Anda di halaman 1dari 6

Indeks BB/U dipengaruhi oleh banyak faktor selain ASI.

Konsumsi ASI lebih mengarah pada


perbaikan asupan zat gizi tertentu dan mikronutrien pada anak, bukan pada asupan energi secara
keseluruhan. Penambahan berat badan sangat dipengaruhi oleh kejadian kesakitan pada anak,
sementara pengaruhnya pada pertumbuhan linier kurang signifikan. Dengan demikian probabilitas
MP-ASI yang lebih tinggi pada anak mengaburkan efek pemberian ASI terhadap penambahan
berat badan.
Keberhasilan pemberian ASI secara optimal dipengaruhi oleh banyak hal, bahkan sejak
masa kehamilan, seperti asupan gizi yang baik dan perawatan payudara. Di sinilah letak
pentingnya mengkaji ulang tingkat keberhasilan promosi ASI yang selama ini dilakukan. Keempat
butir
rekomendasi Global Infant and Young Child Feeding perlu disosialisasikan secara proporsional,
jangan hanya menitikberatkan pada salah satu atau sebagiannya saja. Promosi kesehatan,
khususnya ASI, sudah seharusnya menjadi kepentingan semua pihak, bukan hanya tugas tenaga
kesehatan. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat perlu diperkuat untuk mendukung perubahan
perilaku dan upaya perbaikan gizi yang berkesinambungan mengingat sejumlah temuan dalam
penelitian ini identik dengan kondisi di beberapa negara di Afrika dan Amerika Selatan 10 hingga
25
tahun yang lalu.
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) menjadi titik tolak praktik pemberian ASI di awal kehidupan
anak. Sayangnya wacana IMD masih merupakan hal yang baru bagi sampel (ibu). Hampir semua
ibu
tidak mengetahui dan tidak mempraktikkan IMD.
ASI eksklusif seharusnya turut berkontribusi terhadap capaian durasi pemberian ASI. Namun
dalam penelitian ini ditemukan bahwa 32.1% anak sudah mendapatkan susu formula di tempat
bersalin 2-3 jam setelah anak lahir. Anak sudah diberi minuman selain ASI di 3 hari pertama
kehidupannya karena ASI tidak/belum juga keluar.
Hambatan keluarnya ASI pada umumnya lebih banyak disebabkan karena kendala
psikologis ibu. Sangat penting bagi ibu untuk memiliki keyakinan yang kuat bahwa ia akan mampu
menghasilkan ASI yang memadai untuk anak. Di sinilah letak pentingnya IMD, dimana
rangsangan
isapan akan memacu hipofisis anterior mengeluarkan hormon prolaktin ke dalam aliran darah.
Prolaktin memacu sel kelenjar untuk sekresi ASI. Makin sering bayi mengisap, makin banyak
prolaktin
dilepas oleh hipofisis, sehingga makin banyak pula ASI yang diproduksi. Mekanisme tersebut
menjelaskan bahwa produksi ASI mengikuti pola supply and demand12,14.
Harmani dan Ansori melaporkan bahwa pengetahuan gizi ibu signifikan berhubungan
dengan status gizi anak15,16. Lain halnya dengan penelitian ini, pengetahuan ibu yang baik (87%)
tentang ASI dan gizi seimbang justru tidak berhubungan secara signifikan dengan status gizi anak.
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 82
Mayoritas ibu menjawab salah pada butir kuesioner tentang ASI eksklusif dan durasi pemberian
ASI.
Di samping itu, pengetahuan yang baik belum berdampak pada perubahan kebiasaan dan perilaku
hidup sehari-hari.
Penelitian ini tidak menemukan perbedaan status gizi yang signifikan antara anak
perempuan dan laki-laki. Masyarakat di Kelurahan Cigugur Tengah tidak memiliki kultur yang
membedakan pemberian makan antara anak perempuan dan laki-laki sehingga makanan tetap
diberikan dalam kualitas dan kuantitas yang sama.
Alvarado et al menemukan hubungan yang signifikan antara konsumsi MP-ASI dengan
status gizi anak (TB/U)7, sementara penelitian ini tidak (untuk semua indeks antropometri).
Perbedaan mungkin terjadi karena food Recall 1x24 jam kurang menggambarkan rata-rata asupan
konsumsi makan anak. Kebiasaan jajan anak pun dapat menyebabkan asupan makanan menjadi
sangat variatif setiap harinya.
Rata-rata asupan energi dan protein anak cukup baik ( 80% AKG). Rata-rata asupan lemak
mencukupi (> 4/5 dari 30% kontribusi lemak terhadap energi total sehari). Demikian pula dengan
asupan karbohidrat (> 4/5 dari 60% kontribusi karbohidrat terhadap energi total sehari). Meskipun
demikian, hasil analisis data menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara asupan energi,
protein, lemak, dan karbohidrat dengan status gizi anak. Hal ini mungkin disebabkan oleh asupan
zat
gizi makro yang hanya mencukupi secara kuantitas, tetapi belum tentu mencukupi secara kualitas.
Hasil food recall 1x24 jam menunjukkan bahwa anak-anak mendapatkan asupan energi dan lemak
tinggi dari jajanan yang umumnya tinggi gula dan minyak. Untuk itu, asupan makan anak perlu
diperbaiki. Selain membatasi kebiasaan jajan, anak perlu mendapatkan zat gizi yang berkualitas
untuk mendukung tumbuh kembang yang optimal. Sebagai contoh, sumber protein disarankan
yang
bernilai biologis tinggi tetapi dengan harga yang terjangkau. Telur cukup layak sebagai pilihan,
atau
setidaknya tempe, tahu, dan kacang-kacangan.
Onyango et al menyatakan bahwa peningkatan konsumsi MP-ASI tidak dapat
mengkompensasi asupan lemak dan vitamin A yang didapat dari ASI. Onyango menyimpulkan
bahwa
pada tahun kedua kehidupan anak, khususnya anak dengan asupan MP-ASI inadekuat (jumlah
asupan dan bioaviabilitas protein rendah), ASI diasumsikan signifikan memiliki kualitas gizi lebih
tinggi, meskipun tidak menjamin kuantitas yang adekuat. Allen dan Uauy (1994) dalam Onyago
et al
menyatakan bahwa durasi pemberian ASI yang pendek pada anak-anak dari keluarga dengan status
sosial ekonomi rendah dapat menyebabkan defisiensi beberapa vitamin, mineral, dan asam lemak
esensial6.
Variabel diare ditemukan berhubungan signifikan dengan status gizi anak untuk indeks BB/U
dan PB/U. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Woge di Nusa Tenggara Timur (p = 0,001;
OR
= 4,6), Simondon et al di Senegal (p < 0,05), Rowland et al (1988); De Romana et al (1989); dan
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani 83
Brown (2003) dalam Alvarado et al7,9,17. Hubungan yang tidak signifikan untuk indeks BB/PB
(p =
0.193) cukup mendukung hasil penelitian Briend et al dan Checkley et al yang melaporkan korelasi
sangat lemah antara diare dengan pertumbuhan anak (BB/PB)18,19.
Pada penelitian ini, variabel infeksi yang diteliti hanya kejadian diare pada anak, sementara
jenis infeksi lainnya seperti demam, batuk, pilek, dan sebagainya tidak diidentifikasi. Di samping
itu,
identifikasi kejadian diare terbatas pada jangka waktu 2 minggu sebelum sampel diteliti. Data akan
lebih signifikan jika peneliti mengidentifikasi diare dan infeksi lain secara utuh (riwayat dan
frekuensinya) dengan jangka waktu yang lebih panjang sehingga memungkinkan untuk
menemukan
hubungan lebih jelas antara durasi pemberian ASI dengan status gizi anak dalam hal kemampuan
ASI memberikan efek proteksi terhadap kejadian infeksi.
Sejalan dengan studi Sinantri dan Setyawan, penelitian ini tidak menemukan perbedaan
status gizi yang signifikan antara anak yang ibunya bekerja dengan anak yang ibunya tidak
bekerja20,21. Seperti halnya pengetahuan yang tidak berdampak pada perubahan kebiasaan dan
perilaku, ibu yang tidak bekerja dan memiliki waktu lebih banyak setiap harinya bersama anak
ternyata tidak secara otomatis memberikan perhatian yang lebih baik pada gizi dan tumbuh
kembang
anak. Di samping itu, kondisi sosial ekonomi yang terbatas membuat banyak ibu rumah tangga
terlihat semakin apatis terhadap gizi dan tumbuh kembang anaknya.
Secara umum, model persamaan regresi menunjukkan bahwa pertumbuhan linier anak
diprediksi akan mengikuti pola normal jika durasi ASI dan ASI eksklusif optimal, anak terhindar
dari
diare, ibu bekerja tetap memperhatikan asupan makan anak, dan asupan energi serta protein
minimal
mencapai 80% angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Berdasarkan variabel yang diteliti dan dan
pola hubungan yang diperoleh, sangat penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dengan: (1)
menggali lebih dalam variabel-variabel yang masih menunjukkan kesenjangan antara teori dan
kenyataan di lapangan; (2) meneliti variabel-variabel yang tidak diteliti; dan (3) menggunakan
disain
penelitian kohort prospektif untuk melihat hubungan antara faktor risiko dan efek secara
longitudinal.
Selama pengumpulan data, peneliti membuat sebuah catatan penting tentang praktik
pengukuran status gizi yang selama ini dilakukan di masyarakat. Pengukuran antropometri yang
dilakukan oleh kader Posyandu kurang akurat. Kesalahan mungkin tampak sepele, tetapi akan
berdampak besar terhadap surveilans status gizi balita. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya
pembinaan intensif untuk meningkatkan keterampilan kader. Sarana pengukuran antropometri pun
harus representatif, misalnya sarung timbang yang baik dan dacin yang ditera secara berkala.
Melalui
upaya tersebut, diharapkan diperoleh data dan informasi surveilans status gizi yang tepat sebagai
landasan dalam merumuskan kebijakan, program, dan kegiatan perbaikan gizi yang sesuai dengan
kebutuhan di lapangan.

HUBUNGAN ANTARA DURASI PEMBERIAN ASI DAN FAKTOR LAINNYA DENGAN STATUS GIZI
PADA ANAK UMUR 12-24 BULAN DI KELURAHAN CIGUGUR TENGAH
KECAMATAN CIMAHI TENGAH
KOTA CIMAHI TAHUN 2009
Susilowati Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani

Kisaran umur ibu adalah 20-25 tahun. Pada umur ini menjadi masa pencapaian keberhasilan kerja,
kemapanan dalam gaya hidup, sikap, nilai kehidupan dan pola makan yang baik dan sehat untuk
pemeliharaan kesehatannya. Pada usia tersebut merupakan usia yang matang untuk mempunyai
seorang bayi dan mempunyai pengalaman yang lebih dari pada usia yang lebih muda sehingga usia
ibu yang lebih dewasa akan dapat lebih mengerti tentang bagaimana cara agar produksi ASInya bisa
lancar dan kebutuhan ASI pada bayinya dapat tercukupi (Proverawati, 2009).
Rata-rata pendidikan responden yaitu SMA/SMK, pendidikan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pengetahuan, pendidikan yang telah ditempuh oleh seseorang maka akan
mempengaruhi pengetahuan mereka tentang gizi. Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan
seseorang mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi
seseorang maka akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk
dikonsumsi (Sediaoetama, 2004).

Sebagian besar pekerjaan responden adalah ibu rumah tangga, ibu yang tidak bekerja cenderung
lebih memperhatikan menu makanannya sehari-hari, ibu yang tidak bekerja mempunyai kesempatan
waktu untuk menyiapkan menu makanan yang sehat untuk keluarganya. Ibu-ibu yang bekerja, kondisi
kerja yang menonjol, aktifitas yang berlebih dan kurangnya istirahat saat bekerja berpengaruh pada
kurangnya zat gizi. Selain itu penyediaan makanan dari perusahaan tempat ibu bekerja yang tidak
sesuai dengan kebutuhan gizi ibu akan berisiko kekurangan zat gizi, jika hal ini terjadi dalam waktu
panjang (Depkes, 2002

Berdasarkan karakteristik responden berdasarkan IMT, IMT terbanyak adalah dengan kategori
normal yaitu sebanyak 29 responden (60,4%). Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan salah satu cara
yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi seseorang. Keadaan gizi (kurang atau lebih)
terjadi karen kegagalan mencapai gizi seimbang. Penderita gizi kurang merupakan akibat dari
konsumsi energi yang tidak cukup, sedangkan penderita gizi lebih merupakan akibat dari konsumsi
energi yang berlebih. Untuk mencegah risiko IMT rendah atau lebih pada ibu, maka selama kehamilan
ibu sudah harus dalam kondisi gizi yang baik. Pemantauan ini bisa dilakukan dengan melihat lingkar
lengan atasnya (LILA). Sementara itu untuk melihat IMT ibu, cukup melakukan penimbangan berat
badan dan pengukuran tinggi badan yang kemudian dibandingkan dengan nilai IMT, apabila ibu
dengan IMT >18,5 25.0 maka dapat dikatakan normal, sedangkan jika dibawah nilai tersebut
dikatakan kurang dan jika lebih dikatakan gemuk dan obesitas. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi status gizi ibu, diantaranya adalah asupan makanan. Asupan energy dan protein
merupakan penyebab langsung terjadinya masalah gizi selain infeksi (Supariasa, 2001).

Berdasarkan Tabel 1, sebesar 88% contoh


masih diberikan ASI (ASI saja dan ASI yang didampingi
MPASI). Dari 88% contoh yang masih
diberikan ASI, hanya sebesar 34% yang mendapatkan
ASI eksklusif. Sebesar 12% contoh sudah
tidak diberikan ASI melainkan diberikan pengganti
ASI (Tabel 1). Jadwal pemberian ASI berbeda
pada setiap responden, 73% responden
memberikan ASI jika anak menangis, 20% responden
memberikan ASI jika anak meminta, dan 7% responden memberikan ASI setiap saat
(Tabel 1).
Lama waktu menyusui pada contoh berkisar
antara satu menit sampai dengan satu
jam (rata-rata menyusui 15-16 menit). Berdasarkan
Tabel 1 sebanyak 73% contoh menyusu
selama 15 menit.

Lamanya menyusu pada hari-hari pertama


bayi baru lahir biasanya selama 4-5 menit
karena ASI belum banyak yang keluar. Menyusu
pada hari-hari pertama kelahiran dimaksudkan
untuk merangsang produksi ASI dan
membiasakan puting susu dihisap oleh bayi.
Bayi boleh disusukan selama 10 menit setelah
bayi berusia 4-5 hari dan setelah ASI yang diproduksi
banyak, bayi dapat disusukan selama
15 menit (Soetjiningsih, 1997).

Anda mungkin juga menyukai