Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia para founding
fathers telah menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara. Cita desentralisasi ini senantiasa menjadi
bagian dalam praktek pemerintahan Negara sejak berlakunya UUD 1945, terus
memasuki era Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada era kembali ke UUD 1945
yang dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Letak geografis Indonesia yang berupa kepulauan sangat berpengaruh terhadap
mekanisme pemerintahan Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa
kepulauan ini, menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada
di daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka
diperlukan adanya berbagai suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara
efisien dan mandiri tetapi tetap dibawah pengawasan dari pemerintah pusat.
Sebagai perwujudan dari cita desentralisasi tersebut, maka langkah-langkah penting
sudah dilakukan oleh pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pemerintahan daerah membuktikan bahwa keinginan untuk
mewujudkan cita-cita ini terus berlanjut. Sekalipun demikian, kenyataan
membuktikan bahwa cita tersebut masih jauh dalam realisasinya. Otonomi daerah
masih lebih sebagai harapan ketimbang sebagai kenyataan yang telah terjadi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah belumlah terwujud sebagaimana
yang diharapkan. Kita nampaknya baru menuju ke arah Otonomi Daerah yang
sebenarnya.
Hal tersebut sangat diperlukan karena mulai munculnya berbagai ancaman terhadap
keutuhan NKRI. Hal itu ditandai dengan banyaknya daerah-daerah yang ingin
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya alam daerah
di Indonesia yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab diperlukannya
suatu sistem pemerintahan untuk memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang
merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan nasional.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa terdapat beberapa daerah yang
pembangunannya memang harus lebih cepat dari pada daerah lain. Karena itulah
pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan pemerintahan di tingkat daerah
yang disebut otonomi daerah untuk mengelola potensi-potensi dan sekaligus
mengembangkannya.
Oleh karena itu, pemakalah berusaha untuk mengkaji lebih dalam tentang Otonomi
Daerah dan pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
B. Rumusan MasalahOleh karena latar belakang tersebut diatas maka penulis dapat menarik

beberapa rumusan masalah diantaranya :

1. Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah serta

problematikanya?
BAB II
PEMBAHASAN
Pembahasan
C.1 Pemerintahan Daerah Dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945

Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pasal 18 UUD 1945

telah diatur pembagian wilayah negara kesatuan RI menjadi daerah provinsi yang kemudian

dibagi lagi menjadi daerah kabupaten/kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur

dengan undang-undang. Ketentuan tersebut merupakan amandemen kedua yang disahkan

pada tanggal 18 Agustus 2000. Sebelum amandemen ketentuan pasal 18 UUD 1945 sangat

simple , yakni berbunyi : Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil

, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang , dengan

memandang dan mengingati dasar permusyawaratn dalam sistem pemerintahan negara, dan

hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.[12]

Ketika MPR melakukan amandemen Pasal 18 UUD 1945 dilakukan pengaturan

secara komprehensif , yakni disamping mengubah redaksi pasal juga dilakukan penambahan

ayat-ayat dan pasal-pasal baru berkaitan dengan pemerintahan daerah . Pasal 18 ditambah

dengan 6 ayat baru sehingga menjadi 7 ayat yang antara lain mengatur masalah otonomi

daerah dan tugas pembantuan , pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang dilakukan

secara demokratis dan langsung oleh rakyat, serta kewenangan pemerintah daerah dalam
membuat peraturan daerah dan peraturan lain dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan

tugas pembantuan. Sedang penambahan pasal baru dilakukan dengan membuat pasal 18 A

yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang

pemerintahan , keuangan , pelayanan umum dan pemanfaatan sumber daya alam. Sedang

penambahan pasal 18 B isinya mengakui adanya satuan pemerintahan daerah yang bersifat

khusus dan istimewa , serta mengakui eksistensi masyarakat hukum adat dengan hak-hak

tradisionalnya.

Kendati penambahan ayat dan pasal baru dalam Amandemen Pasal 18 UUD RI 1945

terkesan lebih teknis , tapi kiranya amandemen tersebut dapat dijadikan pedoman dan dasar
peletakkan bagi reformasi pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan amandemen Pasal
18 UUD RI 1945 maka dilakukan reformasi terhadap sistem pemerintahan daerah di

Indonesia , yakni dengan memberikan keleluasaan yang sangat besar kepada pemerintah

daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri.[13]

C.2 Pemerintahan Daerah Pada Orde Lama

Undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah pada era Orde Lama

diantaranya :

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

Merupakan undang-undang pertama RI yang mengatur sistem Desentralisasi , yang di

dalamnya mengatur tiga jenis daerah di Indonesia , yaitu Karesidenan, Kabupaten dan Kota

yang masing-masing berhak mengatur dan mengurus daerahnya sebagaimana yang

diamanatkan dalam pasal 18 UUD RI 1945 .Namun undang-undang ini hanya diberlakukan

dalam jangka waktu tiga tahun , karena undang-undang ini masih sangat sederhana dan

banyak ahal-hal yang belum diatur secara rinci. Salah satunya banyak DPRD yang

merupakan kelanjutan dari BPRD tidak mengetahui tugas dan wewenangnya sehingga

menggangu kinerja pemerintahan di daerah.

b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948

Membagi daerah di Indonesia menjadi tiga daerah otonom , yaitu Provinsi, Kabupaten

(Kota Besar) dan Desa (Kota Kecil) . Sedangkan Karesidenan meskipun mempunyai DPRD

tidak ditetapkan sebagai daerah otonom. Hal ini berbeda dari undang-undang sebelumnya.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 juga lebih detail dalam mengatur pemerintahan

daerah. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 Undang-Undang nomor 22 Tahun 1948
yang menyatakan bahwa :

a. Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD dan DPD

b. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari Anggota DPRD

c. Kepala Daerah menjabat Ketua dan Anggota DPD

Dengan demikian maka yang memegang kekuasaan tertinggi di daerah adalah DPR
dan DPD. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah menurut UU ini dijalankan berdasar pada hak

otonomi dan hak pembantuan Ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberlakukan
terjadi penggantian UUD RI 1945 terkait perubahan bentuk pemerintahan , yaitu diganti
dengan konstitusi RIS 1949 dan kemudian diubah lagi dengan UUD sementara 1950. Guna

menyelesaikan dengan ketentuan yang baru tersebut maka undang-undang tentang

Pemerintah Daerah pun kemudian diganti kembali.

c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957

Pembagian daerah-daerah oleh undang-undang ini dilakukan dengan menyebut

tingkatannya , yaitu tingkat I dan tingkat II. Demikian pula penyebutan lembaga daerahnya

(DPRD dan DPD) jika diikuti dengan tingkatan hal itu berrati mengacu pada tingkat daerah

tersebut , yaitu daerah tingkat I meliputi daerah Provinsi , termasuk daerah Istimewa. Sedang

daerah tingkat II adalah merupakan daerah kabupaten atau kotamadya. Apabila tidak

disebutkan tingkatannya berarti daerah tersebut adalah daerah swatantra atau daerah

istimewa.

Beberapa karakteristik sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah :[14]

Pertama, otonomi yang diberikan bersifat otonomi riil. Artinya, banyak sedikitnya fungsi

atau urusan yang diserahkan kepada daerah otonom didasarkan pada kepentingan dan

kemampuan daerah bersangkutan.

Kedua, pembagian daerah-daerah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 agak

berbelit-belit mengingat istilah daerah yang digunakan sebagai suatu istilah teknis yang

berarti satuan organisasi yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Adapun pembagian

daerah menurut Undang-Undang ini adalah Daerah Tingkat I setingkat Provinsi termasuk

Kotapraja Jakarta Raya; Daerah Tingkat II setingkat kabupaten termasuk kotapraja; dan
daerah tingkat III.

Ketiga, hubungan daerah dengan pusat atau hubungan antar daerah diatur sedemikian rupa

sehingga tetap dalam kerangka Negara Kesatuan RI, yakni tidak boleh mengakibatkan

rusaknya hubungan antara Negara dengan daerah atau antara daerah yang satu dengan

lainnya.
Keempat, organisasi pemerintah daerah tetap terdiri atas dua lembaga , yaitu DPRD selaku

lembaga eksekutif , dan DPD. Hal menarik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957 adalah kepala daerah dipilih oleh DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD.
Kelima, kekuasaan , tugas dan wewenang DPRD dalam Undang-Undang ini semakin besar

dan luas.

Namun dengan kembalinya konstitusi RI pada UUD 1945 maka peraturan perundang-

undangan sebelumnya yang mendasarkan pada konstitusi yang lama jelas tidak sesuai lagi.

d. Penpres Nomor 6 Tahun 1959

Penpres ini menentukan bahwa kepala daerah adalah alat pemerintah pusat dan alat

pemerintah daerah. Sebagai alat pemerintah pusat maka kepala daerah bertugas mengurus

ketertiban dan keamanan umum di daerah;mengkoordinasikan antara jawatan pemerintah

pusat di daerah dengan pemerintah daerah; melakukan pengawasan jalannya pemerintahan

daerah; dan menjalankan kewenangan umum lainnya yang terletak dalam bidang urusan

pemerintah pusat. Diatur pula dalam Penpres ini bahwa kepala daerah tidak bertanggung

jawab kepada DPRD , sehingga kepala daerah tidak diberhentikan oleh DPRD. Dengan

demikian maka sistem pemerintahan daerah masih bersifat sentralistis karena semua masih

diatur oleh pemerintah pusat. Hal agak menyimpang adalah bahwa kepala daerah karena

jabatannya menjabat sebagai ketua DPRD , namun bukan sebagai Anggota.

Berbagai problematika penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut penpres ini

kemudian dilakukan penyempurnaan dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun

1965.

e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965

Beberapa hal baru mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah telah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, yaitu :[15]


Pertama, pembagian daerah Indonesia dilakukan dalam tiga tingkatan , yaitu daerah Provinsi

dan/atau Kota Raya sebagai daerah tingkat I ; daerah Kabupaten dan atau kotamadya sebagai

daerah tingkat II ; dan daerah kecamatan dan/kotapraja sebagai daerah tingkat III. Ketiga

kegiatan daerah tersebut berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Kedua, Dalam undang-undang ini pimpinan DPRD dalam mempertanggungjawabkan


pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah. Ketentuan demikian jelas bertentangan dengan

prinsip-prinsip demokrasi dan pembagian kekuasaan , dimana antara DPRD dan kepala
daerah kedudukannya sederajad.
Ketiga, Hampir semua kekuasaan, tugas dan kewajiban DPRD dilimpahkan kepada kepala

daerah.

C.3 Pemerintahan Daerah Pada Era Orde Baru Saat ini

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah selama pelaksanaan Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah berjalan dengan dimensi yang

amat berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Secara kontekstual , selama penerapan

undang-undang tersebut, diperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah , yaitu

otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Sebagai undang-undang produk era baru , yang

pada prinsipnya mengutamakan pembangunan ekonomi. Dimensi perundangan ini tidak bisa

terlepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogy pembangunan, yaitu :

stabilitas yang makin mantap,pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan pemerataan

kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya.[16]

Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah

pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah,

yang cirri-cirinya meliputi :[17]

a. Konsentrasi kekuasaan ada di lembaga eksekutif (kepala daerah)

b. Ditutupnya akses parpol dalam pemerintahan daerah, dihapusnya BPH (Badan

Pemerintahan Harian) sebagai perwakilan parpol di dalam pemerintahan daerah (versi UU

No.1 Tahun 1957).

c. Tidak dilakukannya hak equate (angket) DPRD yang dapat mengganggu keutuhan kepala
daerah.

d. Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD , tetapi secara hierarki kepada

presiden.

e. Kepala daerah hanya memberikan keterangan kepada DPRD tentag pelaksanaan

pemerintahan dan pembangunan 1 (satu) tahun sekali.


Upaya lain yang dilakukan Pemerintah Orde Baru untuk memperkuat posisi

kekuasaannya adalah memberikan peran dan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang
kekuasaan eksekutif di daerah (dalam hal ini kepala daerah) . Hal itu ditandai dengan
pemberian sebutan kepala daerah sebagai penguasa tunggal di daerah. Tidak mengherankan

jika kedudukan kepala daerah pada waktu itu sangat sentral dan dominan dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kepala daerah merupakan boneka atau

kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat (Presiden) untuk mengamankan setiap kebijakan

pemerintah di daerah.[18]

Selama pelaksanaan undang-undang tersebut , berkembangnya tuntutan otonomi

daerah secara nyata tidak terlepas dari kenyataan ketimpangan antar daerah yang telah

berlangsung lama , setidaknya terdapat lima kesenjangan yang kronis :[19]

1. Kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar

2. Kesenjangan investasi daerah yang besar

3. Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur yang

terpusat

4. Pendapatan daerah dikuasai pusat

5. Net Negative Transfer yang besar .Salah satu yang mendorong melebarnya kesenjangan

regional adanya ketimpangan alokasi kredit.

Implikasi dari dominasi kekuasaan lebih berat pada Pemerintah pusat dan

kepemimpinan di daerah yang berorientasi ke atas (pusat) menyebabkan rakyat berada pada

posisi yang lemah (strong state and weak society), di mana nilai-nilai kedaulatan rakyat

mengalami pengikisaan akibat kuatnya kekuasaan pemerintah yang tercermin dalam struktur

kekuasaan dan garis kepemimpinan sampai ke daerah .

Dengan konsep otonomi yang demikian , Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan
sebuah institusi otonom yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil

Pemerintah Pusat di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan

konsep dekonsentrasi yang lebih menonjol , menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah

manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang terbungkus demokrasi atau sentralisme yang

dikemas dengan dekonsentrasi.[20]


b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
KONSEP DASAR UU NOMOR 22 TAHUN 1999[21]
1. Membesarnya kewenangan dan tanggungjawab daerah otonom
2. Keleluasan daerah untuk mengatur/mengurus kewenangan semua
bidang pemerintahan kecuali enam kewenangan
3. Kewenangan yang utuh dalam
perencanaan,pelaksanaan,pengawasan,dan pengendalian
4. Pemberdayaan masyarakat,tumbuhnya prakarsa,inisiatif,meningkatnya
peran masyarakat dan legislatif

Banyak hal baru yang diakomodasi oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,

salah satunya adalah pemisahan antara lembaga legislatif dan eksekutif di daerah dalam

bentuk susunan pemerinthan daerah. Sebelumnya kedua lembaga tersebut merupakan satu

kesatuan yang disebut pemerintah daerah. Menyertai pemisahan kedua lembaga tersebut

maka kepada DPRD diberikan tugas, hak dan wewenang yang sangat luas dan bernuansa

parlementarian. Misalnya, hak DPRD untuk meminta pertanggungjawaban kepala daerah atas

suatu kasus. Di samping itu kepada kepala daerah diberi kewajiban untuk menyampaikan

pertanggungjawaban kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran. Ketentuan tersebut

membuka peluang terjadinya penolakan oleh DPRD yang dapat berujung pada upaya

pemberhentian (empeachtment) terhadap kepala daerah.[22]

Mengenai kewenangan daerah otonom menurut pasal 7 ayat 1 dan 2 Bab IV UU

Nomor 22 Tahun 1999, mencakup urusan dalam seluruh bidang Pemerintahan , kecuali

urusan yang telah ditetapkan sebagai urusan negara, yang diselenggarakan oleh pemerintah

pusat, yaitu urusan :

a. Bidang politik luar negeri;

b. Bidang pertahanan keamanan;

c. Bidang Peradilan;

d. Bidang moneter dan fiskal;

e. Bidang agama;

f. Kewenangan (urusan) bidang lain.

Kewenangan /urusan yang disebutkan setelah kata kecuali dan kewenangan / urusan
bidang lain , tersebut di atas merupakan kewenangan / urusan negara yang tidak dibagikan
kepada daerah otonom , dan tetap diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, namun

pelaksanaannya bisa dilimpahkan kepada Gubernur Provinsi , yang merupakan wakil

Pemerintah Pusat di wilayah Administrasi Provinsi. Ketentuan tentang urusan daerah

(otonom) tersebut berbeda dengan ketentuan urusan daerah (otonom) menurut undang-

undang sebelumnya , yang disebut nyata dan bertanggungjawab, karena dalam penjelasan

umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa urusan daerah disebut

dengan katagori otonomi daerah secraa utuh pada daerah kabupaten dan daerah kota , dan

otonomi terbatas pada daerah provinsi, tetapi dengan sebutan yang sama yaitu otonomi yang

luas,nyata, dan bertanggungjawab.

c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Ternyata Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,menimbulkan dampak negatif,yakni

munculnya arogansi beberapa dearah , sehingga terkesan terjdi pembangkangan di

beberapa daerah. Demikian pula dominasi peran DPRD atas kepala daerah yang mempunyai

kewenangan memberhentikan kepala daerah dengan alasan pertanggungjawaban tahunannya

tida diterima oleh DPRD menjadikan hubungan antara kepala daerah dengan DPRD di

beberapa daerah menjadi tidak harmonis.

Berikut perbedaan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 :[23]


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
DPRD Berkedudukan sejajar dan menjadi DPRD berkedudukan sebagai unsur
mitra Pemerintah Daerah penyelenggara pemerintahan daerah
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Pemerintahan Daerah terdiri dari
Daerah Provinsi,Kepala Daerah Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD
Kabupaten,Kepala Daerah Kota dan perangkat Provinsi, Pemerintahan Kab/Kota terdiri dari
daerah lainnya Pemerintah dan DPRD Kab/Kota
Desentralisasi merupakan titik berat Desentralisasi dilaksanakan bersamaan
otonomi daerah dengan tugas pembantuan
Otonomi luas,nyata dan bertanggungjawab Otonomi luas,nyata dan bertanggungjawab
Titik berat adalah daerah kabupaten/kota Titik berat otonomi pada kabupaten/kota
Substansinya telah mengatur tentang Mengatur Pemerintahan Desa (ada
pemerintahan daerah/desa pengakuan tentang otonomi desa)
DPRD berkedudukan sebagai Lembaga DPRD berkedudukan sebagai unsur
Legislatif Daerah penyelenggara pemerintahan daerah, dan mitra
Pemilihan kepala daerah melalui pemerintah daerah
perwakilan (DPRD). Pemilihan Kepala Daerah Langsung oleh
rakyat.

PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 DENGAN


UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004[24]

NO. DIMENSI UU NO. 22 TAHUN 1999 UU NO. 32 TAHUN 2004


PERBANDINGAN
1 Dasar Filosofis Keanekaragaman dalam kesatuan Keanekaragaman dalam
kesatuan
2 Pembagian satuan Pendekatan besaran dan isi Pendekatan besaran dan isi
pemerintahan otonomi (size and content otonomi (size and content
approach), ada daerah besar dan approach), dengan
daerah kecil yang masing-masing menekankan pada
mandiri, ada daerah dengan pembagian urusan yang
otonomi terbatas dan ada yang berkeseimbangan
otonominya luas berdasarkan asas
eksternalitas,akuntabilitas,ef
isiensi.
3 Fungsi utama Pemberi pelayanan masyarakat Pemberi pelayanan
pemerintahan daerah masyarakat
4 Penggunaan asas Desentralisasi terbatas pada Desentralisasi diatur
penyelenggaraan daerah provinsi, dan luas pada berkeseimbangan antara
pemerintahan daerah daerah daerah
kabupaten/kota;Dekonsentrasi provinsi,kabupaten/kota;
terbatas pada kabupaten/kota dan Dekonsentrasi terbatas pada
luas pada provinsi;Tugas kabupaten/kota dan luas
pembantuan yang berimbang pada provinsi; Tugas
pada semua tingkatan pembantuan yang
pemerintahan berimbang pada semua
tingkatan pemerintahan.
5 Pola otonomi A-simetris A-simetris
6 Model organisasi Local Democratic Model Perpaduan antara Local
pemerintahan daerah Democratic Model dengan
Structural Efficiency Model
7 Unsur pemerintah Kepala daerah dan Perangkat Kepala daerah dan
daerah daerah Perangkat daerah
8 Mekanisme transfer Pengaturan dilakukan dengan Tidak menggunakan
kewenangan pengakuan kewenangan ,isi pendekatan kewenangan
kewenangan pemerintah pusat melainkan pendekatan
dan provinsi sebagai daerah urusan yang didalamnya
otonom terbatas , sedang isi terkandung adanya aktivitas
kewenangan daerah , hak, wewenang, kewajiban
kabupaten/kota luas (General dan tanggung jawab.(
Competence Principle) General Competence
Principle)
9 Unsur pemda yang Badan Legislatif Daerah Menggunakan prinsip check
memegang peranan (Legislative Heavy) and balances antara pemda
dominan dengan DPRD
10 Pola pemberian Uang mengikuti fungsi (money Uang mengikuti fungsi
dana/anggaran follow function) (money follow function)
11 Sistem kepegawaian Sistem terpisah (separated Mixed system, dengan
system) memadukan antara
integrated system dengan
separated system
12 Sistem pertanggung Ke samping kepada DPRD Kepada konstituen :
jawaban pemerintahan Pusat Laporan
DPRD Keterangan
Rakyat Informasi
13 Sistem pengelolaan Dikelola secara terpisah untuk Dikelola secara terpisah
keuangan antar asas masing-masing asas untuk masing-masing asas
pemerintahan
14 Kedudukan kecamatan Sebagai lingkungan kerja Sebagai lingkungan kerja
perangkat daerah perangkat daerah
15 Kedudukan Camat Sebagai perangkat daerah Sebagai perangkat daerah
16 Kedudukan desa Relatif mandiri Relatif mandiri
17 Pertanggungjawaban Kepada rakyat melalui BPD Tidak diatur secara khusus
kepala desa dalam UU, diatur dalam
perda berdasarkan PP

C.2 Hubungan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah

Hubungan antara pusat dan daerah merupakan sesuatu yang banyak diperbincangkan,

karena masalah tersebut dalam prakteknya sering menimbulkan upaya tarik-menarik

kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan . Terlebih dalam negara

kesatuan, upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan

pemerintahan sangat jelas sekali.

Alasan menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu alasan

pemerintah pusat untuk senantiasa mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan

mengesampingkan peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung dan mandiri

dalam rangka mengelola serta memperjuangkan kepentingan daerahnya.

Dominasi pemerintah pusat atas urusan-urusan pemerintahan telah mengakibatkan

hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam negara kesatuan (eenheidstaat) menjadi
tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga timbul
gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federal. Dengan perktaan lain,

gagasan negara federal atau negara serikat dapat dipicu oleh sentralisasi pemerintahan yang

dianggap berlebihan (a highly centralized government), di samping terdapat sebab lain seperti

hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang dianggap kurang adil (soal prosentase) yng

merugikan daerah.[25]

Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang

menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan,

hubungan keuangan,hubungan pengawasan,dan hubungan yang timbul dari susunan

organisasi pemerintahan di daerah.

a. Hubungan Kewenangan

Kewenangan berasal dari kata dasar wewenang yang dalam bahasa hukum tidak

sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau

tidak berbuat.Atau kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan kehendak. Dalam

hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitannya

dengan otonomi daerah,hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri

(selfregelen) dan mengelola sendiri (self besturen). Sedangkan kewajiban mempunyai dua

pengertian yakni horizontal dan vertikal. Secara horizontal berarti kekuasaan untuk

menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Dan wewenang dalam pengertian

vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan

pemerintah negara secara keseluruhan.[26]

Desentralisasi yang dianut dalam konsep negara kesatuan pada akhirnya juga akan
mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah , khususnya yang berkaitan

dengan distribusi kewenangan pengaturan atas urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu,

adanya satuan pemerintahan yang berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain

adalah untuk mencegah dominasi kewenangan pemerintah yang lebih tinggi.[27]

Dalam negara kesatuan , semua kekuasaan pemerintahan ada di tangan pemerintah


pusat. Pemerintah pusat dapat mendelegasikan kekuasaannya kepada unit-unit konstituen

tetapi apa yang didelegasikan itu mungkin juga ditarik kembali.


Sejalan dengan pendapat tersebut, wolhof juga menyatakan bahwa dalam negara

kesatuan pada asasnya kekuasaan seluruhnya dimiliki oleh pemerintah pusat. Artinya,

peraturan-peraturan pemerintah pusatlah yang menentukan bentuk dan susunan pemerintahan

daerah otonom, termasuk macam dan luasnya otonomi menurut inisiatifnya sendiri. Daerah

otonom juga turut mengatur dan mengurus hal-hal sentral (medebewind) ,pemerintah pusat

tetap mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-daerah otonom tersebut.

Pendapat lain dikemukakan oleh Clarke dan Stewart , mereka melihat bahwa terdapat

tiga model hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yaitu

model otonomi relatif, model agen, model interaksi. Model relatif, model ini memberikan

kebebasan kepada pemerintah daerah , dan pada saat yang sama tidak mengingkari realitas

negara bangsa. Penekanannya adalah dengan memberikan kebebasan bertindak pada

pemerintah daerah dalam kerangka kerja kekuasaan dan kewajiban yang telah ditentukan.

Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah oleh karenannya ditentukan oleh

perundang-undangan.Pengawasan dibatasi. Pemerintah daerah meningkatkan kebanyakan

dari penghasilannya melalui pajak langsung. Dalam model otonomi relatif pemerintah daerah

dapat membuat kebijakan yang dibagi dengan pemerintah pusat atau yang berada dari

kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Model Agensi, ini adalah model pemerintahan daerah yang dilihat terutama sebagai

agen pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini diyakinkan melalui spesifikasi yang

terperinci dalam peraturan,perkembangan peraturan dan pengawasan.

Model Interaksi, dalam model ini sulit ditentukan ruang lingkup kegiatan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah , karena mereka terlibat dalam pola hubungan yang rumit, yang

penekanannya ada pada pengaruh yang menguntungkan saja.

Hubungan kewenangan, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan

penyelenggaraan pemerintahan atau cara menetukan urusan rumah tangga daerah. Cara

penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat
digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila: Pertama; urusan-urusan rumah tangga daerah

ditentukan secara katagoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu


pula. Kedua; apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa , sehingga
daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur

dan mengurus rumah tangga daerahnya.Ketiga; sistem hubungan keuangan antara pusat dan

daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah

yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.[28]

Berikut kewenangan/urusan daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah :

Pasal 7 ayat (1) :

(1) Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,

kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,pertahanan

keamanan,peradilan,moneter dan fiskal,agama, serta kewenangan bidang lain.

(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan

tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana

perimbangan keuangan,sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara,

pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta

teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.

Sedangkan kewenangan/urusandaerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah :

Pasal 10 ayat (1) :

(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi


kewenangannya, kecuali urusn pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan

menjadi urusan Pemerintah.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi :

a. politik luar negeri ;


b. pertahanan;

c. keamanan;
d. yustisi ;
e. moneter dan fiskal nasional; dan

f. agama

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam melakukan pendistribusian

kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah, membedakan urusan yang bersifat

concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang

tertentu dapat dilakukan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dengan

demikian, setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi

kewenangan pemerintah pusat dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada provinsi dan

juga ada urusan pemerintahan yang diserahkan kepada kabupaten/kota.

b. Hubungan Pengawasan

Pengertian pengawasan oleh Bagir Manan yaitu Pengawasan (toezicht,supervision)

adalah suatu bentuk hubungan dengan legal entity yang mandiri, bukan hubungan internal

dari entitas yang sama. Bentuk dan isi pengawasan dilakukan semata-mata menurut atau

berdasarkan ketentuan undang-undang. Hubungan pengawasan hanya dilakukan terhadap hal

yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang . Pengawasan tidak berlaku atau tidak

diterapkan terhadap hal yang tidak ditentukan atau berdasarkan undang-undang.[29]

Sistem pengawasan juga menentukan kemandirian satuan otonomi. Untuk

menghindari agar pengawasan tidak melemahkan otonomi, maka sistem pengawasan

ditentukan secara spesifik baik lingkup maupun tata cara pelaksanaannya. Karena itu hal-hal

seperti memberlakukan prinsip pengawasan umum pada satuan otonomi dapat

mempengaruhi dan membatasi kemandirian daerah. Makin banyak dan intensif pengawasan
makin sempit kemandirian makin terbatas otonom.

Sebaliknya,tidak boleh ada sistem otonomi yang sama sekali meniadakan

pengawasan. Kebebasan berotonomi dan pengawasan merupakan dua sisi dari satu lembaran

dalam berotonomi untuk menjaga keseimbangan bandul antara kecenderungan desentralisasi

dan sentralisasi yang dapat berayun berlebihan.[30]


Macam atau jenis pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sungguh

sangat beragam, tergantung sudut pandang mana yang digunakan. Demikian halnya, lembaga
atau institusi yang melakukan pengawasan, maka tidak mustahil akan terjadi tumpang tindih
atau tidak berkaburan dalam peran dan fungsi pengawasan di lapangan. Berikut ini klasifikasi

macam ruang lingkup pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah :

1. Pengawasan dari segi Institusi (Lembaga)

Ada dua macam pengawasan pada segi ini, yaitu pengawasan internal dan

pengawasan eksternal. Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat

dalam organisasi pemerintah itu sendiri. Contoh : Inspektorat Wilayah Propinsi, Inspektorat

Wilayah Kabupaten, Inspektorat Wilayah Kota.

Pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawas

yang sama sekali berada di luar organisasi atau birokrasi pemerintah. Contoh : Pengawasan

aspek politik oleh DPR-DPRD, Pengawasan aspek keuangan oleh BPK, Pengawasan aspek

hukum oleh lembaga Peradilan, Pengawasan aspek sosial oleh Institusi Pers,Organisasi

kemasyarakatan,LSM dll, Pengawasan aspek etik oleh Komisi Ombudsman Nasional.

2. Pengawasan dari segi substansi atau objek yang diawasi

Dari segi substansi maupun objeknya , pengawasan dapat dilakukan baik secara

langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan secara pribadi oleh

pemimpin atau pengawas dengan mengamati,meneliti,memeriksa,mengecek sendiri secara

on the spot ditempat pekerjaan terhadap objek yang diawasi. Jenis pengawasan semacam

ini sering disebut pula dengan sidak. Sedang pengawasan tidak langsung diadakan dengan

mempelajari laporan-laporan yang diterima baik lisan maupun tertulis, mempelajari masukan

masyarakat dan sebagainya tanpa terjun langsung di lapang.

Objek yang diawasi dalam jenis pengawasan ini adalah pengawasan terhadap semua
urusan pemerintahan (daerah) yang telah menjadi kewenangannya. Misal berdasar UU

Nomor 32 Tahun 2004 adalah pengawasan pada bidang lingkungan

hidup,pariwisata,pendidikan,kesehatan,pemerintahan dsb. Sifat pengawasannya bisa

menyangkut soal administratifnya, dari segi legalitas hukumnya, maupun dari pertimbangan

kemanfaatannya.
3. Pengawasan dari Segi Waktu

Pengawasan dari segi waktu dapat dibedakan ke dalam pengawasan preventif (kontrol
a-priori) dan pengawasan represif (kontrol a-posteriori). Pengawasan preventif adalah
pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan (masih bersifat rencana) atau sebelum

dikeluarkannya kebijakan pemerintah (baik berupa peraturan maupun ketetapan).

Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan

dilaksanakan atau setelah peraturan atau ketetapan pemerintah dikeluarkan.

4. Pengawasan Lintas Sektoral

Pengawasan Lintas sektoral adalah pengawasan yang dilakukan secara bersama-sama

oleh dua atau lebih perangkat pengawasan terhadap program-program dan kegiatan

pembangunan yang bersifat multi sektoral yang menjadi tanggungjawab semua departemen

atau lembaga yang terlibat dalam program atau kegiatan tersebut.

c. Hubungan Keuangan

Hubungan keuangan pusat dan daerah dilakukan sejalan dengan prinsip Perimbangan

keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana yang telah digariskan

dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.

Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah merupakan

subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah dan

pemerintah daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah

merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem keuangan negara dan

dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan pemerintahan yang

diserahkan, dilimpahkan,dan ditugasbantukan kepada daerah.[31]

Hubungan keuangan pusat dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan

dengan memberikan kebebasan kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan


pemerintahan. UU Nomor 33 Tahun 2004 telah menetapkan dasar-dasar pendanaan

pemerintahan daerah sebagai berikut. Sesuai dengan pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2004,

penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi

didanai APBD. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam

rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai APBN.


Berikut beberapa hal yang diatur dalam Perimbangan keuangan pusat dan daerah :

1. Pajak Daerah
Adalah, iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa

imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku,yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan

daerah dan pembangunan daerah.

2. Retribusi Daerah

Adalah, pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang

khusus disesiakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang

pribadi atau badan.

3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Adalah, pajak yang dikenakan atas bumi dan atau bangunan. Pembagian hasilnya dibagi

dengan imbalan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah. Dibagi dengan rincian

sebagai berikut :

1. 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan

2. 64,8% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan

3. 9% untuk biaya pemungutan

Selanjutnya 10% penerimaan PBB sebagai bagian pemerintah pusat.

Alokasi untuk kabupaten dan kota sebesar 10% bagian pemerintah pusat di atas dibagi

dengan rincian sebagai berikut.

1. 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota. Pembagian ini

dimaksudkan dalam rangka pemerataan kemampuan keuangan antar daerah.

2. 3,5% dibagikan secara intensif kepada kabupaten/kota


4. Dana Alokasi Umum (DAU)

Adalah,dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan

pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam

rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dialokasikan untuk provinsi,kabupaten/kota. Misal:

Pendidikan,Kesehatan,Irigasi,Jalan dan prasarana umum,Pertanian,Kelautan dll.


5. Dana Alokasi Khusus

Adalah, dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.Misal: Bidang kesehatan,Bidang

Pendidikan,Bidang Infrastruktur.

d. Hubungan Pusat dan Daerah Serta Susunan Organisasi Pemerintahan di Daerah

Banyaknya kantor-kantor pusat di daerah sangat mempengaruhi kemandirian

otonomi. Pembentukan kantor pusat di daerah (Kanwil/Kandep) berkembang pesat selama

UU Nomor 5 Tahun 1974 berlaku. Kantor-kantor ini menimbulkan dualism pemerintahan di

daerah. Selain itu pemerintahan menjadi tidak efisien karena trelalu banyak koordinasi yang

harus dilakukan. Apalagi diadakan pula urusan pusat dalam lingkungan satuan pemerintahan

otonomi,seperti direktorat sosial politik di propinsi,kabupaten,dan kota. Kepala daerah

merangkap sebagai kepala wilayah. Untuk lebih menjamin kemandirian daerah,kantor-kantor

pusat di daerah dapat di serahkan pelaksanaannya kepada satuan pemerintahan otonomi

melalui tugas pembantuan.[32]

Namun pada saat itu dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 penghapusan

Kanwil/Kandep merupakan suatu kemestian,karena semua fungsinya menjadi urusan rumah

tangga daerah. Tetapi tidak berarti setiap Kanwil atau Kandep akan menjadi dinas daerah.

Pada tingkat propinsi,pada dasarnya Kanwil mesti dibubarkan mengingat berbagai urusan

tersebut menjadi urusan kabupaten atau kota, bukan urusan propinsi. Di tingkat kabupaten

atau kota, mungkin dibentuk dinas baru , digabung atau dihapus. Semuanya diukur dari

efisiensi dan produktifitas organisasi agar fungsi pelayanan terhadap masyarakat dapat

terlaksana dengan baik.

C.3 Problematika Hubungan Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah


Pelaksanaan otonomi daerah bukannya meningkatkannya kesejahteraan masyarakat

dari segi ekonomi (finansal) dan pelayanan publik tapi sebaliknya wabah korupsi yang

merajai hampir sebagian besar pemerintah daerah. Korupsi menjadi sisi gelap dari

pelaksanaan otonomi daerah selama beberapa tahun perjalanannya . Hebatnya korupsi di

daerah dilakukan secara serentak dan bersama-sama yang melibatkan hampir semua elit local
dengan menggerogoti APBD,DAU,DAK. Korupsi telah menghancurkan ekspektasi

masyarakat yang begitu besar terhadap otonomi daerah yang bisa melahirkan berkah bukan
musibah.
Sepanjang pelaksanaan otonomi daerah sampai penghujung tahun 2010 kasus-kasus

korupsi serentak mewarnai perjalanan otonomi daerah . Dalam Tahun 2004-2010 ada

sebanyak 147 kepala daerah tersangkut kasus korupsi , 18 gubernur,17 walikota, 84 Bupati,1

Wakil Gubernur , 19 wakil bupati. Dengan estimasi total kerugian negara mencapai

Rp.4.814.248.597.729.[33] Hal ini membuktikan lemahnya fungsi pengawasan dan etika dari

para elit di daerah.

Demikian juga dengan daerah pemekaran sebagai buah dari otonomi daerah tidak

mampu mensejahterakan masyarakat. Hampir semua daerah pemekaran boleh dikatakan

stagnan dalam menjalankan roda pemerintahan. Tidak ada sesuatu yang berubah pasca

pemekaran. Bahkan ada daerah pemekaran yang telah berusia lebih lima tahun tidak mampu

berdiri sendiri dan masih terus disusui pemerintah pusat lewat APBN.

Ironinya kondisi pengawasan daerah saat ini masih adanya tumpang-tindih

pelaksanaan pengawasan dari unsur internal maupun eksternal. Selain itu akses terhadap

pengawasan sosial terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah , belum memiliki prosedur

baku, dikaitkan dengan sistem kerahasiaan dokumen negara. Selain itu, tindak lanjut

pengawasan oleh pemerintah daerah yang belum transparan, termasuk belum terdapatnya ,

pengaturan terhadap pemberian sanksi kepada pemerintahan daerah melakukan kesalahan

terhadap masyarakat dalam melakukan pelayanan publik.

Apalagi sistem koordinasi pengawasan antara aparatur , pengawasan,belum

sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan pengawasan yang dikehendaki masyarakat. Dengan

melihat permasalahan dan sasaran pengawasan yang ingin dibangun maka diperlukan strategi
penyusunan sistem perencanaan pengawasan yang terintegrasikan antara pengawasan

eksternal dan internal , penegakan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran penyelenggaraan

pemerintahan, penyusunan regulasi pengawasan instansi pemerintahan daerah ,penyusunan

regulasi tentang memperoleh informasi pemerintahan oleh publik.


BAB III
PENUTUP
D. KESIMPULAN
1. Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat kita lihat dalam 3 proses menurut

bagir manan disebut dengan proses bukan sebagai asas diantaranya

sentralisasi,desentralisasi,tugas pembantuan, kaitannya dengan otonomi dalam kepustakaan

dibagi menjadi 3 yaitu otonomi formil, otonomi materiil dan otonomi riil.

2. Dari bentuk-bentuk utama pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan, akan

dijumpai paling kurang tiga bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Pertama , hubungan

pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat dan daerah

menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal.

3. Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang

menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan,

hubungan keuangan,hubungan pengawasan,dan hubungan yang timbul dari susunan

organisasi pemerintahan di daerah.

4. Pelaksanaan otonomi daerah bukannya meningkatkannya kesejahteraan masyarakat dari

segi ekonomi (finansal) dan pelayanan publik tapi sebaliknya wabah korupsi yang merajai

hampir sebagian besar pemerintah daerah. Korupsi menjadi sisi gelap dari pelaksanaan

otonomi daerah selama beberapa tahun perjalanannya . Hebatnya korupsi di daerah dilakukan
secara serentak dan bersama-sama yang melibatkan hampir semua elit local dengan

menggerogoti APBD,DAU,DAK. Korupsi telah menghancurkan ekspektasi masyarakat yang

begitu besar terhadap otonomi daerah yang bisa melahirkan berkah bukan musibah.
B. Saran

Analisis Langkah-Langkah Yang Harus Diambil Pemerintah Dalam Mengontrol


Otonomi Daerah:

1. Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi aspirasi untuk otonomi di


tingkat propinsi dan sejalan dengan strategi desentralisasi secara bertahap.

2. Menyusun sebuah rencana implementasi desentralisasi dengan


memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut penjaminan kesinambungan
pelayanan pada masyarakat,perlakuan perimbangan antara daerah-daerah,dan
menjamin kebijakan fiskal yang berkelanjutan.

3. Untuk mempertahankan momentum desentralisasi,pemerintah pusat perlu


menjalankan segera langkah desentralisasi,akan tetapi terbatas pada sektor-
sektor yang jelas merupakan kewenangan Kabupaten dan Kota dan dapat segera
diserahkan.

4. Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-mata tugas dan


tanggung jawab dari menteri negara otonomi atau menteri dalam negeri,akan
tetapi menuntut koordinasi dan kerjasama dari seluruh bidang dalam kabinet
(Ekuin,Kesra & Taskin, dan Polkam).
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
1. Jimly Asshidiqie,Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:Mahkamah

Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI,2004

2. Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan

Antara Pusat dan Daerah ,Yogyakarta:UII Press,2006

3. Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , Yogyakarta: Pusat Studi hukum

Fakultas Hukum UII,2004

4. J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah suatu solusi dalam menjawab kebutuhan lokal

dan tantangan global, Jakarta:Rineka Cipta,2007

5. Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah sejak kemerdekaan sampai era

reformasi, Laksbang Mediatama,2008

6. I Gde Pantja Astawa,Problematika Hukum Otonomi Daerah Di Indonesia, Bandung: PT

Alumni,2008

7. Jazim Hamidi,Mustafa Lutfi, Dekonstruksi Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah,

Malang:UB Press,2011

8. Ahmad Yani,Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah di Indonesia,

Jakarta:Raja Grafindo Persada,2008


MAKALAH OTONOMI DAERAH DAN

HUBUNGANNYA DENGAN APBN

Diajukan oleh:

AYU LIFIA NUR KARTIKASARI

22165007A

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2016

Anda mungkin juga menyukai