PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia para founding
fathers telah menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara. Cita desentralisasi ini senantiasa menjadi
bagian dalam praktek pemerintahan Negara sejak berlakunya UUD 1945, terus
memasuki era Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada era kembali ke UUD 1945
yang dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Letak geografis Indonesia yang berupa kepulauan sangat berpengaruh terhadap
mekanisme pemerintahan Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa
kepulauan ini, menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada
di daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka
diperlukan adanya berbagai suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara
efisien dan mandiri tetapi tetap dibawah pengawasan dari pemerintah pusat.
Sebagai perwujudan dari cita desentralisasi tersebut, maka langkah-langkah penting
sudah dilakukan oleh pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pemerintahan daerah membuktikan bahwa keinginan untuk
mewujudkan cita-cita ini terus berlanjut. Sekalipun demikian, kenyataan
membuktikan bahwa cita tersebut masih jauh dalam realisasinya. Otonomi daerah
masih lebih sebagai harapan ketimbang sebagai kenyataan yang telah terjadi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah belumlah terwujud sebagaimana
yang diharapkan. Kita nampaknya baru menuju ke arah Otonomi Daerah yang
sebenarnya.
Hal tersebut sangat diperlukan karena mulai munculnya berbagai ancaman terhadap
keutuhan NKRI. Hal itu ditandai dengan banyaknya daerah-daerah yang ingin
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya alam daerah
di Indonesia yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab diperlukannya
suatu sistem pemerintahan untuk memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang
merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan nasional.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa terdapat beberapa daerah yang
pembangunannya memang harus lebih cepat dari pada daerah lain. Karena itulah
pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan pemerintahan di tingkat daerah
yang disebut otonomi daerah untuk mengelola potensi-potensi dan sekaligus
mengembangkannya.
Oleh karena itu, pemakalah berusaha untuk mengkaji lebih dalam tentang Otonomi
Daerah dan pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
B. Rumusan MasalahOleh karena latar belakang tersebut diatas maka penulis dapat menarik
1. Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah serta
problematikanya?
BAB II
PEMBAHASAN
Pembahasan
C.1 Pemerintahan Daerah Dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945
telah diatur pembagian wilayah negara kesatuan RI menjadi daerah provinsi yang kemudian
dibagi lagi menjadi daerah kabupaten/kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
pada tanggal 18 Agustus 2000. Sebelum amandemen ketentuan pasal 18 UUD 1945 sangat
simple , yakni berbunyi : Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil
memandang dan mengingati dasar permusyawaratn dalam sistem pemerintahan negara, dan
secara komprehensif , yakni disamping mengubah redaksi pasal juga dilakukan penambahan
ayat-ayat dan pasal-pasal baru berkaitan dengan pemerintahan daerah . Pasal 18 ditambah
dengan 6 ayat baru sehingga menjadi 7 ayat yang antara lain mengatur masalah otonomi
daerah dan tugas pembantuan , pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang dilakukan
secara demokratis dan langsung oleh rakyat, serta kewenangan pemerintah daerah dalam
membuat peraturan daerah dan peraturan lain dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan
tugas pembantuan. Sedang penambahan pasal baru dilakukan dengan membuat pasal 18 A
yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang
pemerintahan , keuangan , pelayanan umum dan pemanfaatan sumber daya alam. Sedang
penambahan pasal 18 B isinya mengakui adanya satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa , serta mengakui eksistensi masyarakat hukum adat dengan hak-hak
tradisionalnya.
Kendati penambahan ayat dan pasal baru dalam Amandemen Pasal 18 UUD RI 1945
terkesan lebih teknis , tapi kiranya amandemen tersebut dapat dijadikan pedoman dan dasar
peletakkan bagi reformasi pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan amandemen Pasal
18 UUD RI 1945 maka dilakukan reformasi terhadap sistem pemerintahan daerah di
Indonesia , yakni dengan memberikan keleluasaan yang sangat besar kepada pemerintah
diantaranya :
dalamnya mengatur tiga jenis daerah di Indonesia , yaitu Karesidenan, Kabupaten dan Kota
diamanatkan dalam pasal 18 UUD RI 1945 .Namun undang-undang ini hanya diberlakukan
dalam jangka waktu tiga tahun , karena undang-undang ini masih sangat sederhana dan
banyak ahal-hal yang belum diatur secara rinci. Salah satunya banyak DPRD yang
merupakan kelanjutan dari BPRD tidak mengetahui tugas dan wewenangnya sehingga
Membagi daerah di Indonesia menjadi tiga daerah otonom , yaitu Provinsi, Kabupaten
(Kota Besar) dan Desa (Kota Kecil) . Sedangkan Karesidenan meskipun mempunyai DPRD
tidak ditetapkan sebagai daerah otonom. Hal ini berbeda dari undang-undang sebelumnya.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 juga lebih detail dalam mengatur pemerintahan
daerah. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 Undang-Undang nomor 22 Tahun 1948
yang menyatakan bahwa :
b. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari Anggota DPRD
Dengan demikian maka yang memegang kekuasaan tertinggi di daerah adalah DPR
dan DPD. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah menurut UU ini dijalankan berdasar pada hak
otonomi dan hak pembantuan Ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberlakukan
terjadi penggantian UUD RI 1945 terkait perubahan bentuk pemerintahan , yaitu diganti
dengan konstitusi RIS 1949 dan kemudian diubah lagi dengan UUD sementara 1950. Guna
tingkatannya , yaitu tingkat I dan tingkat II. Demikian pula penyebutan lembaga daerahnya
(DPRD dan DPD) jika diikuti dengan tingkatan hal itu berrati mengacu pada tingkat daerah
tersebut , yaitu daerah tingkat I meliputi daerah Provinsi , termasuk daerah Istimewa. Sedang
daerah tingkat II adalah merupakan daerah kabupaten atau kotamadya. Apabila tidak
disebutkan tingkatannya berarti daerah tersebut adalah daerah swatantra atau daerah
istimewa.
Pertama, otonomi yang diberikan bersifat otonomi riil. Artinya, banyak sedikitnya fungsi
atau urusan yang diserahkan kepada daerah otonom didasarkan pada kepentingan dan
berbelit-belit mengingat istilah daerah yang digunakan sebagai suatu istilah teknis yang
berarti satuan organisasi yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Adapun pembagian
daerah menurut Undang-Undang ini adalah Daerah Tingkat I setingkat Provinsi termasuk
Kotapraja Jakarta Raya; Daerah Tingkat II setingkat kabupaten termasuk kotapraja; dan
daerah tingkat III.
Ketiga, hubungan daerah dengan pusat atau hubungan antar daerah diatur sedemikian rupa
sehingga tetap dalam kerangka Negara Kesatuan RI, yakni tidak boleh mengakibatkan
rusaknya hubungan antara Negara dengan daerah atau antara daerah yang satu dengan
lainnya.
Keempat, organisasi pemerintah daerah tetap terdiri atas dua lembaga , yaitu DPRD selaku
lembaga eksekutif , dan DPD. Hal menarik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957 adalah kepala daerah dipilih oleh DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD.
Kelima, kekuasaan , tugas dan wewenang DPRD dalam Undang-Undang ini semakin besar
dan luas.
Namun dengan kembalinya konstitusi RI pada UUD 1945 maka peraturan perundang-
undangan sebelumnya yang mendasarkan pada konstitusi yang lama jelas tidak sesuai lagi.
Penpres ini menentukan bahwa kepala daerah adalah alat pemerintah pusat dan alat
pemerintah daerah. Sebagai alat pemerintah pusat maka kepala daerah bertugas mengurus
daerah; dan menjalankan kewenangan umum lainnya yang terletak dalam bidang urusan
pemerintah pusat. Diatur pula dalam Penpres ini bahwa kepala daerah tidak bertanggung
jawab kepada DPRD , sehingga kepala daerah tidak diberhentikan oleh DPRD. Dengan
demikian maka sistem pemerintahan daerah masih bersifat sentralistis karena semua masih
diatur oleh pemerintah pusat. Hal agak menyimpang adalah bahwa kepala daerah karena
1965.
Beberapa hal baru mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah telah diatur dalam
dan/atau Kota Raya sebagai daerah tingkat I ; daerah Kabupaten dan atau kotamadya sebagai
daerah tingkat II ; dan daerah kecamatan dan/kotapraja sebagai daerah tingkat III. Ketiga
kegiatan daerah tersebut berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
prinsip-prinsip demokrasi dan pembagian kekuasaan , dimana antara DPRD dan kepala
daerah kedudukannya sederajad.
Ketiga, Hampir semua kekuasaan, tugas dan kewajiban DPRD dilimpahkan kepada kepala
daerah.
5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah berjalan dengan dimensi yang
amat berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Secara kontekstual , selama penerapan
otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Sebagai undang-undang produk era baru , yang
pada prinsipnya mengutamakan pembangunan ekonomi. Dimensi perundangan ini tidak bisa
terlepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogy pembangunan, yaitu :
stabilitas yang makin mantap,pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan pemerataan
c. Tidak dilakukannya hak equate (angket) DPRD yang dapat mengganggu keutuhan kepala
daerah.
d. Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD , tetapi secara hierarki kepada
presiden.
kekuasaannya adalah memberikan peran dan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang
kekuasaan eksekutif di daerah (dalam hal ini kepala daerah) . Hal itu ditandai dengan
pemberian sebutan kepala daerah sebagai penguasa tunggal di daerah. Tidak mengherankan
jika kedudukan kepala daerah pada waktu itu sangat sentral dan dominan dalam
kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat (Presiden) untuk mengamankan setiap kebijakan
pemerintah di daerah.[18]
daerah secara nyata tidak terlepas dari kenyataan ketimpangan antar daerah yang telah
3. Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur yang
terpusat
5. Net Negative Transfer yang besar .Salah satu yang mendorong melebarnya kesenjangan
Implikasi dari dominasi kekuasaan lebih berat pada Pemerintah pusat dan
kepemimpinan di daerah yang berorientasi ke atas (pusat) menyebabkan rakyat berada pada
posisi yang lemah (strong state and weak society), di mana nilai-nilai kedaulatan rakyat
mengalami pengikisaan akibat kuatnya kekuasaan pemerintah yang tercermin dalam struktur
Dengan konsep otonomi yang demikian , Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan
sebuah institusi otonom yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil
konsep dekonsentrasi yang lebih menonjol , menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah
manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang terbungkus demokrasi atau sentralisme yang
Banyak hal baru yang diakomodasi oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,
salah satunya adalah pemisahan antara lembaga legislatif dan eksekutif di daerah dalam
bentuk susunan pemerinthan daerah. Sebelumnya kedua lembaga tersebut merupakan satu
kesatuan yang disebut pemerintah daerah. Menyertai pemisahan kedua lembaga tersebut
maka kepada DPRD diberikan tugas, hak dan wewenang yang sangat luas dan bernuansa
parlementarian. Misalnya, hak DPRD untuk meminta pertanggungjawaban kepala daerah atas
suatu kasus. Di samping itu kepada kepala daerah diberi kewajiban untuk menyampaikan
membuka peluang terjadinya penolakan oleh DPRD yang dapat berujung pada upaya
Nomor 22 Tahun 1999, mencakup urusan dalam seluruh bidang Pemerintahan , kecuali
urusan yang telah ditetapkan sebagai urusan negara, yang diselenggarakan oleh pemerintah
c. Bidang Peradilan;
e. Bidang agama;
Kewenangan /urusan yang disebutkan setelah kata kecuali dan kewenangan / urusan
bidang lain , tersebut di atas merupakan kewenangan / urusan negara yang tidak dibagikan
kepada daerah otonom , dan tetap diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, namun
(otonom) tersebut berbeda dengan ketentuan urusan daerah (otonom) menurut undang-
undang sebelumnya , yang disebut nyata dan bertanggungjawab, karena dalam penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa urusan daerah disebut
dengan katagori otonomi daerah secraa utuh pada daerah kabupaten dan daerah kota , dan
otonomi terbatas pada daerah provinsi, tetapi dengan sebutan yang sama yaitu otonomi yang
beberapa daerah. Demikian pula dominasi peran DPRD atas kepala daerah yang mempunyai
tida diterima oleh DPRD menjadikan hubungan antara kepala daerah dengan DPRD di
C.2 Hubungan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah
Hubungan antara pusat dan daerah merupakan sesuatu yang banyak diperbincangkan,
kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan . Terlebih dalam negara
kesatuan, upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan
Alasan menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu alasan
mengesampingkan peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung dan mandiri
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam negara kesatuan (eenheidstaat) menjadi
tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga timbul
gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federal. Dengan perktaan lain,
gagasan negara federal atau negara serikat dapat dipicu oleh sentralisasi pemerintahan yang
dianggap berlebihan (a highly centralized government), di samping terdapat sebab lain seperti
hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang dianggap kurang adil (soal prosentase) yng
merugikan daerah.[25]
Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang
menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan,
a. Hubungan Kewenangan
Kewenangan berasal dari kata dasar wewenang yang dalam bahasa hukum tidak
sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau
hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitannya
(selfregelen) dan mengelola sendiri (self besturen). Sedangkan kewajiban mempunyai dua
pengertian yakni horizontal dan vertikal. Secara horizontal berarti kekuasaan untuk
vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan
Desentralisasi yang dianut dalam konsep negara kesatuan pada akhirnya juga akan
mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah , khususnya yang berkaitan
dengan distribusi kewenangan pengaturan atas urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu,
adanya satuan pemerintahan yang berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain
kesatuan pada asasnya kekuasaan seluruhnya dimiliki oleh pemerintah pusat. Artinya,
daerah otonom, termasuk macam dan luasnya otonomi menurut inisiatifnya sendiri. Daerah
otonom juga turut mengatur dan mengurus hal-hal sentral (medebewind) ,pemerintah pusat
Pendapat lain dikemukakan oleh Clarke dan Stewart , mereka melihat bahwa terdapat
tiga model hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yaitu
model otonomi relatif, model agen, model interaksi. Model relatif, model ini memberikan
kebebasan kepada pemerintah daerah , dan pada saat yang sama tidak mengingkari realitas
pemerintah daerah dalam kerangka kerja kekuasaan dan kewajiban yang telah ditentukan.
Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah oleh karenannya ditentukan oleh
dari penghasilannya melalui pajak langsung. Dalam model otonomi relatif pemerintah daerah
dapat membuat kebijakan yang dibagi dengan pemerintah pusat atau yang berada dari
Model Agensi, ini adalah model pemerintahan daerah yang dilihat terutama sebagai
agen pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini diyakinkan melalui spesifikasi yang
Model Interaksi, dalam model ini sulit ditentukan ruang lingkup kegiatan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah , karena mereka terlibat dalam pola hubungan yang rumit, yang
penyelenggaraan pemerintahan atau cara menetukan urusan rumah tangga daerah. Cara
penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat
digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila: Pertama; urusan-urusan rumah tangga daerah
dan mengurus rumah tangga daerahnya.Ketiga; sistem hubungan keuangan antara pusat dan
daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah
(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan
tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi :
c. keamanan;
d. yustisi ;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama
kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah, membedakan urusan yang bersifat
concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang
tertentu dapat dilakukan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dengan
demikian, setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada provinsi dan
b. Hubungan Pengawasan
adalah suatu bentuk hubungan dengan legal entity yang mandiri, bukan hubungan internal
dari entitas yang sama. Bentuk dan isi pengawasan dilakukan semata-mata menurut atau
yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang . Pengawasan tidak berlaku atau tidak
ditentukan secara spesifik baik lingkup maupun tata cara pelaksanaannya. Karena itu hal-hal
mempengaruhi dan membatasi kemandirian daerah. Makin banyak dan intensif pengawasan
makin sempit kemandirian makin terbatas otonom.
pengawasan. Kebebasan berotonomi dan pengawasan merupakan dua sisi dari satu lembaran
sangat beragam, tergantung sudut pandang mana yang digunakan. Demikian halnya, lembaga
atau institusi yang melakukan pengawasan, maka tidak mustahil akan terjadi tumpang tindih
atau tidak berkaburan dalam peran dan fungsi pengawasan di lapangan. Berikut ini klasifikasi
Ada dua macam pengawasan pada segi ini, yaitu pengawasan internal dan
pengawasan eksternal. Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat
dalam organisasi pemerintah itu sendiri. Contoh : Inspektorat Wilayah Propinsi, Inspektorat
yang sama sekali berada di luar organisasi atau birokrasi pemerintah. Contoh : Pengawasan
aspek politik oleh DPR-DPRD, Pengawasan aspek keuangan oleh BPK, Pengawasan aspek
hukum oleh lembaga Peradilan, Pengawasan aspek sosial oleh Institusi Pers,Organisasi
Dari segi substansi maupun objeknya , pengawasan dapat dilakukan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan secara pribadi oleh
on the spot ditempat pekerjaan terhadap objek yang diawasi. Jenis pengawasan semacam
ini sering disebut pula dengan sidak. Sedang pengawasan tidak langsung diadakan dengan
mempelajari laporan-laporan yang diterima baik lisan maupun tertulis, mempelajari masukan
Objek yang diawasi dalam jenis pengawasan ini adalah pengawasan terhadap semua
urusan pemerintahan (daerah) yang telah menjadi kewenangannya. Misal berdasar UU
menyangkut soal administratifnya, dari segi legalitas hukumnya, maupun dari pertimbangan
kemanfaatannya.
3. Pengawasan dari Segi Waktu
Pengawasan dari segi waktu dapat dibedakan ke dalam pengawasan preventif (kontrol
a-priori) dan pengawasan represif (kontrol a-posteriori). Pengawasan preventif adalah
pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan (masih bersifat rencana) atau sebelum
oleh dua atau lebih perangkat pengawasan terhadap program-program dan kegiatan
pembangunan yang bersifat multi sektoral yang menjadi tanggungjawab semua departemen
c. Hubungan Keuangan
Hubungan keuangan pusat dan daerah dilakukan sejalan dengan prinsip Perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana yang telah digariskan
subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah dan
merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem keuangan negara dan
Hubungan keuangan pusat dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan
pemerintahan daerah sebagai berikut. Sesuai dengan pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2004,
didanai APBD. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam
1. Pajak Daerah
Adalah, iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa
imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-
2. Retribusi Daerah
Adalah, pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disesiakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang
Adalah, pajak yang dikenakan atas bumi dan atau bangunan. Pembagian hasilnya dibagi
dengan imbalan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah. Dibagi dengan rincian
sebagai berikut :
Alokasi untuk kabupaten dan kota sebesar 10% bagian pemerintah pusat di atas dibagi
1. 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota. Pembagian ini
Adalah,dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
Adalah, dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.Misal: Bidang kesehatan,Bidang
Pendidikan,Bidang Infrastruktur.
daerah. Selain itu pemerintahan menjadi tidak efisien karena trelalu banyak koordinasi yang
harus dilakukan. Apalagi diadakan pula urusan pusat dalam lingkungan satuan pemerintahan
Namun pada saat itu dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 penghapusan
tangga daerah. Tetapi tidak berarti setiap Kanwil atau Kandep akan menjadi dinas daerah.
Pada tingkat propinsi,pada dasarnya Kanwil mesti dibubarkan mengingat berbagai urusan
tersebut menjadi urusan kabupaten atau kota, bukan urusan propinsi. Di tingkat kabupaten
atau kota, mungkin dibentuk dinas baru , digabung atau dihapus. Semuanya diukur dari
efisiensi dan produktifitas organisasi agar fungsi pelayanan terhadap masyarakat dapat
dari segi ekonomi (finansal) dan pelayanan publik tapi sebaliknya wabah korupsi yang
merajai hampir sebagian besar pemerintah daerah. Korupsi menjadi sisi gelap dari
daerah dilakukan secara serentak dan bersama-sama yang melibatkan hampir semua elit local
dengan menggerogoti APBD,DAU,DAK. Korupsi telah menghancurkan ekspektasi
masyarakat yang begitu besar terhadap otonomi daerah yang bisa melahirkan berkah bukan
musibah.
Sepanjang pelaksanaan otonomi daerah sampai penghujung tahun 2010 kasus-kasus
korupsi serentak mewarnai perjalanan otonomi daerah . Dalam Tahun 2004-2010 ada
sebanyak 147 kepala daerah tersangkut kasus korupsi , 18 gubernur,17 walikota, 84 Bupati,1
Wakil Gubernur , 19 wakil bupati. Dengan estimasi total kerugian negara mencapai
Rp.4.814.248.597.729.[33] Hal ini membuktikan lemahnya fungsi pengawasan dan etika dari
Demikian juga dengan daerah pemekaran sebagai buah dari otonomi daerah tidak
stagnan dalam menjalankan roda pemerintahan. Tidak ada sesuatu yang berubah pasca
pemekaran. Bahkan ada daerah pemekaran yang telah berusia lebih lima tahun tidak mampu
berdiri sendiri dan masih terus disusui pemerintah pusat lewat APBN.
pelaksanaan pengawasan dari unsur internal maupun eksternal. Selain itu akses terhadap
baku, dikaitkan dengan sistem kerahasiaan dokumen negara. Selain itu, tindak lanjut
pengawasan oleh pemerintah daerah yang belum transparan, termasuk belum terdapatnya ,
melihat permasalahan dan sasaran pengawasan yang ingin dibangun maka diperlukan strategi
penyusunan sistem perencanaan pengawasan yang terintegrasikan antara pengawasan
eksternal dan internal , penegakan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran penyelenggaraan
dibagi menjadi 3 yaitu otonomi formil, otonomi materiil dan otonomi riil.
dijumpai paling kurang tiga bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Pertama , hubungan
pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat dan daerah
menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal.
3. Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang
menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan,
segi ekonomi (finansal) dan pelayanan publik tapi sebaliknya wabah korupsi yang merajai
hampir sebagian besar pemerintah daerah. Korupsi menjadi sisi gelap dari pelaksanaan
otonomi daerah selama beberapa tahun perjalanannya . Hebatnya korupsi di daerah dilakukan
secara serentak dan bersama-sama yang melibatkan hampir semua elit local dengan
begitu besar terhadap otonomi daerah yang bisa melahirkan berkah bukan musibah.
B. Saran
Buku :
1. Jimly Asshidiqie,Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:Mahkamah
Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI,2004
3. Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , Yogyakarta: Pusat Studi hukum
4. J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah suatu solusi dalam menjawab kebutuhan lokal
5. Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah sejak kemerdekaan sampai era
Alumni,2008
Malang:UB Press,2011
Diajukan oleh:
22165007A
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2016