Anda di halaman 1dari 11

Pancasila sebagai paradigma kehidupan bermasyarakat,

Berbangsa, dan bernegara.

I. Pengertian Paradigma
Istilah paradigma secara terminologis dikembangkan oleh Thomas S Khun dalam bukunya Structure of
Scientific Revolution (1970 : 49). Intisari pengertian paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi
teoretis yang umum (merupakan sumber nilai) sehingga merupakan sember hukum, metode, serta penerapan
dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya paradigma berkembang menjaadi terminologi yang mengandung
konotasi pengrtian sumber nilai, kerangka berpikir, orientasi dasar, sumber serta arah dan tujuan dari suatu
perkembangan, perubahan seta proses dalam suatu bidang tertentu. (Drs H Kaelan, MS ; 2001)

I. Sistem Ekonomi Pancasila


Ekonomi Pancasila sebagai ilmu, seni, dan moral untuk membantu bangsa indonesia yang berideoologi
Pancasila, sedang dalam proses berkembang. Ekonomi pancasila adalah ekonomi moral bukan sekedar
economics atau political economy, karen ajiwanya adalah falsafah hidup bangsa Indonesia yang sudah
tertanam pada kalbu seluruh warga bangsa. Perekonomian yang efisien adalah yang tidak boros atau optimal
dalam pemanfaatan sumber-sumber daya (resources), dan sekaligus berkeadilan. Dalam perekonomian yang
adil, aturan mainnya berdasar etik dan moral yang telah disepakati benar-benar dipatuhi oleh semua pelaku
ekonomi.
keadilan ekonomi adalah aturan main tentang hubungan-hubungan ekonomi yang didasarkan pada prinsip-
prinsip etik, prinsip-prinsip mana pada gilirannya bersumber pada hukum-hukum alam, hukum Tuhan, dan sifat-
sifat sosial manusia. 1
Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi Nasional Indonesia oleh karenanya masyarakat bangsa yang
beraneka warna ciri-ciri kehidupannya, berinteraksi dalam semangat kekeluargaan, dalam upaya meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat menuju terwujudnya keadilan sosial. Keadilan sosial sebagai tujuan akhir
akan tercapai juika seluruh warga masyarakat tanpa kecuali mematuhi aturan main keadilan ekonomi. Aturan
main keadilan ekonomi itu bersumber pada setiap sila Pancasila yaitu :
Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi,
sosial dan moral
Seluruh warga masyarakat bertekad untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu
tidak akan membiarkan adanya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial

1
Mc Pherson, (1985) The Rise and Fall of economic Justice, Oxford, hal 2-3
Seluruh pelaku ekonomi yaitu produsen, konsumen dan pemerintah (yang bisa
bertindak sebagai produsen maupun konsumen) selalu bersemangat nasionalistik, yaitu setiap putusan-
putusan ekonominya menomorsatukan tujuan terwujudnya perekonomian Nasional yang kuat dan tangguh
Koperasi dan bekerja secara kooperatif selalu menjiwai pelaku ekonomi warga
masyarakat. Demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
Dalam perekonomian yang amat luas, terus menerus diupayakan adanya
keseimbangan antara perencanaan ekonomi nasional dengan peningkatan desentarlisasi seta otonomi
daerah. Hanya melalui partisipasi daerah secara aktif aturan main keadilan ekonomi bisa berjalan yang
selanjutnya menghasilkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.2
Untuk mengoreksi pembangunan yang timpang, aturan main ala sistem kapitalisme barat yang liberal harus
diganti dengan aturan main yang sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Dengan ekonomi
Pancasila, yang juga merupakan sistem ekonomi kerakyatan, para pelaku ekonomi, yaitu produsen, konsumen,
dan pemerintah, semuanya harus banting setir meninggalkan gaya lama yang etatistik dan sistem persaingan
bebas (free fight liberalism), serta monopoli yang jelas-jelas menguntungkan diri sendiri dan merugikan
masyarakat banyak.
Reformasi menuju ekonomi kerakyatan terbagi dalam reformasi kebijakan jangka pendek berupa upayap-
upaya mengatasi dampak sosial krisis ekonomi dan keuangan, dan penyusunan strategi pembangunan jangka
panjang. Dalam jangka pendek, berbagai program Jaring Pengaman sosial harus dilaksanakan berdasar asas
kerakyatan yaitu tidak boleh membiarkan pelaksanaan produksi dan distribusi oleh kelompok-kelompok tertentu
saja, sedangkan sebagian besar yang lain menonton. Prinsip dasar dari program-program pemberdayaan
ekonomi rakyat yang benar adalah sejauh mungkin mengurangi intervensi pemerintah dan aparat pemerintah,
dan sebanyak mungkin melibatkan partisipasi masyarakat sejak dari perencanaan program sampai pelaksanaan
dan pemanfaatannya.
Pemerataan pembangunan yang gagal pada masa lalu harus dijadikan prioritas utama dalam bentuk
reformasi total berbagai kebijakan jangka panjang. Strategi pembangunan yang menomorsatukan pemerataan
hanya dapat berjalan dengan merombak total sistem ekonomi kapitalistik perkoncoan menjadi sistem ekonomi
kerakyatan (demokrasi ekonomi) dan yang lebih utama lagi sistem ekonomi Pancasila yang moralistik,
nasionalistik, demokratis, dan berkeadilan.

III. Pancasila sebagai paradigma pengembangan IPTEK


Sejalan dengan ajaran filsafat Auguste Comte yang dikenal pula sebagai bapak Sosiologi, suatu
ensiklopedia telah disusun dengan meletakkan matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu, dan diatas
matematika, secara berurutan ia tunjukkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi, dan fisika sosial atau sosiologi
dalam suatu susunan hierarkhis atas dasar kompleksitas gejala-gejala yang dihadapi oleh masing-masing
cabang ilmu. bersamaan dengan itu, logico-positivisme, yaitu sebuah model epistemologi yang di dalam
2
Mubyarto, (1999), Reformasi Sistem Ekonomi; dari kapitalisme menuju ekonomi kerakyatan, aditya Media,
hal 58
langkah-langkah progresinya menempuh jalan observasi, eksperimentasi dan komparasi, sebagaimana
diterapkan dalam penelitian ilmu alam , mendapatkan apresiasi yang berlebihan, sehingga model ini juga mulai
dikembangkan dalam penelitian-penelitian ilmu-ilmu sosial. Dalam logico-positivisme, keberhasilan dan
kebenaran ilmiah diukur secara positivistik, dalam arti yang benar dan yang nyata haruslah kongret, eksak,
akurat, dan memberi kemanfaatan. Akibatnya ialah bahwa dimensi-dimensi kehidupan yang abstrak dan
kualitatif menjadi terabaikan, terlepas dari pengamatan. Keresahan dan penderitaan seseorang atau masyarakat
tidak tersentuh, obyektifitas dijelaskan secara matematis dengan hiasan angka-angka statistik yang disana-sini
sering menjadi tidak mempunyai makna.
Dengan adanya faktor- faktor heuristik yang mendorong lahirnya cabang-cabang ilmu yang baru,
seperti ilmu lingkungan, ilmu komputer, futurologi dan sebagainya, maka seribu satu model pengklasifikasian
pasti akan kita jumpai, sebagaimana kita lihat dalam kegidupan perguruan tinggi dengan munculnya berbagai
macam program studi yang baru. Kini ilmu pengetahuan dengan anak kandungnya yaitu teknologi dengan
temuan-temuan barunya yang melaju dengan cepat, mendasar, dan spektakuler, ternyata bukan lagi hanya
sekedar sarana bagi kehidupan manusia masa kini. IPTEK telah menjadi sesuatu yang substantif, IPTEK telah
menyenyuh semua segi dan sendi kehidupan secara ekstensif, dan selanjutnya merombak budaya manusia
secara intensif. Implikasinya adalah perbenturan tata nilai dalam segala aspek kehidupan.
Fenomena perombakan tadi tercermin dalam masyarakat kita yang dewasa ini sedanmg mengalami transisi
simultan yaitu :
1. masa transisi masyarakat dengan budaya agraris-tradisional menuju masyarakat imdustri-modern.
Disini peran mitos diambil oleh logos (akal fikir). Pandangan mengenai ruang dan waktu, etos kerja,
kaidah-kaidah normatif yang semula dijadikan panutan, bergeser mencari format baru yang dibutuhkan
untuk melayani masyarakat yang berkembang menuju masyarakat industri. Yang dituntut adalah
prestasi, siap pakai, keunggulan kompetitif, efisiensi, produktif dan kreatif.
2. masa transisinya budaya nasional kebangsaan menuju budaya global mondial. Visi atau orientasi dan
persepsi mengenai nilai-nilai universal seperti hak asasi, demokrasi, keadilan, kebebasan, juga
mengenai masalah limgkungan dilepaaskan dari ikatan fanatisme primordial, kesukuan, kebangsaan,
ataupun keagamaan, mengendor menuju ke kesadaran mondial dalam satu kesaatuan sintetis yang
lebih konkret dalam tastaran operasional. Batasan-batasan sempit menjadi terbuka, elektis, namun
tetap mentoleransi adanya pluriformitas sebagaimana digerakkan oleh paham post modernism.3
Dengan memasuki kawasan filsafat ilmu, ilmu pengetahuan yang kita letakkan diatas Pancasila sebagai
paradigmanya, perlu kita pahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistemologis, dan
aksiologisnya.4

IV. Pancasila sebagai paradigma pengembangan kebudayaan

3
Prof. DR. Koento Wibisono S, Pancasila sebagai paradigma pengembangan Ilmu Pengetahuan, Kapita Selekta
pendidikan Pancasila, Dirjen Dikti DEPDIKNAS, 2002
4
C. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Gramedia, Jakarta, 1989
Sesungguhnya bangsa Indonesia yang lahir sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tidak
bebas dari tuntutan perjuangan untuk mendapatkan pengakuan kesetaraan dalam pergaulan internasional atau
yang dinamakan oleh R Harris (1968) sebagai Revolution of equality yang bertujuan untuk kemerdekaan
sepenuhnya, membangun bangsa, dan kesejahteraan warganya.5
Walaupun tekad penduduk di kepulauan Nusantara itu telah tumbuh sejak Kebangkitan kebangsaan yang
ditengarai dengan berdirinya perkumpulan seni budaya (1908) dan disusul dengan sumpah pemuda, namun
untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang majemuk dengan keanekaragaman kebudayaannya tidaklah
mudah. Negara kita terdiri dari 450-500 etnis suku bangsa yang tersebar di 17 ribu pulau di seluruh Nusantara. 6
Kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan itu bukan hanya mencerminkan perwujudan pola-
pola adaptasi yang dikembangkan oleh masyarakat yang tersebar di kepulauan Nusantara, melainkan juga
karena pengalaman sejarah yang berbeda.
Kenyataan sosial budaya tersebut sangat dipahami oleh pendiri negara RI sejak awal, sebagaimana
tercermin dalam semangat dan substansi UUD 1945 khususnya pasal 32 yang sudah diamandemen dan
berbunyi : (1) negara memajukan kebudayaan nasional Indonesiadi tengah peradapan dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. (2) negara menghormati
dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Masyarakat majemuk di negara kita memerlukan kerangka acuan bersama yang dapat diterima
segenap penduduk dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara secara tertib dan efisien ,
tanpa menghancurkan kebudayaan-kebudayaan sukubangsa atau daerah yang masih berfungsi sebagai
kerangka acuan dalam lingkungan sosial masing-masing kelompoknya.
Namun pada kenyataannya Amanat UUD 1945 seringkali kurang dicermati oleh penyelenggara negara
maupun oleh masyarakat secara luas. Seringkali rasa keadilan, semangat kerakyatan, maupun kebebasan
budaya kurang menjadi perhatian bagi pemerintah. Bahkan demi keberhasilan pembangunan, kemajemukan
masyarakat dan keanekaragaman budayanya seolah-olah dikorbankan. Misalnya dengan adanya UU No 5
tahun 1979 yang mengganti semua lembaga-lembaga adat dengan perangkat-perangkat modern lembaga desa.
Kenyataan tersebut telah menimbulkan kekecewaan bahkan perlawanan di berbagai daerah, terutama
setelah runtuhnya Orde Baru. Tekanan lingkingan yang mengakibatkan keterbatasan sumber daya dan mutu
limgkungan hidup itu telah memicu penduduk untuk bersaing dalam mendapatkan berbagai peluang yang serba
terbatas. Persaingan tanpa jaminan keadilan sosial, penataan demokrasi maupun keleluasaan kasyaralat untuk
membangun kreatifitas budaya mereka itu telah membuka peluang berlakunya hukum rimba. Pertikaian antar
individu dalam memperebutkan sumber daya maupun peluang mobilitas sosial, ekonomi, dan politik, dengan
mudah memicu pertikaian antar kelompok yang mengaktifkan simbol-sikbol ikatan primordial untuk menggalang
massa.
Sesungguhnya setiap bangsa memerlukan satu kebudayaan nasional sebagai landasan atau media
sosial yang memperkuat persatuan. R Gellner (1988) dalam uraiannya tentang kebangsaan (nationalism)
sebagai prinsip politik, menyatakan arti pentingnya kebudayaan sebagai dasar ikatan sosial yang harus dibina.
5
Prof Dr S Budhisantosa, Kapita selekta Pendidikan Pancasila, op cit
6
Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Dirjen Kebudayaan RI, 1995
Kebudayaan nasional harus mampu menjembatani pergaulan sosial lintas kesukubangsaan maupun
kedaerahan dalam masyarakat yang majemuk.
Puncak-puncak kebudayaan di daerah hendaknya tidak diartikan sebagai perwujudan(manifestasi) dan
ungkapannya (expression) yang dapat terus berkembang, melainkan sebagai niula-nilai budaya inti (core value)
yang relatif kekal dan membentuk konfigurasi budaya yang berfungsi sebagai etos budaya bangsa.sebagai
konfigurasi budaya, setiap nilai budaya inti yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan di daerah itu berkaitan
satu sama lain dan saling melengkapi. Mereka memiliki kedudukan yang sama dan terpadu secara menyeluruh
sehingga tidak mungkin diperlakukan secara terpisah-pisah.
Puncak-puncak kebudayaan itu hendaknya diartikan sebagai unsur-unsur kebudayaan yang tumbuh dan
berkembang di daerah-daerah dengan ciri-ciri :
1. prinsip universalitas : merupakan unsur-unsur yang sangat luas persebarannya, dan dapat dianggap
menunjukkan persamaan (cultiral similarity), dan karena itu sangat besar peluangnya untuk diterima
sebagai unsur yang dapat memperkaya dan merangsang perkembangan kebudayaan nasional.
2. prinsip relevansi : puncak kebusdayaan itu juga harus mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan
masyarakat majemuk yang memerlukan kerangka acuan maupun media sosial untuk memperlancar
interaksi sosial lintas lingkungan sosial maupun kebudayaan secara tertib.
3. prinsip distingtif : puncak kebudayaan itu hendaknya juga diartikan sebagai unsur-unsur kebudayaan
yang mnenunjukkan kekhususan sebagai unsur kebudayaan yang diidolakan sebagai unsur jati diri
bangsa yang membedakan dari bangsa lain.
4. prinsip kemajuan (adab) : puncak kebudayaan itu hendaknya juga diartikan sebagai unsur-unsur
kebudayaan yang membuka peluang atau memperlancar lreatifitas masyarakat untuk mengembangkan
penemuan dan rekayasa pembaharuan menuju adab sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
5. Prinsip kesetaraan : Amanat pasal 32 UUD 1945 juga menekankan arti penting semangat kesetaraan di
samping keanekaragaman dalam pengembangan kebudayaan bangsa, yaitu menuju kemajuan adab,
budaya dan persatuan bangsa. Peleburan masyarakat majemuk menjadi satu bangsa yang beradab
tidak mungkin terlaksana tanpa pengakuan dan penghormatan kesetaraan dalam keanekaragaman
atau Bhineka Tunggal Ika.

V. Pancasila sebagai paradigma pengembangan Hukum dan HAM


Sebagai perangkat nilai yang menjadi cita hukum masyarakat Indonesia sebagaimana dicetuskan awal
mulanya oleh founding fathers kita, Pancasila seringkali dijadikan scapegoat, dengan menempatkannya sebagai
imbuhan dalam berbagai konsep yang sebenarnya tidak begitu jelas.7
Kondisi yang tengah kita alami pada masa transisi ini merupakan kulminasi dari ketidakpercayaan rakyat
pada pranata sosial yang ada, terutama pranata hukum, baik yang berkenaan dengan proses pembentukan,
penegakan, maupun penegaknya sendiri. Sejumlah masalah yang nampak berkenaan dengan bidang Hukum
dan HAM diantaranya :

7
Harkristuti Harkrisnowo, Kapita Selekta Pendidikan Pancasila, Op Cit
Sistem peradilan yang kurang independen dan imparsial
Belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan sosial.
Inkonsistensi dan diskriminasi dalam penegakan hukum
Besarnya intervensi kekuasaan terhadap hukum
Kemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat
Rendahnya pemahaman masyarakat mengenai hukum dan HAM termasuk adanya
miskonsepsi tentang kebebasan mendasar dan demokrasi
Keterbatasan pemahaman para pembuat keputusan dalam berbagai tingkatan mengenai
hukum dan HAM
Dalam bidang hukum dan HAM, nilai yang terkandung dalam kelima asas negara ini menurut Hamid
Attamini adalah fungsi konstitutif dan regulatif. Fungsi konstitutif yakni yang menentukan dasar suatu tata hukum
dan memberikan arti dan makna sebagai hukum.8 Sudah jelas bahwa dengan mengacu pada fungsi ini, maka
dalam setiap proses perumusan ketentuan perundang-undangan, para perumus harus selalu menjadikan nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai acuannya. Sedangkan fungsi regulatif dirumuskan sebagai
fungsi yang menentukan apakah suatu hukum positif bersifat adil atau tidak adil.
Sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial, hukum sepantasnya mengacu pada tujuan utama yang
ditentukan, yang jika diterjemahkan melalui Pembukaan UUD 1945 adalah masyarakat yang cerdas, adil dan
makmur. Merupakan konsekwensi logis apabila kemudian semua ketentuan perundang-undangan harus
dikembalikan pada tujuan tersebut. Selayaknya juga dipahami bahwa ketentuan hukum pada dasarnya bukan
hanya ditujukan bagi subyek yang berupa rakyat suatu negara, akan tetapi juga mengikat para penyelenggara
kekuasaan negara, yang tercermin dari konsep negara berdasar atas hukum dan bukan atas dasar kekuasaan.
Nilai religius yang diamanatkan dalam Sila pertama, dapat dikatakan merupakan suatu keunikan dalam
penyelenggaraan negara RI dibandingkan dengan negara-negara lain, yang tentunya berangkat dari kondisi
masyarakat Indonesia sendiri. Dengan menempatlan diri sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa, ingin disampaikan
bahwa pada dasarnya manusia tidak akan berarti apapun dalam kehidupannya tanpa kekuasaanNya.
Kondisi pada beberapa tahun ini menunjukkan bahwa rendahnya toleransi pada perbedaan dan upaya
mengunggulkan golongan sendiri telah membawa akibar negatif yang luar biasa bagi kehidupan bermasyarakat.
Bhineka Tunggal Ika, yang ditera pada lambang negara seakan tidak memiliki makna simbolis apapun kecuali
sebagai slogan yang harus dihafal. Kesadaran akan makna persatuan menjadi tercabik-cabik oleh fenomena
semacam ini.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, merupakan
asas yang menghasilkan seperangkat nilai yang menjadi landasan kehidupan sebagai warga negara dalam
pemerintahan, yang dirumuskan dalam hak untuk turut seta dalam pemerintahan. Pada dasarnya asas ini
mengutamakan partisipasi publik yang merupakan salah satu unsur dalam kerangka Good Governance.
Implikasinya adalah dalam proses pengambilan keputusan, publik harus dilibatkan utnuk menyuarakan aspirasi
mereka.
8
A. Hamid Attamini, Pancasila : Cita Hukum Kehidupan Bangsa Indonesia, Pancasila Sebagai Ideologi,
Jakarta : BP7 Pusat
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indomesia mengandung elemen keadilam yang sebenarnya lebih dari
sekedar keadilan menurut hukum (kegak Justice). Sila terakhir ini membawa kedepan sejumlah landasan pikir
bagi semua komponen, yang menyangkut antara lain :
a. Hak atas pendidikan, pekerjaan, perumahan yang layak bagi setiap insan
b. Hak atas keadilan hikum yang didasari pada asas persamaan dimuka hukum
c. Adanya mekanisme hukum yang memastikan bahwa keadilan diberikan pada setiap
insan.
Perumusan ketentuan mengenai HAM yang kini ada dalam konstitusi merupakan hasik dari tuntutan civil
society yang makin menguat yang mereflaksikan keinginan publik untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan
penentuan kebijakan.
MPR dalam sidang istimewa medio Nopember 1998 bergasil membuat TAP No.XVII/MPR/1998 tentang hak-hal
asasi manusia.
Perwujudan dalam sistem hukum yang lain diantaranya :
1. 1958 : Konvensi hak-hak politik perempuan : UU no 58 tahun 1958
2. 1984 : Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan : UU N0. 7
tahun 1984
3. 1990 : Konvensi tentang hak-hak anak, Leppres No.36 tahun 1990
4. 1993 : Konvensi anti apartheid dalam olah raga, Leppres no 48 tahun 1993
5. 1998 : Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi
dan merendahkan martabat manusia : UU No. 5 Tahun 1998
6. 1999 : UU No 39 tentang HAM
7. 2000 : UU No 26 tentang pengadilan HAM

HAM dalam Pasal 28 UUD 1945 ( Amandemen II )


1. hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya
2. hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah
3. hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang seta atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi
4. hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, hak atas pendidikan dan
memperoleh manfaat dari IPTEK
5. hak untuk memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun bangsa
6. hal atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
7. hak untuk diperlakukan sama di depan hukum
8. hak untuk bekerja dan mendapat imbalan yang layak
9. hak dalam pemerintahan
10. hak atas status kewarganegaraan
11. hak untuk beragama dan beribadat
12. hak untuk memilih pekerjaan
13. hak untuk memilih kewarganegaraan
14. hak untuk memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya seta kembali ke negaranya
15. hak atas kebebasan meyakini lepercayaannya, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani
16. hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, termasuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi melalui sarana apapun
17. hak atas perlindungan diri pribadi dan keluarganya, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
dibawah kekuasaannya
18. hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi
19. hak untuk bebas dari penyiuksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
20. hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin
21. hak atas keadilan dan persamaan
22. hak atas jaminan sosial
23. hak untuk mempunyai hak milik pribadi
24. hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) mencakup
hak untuk hidup
hak untuk tidak disiksa
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani
hak beragama
hak untuk tidak diperbudak
hal untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum
hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut
25. hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif

VI. Pancasila sebagai paradigma pembangunan Nasional bidang Sosial dan Politik
Pancasila adalah suatu kontrak politik bersejarah yang bersifat mendasar dari seluruh lapisan dan
kalangan dalam batangf tubuh bangsa Indonesia yang besar ini.9 Sebagaimana halnya setiap kontrak politik,
substansinya mengikat seluruh rakyat dan seluruh jajaran pemerintah.
Kendala utama yang dihadapi Pancasila sebagai dasar negara adalah adanya dikrepansi antara esensinya
sebagai formula nasionalisme Indonesia, dengan sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan yang
menuangkannya ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konsep nasionalisme yang
pada dasarnya merupakan konsep modern, dan secara teoritikal mampu menampung pluralitas masyarakat
Indonesia, diberi wadah yang hanya cocok dengan budaya politik suatu daerah yaitu Jawa. Mungkin itulah
sebabnya sejarah politik nasional Indonesia berayun-ayun antara format negara kesatuan dengan negara

9
Dr. Safroedin Bahar, Kapita Selekta Pendidikan Pancasika, Dirjen Dikti, Depdiknas, 2002
federal, antara pemetintahan yang sangat sentrakistik dengan tekanan untuk mendesentrakisasikan kekuasaan
dan sumber daya, hubungan yang tidak pernah stabil antara pusat dan daerah, antara keinginan untuk mencapi
masyarakat adil dan makmur dan kegarusan untuk melancarkan rangkaian operasi militer ke \daerah-daerah
yang resah, antara konsep wawasan nusantara dan ketahanan nasional yang dirumuskan tahun 1965 dengan
sesanti Bhineka Tunggal Ika yang diresmikan tahun 1951, juga antara keinginan membangun suatu Ibndonesia
yang modern dengan dambaan untuk memelihara dan melestarikan warisan nenek moyang.
Indonesia dewasa ini hidup dalam dunia modern dan telah menjadi bagian integral dari dunia tersebut.
Nasionalisme masih tetap relevan untuik mejadi dasar dari terbentuknya dan berfungsinya negara-negara, akan
tetapi nasionalisme itu juag harus menempatkan diri dalam konteks baru ini dan memberi tempat bagi dua
fenomena politik modern, yaitu : kebangkitan kesadaran komunitas etnik akan identitas dirinya, serta tumbuhnya
komunitas politik dunia baru yang bernama PBB. Masyarakat daerah yang merasa ditindas oleh negara
nasionalnya, kini bukan hanya semakin vokal menuntut pengakuan terhadap identitasa dirinya (Timtim, Aceh,
Papua, Riau), tetapi juga dapat mengajukan appeal kepada PBB, dan mencari dukungan dari negara-negara
lain yang bersimpati. Karena desakan dari luar maupun dari dalam ini, maka Indonesia harus mengkaji ulang
format kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada kenyatannya, saat ini Pancasila menghadapi tantangan konseptual dan tantangan kelembagaan.
Tantangan konseptual Pancasila adalah memahami dan merumuskan secara jernih, seta disepakati bersama
dengan sungguh-sungguh tentang kandunga nilai dan makna Pancasila, baik masinga-masing sila maupun
Pancasila sebagai suatu kebulatan ide.
Berikutnya dalam dimensi kelembagaan, Pancasila perlu memberikan jawaban terhadap kebutuhan kita
memperoleh efek sinergi sebesar-besarnya dari persatuan, dan kita sebagai bangsa, sambil menekan sekecil-
kecilnya dampak negatif yang bisa terjadi pada demikian besarnya akumulasi sumber sdaya nasional di tangan
mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan pemerintah, baik di tingkat pemerintah pusat maupun
daerah.
Salah satu kemungkinan upaya untuk hal itu adalah dengan secepatnya meningkatkan taraf
pendidikan, kecerdasan seta sikap kritis rakyat kita, dan jangan membiarkan berlanjutnya kelicikan elite untuk
memperbodoh rakyat dengan berbagai cara yang sudah tidak dipergunakan lagi di negara yang beradap, seperti
dengan menyebar-nyebarkan kesaktian sang pemimpin. Baik secara formal maupun informal, berbagai variasi
demokrasi terpimpin harus ditolak dengan tegas, karena ajaran tersebut memandang rakyat yang berdaulat itu
hanya sekedar wong cilik. Pemimpin harus diukur dari kredibilitas pribadi serta kinerjanya untuk orang banyak.

Pancasila Sebagai Sistem Filsafat.


I. Pengertian
Filsafat secara Epistemologis berasal dari bahasa Yunani yaitu philein yang berarti cinta dan sophos yang
berarti hikmah / kebijaksanaan
Secara harfiah filsafat mengandung makna cinta kebijaksanaan.
Secara keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai masalah dapat dikelompokkan menjadi dua macam :
Filsafat sebagai produk yang mencakup pengertian, yaitu:
1) Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep, pemikiran-pemikiran para filsuf pada jaman
dahulu yang lazimnya merupakan suatu aliran atau system filsafat tertentu
2) Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi manusia sebagai hasil aktifitas berfilsafat
Filsafat sebagi suatu proses, yang dalam hal ini filsafat diartikan dalam bentuk suatu aktifitas berfilsafat,
dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu
yang sesuai dengan obyeknya.

II. Cabang-cabang filsafat diantaranya :


Metafisika, yang membahas tentang hal-hal yang bereksistensi di balik fisis, yang
meliputi bidang-bidang ontology, kosmologi dan antropologi
Epistemologi, yang berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan
Metodologi, yang berkaitan dengan persoalan hakikat metode dalam ilmu
pengetahuan
Logika, yang berkaitan dengan persoalan filsafat berpikir, yaitu rumus-rumus dan
dalil berfikir yang benar
Etika, yang berkaitan dengan moralitas, tingkah laku manusia
Estetika, yang berkaitan denga persoalan hakikat keindahan

III. Pancasila Sebagai Sistem filsafat memiliki :


a) Dasar Antropologis / ontologis, bahwa manusia sebagai pendukung
Pancasila memiliki hal-hal mutlak, terdiri dari susunan kodrat jiwa-raga, jasmani-rohani, makhluk
individu-sosial, pribadi yang berdiri sendiri-makhluk Tuhan YME
b) Dasar Epistemologis
Pancasila sebagai sistem pengetahuan merupakan pedoman dasar bagi bangsa Indonesia dalam
memandang realitas alam, semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara, tentang makna hidup,
sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam hidupnya.
Pancasila juga merupakan sistem cita-cita, keyakinan-keyakinan, oleh karenanya juga merupakan
suatu ideologi.

3 unsur pokok ideologi :


Logos : rasionalitas / penalaran
Pathos : penghayatan
Ethos : kesusilaan
3 persyaratan mendasar epistemologi :
Sumber pengetahuan manusia
Teori kebenaran pengetahuan manusia
Watak pengetahuan manusia
c) Dasar aksiologis sila-sila Pancasila ; nilai-nilai dalam Pancasila merupakan satu
kesatuan
Nilai menurut Max Scheler :
1. Nilai kenikmatan yang bisa dirasakan indera manusia
2. Nilai kehidupan yang bisa berupa kesehatan, kesejahteraan, dsb
3. Nilai kejiwaan, bisa berupa keindahan dan kebenaran
4. Nilai kerohanian
Nilai menurut Notonagoro :
1. Nilai Material
2. Nilai vital
3. Nilai kerohanian yang terdiri dari :
Nilai kebenaran yang meliputi akal, rasio, dan budi manusia
Nilai keindahan, yang meliputi perasaan manusia
Nilai kebaikan / moral, yang mencakup kehendak / karsa manusia
Nilai religius, yang mencakup keyakinan manusia

IV. Penjabaran Nilai


Nilai dasar, yang merupakan hakikat, esensi, intisari, dan makna terdalamnya
Nilai Instrumental, merupakan formulasi, parameter, ukuran untuk merealisasikan
nilai dasar dalam kehidupan sehari-hari. Secara riil berupa norma moral, arahan, kebijaksanaan, dan
strategi yang bersumber dari nilai dasar
Nilai praxis merupakan wujud dan penjabaran nilai instrumental.

Anda mungkin juga menyukai