, sehingga menyulitkan pada saat identifikasi. Virus
hepatitis C adalah termasuk virus yang kecil diantara virus lainnya, ukurannya sekitar 50 nm,
beramplop, pita tunggal (singel strand), positiv sense virus RNA. Ia termasuk kelompok genus
hepacivirus dalam famili Flaviviridae. Ada enam genotipe utama dari virus hepatitis C yang
dinamai menurut angka yaitu genotipe 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Sequen nukleotidanya sangat
bervariasi, Genotipe 1-3 banyak dijumpai di Eropa, genotipe 4 prevalen di Mesir dan Zaire, tipe
5 di Afrika dan tipe 6 di Hong Kong.

Virus masuk kedalam darah melalui darah terkontaminasi (waktu transfusi darah), atau
melalui jarum yang tidak steril (misalnya tatoo), amplop virus melekat pada reseptor yang sesuai
pada dinding sel hati. Setelah terjadi perlekatan, nukleokapsid melepaskan diri dari amplop
masuk kedalam sitoplasma sebagai akibat dari proses fusi antara virus dengan membran seluler.
Fusi tersebut dijembatani oleh protein viral yang spesifik yang menempati secara langsung
membran plasma atau masuk kedalam sitoplama secara endositosis. Proses masuknya virus
dalam sel tersebut dikontrol oleh glikoprotein pada permukaan virus.

Nukleokapsid kemudian pecah (decapsidation), dan nukleokapsid virus terbebaskan


menjadi beberapa bentuk pita positif strand RNA didalam sitoplasma sel hati, dimana bahan
tersebut menyediakan sintesis RNA baru sebagai messenger RNA (mRNA) untuk mensintesis
poliprotein dari HCV. Translasi genom HCV dikontrol oleh ribosoma sel hati dan mulai
memproduksi materi yang diperlukan untuk replikasi virus. Karena virus hepatitis C adalah virus
RNA, maka virus RNA itu sendiri langsung dapat terbaca oleh ribosoma sel hospes, dan
berfungsi normal seperti adanya mRNA pada selnya sendiri. Begitu mulai memproduksi kode
material pada RNA, diduga virus langsung menghambat fungsi normal dari sel hati tersebut, dan
menggunakan energi sel untuk replikasi virus. Walaupun kadang virus HCV menstimulir sel hati
untuk regenerasi lebih banyak daripada produksi virus itu sendiri, tetapi HCV sangat erat
hubungannya dengan terbentuknya sel kanker hati. Pertama enzim RNA ditranskriptase
disintesis dan enzim ini diperlukan untuk reproduksi virus. Dengan proses tersebut HCV dikopi
untuk membentuk ratusan atau bahkan ribuan materi untuk virus baru. Pada kondisi tersebut
beberapa RNA virus mengalami mutasi. Virus kemudian membangun kapsomer untuk
melindungi material gen didalamnya, dimana ribosoma dari sel hospes yang memproduksi
protein tersebut digunakan oleh virus sebagai selubung gennya. Bilamana kapsomer yang
komplet pada sekeliling virus RNA baru telah terbentuk, kemudian mereka menyatu(assembly)
untuk membentuk selubung sferik yang dinamakan kapsid, yang secara penuh menyelubungi
RNA virus. Partikel yang komplit tersebut dinamakan nukleokapsid. Virus baru bergerak kearah
plasma membran dan melekat membentuk tonjolan. Plasma membran membentuk lingkaran
kemudian membebaskan virus baru tersebut, dimana plasma membran sel menyediakan lapisan
lipida, virus tersebut akan melekat pada sel hati lainnya. Proses pembentukan tonjolan plasma
membran dan pelepasan virus keluar sel berjalan beberapa jam pada permukaan sel hati tersebut
terus menerus sampai sel hati mengalami kematian (nekrosis). Virus yang keluar dan masih
hidup dan selamat dari proses sistem imun atau faktor lain akan dapat memproduksi virus baru
yang jumlahnya ratusan atau bahkan ribuan virus baru. Proses tersebut berjalan terus menerus
sehingga menyebabkan organ hati rusak, terbentuk jaringan ikat (fibrosis), dan hati tidak
berfungsi dan juga dapat menyebabkan terjadinya kanker hati.

2. Penularan dan gejala

Penularan HCV yang utama adalah melalui darah (transfusi darah) dan produknya (serum,
plasma), atau melalui donor organ dari orang yang menderita hepatitis C. Bagi para pecandu obat
bius suntik, penularan dapat terjadi melalui jarum dan siring yang dipakai bersama dengan
penderita hepatitis C. Penularan juga dapat terjadi pada penderita gagal ginjal yang melakukan
dialisis rutin dengan alat yang terkontaminasi, para perawat dan dokter yang sering kontak
dengan darah penderita, para pekerja seks yang sering berganti pasangan dan melakukan
hubungan seks dengan penderita hepatitis C. Penularan juga dapat terjadi pada seseorang yang
bersama-sama menggunakan sikat gigi dan pencukur kumis dan jenggot bersama dengan
penderita. Bayi dapat tertular dari ibunya yang menderita hepatitis C. Kebanyakan penderita atau
orang yang terinfeksi hepatitis C tidak menunjukkan gejala, tetapi seseorang diketahui menderita
hepatitis C pada saat dilakukan tes darah atau beberapa pemeriksaan kesehatan lainnya. Gejala
yang timbul pada penderita biasanya bila sudah terjadi keparahan penyakit pada hati yaitu warna
kuning pada lapisan mukosa tubuh (jaundice), kelemahan yang sangat (fatigue), hilang nafsu
makan (anorexia), mual dan muntah, demam sedang, warna pucat atau kehijauan feses yang
dikeluarkan, air kencing (urine) berwarna gelap, dan rasa gatal-gatal pada tubuh.
Hepatitis kronik adalah kondisi yang sangat progresiv, paling tidak menyerang seperempat
dari organ hati. Tetapi progresivisitas penyakit berjalan sangat lambat pada kebanyakan pasien,
bahkan tidak menunjukkan gejala penyakit sampai selama beberapa tahun. Sampai sekarang
mekanisme kerusakan hati pada fase akut ataupun kronis dari hepatitis C ini masih belum jelas,
tetapi diduga proses sitopatogenisitas dari HCV erat hubungannya dengan proses respon sistem
imun. Tetapi tidak terlihatnya gejala (asimptomatis) dari penyakit dapat didiagnosis adanya
infeksi HCV dengan cara uji tes fungsi hati (tes darah adanya peningkatan produksi enzim AST,
ALT) dan dapat meramalkan (prediksi) terjadinya sirosis pada hati.

3. Diagnosis, pencegahan dan pengobatan

Diagnosis hepatitis C jarang dapat dilakukan pada fase penyakit akut, karena kebanyakan
penderita tidak menunjukkan gejala fase tersebut. Oleh sebab itu kadang penderita tidak
menyadari bahwa dia terinfeksi hepatitis C, karena dia tidak merasa sakit dan tidak begitu
memperhatikan kondisi kesehatannya. Diagnosis penyakit berdasarkan gejala juga sulit
dilakukan pada penderita hepatitis C kronis karena gejala yang timbul tidak spesifik (gejala
umum), gejala spesifik dengan tanda kerusakan hati baru terdeteksi setelah timbulnya gejala
kerusakan hati seperti jaundice dan sakit perut bagian kanan atas, gejala tersebut kelihatan bila
penyakit sudah berjalan beberapa lama. Penyakit hepatitis kronis baru dapat dipastikan
berdasarkan riwayat penularan, dan tes fungsi hati yang memperlihatkan peningkatan enzim AST
dan ALT. Uji serologi dapat meneguhkan diagnosis bila terlihat kenaikan titer antibodi HCV,
anti-HCV dapat terdeteksi pada sekitar 80% pasien dalam waktu 15 minggu setelah infeksi,
sekitar 95% setelah 5 bulan, dan 97% setelah 6 bulan. Tetapi kadang beberapa orang penderita
tidak dapat terdeteksi pada orang yang tidak terjadi respon antibodi walaupun dia terinfeksi. Bila
terjadi hal demikian maka uji RNA perlu dilakukan bila uji serologik hasilnya negatif. Tes fungsi
hati sendiri (AST dan ALT) tidaklah merupakan diagnosis yang pasti, karena kerusakan hati
penyebab penyakit lain juga dapat menaikkan enzim tersebut.

C. Human T-lymphotropic virus (HTLV)


HTLV pertama ditemukan pada tahun 1977 di Jepang, dan virus dapat diisolasi pertama
kali oleh Bernard Poiesz dan Francis Ruscetti. Virus HTLV dapat diisolasi pertama kali oleh
Gallo dan diidentifiasi sebagai human retrovirus yang dapat menyebabkan kanker di Lembaga
Kanker NCI di Amerika. Seperti pada infeksi retrovirus lainnya keberadaan virus erat
hubungannya dengan reaksi antibodi terhadap HTLV yang terdeteksi dalam serum penderita.
Data seroepidemiologi menunjukkan bahwa infeksi HTLV-1 terdapat cluster pada lokasi
geografi tertentu di seluruh dunia. Dimana cluster tersebut terjadi endemik di bagian Selatan
Jepang (15-30%), di Carribia (3-6%), Papua New Guinea dan beberapa bagian di Selatan Afrika.
Penularan infeksi virus ini berlangsung melalui trans seksual dan melalui darah. Transmisi virus
secara vertikal terjadi dari ibu ke anaknya merupakan hal yang penting dari keberadaan virus
dalam suatu daerah endemik. Transmisi melalui air susu ibu merupakan kejadian yang penting
dan menunjukkan prevalensi tinggi infeksi HTLV dalam daerah yang bersangkutan. Gambaran
seroepidemiologik dari HTLV meningkat sejalan dengan meningkatnya umur begitu juga pada
jenis kelamin dimana wanita dua kali lebih banyak daripada pria. Seroprevalensi pada orang
diatas umur 80% meningkat di Jepang bagian Selatan dari persentasi angka penderita tersebut6
50% diantaranya diderita oleh wanita dan 30% pria. Perbedaan gender/jenis kelamin tersebut
sangat mungkin disebabkan karena infeksi pada wanita lebih efisien daripada pria. Hal tersebut
terjadi karena hubungan seksual pada pria biasanya dilakukan pada beberapa wanita. Infeksi
HTLV-II paling sering disebabkan penggunaan obat bius secara IV. Hal ini ditemukan pada
suatu cluster pada masyarakat Indian di Amerika Selatan.
Virion, patogenitas dan penyakit
HTLV termasuk dalam kelompok oncovirus, subfamili retrovirus ssRNA beramplop. Ada
dua kopi genom RNA dengan tiga gen yang utama yaitu: gag (struktur protein), pol (reverse
transcriptase),dan env (amplop glikoprotein). HTLV-I dan HTLV-II adalah tropikal untuk
OKT+T-helper limfosit, tetapi bentuk sel lainnya juga dapat terinfeksi. HTLV-I dan HTLV-II
tersebut keduanya tidak mempunyai oncogen yang spesifik.

Ada beberapa penyakit yang timbul karena terjadinya infeksi HTLV, beberapa diantaranya
adalah kanker:

a) Adult T-cell leukemia (ATL), Agen penyakitn leukemia sel T salah satunya disebabkan oleh
terjadinya infeksi HTLV, hal tersebut dapat dipastikan dengan uji adanya antibodi terhadap
HTLV-I. Isolasi virus dapat ditemukan adanya integrasi sequen proviral dalam sel leukemia pada
pasien penderita ATL. Leukemia jenis ini sangat progresif dan fatal dan berefek paqda sati
diantara 500 orang yang terinfeksi oleh HTLV-I. Penyakiy ini terciri dengan adanya perubahan
yang diffuse (menyebar) dari kelenjar limfe, hiperkalsemia, leukemia, infilytasi lekusit pada
kulit, dan pada uji serologi positiv adanya antibodi HTLV-I. Bila seseorang terinfeksi virus ini
masa imkubasinya sekitar 15-20 tahun yang akan berkembang menjadi leukemia ATL.

b) Tropical Spastic Paraparesis (TSP), hubungan antara infeksi HTLV-1 dengan TSP pertama
ditemukan pada tahun 1985 pada saat dilakukan uji skreening darah donor untuk uji antibodi
terhadap HTLV-1 di West Indies. Sekitar lebih dari 75% pasien yang menderita TSP terdetksi
mengandung antibodi terhadap HTLV-I dan pada penelitian lebih lanjut virus tersebutdapat
diisolasi dari darah dan cairan sumsum tulang belakang (CSF). Penderita menunjukkan gejala
gangguan neurologi kronis TSP, dan kasus tersebut juga ditemukan pada pada lokasi lain yang
merupakan daerah endemik HTLV-I seperti didaerah Afrika dan Jepang. Hal tersebut dinamakan
HTLV-I associated myelopathy. Gejala klinis yang terlihat pada penyakit ini mirip dengan
multiplr scelrosis tetapi tidak disertai dengan gejala gangguan saraf pusatGejala awal yang
terlihat adalah kelemahan anggota gerak secara bilateral dan terjadi kelemahaham pada lutut,
gejala tersebut secara perlahan meningkat sampai mempengaruhi kelemahan pada daerah
pinggul, tetapi gejala tersebut biasanya cukup bervariasi.

c) Penyakit lain yang berhubungan dengan infeksi HTLV-I, antara lain adalah adanya gejala
dermatitis

Pengobatan

Pengobatan ditujukan untuk infeksi sekunder dari bakteri opportunistik, perlu dilakukan
observasi untuk melihat tipe penyakit berdasarkan hasil observasi, bilamana terjadi
perkembangan progresiv dari gejala yanang terjadi perlu dilakukan pengobatan dengan obat
khemotherapy dan antiretroviral. Pada penyakit kanker sel-T limpoma yang merupakan kanker
leukemia pada orang dewasa(ATL), perlu diobati dengan khemotherapi yang agresiv yaitu
dengan R-CHOP. Pengobatan lain untuk ATL pada infeksi HTLV adalah interferon alfa,
zidovudine kobinasi dengan interferon alfa, dan CHOP kombinasi dengan arsenik trioksida.
Pengobatan untuk penyakit TSP sangat terbatas, dan obat hanya difokuskan untuk terapi
simptomatis saja, misalnya corticosteroids, plasmapherisis, cyclophosphamide, dan interferon,
yang dapat menyembuhkan gejala myopathy smenetara. Obat Valproic acid sedang diteliti untuk
menurunkan derajad viremia. Dewasa ini pengobatan kombinasi anyara valproic acid
denganzidovudine menunjukkan terjadinya penurunan jumlah virus dalam darah. Perlu selalu
dimonitor adanya infeksi oportunitis dari cytomegalovirus, histoplasmosis, scabies,
pneumocystis pneumonia, dan stapylococus sp pada pasien penderita infeksi HTLV. Pengobatan
dengan allogenik transplantasi sumsum tulang sedang dalamtahap penelitian dan hasilnya masih
bervariasi.

D. Human papillomavirus (HPV)

HPV termasuk dalam famili papillomavirus yang menginfeksi manusia. Seperti pada
semua virus papilloma, HPV sangat cocok untuk hidup dan berkembang pada keratinosit (sel
keratin) pada kulit atau dalam lapisan mukosa. Kebanyakan yipe infeksi HPV tidak
menunjukkan gejala samasekali, sebagian menunjukkan gejala penebalan kulit (warts),
sedangkan sebagian kecil menyebabkan kejadian kanker pada serviks, vulva, vagina, penis,
oropharynx, dan anus. Dew3asa ini dilaporkan bahwa infeksi HPV ada hubungannya dengan
resiko peningkatan kejadian penyakit karsiovaskuler. Sekitar lebih dari 40 tipe HPV ditularkan
melalui hubungan seksual. Beberapa tipe HPV yang ditularkan lewat hubungan seksual dapat
menyebabkan lesi dan penebalan pada saluran genital. Infeksi persisten dari HPV tipe high risk
berbeda dengan tipe HPV yang menginfeksi pada kulit, dimana tipe high risk tersebut dapat
berkembang menjadi penyebab penyakit kanker. Infeksi HPV adalah penyebab dari hampir
semua kasus kanker sercviks, tetapi kebanyakan infeksi tipe HPV ini tidak menyebabkan
penuakit. Kebanyakan infeksi HPV pada wanita muda berjalan sekitar satu tahun (70%) dan 2
tahun (90%) berkembang menjadi berisiko menyenankan precancerius (awal terjadinya kanker)
pada serviks. Bilaman terjadi infeksi persisten pada wanita sekitar 5% sampai 10% berkembang
dan beresiko tinggi menjadi kanker serviks. Proses tersebut biasanya dalam waktu 10-15 tahun,
sehinnga deteksi dini dan pengobatan dilakukan dalam fase adanya lesi pre-cancerius. Pada
kebanyakan negara uji pap smear banyak digunakan untuk deteksi dini penyakit kanker serviks
ini. Deteksi dini dengan pap smear dapat mengurangi kejadian kanker serviks, tetapi kejadian
kanker serviks ini masih cukup tinggi yaitu sekitar 11 000 kasus dan sekitar 3900 meninggal
dunia di Amerika pada tahun 2008.
1. Virion dan patogenitasnya

HPV termasuk dalam kelompok virus papiloma yang mempunyai bentik DNA sirkuler.
Papilomavirus ukurannya termasuk kecil, tidak beramplop, dengan diameter sekitar 52-55nm.
Partikel virion terdiri dari 72 pentamerik kapsomer dan dapat berbentuk pentavalen dan
heksavalen. Kapsid dari virus ini terbentuk dua viral protein yaitu L1 dan L2. L1 adalah kapsid
protein yang lebih banyak yaitu 80% , sedangkan sisanya L2 ada 20%. Viral kapsid protein
tersebut digunakan untuk membuat virus-like protein (VLPs). Belakangan VLPs ini disolasi dan
dapat digunakan calon vaksinuntuk melawan vcirus HPV.

Didalam tubuh sendiri sebetulnya ada protein P53 yang secara alamiah dapat menghambat
pertumbuhan tumor dengan cara menghambat siklus pertumbuhan sel bila DNA-nya mengalami
kerusalan. Protein E6 sangat erat hubungannya dengan protein E6-AP (E6-associated protein).
Sedangkan E6-AP terlibat dalamjalur ubiquitq ligase yaitu sistem yang bertindak untuk
degradasi protein. E6-AP mengikatkan ubiquitin pada protein P53, sehingga menghambat
degradasi proteosom, se3bagai akibatnya P53 tidak dapat berfungsi dantumor dapat tumbuh tidak
terkendali.
Pola perkembangan HPV tipe 16 adalah salah satu sub-tipe yang telah diteliti sebagai
penyebab terjadinya kanker leher rahim (kanker serviks) yaitu kapsid gen E1-E7 gen awal dan
L1-L2 gen akhir. Hampir semua infeksi HPV dapat dilawan oleh sistem imun dan tidak
berkembang menjadi kanker serviks. Hal ini disebabkan karena proses transformasi sel epithel
serviks untuk berkembang menjadi sel kanker sangat lambat, sehingga sebelum terbentuk sel
kanker telah dicegah dulu oleh sistem imun dari tubuh. Tetapi bila terjadi infeksi persisten maka
virus tersebut terus mempengaruhi sel untuk berkembang menjadi tidak terkendali dan hal
tersebut memerlukawaktu yang bertahun tahundimana beberapa faktor lain mempengaruhi
seperti faktor genetik, lingkungan dan pola makan. Hubungannseks yang tidak wajar juga
merupakan faktor penyebab terjadinya infeksi HPV dan berakibat timbulnya kanker anus, sampai
mencapai kemungkinan 25% kasus, begitu juga terjadinya kanker oropharynx. Belakangan ini
juga dilaporkan terjadinya kanker pada tonsil dan kejadian kanker karena infeksi HPV pada
faerah mulut sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai kebiasaan merokok. Orang yang
sujka melakukan hubungan seks melalui anus dan mulut banyak dilaporkan mudah terinfeksi
HPV yang dapat menyebabkan peningkatan kasus kanker pada lokasi bagian tubuh yang
bersangkutan. Telah dilaporkan bawa kasus kanker pada penis dan anus banyak ditemukan pada
kaum gay (homo seksual).

2. Diagnosis, pencegahan dan pengobatan

Diagnosis yangsampai sekarang masih sering digunakan adalah uji pap smear, karena uji
metode ini cukup akurat untuk mendeteksi adanya HPV dalam srviks penderita dan uji dapat
dilakukan secara rutin. HPV tipe 18 juga telah dapat dideteksi melalui uji DNA, dimana tipe ini
paling sering menyebabkan kanker serviks dan juga dapat membedakan antara tipe HPV
penyebab kanker beresiko tinggi atau rendah. (high risk, low risk), tetapi tidak dapat menentukan
HPV yang spesifik. Sehingga uji ini banyak ditemukan hasil positif palsu, sehingga perlu
keteramilan dan latihan yang efisien untukdapat melaqkukan uji ini. Menurut lembaga riset
kanker (Amerika) uji sampel dari sel serviks adalah cara yang paling baik untuk
mengidentifikasi tipe HPV yang beresiko tinggi.

Infeksi HPV yang paling sering ditemukan melalui hubungan seksual yang sering berganti
pasangan, sehingga cara yang terbaik untuk mengurangi resiko/mencegah penularan adalah:
penggunaan kondom, vaksinasi dan obat anti mikroba. Dewasa ini telah tersedia dua jenis vaksin
untuk mencegah infeksi HPV yang masing masing diproduksi olaeh dua pabrik farmasi dengan
nama paten yang berbeda pula. Kedua vaksin tersebut dapat melindungi infeksi awal dari HPV
tipe 16 dan 18, yang sangat diduga sebagai HPV penyebab kanker. Salah satu produk tersebut
juga terbukti dapat mencegah terjadinya infeksi HPV tipe 6 dan 11, yang menyebabkan kutil
genital sampai 90%. Tentu saja vaksin tidak efektif terhadap wanita yang telah terinfeksi HPV
sebelumnya, sehingga WHO merekomendasikan untuk uji pap smear secara rutin sebelum
dilakukan vaksinasi. Obat antivral terhadap HPV masih dalam penelitian, diharapkan obat
tersebut dapat menghambat/memblok transmisi HPV setelah terjadi kontak seksual. Obat yang
telah diteliti dan menunjukkan hasil yang menjanjikan adalah ekstrak karagenan yang dibuat
sebagai seksual lubrikansia.

E. EpsteinBarr virus (EBV)

Epstein-Barr virus (EBV) termasuk dalam kelompok Human -herpesvirus yang mampu
hidup dalam waktu lama dalam sel limfosit B sepanjang hidup hospes (orang/penderita). Infeksi
EBV erat hubungannya dengan bebrapa jenis kanker pada manusia,termasuk Burkitts
Limphoma (BL) dan hodgkins disease, beberapa jenis AIDS-associted kanker atau sering
disebut Diffuse Large B-cell Lymphoma (DLBCL). Diduga EBV pada awal infeksi pada sel-B
dapat menyebabkan proliferasi sel-B secara cepat dan membentuk suatu kelomok EBV-
infected cell yang menyerupai sel-B memory. Kondisi perbedaan dua fase tersebut dapat
menyebabkan terjadinya infeksi EBV laten III dan EBV laten I. Selama perkembangan EBL
laten III, EBV mengekspresikan 9 protein yang dinamakan EBV nuklearantigen (EBNA), yaitu
EBNA-1, -2A, -3B, -3C dan LP dan juga LMPs (Laten membran Protein), yaitu LMP-1, -2A dan
-2B yang diduga berganti-ganti dalam suatu aktivasi proses sel-B naiv(original/normal) yang
biasanya bekerja setelah terjadinya stimulasi antigen. Sebagai akibatnya, siklus sel tersebut
kembali mengalami awal status diferensiasi yang menyerupai sel-B memori, pada saat protein
EBV diekspresikan menjadi EBNA-1. Laporan hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa
infeksi laten EBV menyebabkan peningkatan intensitas protein virus dalam sel sehingga terjadi
reprograming sel yang terinfeksi sehingga gen terekspresi secara langsung.

1. Sifat virus

Virus dapat bekerja dalam berbagai program yang berbeda dlam mengekspresikan gennya
yang dikategorikan dalam siklus lytic atau siklus latent.

- Siklus lytic atau juga disebut siklus produksi ekspresi virus protein, pada fase ini
dihasilkanproduk virus yang infeksius. Sebetlnyafase ini tidak terlibat langsung dalam proses
terjadinya lysis terhadap sel dari hospes pada saat virion EBV yang diproduksi karena terjadinya
perlekatan (buddig) pada sel yang terinfeksi.Protein litik adalah glikoprotein (gp 350 dqn gp110).

- Siklus latent (lysogenik), fase ini tidak menghasilkan produk virion. Terdapat sedikit
perbedaan pada protein virus diproduksi pada periode laten ini, hal ini termasuk Epstein-Barr
nuclear antigen (EBNA)-1, EBNA-2, EBNA-3A, EBNA-3B, EBNA-3C, EBNA-leader protein
(EBNA-LP), EBNA-leader protein (EBNA-LP) dan latent membrane proteins (LMP)-1, LMP-
2A dan LMP-2B serta Epstein-Barr encoded RNAs (EBERs). Begitu juga EBV yang mengkode
sekitar dua-puluh microRNA yang diekspresikan dalam sel yang terinfeksi laten dan paling tidak
satu snoRNA terekspresi pada siklus lytik.
Hasil penelitian ekspresi gen EBV dalam kultur jaringan Birlitts limphoma cell lines
ditemukan tiga ekspresi gen yang dilaporkan yaitu:

1. EBER1&2 LMP2A EBNA1 (Latency I)


2. EBER1&2 LMP2A LMP2B EBNA1 LMP1 (Latency II)
3. EBER1&2 LMP2A LMP2B EBNA1 LMP1 EBNA2,3,4,5,6 (Latency III)

2. Infeksi virus

Virus EBV dapat menginfeksi sejumlah sel yang berbeda yaitu sel B limfosit, sel epitel,
pada kondisi tertentu dapat menginfeksi sel T, sel NK dan sel otot polos. Infeksi pada sel B dan
sel epitel adal sel yang diinfeksi secara normal. Tetai meknisme infeksi dan protein yang terlibat
pada lima sel yang berbeda tersebut berbeda pula. Untuk mengonfeksi sel B protein viral gp350
melekat pada resptor sel yaitu komplemen reseptor 2 (CR2), dan memicu proses endositosis.
Disampimg itu, gp42 melekat pada molekul MHC II. Melalui interaksi tersebut terjadi fusi antara
gHgL dan gB, yang memicu fusi dari viral membran dengan endosomla membran untuk
membebaskan materi genetik virus. Untuk menginfeksi sel epitel , gp 350 juga melekat pada
CR2, tetapi proses endositosis tidak dipicu. Interaksi antara gHgL dengan gHgL reseptor
(mungkin integrin v6 or v8) dan mesi fusi gHgL dan gB memicu fusi pada membran sel dan
sel epitel.

Epstein Barr Virus dan sejenisnya seperti virus KSHV dapat dipelihara dan di manipulsi
dalam laboratorium secara berkesinambungan daya hidupnya (latency). Sementara itu
kabanyakan virus lain dapat hidup bila menginfeksi pada hospes secara alamiah atau pada hewan
coba. Beberapa peneliti melaporkan bahwa infeksi EBV dapat menyebabkan sel B limpfosit
dapat bertahan hidup terus dalam tubuh, setalah infeksi virus sel B mengalami mimikri (berubah
bentuk) menjadi neoplasma sel B, Pada saat terjadi infeksi EBV sel B limfosit berikatan dengan
reseptor komplement sehingga genom linear virus dan virusnya sendiri berada persisten dalam
sel B sebagai epistome. Pada infeksi primer EBV bereplikasi dalam sel epithel oro-pharyngeal
dan bertahan hidup sebagai latency I, II, dan III.dan menginfeksi pada sel B limfosit. Infeksi
EBV laten dalam limfosit B sangat diperlukan untuk terjadinya persisten virus, sehingga
terjadinya replikasi virus dalam sel epitel dan dibebaskan menjadi virus infeksius dalam saliva
(air ludah). Virus EBV laten II dan III menginfeksi sel limfosit-B, laten II menginfeksi sel epitel
oral (mulut) dan laten II menginfeksi sel NK atau sel T yang dapat mentenankan tumor
malignan, yang ditandai dengan bentyuk uniform genom EBV dan adanya ekspresi gen.
Glikoprotein H (gH) adalah protein yang esensial untuk penetrasi masuk kedalam sel B juga
berperan penting bagi virus untuk menempel pada sel epitel.

Anda mungkin juga menyukai