Paleogeografi
Lingkungan pengendapan gambut (peat) umumnya merupakan suatu depresi yang menurun
secara perlahan; input mineral tidak ada atau sangat kecil, dan muka airtanah dapat
mengikuti pembentukan gambut.
Hanya di kawasan dengan curah hujan sangat tinggi ombrogeneous mires or high moors
termasuk raised bogs dan blanket bogs, dapat terbentuk di atas muka air tanah.
Istilahmire digunakan untuk sebuah habitat dimana bahan organik, terutama gambut
terakumulasi (Moore, 1987; McCabe, 1987).
Batubara paralik (gambut) terbentuk di dalam mires yang luas, yang berlokasi di dataran
pantai, seringkali terlindung oleh sand bars (overbank swamps) di kawasan laguna dan
delta.
Tren baru tentang petrology batubara adalah untuk mencari hubungan antara posisi
paleogeografi-sedimentologi pembentukan gambut dan komposisi petrologi batubara
(Smyth, 1979, 1980a, 1984; Styan and Bustin, 1983a; Harvey and Dillon, 1985; Diessel, 1986;
Cohen drr., 1987).
Diessel (1986) --- kondisi basah pembentukan gambut dibedakan atas dasar nilai GI dan TPI
yang tinggi, sedangkan kondisi kering oleh nilai GI dan TPI yang rendah.
sangat kaya akan inertodetrinite, yang terendapkan di dataran piedmont, dimana oksidasi
yang sangat kuat menyebabkan pembentukan telinit dan telokolinit terbatas, dan
Dalam kondisi penurunan muka air tanah, bahkan inertinit berstruktur-pun akan hancur dan
membentuk inertodetrinit in-situ, umumnya bergandengan dengan kenaikan abu inherent
dan sporinit yang agak resisten.
Di lain fihak, batubara yang terendapkan di lingkungan dataran delta atas dan fluviatil akan:
Kaya akan vitrinit (rawa hutan basah/wet forest swamp), tapi juga mineral lempung
klastik.
Batubara air payau (Brackish coals) yang terendapkan di dataran delta, sebagian berupa
gambut delta, dapat dibedakan berdasarkan nilai GI tinggi dan TPI rendah, juga oleh
kandungan pirit dan sulfur organik yang tinggi, akibat transgresi marin.
Umumnya, batubara yang kaya akan vitrit dan klarit terendapkan di lingkungan yang basah
dan lebih anoksik, seperto fore-deep.
Lingkungan fluviatil menyebabkan batubara kaya akan vitrit dan klarit, tetapi juga kaya akan
mineral matter.
Endapan lakustrin dicirikan oleh lapisan mikro-klarit dan durit, biasanya dengan kandungan
tinggi liptinit dan kolinit perhydrous.
Vitrit dan klarit yang miskin akan liptinit terbentuk dari vegetasi arboresen, bahwa klarit
yang kaya akan-liptinit merepresentasikan lumpur organik yang terendapkan di dalam danau
atau kolam berair diam (still-water), dan bahwa durite yang kaya akan-inertinit
menunjukkan lingkungan pengendapan relatif kering.
Durit yang kaya akan- liptinit terendapkan dalam kondisi basah sampai relatif kering.
Batubara dari lingkungan landward (air tawar) akan lebih kaya akan telinit, resinit, dan
inertinit.
tinggi--- berdekatan dengan paleochannels (pohon tinggi tumbuh karena suplai nutrien);
rendah ---- berangsur jauh dari paleochannels (Harvey and Dillon, 1985).
Di bagian distal lower delta yang tidak aktif yang berupa paya payau dan asin, akan
terendapkan lapisan tipis gambut yang kaya akan sulfur, dan berselingan dengan lapisan
sedimen klastika yang dominan.
Kawasan dengan dominasi fluvial di antara dataran delta bawah dan atas , dimana paya
sedge-grass (vegetasi) dan endapan gambut tebal hadir dalam lingkungan abandoned
channels, gambutnya kaya akan lempung, lanau, dan sulfur.
Alluvial dataran delta atas dengan gambut sedge-grass (vegetasi herbaceous) dan gyttjae,
keduanya miskin akan mineral klastik dan sulfur. .
Di dalam delta, hanya endapan gambut berbentuk cembung, akibat curah hujan tinggi, akan
yang akan menghalangi influx bahan mineral.
Fasies batubara sangat bergantung kepada bahan tetumbuhan yang berkontribusi terhadap
pembentukan gambut. Vegetasi di dalam mires dipengaruhi oleh :
Iklim
Tinggi muka air tanah (basah ke kering) --- hal yang paling penting, tidak hanya jenis vegetasi
tapi juga untuk redox-potential (oksik ke anoksik) yang menentukan jenis pengawetan sisa-
sisa tumbuhan.
Suplai nutrien.
Derajat keasaman.
Pengaruh marin.
Rawa terbuka dengan dominasi tumbuhan submerged atau mengambang, atau raised bogs
dengan with mosses atau shrubs atau pepohonan.
Karenanya, adalah biasa untuk memisahkan forest peats dari reed peats, subaquatic
peats (atau lumpu organik) dan gambut raised bogs.
Former organic muds and the sapropelic coals cannel and boghead, deposited in still-water
lakes or ponds,
followed landward by an open moor without trees, shrubs, sedges, etc. but with
submerged plants and washed-in-leaves and twigs, from which cutinite and sporinite-rich
clarites and durites with a distinct microlayering were formed
The main and most important vegetation of Carboniferous coals were certainly lycopods
forests with minor amounts of pteridosperm and ferns as well as cordaitean trees.
If the groundwater table sinks below the peat surface, oxidation will take place and will lead
to the formation of inertinite-rich durites (grey durains).
Hacquebard dan Donaldson (1969), berdasarkan petrologi batubara bersama dengan metode
sedimentologi dan palinologi, membedakan tipe petrografi berikut dan menginterpretasikannya
sebagai berikut:
Batubara kusam (Dull coals) dengan klarit dan durit yang kaya akan spora, bersama dengan parting
lempung tersebar secara regional dan ditafsirkan sebagai sendapan subaquatik.
According to Scott and Rex (1985) vegetation preserved in coal balls represents the most
complete data set for any plant habitat.
Coal balls are early petrified (mostly carbonatized, sometimes silicified) peats occur in
certain, often marine-covered seams.
a high ratio of cellulose to lignin in marsh plants (sedge, grasses), and limited exposure of
these tissues to desiccation and oxidation produce primarily desmocollinite.
Under freshwater conditions more telocollinite will form, under marine conditions more
desmocollinite.
Coals that are covered by marine clastic rocks are rich in sulfur of organic-sulfur as well as
pyrite.
Only part of the sulfur stems from the peat-forming plants, most of it comes from SO4-ions
of the seawater.
According to Neavel (1981) organic sulfur as well as pyrite owes their emplacement in the
seam to the activity of sulfur-reducing bacteria.
Desulfovibria desulfuricans reduces sulfate to H2S which is needed for pyrite formation.
The iron most likely enters the swamp adsorbed on clays.
Therefore, pyrite is often found adjacent to clay-rich zones which, for their part, are mostly
associated with vitrites and clarites.
According to Westgate and Anderson (1984), organic sulfur is enriched in 34S unlike pyretic
sulfur.
Cohen et al. (1984), Given and Miller (1985) and Styan and Bustin (1983a) confirmed that:
brackish and marine peats are enriched in organic and pyritic sulfur.
According to Cohen et al. (1984), burial of freshwater peat beneath marine or brackish peat
also leads to an increase of sulfur in the freshwater peat, particularly if clay-rich deposits
overlie it.
Marine-influenced coals are not only enriched in sulfur, but are also distinguished by
relatively high amounts of hydrogen, nitrogen, and volatile matter.
It seems that marine-influenced coals are especially suited to be oil source rocks
(Teichmuller, 1987, p.143).
their coking behaviour is anomalous and distinguished by softening temperatures and high
swelling indices.
Calcareous solutions from the floor or the roof or from partings within the seams cause
neutral or alkaline conditions for a strong bacterial activity which resulted in the formation
of fatty acids.
It has found that not only the H-rich liptinites but also perhydrous vitrinites generate
bitumen, even earlier than many liptinites.
A very modern topic for coal petrologists is the possible ombrogeneous, oligotrophic origin
of most mineable coal seams, especially of those with a relatively low ash content.
moreover, lead to an incorporation of fatty and proteinaceous bacterial substances into the
humic matter, which causes finally: