PENDAHULUAN
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar. Banyak
korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja, ternak, dan
peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak psikologis
akibat bencana, misalnya - ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati rasa secara
emosional, dan kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian orang, dampak ini
memudar dengan berjalannya waktu. Tapi untuk banyak orang lain, bencana
memberikan dampak psikologis jangka panjang, baik yang terlihat jelas misalnya
depresi , psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah psikis)
ataupun yang tidak langsung : konflik, hingga perceraian.
Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan baik,
banyak korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan kecemasan,
gangguan stress pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan lebih dari
dampak fisik dari bencana, dampak psikologis dapat menyebabkan penderitaan
lebih panjang, mereka akan kehilangan semangat hidup, kemampuan social dan
merusak nilai-nilai luhur yang mereka miliki.
Dan berikut ini kami akan membahas tentang Post Traumatic Syndrom Disorder
(PTSD) sebagai salah satu gangguan psikologis akibat bencana alam.
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Post Traumatic Stress Disorder?
2. Apa Etiologi Post Traumatic Stress Disorder?
3. Apa Patofisiologi Post Traumatic Stress Disorder ?
4. Apa Gejala Post Traumatic Stress Disorder?
5. Apa Fase-fase Post Traumatic Stress Disorder ?
6. Apa Dampak Post Traumatic Stress Disorder ?
7. Apa Kriteria Diagnosis untuk Post Traumatic Stress Disorder ?
8. Bagaimana Penatalaksanaan Post Traumatic Stress Disorder ?
9. Bagaimana Asuhan Keperawatan Post Traumatic Stress Disorder ?
1.4 Metode
Metode yang digunakan untuk menyusun makalah ini adalah metode
pustaka.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Beberapa sumber mendefinisikan Post Traumatic Stress Disorder sebagai
berikut: Post Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang
dapat terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang
menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana terdapat
penganiayaan fisik atau perasaan terancam (American Psychological
Association, 2004).
Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang dapat
terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda
atau membuat anda merasa tidak berdaya (Smith & Segal, 2008).
B. Patofisiologi PTSD
3
dan perubahan dalam hormon stress dan katekolamin. Hipokampus dan
korteks prefrontal medial mempengaruhi respon amigdala dalam
menentukan respon ketakutan akhir. Ketika kita dalam keadaan takut dan
terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight . Dalam reaksi ini
tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan
darah,denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai
hilang makatubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses
ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan
kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan
kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin.
C. Etiologi
1. Faktor-faktor penyebab PTSD
Kejadian traumatic
Trauma masa kecil
Trauma fisik
Prosedur medikasi
Jenis kepribadian introvert
Lingkungan kerja
Tingkat pendidikan
Pengalaman
4
2. Faktor presipitasi :
Bencana alam, perang, kehilangan, kekerasan
3. Faktor Psikodinamika:
Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai
ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan
ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan
dimanifestasikan dalam bentuk perilaku simtomatik. Karena ego menjadi
rentan, superego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa
bersalah terhadap kejadian traumatic tersebut. Id dapat menjadi dominan,
menyebabkan perilaku impulsive tidak terkendali.
4. Faktor Biologis
Dari hasil penelitin, abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan, dan
eliminasi katekolamin yang memengaruhi fungsi otak di daerah lokus
seruleus, amigdala dan hipokampus. Hipersensitivitas pada lokus seruleus
dapat menyebabkan seseorang tidak dapat belajar. Amigdala sebagai
penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan koheren naratif serta
lokasi waktu dan ruang. Hiperaktivitas dalam amigdala dapat menghambat
otak membuat hubungan perasaan dalam memorinya sehingga
menyebabkan memori disimpan dalam bentuk mimpi buruk, kilas balik,
dan gejala-gejala fisik lain.
5. Dinamika Keluarga
Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan
perkiraan yang signifikan terjadinya PTSD. Keberhasilan dalam
pendidikan yang di bawah rata-rata, perilaku orang tua yang negatif, dan
kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan PTSD.
5
6. Faktor psikologi
Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada
perkembangan terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara
tipikalmenimbulkan emosi yang negatif ( sedih, marah, takut) sebagai
bagian dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis (
fight or flight response).
Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang mengalami
peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya trauma maka akan timbul
reaksi psikologi yang tidak disadari dan merupakan respon refleks yang
spesifik. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil yang
serius akan timbulrespon berupa ketakutan, berkeringat, takkardi setiap
kali dia melewatitempat kejadian tersebut.
Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian
trauma yang dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak
disukai dan tidak akan diulangi. Misalnya, pada anak yang mengalami
kecelakaan mobil maka iaakan berusaha untuk menghindari berada di
dalam mobil.
Modelling : merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut
berperan dalam perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orangtua
terhadap pengalaman traumatik anak merupakan prediksi terhadap
keparahan gejala PTSD anak.
7. Faktor sosial
Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan
meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah anak mengalami
kejadian traumatik.
6
D. Gejala PTSD
E. Fase-fase PTSD
Fase-fase keadaan mental pasca bencana:
1. Fase kritis
Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yangmana
terjadi selama kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana.
Pada fase ini kebanyakan orang akan mengalami gejala-gejala depresi
7
seperti keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam, susah tidur,dan
dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik.
2. Fase setelah kritis
Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan
penstabilan kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan
setelah bencana, pada fase ini telah tertanam suatu mindset yang menjadi
suatu phobia/trauma akan suatu bencana tersebut (PTSD) sehingga bila
bencana tersebut terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan cepat
dibandingkan pengalaman terdahulunya.
3. Fase stressor
Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat
berlangsung seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat
dogma semua telah berubah.
F. Dampak PTSD
- pusing,
- gangguan pencernaan,
- sesak napas,
2. Gangguan kognitif:
8
- mengingkari kenyataan,
- linglung,
- melamun berkepanjangan,
- lupa,
3. Gangguan emosi :
- mimpi buruk,
- marah,
- merasa bersalah,
- malu,
4. Gangguan perilaku :
5. Gangguan sosial:
9
- memisahkan diri dari lingkungan,
- menyepi,
- agresif,
- prasangka,
10
a. orang yang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan dengan
kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cidera yang serius atau ancaman kepada integritas
fisik diri sendiri atau orang lain,
b. respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak berdaya atau selalu
dihantui perasaan takut yang berlebihan. CATATAN: Pada anak-anak,
ini bukan oleh perilaku tidak teratur atau gelisah.
11
c. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma
yangdialaminya
b. Sulit berkonsentrasi
12
H. Penatalaksanaan Untuk PTSD
1. Farmakologi
13
c. Beta adrenergic blocking agents Obat yang digunakan golongan ini yakni,
Propanolol (Inderal). Obat inidapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk
anak-anak: 2,5 mg/kgBB/hari.
d. Antidepresan
e. Atipikal Antipsikotik
g. Benzodiazepin
2. Non Farmakologi
a. Terapi perilaku kognitif atau CBT. Ada beberapa bagian untuk CBT,
termasuk:
14
b) Exposure in reality
15
d. Anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk
membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui:
16
debriefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik
ketika melahirkan (Boyce & Condon, 2000).
g. Support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy
seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman serupa
(misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses
terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka,
kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi
penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai
trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa
memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita
membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain.
Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan
melawan kecemasan (Anonim, 2005b).
i. Terapi keluarga mungkin berguna karena perilaku orang dengan PTSD dapat
memiliki mempengaruhi anggota keluarga lainnya.
17
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS PTSD
A. Pengkajian
1. Identitas:
nama, tempat tangga lahir, alamat, agama, pekerjaa, status perkawinan, dll.
2. Riwayat Kesehatan
b. pengkajian fisik :
- gangguan tidur
- mimpi buruk
- hipersomnia
- mudah letih
- keletihan kronis
2) Sirkulasi
- palpitasi
- terasa panas
3) Integritas ego
18
- derajat ansietas bervariasi dengan gejal yang berlangsung berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan
4) Neurosensori
- kewaspadaan tinggi
- ketakutan berlebihan
19
- ketegangan otot, gemetar, kegelisahan motorik
5) Pernapasan
- dispneu
6) Keamanan
7) Seksualitas
- hilangnya gairah
- impotensi
8) Interaksi sosial
20
B. Diagnosa Keperawatan
C. Rencana keperawatan
DX Tujuan Intervensi
21
2 Klien dapat mengenal bantu klien untuk mengidentifikasi dan
ansietasnya menguraikan perasaannya
gunakan konsultasi
22
bantu klien untuk menyusun kembali tujuan
hidup, memodifikasi tujuan, menggunakan
sumber dan menggunakan koping yang baru
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
24
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J., !998. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 6. Alih Bahasa :
Yasmin Asih. Editor Monica Aster, Jakarta : EGC.
Keliat, Budi Anna. 1998. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Editor Yasmin
Asih, Jakarta : EGC
Struart, G.W., S undeen, S.J., 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3, Jakarta
25