Anda di halaman 1dari 37

BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. H

Usia : 80 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pensiunan

Agama : Islam

Alamat : Petamburan, Tanah Abang Jakarta Pusat

Status : Menikah

ANAMNESIS

Autoanamnesis dan Alloanamnesis dilakukan pada tanggal 23 April 2012


pukul 10:15 WIB

Keluhan Utama: Nyeri pada mata kanan sejak 4 hari SMRS

Keluhan Tambahan: Mata kanan tidak dapat melihat, merah dan berair serta nyeri
kepala sebelah kanan berdenyut

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poliklinik Mata RSAL Mintoharjo dengan keluhan nyeri


pada mata kanan sejak 4 hari SMRS. Nyeri timbul secara mendadak dan sifatnya
berdenyut dirasakan sangat berat sampai-sampai pasien merasa matanya mau keluar.
Nyeri bertambah berat apabila pasien sujud saat sholat. Nyeri pada mata juga

1
dirasakan menjalar ke kepala pada sisi yang sama. Selain itu, pasien juga mengeluh
matanya selalu berair dan merah akan tetapi tidak disertai rasa gatal dan belekan.
Mual, muntah, dan riwayat trauma disangkal oleh pasien . riwayat demam dan alergi
obat juga disangkal oleh pasien, Akan tetapi penglihatan pasien untuk mata kanan
sudah tidak dapat melihat sejak satu tahun SMRS. Sejak nyeri pada mata kanan
timbul, pasien belum berobat dan meminum obat apapun.

Dua tahun SMRS, pasien mulai merasa penglihatanya mulai kabur, dan sering
melihat seperti kabut kedua mata tersebut. Akan tetapi mata sebelah kanan dirasakan
lebih kabur dari pada sebelah kiri. Akan tetapi pasien merasa tidak terlalu
mengganggu aktivitasnya, sehingga pasie apapun tidak datang berobat ke dokter.

Satu tahun SMRS, pasien merasa penglihatanya semakin kabur dan mulai
mengganggu aktivitas sehari-hari bahkan untuk mata sebelah kanan pasien merasa
tidak dapat melihat apapun. Oleh sebab itu, pasien datang berobat ke dokter spesialis
mata di daerah cengkareng. Pada saat datang berobat, pasien diberitahu bahwa
menderita katarak pada kedua matanya. Saat itu pasien langsung disarankan oleh
dokter untuk melakukan operasi untuk mata sebelah kiri, karena mata sebelah kanan
sudah tidak dapat diperbaiki makan tidak perlu dilakukan operasi paa mata sebelah
kanan. Akan tetapi pasien tidak langsung menyetujui operasi tersebut. Setelah dua
kali datang berobat, akhirnya pasien menyutujui untuk dilakukan operasi pada mata
sebelah kiri. Setelah operasi pasien merasa penglihatanya membaik, dan tidak pernah
mengalami masalah dengan mata kirinya, hanya saja mata kananya yang tidak
mengalami perbaikan sedikitpun.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat menggunakan kacamata disangkal


- Riwayat darah tinggi disangkal
- Riwayat kencing manis disangkal
- Riwayat trauma disangkal
- Riwayat penggunaan obat-obatan disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga

2
Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.

Riwayat Kebiasaan

Pasien sehari-hari bekerja sebagai pensiunan di rumah. Tidak merokok, tidak


pernah minum minuman keras, tidak pernah minum obat-obat tertentu dalam jangka
waktu lama.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang, gizi kurang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital : Tekanan darah: 130/90 mmHg suhu: Afebris

Nadi: 80x/menit pernapasan: 18x/menit

Kepala : Normocephali

Mata : Lihat status oftalmologi

Telinga : Normotia, sekret -/-, serumen -/-

Hidung : Septum deviasi (-), sekret -/-, konka hiperemis -/-

Mulut : lidah kotor (-),tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis (-)

Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar

Thoraks : Paru: Suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-

Jantung: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Datar, supel, nyeri tekan (-), Bising Usus (+) normal

3
Ekstremitas : Simetris, oedem (-)

Status Oftalmologi

OD (mata kanan) OS (mata kiri)


0 Visus 0.5 F S -0.75 C -0.50x180
0.6 tph 0.7F add +3.00
Kedudukan bola mata
Ortoforia
Bola mata bergerak ke Pergerakan bola mata Bola mata bergerak ke
segala arah segala arah
Pseudoptosis (+), oedem Palpebra Ptosis (-), lagoftalmus (-),
(+), blefaritis (+), blefaritis (-), hordeolum (-),
lagoftalmus (-), hordeolum kalazion (-), ektropion (-),
(-), kalazion (-), ektropion entropion (-), oedem (+),
(-), entropion (-),trikiasis (-), trikiasis (-), hematoma (-)
hematoma (-)
Injeksi (+), pterigium (+), Konjungtiva Injeksi (+), kemosis (+)
subkonjungtiva bleeding (-), sekret (+)
pinguekula (-), folikel (-),
papil (-)
kekeruhan (+), oedem (+), Kornea Keruh (+), ruptur/perforasi
neovaskular (-), ulkus (+), tampak massa lensa
kornea (-), perforasi (-), intraokuler, pus (+)
benda asing (-)
Dangkal, hifema (-), COA Dalam, hifema (-), hipopion
hipopion (-), flare (-). (-), flare (-).
Warna cokelat, kripti baik, Iris Warna cokelat, kripti baik,
atrofi (-), Oedem (+) atrofi (-)
Tepi reguler, bentuk bulat, Pupil Tepi reguler, bentuk bulat,
Mid-dilatasi (+), refleks refleks cahaya langsung +,
cahaya langsung (-), refleks cahaya tak langsung
refleks cahaya tak -
langsung (-).
Katarak hipermatur Lensa jernih
Sulit dinilai Funduskopi RFOS (+)

4
Papil: bulat, batas tegas,
warna sedikit pucat, c/d
0,3,a/v 2:3
Makula: RF (+)
Retina: kontur pembuluh
darah baik
59.1 mmHg TIO (Schiotz) 10.9 mmHg

RESUME

Tn. H, 80 th, datang ke Poliklinik Mata RSAL Mintoharjo dengan keluhan


nyeri pada mata kanan sejak 4 hari SMRS. Nyeri timbul secara mendadak dan
sifatnya berdenyut dirasakan sangat berat sampai-sampai pasien merasa matanya
mau keluar. Nyeri bertambah berat apabila pasien menunduk dan sujud saat sholat.
Nyeri dirasakan menjalar ke kepala pada sisi yang sama. Mata selalu berair dan
merah, penglihatan pasien untuk mata kanan sudah tidak dapat melihat sejak satu
tahun SMRS. Pada pemeriksaan ophthalmologi OD didapatkan visus 0, palpebra
pseudoptosi dan oedem, injeksi konjungtiva dan siliar, pterigium (+), kornea keruh
dan oedem, terdapat kekeruhan pada lensa menyeluruh, funduskopi sulit dinilai, TIO
59,1 mmHg.

DIAGNOSIS KERJA

1. Glaukoma Sekunder e.c Katarak Senilis Hipermatur OD


2. Pterigium grade I OD

DIAGNOSIS BANDING

1. Glaukoma Sekunder e.c Uveitis OD

PENATALAKSANAAN

Non medikamentosa

1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dideritanya


2. Hindari mengejan agar nyeri tidak bertambah
3. Hindari mengucek atau memegang mata

5
Medikamentosa

1. Timolol maleat 0.5% 2 x 1 tetes OD


2. Pilokarpin 2% 3 x 1 tetes OD
3. Asetazolamid 2 x 500mg po
4. Aspar-K 2 x 300 mg p.o
5. Asam mefenamat 3 x 500 mg p.o

Operatif : Tidak diperlukan

PROGNOSIS

ad vitam : bonam

ad sanationam : dubia ad malam

ad fungsionam: malam

BAB II

ANALISA KASUS

Pasien pada kasus ini datang dengan keluhan nyeri hebat pada mata kanan
yang timbul mendadak sejak 4 hari SMRS. Nyeri disertai mata merah dan berair
dirasakan menjalar ke kepala pada sisi yang sama. Selain itu mata kanan pasien tidak
dapat melihat sejak 1 th SMRS. Dari keluhan tersebut kemungkinan penyebabnya

6
antara lain : uveitis, glaukoma akut, trauma, erosi kornea, keratitis dan ulcus
kornea. Kemungkinan erosi kornea dapat disingkirkan karena pada erosi kornea
penderita bukan merasa nyeri pada matanya melainkan merasa perih. Selain itu
kemungkinan ulkuskornea karena infeksi virus juga dapat disingkirkan sebab pada
ulkus karena infeksi virus tidak merasa nyeri pada matanya, melainkan merasa
ada benda asing pada matanya. Kemungkinan keratitis juga kecil karena pada
keratitis penderita bukan merasa nyeri pada mata tetapi akan merasa seperti
kelilipan. Maka diagnosis dapat lebih diarahkan pada trauma, ulkus kornea
karena bakteri, uveitis, dan glaukoma akut. Dari anamnesis selanjutnya tidak
didapatkan riwayat trauma sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan penyakit
mata merah dan visus menurun karena trauma. Fakta ini sekaligus dapat
menyingkirkan kemungkinan visus menurun dan mata merah yang disebabkan
erosi kornea dan ulkus kornea, karena sebagian besar ulkus kornea terjadi
setelah rusaknya epitel kornea sehingga terbentuk port de entry untuk infeksi
mikroorganisme patogenik terhadap kornea. Keluhan penglihatan seperti melihat
pelangi (halo) tidak dijumpai pada pasien ini karena mata kanan pasien sudah tidak
dapat melihat. Akan tetapi, nyeri pada mata kanan yang timbul menadak 4 hari yang
lalu dirasakan oleh pasien sangat hebat, bersifat berdenyut dan bertambah berat
apabila pasien menunduk ataupun sujud saat sholat. Nyeri juga dirasakan menjalar ke
kepala sisi yang sama dengan mata. Jadi dari keluhan tersebut, pasien mengarah ke
glaucoma akut.

Dari anamnesa diketahui dua tahun SMRS pasien mengeluh penglihatanya


menurun dan berkabut pada kedua mata. Dan setelah satu tahun akhirnya pasien
datang berobat ke dokter mata dan diberitahu bahwa menderita katarak dan harus
melakukan operasi untuk mata kirinya. Sedangkan mata kanan tidak dioperasi karena
sudah tidak dapat melihat apapun. Jadi pada pasien ini, kemungkinan mata kananya
menderita katarak yang tidak diobati sampai akhirnya menjadi katarak hipematur.
Dan katarak hipermatur yang tak diobati akhirnya menjadi glaucoma sekunder e.c
katarak hipermatur.

Pada pemeriksaan ophthalmologi OD didapatkan visus 0, palpebra


pseudoptosi dan oedem, injeksi siliar, pterigium (+), kornea keruh dan oedem,

7
terdapat kekeruhan pada lensa menyeluruh, funduskopi sulit dinilai, TIO 59,1
mmHg. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan tersebut semakin mendukung ke
diagnosis glaucoma akut e.c katarak hipermatur atau yang disebut sebagai glaucoma
fakolitik.

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah menggunakan terapi


medikamentosa untuk menurunkan tekanan intraokuler secepatnya, tidak
dilakukan pembedahan karena penderita sudah mengalami kebutaan total,
kecuali jika tekanan intraokuler tetap tinggi sehingga penderita mengalami nyeri
kepala hebat yang menetap sehingga mengganggu penderita. Obat yang
digunakan adalah timolol 0,5%. Timolol bekerja dengan mengurangi produksi
aquous humor. Inhibitor karbonik anhidrase (CAI) seperti asetazolamid, bekerja
mengurangi produksi cairan akuos sebesar 40-60% dengan menghambat kerja
enzim karbonik anhidrase di korpus siliaris. Pilokarpin sebagai miotikum yang
melepaskan iris dari jaringan trabekulum sehingga sudut bilik mata depan akan
terbuka. Pada pasien ini tindakan pembedahan tidak diperlukan, karena kebutaan
yang terjadi. Oleh sebab itu terpi yang diberikan lebih untuk menurunkan tekanan
intra okulernya agak tidak menyebabkan nyeri.

Prognosis pada penderita ini adalah ad vitam : bonam ; ad sanasionam :


dubia ad malam; dan ad functionam : malam pada mata kanannya karena
kebutaan yang terjadi bersifat ireversibel sehingga walaupun tekanan
intraokulernya sudah turun maka penglihatannya tetap tidak bisa kembali

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Bilik Mata Depan

Bilik mata depan merupakan struktur penting dalam hubungannya


dengan pengaturan tekanan intraokuler. Hal ini disebabkan karena

8
pengaliran cairan aquos harus melalui bilik mata depan terlebih dahulu
sebelum memasuki kanal Schlemm. Bilik mata depan dibentuk oleh
persambungan antara kornea perifer dan iris.

Ciri-ciri anatomi yang dimilikinya:

a. Adanya garis Schwalbe yang merupakan batas akhir endotel dan


membran Descement kornea

b. Adanya anyaman trabekula yang terletak di atas kanal Schlemm.


Pada potongan melintang, anyaman ini tampak berbentuk segitiga
dengan dasarnya yang mengarah ke korpus siliaris. Anyaman
trabekula sendiri tersusun atas jaringan kolagen dan elastik
sebagai lembaran-lembaran berlubang yang membentuk semacam
saringan. Anyaman yang menghadap ke bilik mata depan disebut
anyaman uvea, sedangkan yang menghadap ke korpus siliaris disebut
anyaman korneoskleral.

c. Terdapat taji sklera yang merupakan penonjolan sklera ke arah dalam


di antara korpus siliaris dan kanal Schlemm. Selain ketiga struktur
di atas, ada dua struktur lain yang juga membentuk bilik mata
depan yaitu iris dan korpus siliaris. Iris merupakan bagian uvea
sebagai perpanjangan korpus siliaris ke anterior. Iris terletak
bersambungan dengan permukaan anterior lensa dan memisahkan
bilik mata depan dengan bilik mata belakang. Fungsinya untuk
mengatur cahaya yang masuk ke mata

9
Gambar 1. Anatomi mata Trabekula

II. Fisiologi Cairan Aquos

a. Produksi Cairan Aquos

Cairan aquos diproduksi oleh korpus siliaris, tepatnya dari


plasma darah di jaringan kapiler proccesus siliaris. Sebagai cairan
yang mengisi bilik mata depan, cairan aquos berfungsi untuk menjaga
tekanan intraokuler, memberi nutrisi ke kornea dan lensa dan
juga memberi bentuk ke bola mata anterior. Volumenya sekitar
250 L dengan jumlah yang diproduksi dan dikeluarkan setiap
harinya berjumlah 5 mL/hari. Cairan ini bersifat asam dengan
tekanan osmotik yang lebih tinggi dibandingkan plasma. Komposisi
cairan aquos kurang lebih mirip dengan plasma, kecuali bahwa
cairan ini memiliki konsentrasi askorbat, piruvat, laktat dan klorida
yang lebih tinggi. Sedangkan konsentrasi protein, urea, glukosa,
natrium bikarbonat dan karbon dioksida cairan aquos lebih rendah
dari plasma.

Kecepatan produksi cairan aquos diukur dalam satuan


mikroliter per menit (L/menit). Para peneliti di Amerika Serikat
melakukan penelitian terhadap 300 orang dengan tekanan intraokuler
normal yang berusia antara 3 sampai 38 tahun dengan menggunakan
teknik penyaringan (scan) fluorofotometri. Dalam penelitian tersebut
didapat bahwa kecepatan rata-rata aliran cairan aquos pada jam 8.00
16.00 berkisar antara 2,75 0.63 L/menit sehingga didapat batas
normal produksi cairan aquos sekitar 1,8 4,3 L/menit. Kecepatan
ini dalam sehari dapat bervariasi yang disebut dengan variasi diurnal

10
yaitu kecepatan selama tidur 1,5 kali lebih cepat dari pada pagi
hari.

b. Mekanisme Pengaliran Cairan Aquos

Gambar 2. Pengaliran Cairan Aquos

Cairan aquos yang dihasilkan korpus siliaris berada di


bilik mata belakang. Cairan ini kemudian akan mengalir melalui
pupil masuk ke bilik mata depan. Aliran cairan aquos di dalam
bilik mata depan mengarah ke perifer, ke arah anyaman trabekula
yang berfungsi sebagai saringan dan masuk ke dalam kanal
Schlemm. Saluran efferen kanal Schlemm terdiri dari 300
saluran pengumpul dan 12 vena aquos yang akan mengalirkan
cairan ke dalam vena episklera. Jalur ini dikenal sebagai sistem
kanalikuli atau sistem konvensional yang mengalirkan 83-69%
cairan aquos. Sejumlah 5-15% sisanya keluar melalui sistem
uveoskleral yaitu di antara berkas otot siliaris dan sela-sela sklera.
Jalur alternatif ini disebut sistem ekstrakanalikuli atau sistem
unkonvensional.

Kecepatan pembentukan cairan aquos dan hambatan pada


mekanisme pengaliran keluarnya menentukan besarnya tekanan
intraokuler. Normalnya tekanan di dalam bola mata berkisar antara
10-20 mmHg. Peningkatan tekanan intraokuler dapat terjadi akibat
produksi cairan aquos yang meningkat misalnya pada reaksi

11
peradangan dan tumor intraokuler atau karena aliran keluarnya
yang terganggu akibat adanya hambatan pada pratrabekular,
trabekular atau post trabekular.

III.Definisi Glaukoma

Glaukoma merupakan suatu keadaan optik neuropati yang disertai


dengan defek lapangan pandang dan peningkatan tekanan intra okular.
Mekanisme peningkatan tekanan intraokuler pada glaukoma adalah akibat
produksi cairan aquos yang berlebihan, adanya gangguan aliran keluar
cairan aquos akibat kelainan sistem drainase sudut bilik mata depan
atau gangguan akses cairan aquos ke sistem drainase dan akibat
tekanan yang tinggi pada vena episklera. Namun pada sebagian besar
kasus, peningkatan tekanan intraokuler diakibatkan adanya hambatan
aliran keluar cairan aquos.

Mekanisme atrofi saraf optik dapat dijelaskan sebagai berikut:


peningkatan tekanan intraokuler dapat menekan serabut saraf optik
yang sangat sensitif. Hal ini akan menyebabkan gangguan vaskularisasi
papil dan terjadilah iskemik. Akibatnya serabut ini akan mengalami
degenerasi dan mati. Selain itu, tekanan intraokuler yang tinggi akan
menekan bagian tengah saraf optik (diskus optik) yang merupakan
daerah terlemah dari bola mata. bagian tepi papil relatif lebih kuat
dari bagian tengah, sehingga terjadi penggaungan papil. Jika tekanan
intraokuler yang tinggi ini berlangsung dalam jangka waktu yang
lama, maka akan berakibat pada kebutaan.

Kelainan lapangan pandang pada glaukoma disebabkan adanya


gangguan peredaran darah pada papil saraf optik. Pembuluh darah retina
yang mempunyai tekanan sistolik 80 mmHg dan diastolik 40 mmHg akan
kolaps bila tekanan intraokuler 40 mmHg. Akibatnya pembuluh darah
papil akan menciut sehingga vaskularisasinya terganggu. Gejala yang

12
paling dini berupa skotoma relatif atau absolut yang terletak pada daerah
derajat sentral. Namun, biasanya penderita tidak menyadari kelainan ini.
Pada glaukoma yang lanjut, timbul kelainan lapangan pandang perifer
di bagian nasal superior. Kerusakan ini kemudian dapat meluas ke
tengah dan bergabung dengan kelainan lapangan pandang yang
terdapat di tengah sehingga penderita seolah melihat melalui suatu
teropong (tunnel vision).

Gejala yang umum ditemui pada penderita glaukoma adalah rasa


nyeri hebat di dalam mata, pusing, penglihatan kabur, melihat lampu
seperti lingkaran cahaya, mual dan muntah.

a. Sebab Terjadinya Glaukoma

Setiap hari mata memproduksi sekitar 1 sendok teh humor aquos


yang menyuplai makanan dan oksigen untuk kornea dan lensa dan
membawa produk sisa keluar dari mata melalui anyaman trabekulum
ke Canalis Schlemm. Normalnya, produk dan drainase berjalan
seimbang dengan tekanan intraokuler berkisar antara 12-22 mmHg.
Bola mata yang mengandung banyak humor aquos akan mengembang
di daerah yang paling lemah yaitu pada papil optik atau pada sklera
tempat syaraf optik keluar. Syaraf optik yang membawa informasi
penglihatan ke otak terdiri atas jutaan sel syaraf yang panjang. Serabut
atau sel syaraf ini sangat tipis dengan diameter kira-kira 1/20.000 inci.
Bila tekanan bola mata naik serabut syaraf ini akan tertekan dan
rusak serta mati. Kematian sel tersebut akan mengakibatkan hilangnya
penglihatan yang permanen.

Pada glaukoma sudut terbuka maupun tertutup cairan mata yang


terus dihasilkan badan siliar selama 24 jam sehari pengeluarannya
terganggu. Cairan mata yang berlebihan dalam bola mata akan
meningkatkan tekanan bola mata. Tekanan bola mata yang tinggi akan
menekan syaraf optik beserta seluruh serabut syaraf dan sel penglihatan
yang disebut sebagai glaucoma.

13
Gambar 3. Aliran Cairan Aquos

14
Gambar 4. Aliran Cairan Aquos

Normal dan Abnormal aliran Aquos :

A. Aliran normal melalui anyaman trabekula (panah besar) dan


rute uvea sklera (panah kecil) dan anatomi yang berhubungan.
Kebanyakan aliran humor aquos melewati anyaman trabekula.
Setiap rute dialirkan ke sirkulasi vena mata.

B. Pada glaukoma sudut terbuka primer, aliran humor aquos


melalui rute ini terhalang.

C. Pada glakuoma sudut tertutup, posisi abnormal iris sehingga


memblok aliran humor aquos melewati sudut bilik mata depan
(iridocorneal)

b. Faktor Risiko Terjadinya Glaukoma

Selama bertahun-tahun, para ahli telah banyak meneliti tentang


karakteristik individu penderita glaukoma. Berdasarkan penelitian
tersebut dapat dikenali berbagai hal yang sering dijumpai pada
penderita sehingga dianggap sebagai faktor risiko. Individu yang
memiliki faktor tersebut sebaiknya dilakukan pemeriksaan penyaring
(screening). Para ahli memperkirakan dari 1000 orang yang memiliki
faktor risiko ini, kurang lebih 10 di antaranya menderita glaukoma.
Faktor-faktor risiko terjadinya peningkatan tekanan intraokuler dapat
dibedakan berdasarkan karakteristik sosiodemografi, penyakit sistemik
dan riwayat keluarga.

1. Karakter Sosiodemografi

a. Usia

15
Risiko terjadinya glaukoma meningkat sesuai
dengan pertambahan usia. Risiko akan semakin tinggi pada
orang yang berusia lebih dari 40 tahun.

b. Jenis kelamin

Menurut para ahli yang melakukan penelitian mata


di Framingham (The Framingham Eye Study), risiko pria
menderita glaukoma 2 kali lebih besar dari pada wanita.

c. Penyakit Sistemik

i. Miopia/hipermetropia tinggi

Penderita miopia tinggi berisiko 2-3 kali lebih


besar untuk menderita glaukoma sudut terbuka.
Sedangkan hipermetropia tinggi memperbesar risiko
terjadinya glaukoma sudut tertutup.

ii. Diabetes Mellitus

Hubungan antara glaukoma dan diabetes masih


merupakan kontroversial. Namun demikian, seseorang
dengan diabetes disarankan untuk rajin memeriksakan
matanya.

iii. Hipertensi

Peningkatan 10 mmHg tekanan darah akan


menaikkan tekanan intraokuler sebanyak 0,24-0,40
mmHg.

2. Riwayat glaukoma dalam keluarga

16
Angka kejadian penderita glaukoma dengan riwayat glaukoma
dalam keluarga mencapai 5-19%. Risiko akan meningkat pada
individu dimana terdapat saudara yang juga menderita glaukoma.
Sedangkan jika orang tua atau anak yang menderita glaukoma, risiko
tidak akan terlalu tinggi

c. Jenis-Jenis Glaukoma

Pada umumnya glaukoma dapat dibagi berdasarkan, yaitu :

1. Tidak terdapat kelainan di dalam bola mata yang


menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intraokuler
yaitu glaukoma primer sudut terbuka dan tertutup

a. Glaukoma Primer Sudut Terbuka

Glaukoma primer sudut terbuka adalah bentuk


glaukoma yang tersering dijumpai. Sekitar 0,4 0,7 % oang
berusia lebih dari 40 tahun dan 2-3 % orang berusia lebih dari
70 tahun diperkirakan mengidap glaukoma jenis ini.
Penyakit ini tiga kali lebih sering dan umumnya lebih
agresif pada orang berkulit hitam. Pada glaukoma primer
sudut terbuka, terdapat kecenderungan familial yang kuat dan
kerabat dekat pasien dianjurkan menjalani pemeriksaan
penapisan secara teratur.

Faktor resiko terjadinya glaukoma primer sudut


terbuka antara lain :

Meningkatnya usia berhubungan edngan prevalensi


terjadinya glaukoma terutama usia diatas 60 tahun.

17
Ras/bangsa, terutama pada ras Afrika-Amerika beresiko
6 kali dibanding ras Kaukasoid.

Riwayat keluarga dengan galukoma primer sudut terbuka


berresiko 6 kali untuk terkena glaukoma.

Terdapatnya peningkatan tekanan intraokuler disertai


diabetes mellitus beresiko 3 kali dibanding populasi pada
umumnya.

Gambaran patologik utama pada glaukoma primer


sudut terbuka adalah proses degeneratif jalinan trabekular,
termasuk pengendapan bahan ekstrasel di dalam jalinan
dan dibawah lapisan endotel kanalis Schlemm. Akibatnya
adalah penurunan drainase humor aquos yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraokular.

Gejala dari glaukoma jenis ini berupa penurunan


penglihatannya bersifat bertahap, biasanya tidak terdapat
keluhan hingga kerusakan yang berat telah terjadi pada
nervus optik. Glaukoma jenis ini dapat dideteksi dengan
melakukan skrining pada kelompok resiko glaukoma.

Diagnosis glaukoma primer sudut terbuka


ditegakkan apabila ditemukan kelainan glaukomatosa pada
diskus optikus dan defek lapangan pandang disertai
peninggian tekanan intraokuler, bilik mata depan normal,
dan tidak terdapat sebab lain yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraokuler.

18
Gambar 4. Glaukoma Sudut Terbuka

b. Glaukoma primer sudut tertutup

Glaukoma primer sudut tertutup terutama stadium akut


lebih banyak ditemukan pada orang Eskimo dan Asia, diikuti
oleh Kaukasia lalu Afrika Amerika. Usia antara 55-65 tahun
merupakan salah satu resiko. Wanita beresiko terkena
glaukoma jenis ini 3-4 kali dibanding pria.

Glaukoma primer sudut tertutup terjadi apabila


terbentuk iris bombe yang menyebabkan sumbatan pada bilik
mata depan oleh iris perifer. Hal ini menyumbat aliran humor
aquos dan tekanan intraokuler meningkat dengan cepat,
menimbulkan nyeri hebat, kemerahan, dan kekaburan
penglihatan. Glaukoma sudut tertutup terjadi pada mata yang
sudah mengalami penyempitan anatomik pada bilik mata
depan (dijumpai terutama pada hipermetropia). Serangan
akut biasanya terjadi pada pasien berusia tua seiring dengan
pembesaran lensa kristalina yang berkaitan dengan penuaan.
Pada glaukoma sudut tertutup, pupil berdilatasi sedang,
disertai sumbatan pupil. Hal ini biasanya terjadi pada
malam hari, saat tingkat pencahayaan berkurang.

19
Gambar 5. Glaukoma Sudut Tertutup

Gejala dari glaukoma jenis ini ditandai oleh munculnya


kekaburan penglihatan mendadak yang disertai nyeri hebat,
halo, dan mual disertai muntah. Temuan lain adalah
peningkatan mencolok tekanan intraokuler, bilik mata depan
dangkal, kornea berkabut, pupil terfiksasi dan berdilatasi
sedang, dan injeksi siliaris. Apabila terapi tertunda, iris
perifer dapat melekat kejalinan trabekular (sinekia posterior),
sehingga menimbulkan sumbatan ireversibel pada bilik
mata depan yang memerlukan tindakan bedah untuk
memperbaikinya.

2. Terdapat kelainan di dalam bola mata yang menyebabkan


terjadinya peningkatan tekanan intraokuler (inflamasi,
trauma, perdarahan, trauma, tumor, pengobatan) yaitu
glaukoma sekunder sudut terbuka dan tertutup

a. Glaukoma sekunder sudut terbuka

Glaukoma dimana tidak terdapatnya kelainan pada


pangkal iris serta kornea perifer melainkan terhambatnya

20
aliran humor aquos di jalinan trabekuler. Bentuk dari
glaukoma sekunder sudut terbuka antara lain ;

Glaukoma pigmentasi.

Sindrom ini tampaknya disebabkan oleh


degenerasi epitel pigmen iris dan korpus siliaris.
Granula pigmen terkelupas dari iris akibat friksi
dengan serat-serat zonular di bawahnya sehingga
terjadi transiluminasi iris. Pigmen mengendap di
permukaan kornea posterior (Krukenbergs spindle)
dan tersangkut di jalinan trabekular, mengganggu
aliran keluar humor aquos. Sindrom ini terjadi paling
sering pada pria miopia usia antara 25-40 tahun yang
memiliki bilik mata depan yang dalam dengan sudut
bilik mata yang lebar.

Sindrom pseudo-exfoliasi

Pada sindrom eksfoliasi, dijumpai endapan-


endapan bahan berserat mirip serpihan di permukaan
lensa anterior (berbeda dengan eksfoliasi kapsul lensa
sejati akibat pajanan terhadap radiasi inframerah, yakni
katarak glass blower), prosesus siliaris, zonula,
permukaan posterior iris, dam di jalinan trabekular
(disertai peningkatan pigmentasi). Penyakit ini
biasanya dijumpai pada orang berusia lebih dari 65
tahun.

Glaukoma akibat steroid

Kortikosteroid topikal dan periokular dapat


menimbulkan sejenis glaukoma yang mirip dengan

21
glaukoma primer sudut terbuka, terutama pada
individu dengan riwayat penyakit ini pada keluarga
dan akan memperparah peningkatan tekanan
intraokuler pada para pengidap glaukoma primer
sudut terbuka. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena meningkatnya deposit mukopolisakarida yang
terdapat pada humor aquos sehingga drainasenya
terganggu.

Glaukoma Fakolitik

Sebagian katarak stadium lanjut dapat


mengalami kebocoran kapsul lensa anterior, sehingga
protein-protein lensa yang mencair masuk ke bilik
mata depan. Jalinan trabekular menjadi oedema dan
tersumbat oleh protein-protein lensa dan
menimbulkan peningkatan mendadak tekanan
intraokular.

b. Glaukoma sekunder sudut tertutup

Glaukoma sekunder sudut tertutup sama halnya


dengan glaukoma primer sudut tertutup, dimana terjadinya
peninggian tekanan intraokuler disebabkan adanya hambatan
atau blokade pada trabekular meshwork. Penyebab dari
glaukoma sekunder sudut tertutup antara lain :

Uveitis.

Pada uveitis, tekanan intraokuler biasanya


lebih rendah daripada normal karena korpus siliaris
yang meradang kurang berfungsi dengan baik. Namun,
juga dapat terjadi peningkatan tekanan intraokuler
melalui beberapa mekanisme yang berlainan. Jalinan
trabekular dapat tersumbat oleh sel-sel radang dari

22
bilik mata depan, disertai edema sekunder atau
kadang-kadang terlibat dalam proses peradangan
spesifik diarahkan ke sel-sel trabekula (trabekulitis).
Uveitis kronik atau rekuren menyebabkan gangguan
permanen fungsi trabekula, sinekia anterior perifer, dan
kadang-kadang neovaskularisasi sudut, yang
semuanya meningkatkan kemungkinan glaukoma
sekunder. Sindorm uveitis yang cenderung timbul
karena glaukoma sekunder adalah siklitis heterikromik
Fuchs, uveitis anterior akut terkait HLA-B27, dan
uveitis herpes zoster dan herpes simpleks.

Trauma

Cedera kontusio bola mata dapat disertai


peningkatan dini tekanan intraokular akibat perdarahan
ke bilik mata depan (hifema). Darah bebas menyumbat
jalinan trabekular, yang juga mengalami edema akibat
cedera.

3. Glaukoma yang terjadi pada anak-anak baik segera sesaat


lahir (glaukoma kongenital) ataupun glaukoma yang
terjadi pada tahun pertama kelahiran (glaukoma infantil)

Glaukoma pada anak-anak terdapat pada setiap 12.000-


18000 kelahiran dan merupakan 1% dari semua jenis
galukoma. Glaukoma kongenital primer merupakan kelainan
autosomal yang diturunkan. Sifatnya bilateral pada hampir 70%
kasus glaukoma kongenital primer, anak laki-laki 70% menderita
glaukoma jenis ini dan manifestasi klinis dari glaucoma jenis ini
70% timbul pada usia 6 bulan. Glaukoma kongenital dapat dibagi
menjadi : (a) glaukoma kongenital primer, yang menunjukkan
kelainan perkembangan terbatas pada bilik mata depan, (b)
anomali perkembangan bilik mata depan, sindrom Axenfelg,

23
anomali Peter, dan sindrom Reiger. Disini perkembangan iris dan
kornea juga abnormal dan (c) berbagai kelainan lain temasuk
aniridia, sindrome Lowe, dan rubeola kongenital. Pada keadaan
ini, anomali perkembangan pada sudut disertai dengan kelainan
okular dan ekstra okular.

Glaukoma kongenital bermanifestasi sejak lahir pada 50%


kasus, didiagnosis pada 6 bulan pertama pada 70% kasus, dan
didiagnosis pada akhir tahun pertama pada 80% kasus. Gejala
paling dini dan paling sering adalah epifora. Dapat dijumpai
fotofobia dan pengurangan kilau kornea. Peningkatan tekanan
intraokular adalah tanda kardinal. Pencekungan diskus optikus
akibat glaukoma merupakan kelainan yang terjadi relatif lebih
dini dan terpenting. Temuan-temuan lain adalah garis tengah
kornea (melebihi 11,5 mm dianggap bermakna), edema epitel,
robekan membran descement, dan peningkatan kedalaman bilik
mata depan serta edema dan kekeruhan stroma kornea.

4. Glaukoma yang terjadi dimana terdapat diskus nervus optik


yang glaukomatous dengan tekanan intra okuler yang
normal atau yang disebut dengan normo tension glaucoma.

Sebagian kecil pasien dengan kelainan glaukomatousa


pada diskus optikus atau lapangan pandang memilki tekanan
intraokular yng normal atau tetap dibawah 22 mmHg. Para pasien
ini mengidap glaukoma tekanan normal. Patogenesisnya adalah
kepekaan yang abnormal terhadap tekanan intraokular karena
kelainan vaskular atau mekanis di papil nervus optik.
Perdarahan diskus lebih sering dijumpai pada tekanan normal
dibandingkan pada glaukoma primer sudut terbuka dan sering
menandakan progresivitas penurunan lapangan pandang.

24
IV. Pemeriksaan Diagnostik

Untuk mendiagnosis glaukoma dilakukan sejumlah pemeriksaan


yang rutin dilakukan pada seseorang yang mengeluh rasa nyeri di
mata, penglihatan dan gejala prodromal lainnya. Pemeriksaan yang
dilakukan secara berkala dan dengan lebih dari satu metode akan lebih
bermakna dibandingkan jika hanya dilakukan 1 kali pemeriksaan.
Pemeriksaan tersebut meliputi:

a. Tajam penglihatan : Pemeriksaan ketajaman penglihatan bukan


merupakan cara yang khusus untuk glaukoma, namun tetap penting,
karena ketajaman penglihatan yang baik, misalnya 6/6 belum berarti
tidak glaukoma.

b. Tonometri : Tonometri diperlukan untuk memeriksa tekanan


intraokuler. Ada 3 macam tonometri, yaitu:

i. Digital : Merupakan teknik yang paling mudah dan murah


karena tidak memerlukan alat. Caranya dengan melakukan
palpasi pada kelopak mata atas, lalu membandingkan
tahanan kedua bola mata terhadap tekanan jari. Hasil
pemeriksaan ini diinterpretasikan sebagai T.N yang berarti
tekanan normal, Tn+1 untuk tekanan yang agak tinggi, dan
Tn-1 untuk tekanan yang agak rendah. Tingkat ketelitian
teknik ini dianggap paling rendah karena penilaian dan
interpretasinya bersifat subjektif.

ii. Tonometer Schitz; Tonometer Schitz ini bentuknya


sederhana, mudah dibawa, gampang digunakan dan
harganya murah. Tekanan intraokuler diukur dengan alat
yang ditempelkan pada permukaan kornea setelah
sebelumnya mata ditetesi anestesi topikal (pantokain).
Jarum tonometer akan menunjukkan angka tertentu pada
skala. Pembacaan skala disesuaikan dengan kalibrasi dari

25
Zeiger-Ausschlag Scale yang diterjemahkan ke dalam tekanan
intraokuler.

iii. Tonometer aplanasi Goldmann ; Alat ini cukup mahal dan


tidak praktis, selain itu juga memerlukan slitlamp yang
juga mahal. Meskipun demikian, di dalam komunikasi
internasional, hanya tonometri dengan aplanasi saja yang
diakui. Dengan alat ini, kekakuan sklera dapat diabaikan
sehingga hasil yang didapatkan menjadi lebih akurat.

Gambar 6. Tonometri

c. Gonioskopi

Dengan lensa gonioskopi dapat dilihat keadaan sudut bilik


mata yang dapat menimbulkan glaukoma. Penentuan gambaran sudut
bilik mata dilakukan pada setiap kasus yang dicurigai adanya
glaukoma.

26
Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakan lensa sudut
(goniolens) di dataran depan kornea setelah diberikan local
anestetikum. Lensa ini dapat dipergunakan untuk melihat sekeliling
sudut bilik mata dengan memutarnya 360 derajat.

d. Oftalmoskopi

Pada pemeriksaan oftalmoskopi, yang harus diperhatikan


adalah keadaan papil. Perubahan yang terjadi pada papil dengan
glaukoma adalah penggaungan (cupping) dan degenerasi saraf optik
(atrofi). Jika terdapat penggaungan lebih dari 0,3 dari diameter
papil dan tampak tidak simetris antara kedua mata, maka harus
diwaspadai adanya ekskavasio glaukoma.

Gambar 7. Diskus Optikus Normal dan Glaukoma

e. Lapangan Pandang

Yang termasuk ke dalam pemeriksaan ini adalah lapangan


pandang sentral dan lapangan pandang perifer. Pada stadium
awal, penderita tidak akan menyadari adanya kerusakan lapangan
pandang karena tidak mempengaruhi ketajaman penglihatan sentral.
Pada tahap yang sudah lanjut, seluruh lapangan pandang rusak dengan
tajam penglihatan sentral masih normal sehingga penderita seolah-
olah melihat melalui suatu teropong (tunnel vision)

f. Tonografi

27
Tonografi dilakukan untuk mengukur banyaknya cairan
aquos yang dikeluarkan melalui trabekula dalam satu satuan waktu.

g. Tes Provokasi

Tes ini dilakukan pada keadaan dimana seseorang


dicurigai menderita glaukoma. Untuk glaukoma sudut terbuka,
dilakukan tes minum air, pressure congestion test, dan tes steroid.
Sedangkan untuk glaukoma sudut tertutup, dapat dilakukan tes kamar
gelap, tes membaca, tes midriasis dan prone position tes.

V. Penatalaksanaan Glaukoma

Tujuan penatalaksanaan glaukoma adalah menurunkan tekanan


intraokuler sehingga dapat mencegah terjadinya penurunan lapangan
pandang dan ketajaman penglihatan lebih lanjut yang berujung pada
kebutaan. Berbagai tindakan yang dilaksanakan tidak bisa
menyembuhkan penyakitnya, karena glaukoma tidak bisa disembuhkan,
yang bisa dilakukan hanya mengontrol tekanan intraokuler supaya berada
dalam batasan normal.

Penatalaksanaan glaukoma terdiri dari tiga macam, yaitu


medikamentosa, pembedahan dan laser. Pembedahan dan laser dilakukan
jika obat-obatan tidak mampu mengontrol tekanan intraokuler.

a. Medikamentosa

Biasanya dokter akan meresepkan kombinasi sejumlah


obat atau mengganti resep setelah periode waktu tertentu dalam
rangka mengurangi efek samping obat dan juga untuk meningkatkan
efektivitas terapi medikamentosa. Berdasarkan tujuan

28
farmakoterapinya, obat anti glaukoma dibedakan menjadi empat
jenis, yaitu: untuk supresi produksi cairan aquos, meningkatkan
aliran keluar cairan aquos, menurunkan volume korpus vitreus.

1. Supresi produksi cairan aquos

Antagonis adrenergik

Adalah obat yang sekarang paling luas


digunakan untuk terapi glaukoma. Obat ini dapat
digunakan sendiri atau dikombinasi dengan obat
lain. Efek samping: pada penggunaan adrenergik
sering terjadi reaksi alergi, pandangan kabur, sakit
kepala, rasa terbakar di mata, takikardia dan aritmia.

Agonis adrenergik

Bekerja untuk mengurangi produksi cairan


aquos dan meningkatkan drainase. Efek samping:
rasa terbakar di tempat meneteskan obat topikal,
midriasis, hipertensi, malaise, sakit kepala, mulut dan
hidung terasa kering.

Inhibitor karbonik anhidrase (CAI)

Bekerja mengurangi produksi cairan aquos


sebesar 40-60% dengan menghambat kerja enzim
karbonik anhidrase di korpus siliaris. Obat ini bisa
diberikan per oral ataupun intravenous. Efek samping:
paresethesia di lengan dan tungkai, dispepsia,
gangguan ingatan, depresi, batu ginjal, dan
polakisuria. Inhibitor karbonik anhidrase diturunkan
dari golongan sulfa, sehingga bisa juga
menyebabkan aplastik anemia walaupun hal ini
jarang terjadi

29
2. Meningkatkan aliran keluar cairan aquos

Parasimpatomimetik Obat yang digunakan merupakan


golongan agonis kolinergik. Bekerja pada anyaman
trabekular dengan meningkatkan kontraksi otot
siliaris sehingga pupil mengalami miosis. Karena
efek inilah maka obat parasimpatomimetik sering
juga disebut obat miotik. Kontriksi pupil sangat
penting dalam penatalaksanaan glaukoma sudut
tertutup. Efek samping: diare, kram perut,
hipersalivasi, enuresis dan bisa juga reaksi alergi.

3. Menurunkan volume korpus vitreus

Obat-obat hiperosmotik, seperti gliserin, menyebabkan darah


menjadi hipertonik sehingga air tertarik keluar dari korpus
vitreus dan terjadi penciutan korpus vitreus. Efek samping:
sakit pinggang, sakit kepala, gangguan mental. Pada pasien
DM, obat ini bisa menyebabkan hiperglikemia atau bahkan
ketoasidosis. Pengobatan glaukoma biasanya dimulai dengan
obat tunggal, kecuali pada tekanan yang sangat tinggi. Dosis yang
digunakan dimulai dari yang terendah dan kemudian jika perlu
dapat dinaikkan. Karena variasi diurnal tekanan intraokuler,
sebaiknya obat diuji coba dulu kefektifitasannya pada satu mata.
Jika sudah terbukti bahwa obat tersebut efektif maka obat dapat
digunakan pada kedua mata.

Gambar 7. Absorbsi sistemik obat topikal antiglaukoma terjadi

30
secara primer melalui duktus nasolakrimal

Pengobatan seringkali gagal karena penderita tidak


mengerti mekanisme pemakaian obat, terutama untuk obat topikal.
Oleh karena itu, dokter harus menginformasikan bagaimana cara
pemakaian obat kepada pasien agar didapatkan hasil yang
maksimal. Pengkombinasian obat dapat dilakukan bila obat tunggal
belum bisa mengontrol tekanan intraokuler yang aman bagi
pasien. Kombinasi yang lazim dipakai yaitu antara antagonis
adrenergik- dan miotik atau antara agonis adrenergik- dan miotik.

Penatalaksanaan terbaik untuk glaukoma sudut tertutup


adalah pembedahan. Terapi medikamentosa hanya merupakan
pengobatan pendahuluan sebelum penderita dioperasi. Terapi
diberikan sesuai dengan fase penyakit. Pada fase nonkongestif,
penderita diberi golongan parasimpatomimetik, seperti pilokarpin
2-4% tiap 20-30 menit. Dengan demikian diharapkan lensa yang
miosis akan menyebabkan iris tertarik ke belakang sehingga sudut
bilik mata depan terbuka. Selain itu, bisa juga diberikan golongan
inhibitor karbonik anhidrase 3X1 tablet/hari. Obat-obat ini
diberikan sampai tekanan intraokuler menjadi normal. Kemudian
ada dua pilihan terapi yang dapat dilakukan, yaitu tetap memberikan
obat parasimpatomimetik atau melakukan tindakan operasi.

Pada fase kongestif, pengobatan harus dilakukan secepat


mungkin. Tekanan intraokuler harus sudah turun dalam 2-4 jam. Jika
terlambat 24-48 jam, maka akan terjadi sinekhia anterior perifer
sehingga pengobatan dengan parasimpatomimetik tidak berguna lagi.
Obat yang biasa dipakai untuk glaukoma sudut tertutup adalah:

a. Parasimpatomimetik: pilokarpin 2-4%, setiap menit 1 tetes elama


5 menit. Kemudian diteruskan setiap jam.

31
b. Inhibitor karbonik anhidrase: asetazolamid 250 mg, 2 tablet.
Kemudian disusul dengan 1 tablet tiap 4 jam.

c. Hiperosmotik: gliserin 50%, 1-1,5 gr/kg yang diberikan per oral.

Dengan pengobatan seperti di atas, tekanan dapat turun


sampai di bawah 25 mmHg dalam waktu 24 jam. Bila tekanan
intraokuler sudah turun, operasi harus dilakukan dalam 2-4 hari
kemudian.

Pengobatan glaukoma sudut terbuka diberikan semaksimal


mungkin sehingga tercapai tekanan intraokuler normal, ekstravasasi
tidak bertambah dan lapangan pandang tidak memburuk. Namun, obat
yang diberikan haruslah yang mudah diperoleh dan mempunyai
efek samping yang minimal. Obat yang bisa dipakai untuk
glaukoma sudut terbuka adalah:

a. Parasimpatomimetik: pilokarpin 2-4%, 1 tetes, 3-6 kali


sehari atau eserin 0,25-0,5%, 1 tetes, 3-6 kali sehari

b. Agonis-: epinefrin 0,5-2%, 1 tetes, 2 kali sehari

c. -blocker: timolol maleat 0,25-0,5%, 1 tetes, 1-2 kali sehari

d. Inhibitor karbonik anhidrase: asetazolamid 250 mg, 1 tablet, 4 kali


sehari

Obat-obat ini biasanya diberikan secara tunggal atau bila


perlu dapat dikombinasi. Bila dengan pengobatan tersebut tekanan
intraokuler terkontrol dengan baik, maka penderita harus
menggunakan obat tersebut seumur hidup. Kalau tidak berhasil,
frekuensi penetesan atau dosis obat dapat ditingkatkan.

b. Tindakan pembedahan

Pembedahan ditujukan untuk memperlancar aliran keluar


cairan aquos di dalam sistem drainase atau sistem filtrasi sehingga

32
prosedur ini disebut teknik filtrasi. Pembedahan dapat menurunkan
tekanan intraokuler jika dengan medikamentosa tidak berhasil.
Walaupun telah dilakukan tindakan pembedahan, penglihatan yang
sudah hilang tidak dapat kembali normal, terapi medikamentosa
juga tetap dibutuhkan, namun jumlah dan dosisnya menjadi lebih
sedikit.

1. Trabekulektomi

Merupakan teknik yang paling sering digunakan. Pada


teknik ini, bagian kecil trabekula yang terganggu diangkat
kemudian dibentuk bleb dari konjungtiva sehingga terbentuk
jalur drainase yang baru. Lubang ini akan meningkatkan
aliran keluar cairan aquos sehingga dapat menurunkan
tekanan intraokuler. Tingkat keberhasilan operasi ini cukup
tinggi pada tahun pertama, sekitar 70-90%.

Sayangnya di kemudian hari lubang drainase tersebut


dapat menutup kembali sebagai akibat sistem penyembuhan
terhadap luka sehingga tekanan intraokuler akan meningkat.
Oleh karena itu, terkadang diperlukan obat seperti mitomycin-
C and 5-fluorourasil untuk memperlambat proses
penyembuhan. Teknik ini bisa saja dilakukan beberapa kali pada
mata yang sama.

2. Iridektomi perifer
Pada tindakan ini dibuat celah kecil pada kornea bagian
perifer dengan insisi di daerah limbus. Pada tempat insisi ini,
iris dipegang dengan pinset dan ditarik keluar. Iris yang
keluar digunting sehingga akan didapatkan celah untuk
mengalirnya cairan aquos secara langsung tanpa harus melalui
pupil dari bilik mata belakang ke bilik mata depan. Teknik ini

33
biasanya dilakukan pada glaukoma sudut tertutup, sangat efektif
dan aman, namun waktu pulihnya lama.

3. Sklerotomi dari Scheie

Pada Operasi Scheie diharapkan terjadi pengaliran cairan


aquos di bilik mata depan langsung ke bawah konjungtiva. Pada
operasi ini dilakukan pembuatan flep konjungtiva di limbus atas
(arah jam 12) dan dibuat insisi korneoskleral ke dalam bilik mata
depan. Untuk mempertahankan insisi ini tetap terbuka,
dilakukan kauterisasi di tepi luka insisi. Kemudian flep
konjungtiva ini ditutup. Dengan operasi ini diharapkan
terjadinya filtrasi cairan aquos melalui luka korneoskleral ke
subkonjungtiva.

4. Cryotherapy surgery

Pada glaukoma absolut badan siliar berfungsi normal


memproduksi cairan akuos, tapi arus keluar terhambat untuk
satu alasan atau yang lain. Sehingga tekanan intraokular yang
tinggi menyebabkan rasa sakit kepada pasien dan
menyebabkan mata buta yang menyakitkan. Karena itu,
dilakukan dengan cara menghancurkan badan siliar dengan
cyclocryotherapy mengarah pada mengurangi pembentukan
cairan akuos, menurunkan tekanan intraokular dan
memperbaiki rasa sakit. Caranya terlebih dahulu menginjeksikan
obat anestesi dibawah permukaan retrobulbar dan injeksi 2%
Xylocain, melingkar dan mencembung dari retina (cryo-probe)
dengan diameter 4 mm, dilakukan langsung pada permukaan
konjungtiva utuh, pusat ujung menjadi 4 mm dari limbus,
selama 1 menit pada suhu sekitar-60 sampai -65, secara
langsung di atas tubuh ciliary. Dalam semua kasus, probe
diaplikasikan sedemikian rupa sehingga margin es-kawah
menyentuh satu sama lain pada setiap aplikasi, dan aplikasi

34
yang diberikan di sekeliling limbus, kecuali dalam dua belas
pertama matanya di mana ia diterapkan di bagian atas saja. Setelah
cryosurgery mata yang empuk selama 24 jam, dengan
menggunakan salep mata chloromphenical yang kemudian
dilanjutkan 4 kali sehari. Tidak ada obat anti-inflamasi
digunakan baik secara lokal atau sistemik. Hanya analgesik
diberikan. Pasca-operasi tekanan intraokular diperiksa setelah 24
jam, pada hari ke 7, hari ke 14, 6 minggu dan 3 bulan
setelah operasi. Keunggulan melakukan cyclocryotherapy
karena memiliki keunggulan cyclodiathermy suhu subfreezing
kurang merusak struktur lain mata, dapat dengan aman diulang
beberapa kali, dapat dilakukan sebagai prosedur rawat jalan.

c. Laser

Pada teknik laser, operator akan mengarahkan sebuah


lensa pada mata kemudian sinar laser diarahkan ke lensa itu
yang akan memantulkan sinar ke mata. Risiko yang dapat terjadi
pada teknik ini yaitu tekanan intraokuler yang meningkat sesaat
setelah operasi. Namun hal tersebut hanya berlangsung untuk
sementara waktu.

Berikut ini ada beberapa teknik operasi laser yang lazim diterapkan:

1. Laser Peripheral Iridotomy (LPI)

Dilakukan pada glaukoma sudut tertutup. Pada teknik ini


dibuat lubang kecil di iris perifer sehingga iris terdorong ke
belakang lalu sudut bilik mata depan akan terbuka.

35
2. Laser Iridektomy

Teknik ini biasa digunakan sebagai terapi pencegahan


yang aman dan efektif untuk glaukoma sudut tertutup. Dilakukan
dengan membuat celah kecil di iris perifer dan mengangkat
sebagian iris yang menyebabkan sempitnya sudut bilik mata
depan. Beberapa keadaan yang tidak memungkinkan
dilakukannya laser iridektomy, diantaranya kekeruhan kornea,
sudut bilik mata depan yang sangat sempit dengan jaringan
iris yang sangat dekat dengan endotel kornea, penderita yang
pernah menjalani operasi ini sebelumnya namun gagal dan
pada penderita yang tidak bisa diajak bekerja sama.

3. Laser Trabeculoplasty

Dilakukan pada glaukoma sudut terbuka. Sinar laser


(biasanya argon) ditembakkan ke anyaman trabekula sehingga
sebagian anyaman mengkerut. Kerutan ini dapat mempermudah
aliran keluar cairan aquos. Pada beberapa kasus, terapi
medikamentosa tetap diperlukan. Tingkat keberhasilan dengan
Argon laser trabeculoplasty mencapai 75%. Karena adanya proses
penyembuhan luka maka kerutan ini hanya akan bertahan selama
2 tahun.

4. Neodymium: YAG laser cyclophotocoagulation (YAG CP) Teknik


ini digunakan pada glaukoma sudut tertutup. Caranya dengan
merusak sebagian corpus siliar sehingga produksi cairan aquos
berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kanski. JJ, Bowling. B: Clinical Ophthalmology.7rd ed. New York. 2011. Elsevier
Saunders. p.311-399

36
2. Vaughan.DG, Asbury.T, dan Riordan-Eva.P : Oftalmologi Umum. EGC. edisi 17.
Jakarta. 2009. Hal 220-238
3. Sidarta I, Muzakkir T, Salamun, Zainal A. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Jakarta. 2008
4. Mandova.S, Sweeny.T, Guyer.D : Color Atlas of Opthalmology. New York. 1999.
Thieme Medical Publishers,Inc. p.238-253
5. Sjamsu budiono. A comparative test of eyedrops timolol 0,5 % and betaxolol 0,5 %
in the reduction of intraocular pressure in primary open-angle glaucoma in dr.
sutomo hospital, Surabaya. J Folia Med Indo, vol (41). No.3 Juli-September
2005.[online]. 2008. Available from: http:// www.journal.unair.ac.id
6. Sandford J, Smith. Eye Disease in Hot Climates. Edisi 4. Elsevier. New
Delhi.2003.hal 312-320

37

Anda mungkin juga menyukai