Anda di halaman 1dari 12

Anatomi, Embriologi, Histologi dan Fisiologi Kornea

a. Embriologi Kornea
Mata berkembang dari tiga lapisan embrional primitif, yaitu ektoderm,
neuroektoderm dan mesoderm. Kornea dibentuk dari lapisan neural crest cell
yang merupakan derivat dari ektoderm.
Pada akhir dari minggu ke 6 gestasional, kornea telah terdiri dari 3 lapis,
yaitu lapisan epitel skuamosa superfisial dengan sel basal yang berbentuk kubus,
lapisan stroma dan laisan set endotel. Pada bulan ke empat, lapisan Bowman dan
descement mulai terlihat. Saat lahir ukuran diameter kornea mencapai 10,00 mm
dan terus berkembang kemudian berhenti ketika telah berusia 1 tahun.1

Kornea

Gambar 1
Gambar kornea dan bagian-bagian di sekitar kornea (tampak samping)

b. Anatomi dan Histologi Kornea


Kornea berasal dari bahasa Latin, kornu, yang berarti tanduk.
Kornea merupakan bagian tunika fibrosa yang transparan, tidak mengandung
pembuluh darah, dan kaya akan ujung-ujung serat saraf. Kornea berasal dari
penonjolan tunika fibrosa ke sebelah depan bola mata.2 Kornea berhubungan dengan
sklera pada limbus yang merupakan depresi sirkumferensial yang dapat disebut juga
dengan sulkus sklera. Ketebalan kornea pada manusia dewasa rata-rata adalah 0,52 mm
pada bagian tengah, dan 0,65 mm pada bagian perifer, dengan diameter 11,75 mm
secara horizontal. 3
Kornea bertanggung jawab terhadap kekuatan optik dari mata. Dengan tidak adanya
pembuluh darah maka untuk memenuhi kebetuhan nutrisi dan pembuangan produk
metabolik pada kornea dilakukan melalui aqueous humor pada bagian posterior dan
melalui air mata yang melewati bagian anterior. Kornea diinervasi oleh cabang pertama
dari nervus trigeminus yang menyebabkan segala kerusakan pada kornea (abrasi
kornea, keratitis, dll) menimbulkan rasa sakit, fotofobia, dan refleks lakrimasi.4
Secara histologis, kornea dibagi menjadi 5 bagian yaitu:
a. Epitel kornea2,4
Epitel kornea merupakan lanjutan dari konjungtiva disusun oleh epitel gepeng berlapis
tanpa lapisan tanduk. Lapisan ini merupakan lapisan kornea terluar yang langsung
kontak dengan dunia luar dan terdiri atas 5-6 lapis sel. Basal sel kolumnar pada lapis
sel pertama melekat dengan membran basement dibagian bawahnya dengan
hemidesmosome. Dua lapisan diatas sel basal tersebut merupakan sel wing, atau sel
payung, dan dua lapisan diatas berikutnya merupakan sel gepeng.
Epitel kornea ini mengandung banyak ujung- ujung serat saraf bebas. Sel-sel yang
terletak di permukaan cepat menjadi aus dan digantikan oleh sel-sel yang terletak di
bawahnya yang bermigrasi dengan cepat. Stem cell epitelial ini terletak pada superior
dan inferior limbus.
b. Membran Bowman 2,3
Membran Bowman merupakan lapisan fibrosa aseluler yang terletak di bawah epitel
tersusun dari serat kolagen tipe 1.
c. Stroma Kornea2,3
Stroma kornea tersusun dari serat-serat kolagen tipe 1 yang berjalan secara paralel
membentuk lamel kolagen dengan sel-sel fibroblast diantaranya. Lamel kolagen ini
berjalan paralel dengan permukaan kornea dan bertanggung jawab terhadap kejernihan
kornea. Ketebalan stroma kornea mencakup 90% dari ketebalan kornea. Stroma kornea
tidak dapat beregenerasi.
d. Membran Descemet2,3,4
Membran descemet merupakan membran dasar yang tebal tersusun dari serat-serat
kolagen yang dapat dibedakan dari stroma kornea. Memiliki ketebalan sekitar 3 mm
pada saat lahir dan meningkat ketebalannya sepanjang usia. Membran Descemet
memiliki potensi untuk beregenerasi.
e. Endotel kornea
Lapisan ini merupakan lapisan kornea yang paling dalam tersusun dari epitel selapis
gepeng atau kuboid rendah. Sel-sel ini mensintesa protein yang mungkin diperlukan
untuk memelihara membran Descement. Sel-sel ini mempunyai banyak vesikel dan
dinding selnya mempunyai pompa natrium yang akan mengeluarkan kelebihan ion-
ion natrium ke dalam kamera okuli anterior. Ion-ion klorida dan air akan mengikuti
secara pasif. Kelebihan cairan di dalam stroma akan diserap oleh endotel sehingga
stroma tetap dipertahankan dalam keadaan sedikit dehidrasi (kurang cairan), suatu
faktor yang diperlukan untuk mempertahankan kualitas refraksi kornea.
Kornea bersifat avaskular (tak berpembuluh darah) sehingga nutrisi didapatkan dengan
cara difusi dari pembuluh darah perifer di dalam limbus dan dari humor aquoeus di
bagian tengah. Kornea menjadi buram bila endotel kornea gagal mengeluarkan
kelebihan cairan di stroma. Pada manusia dewasa, densitas dari endotel kornea adalah
sekitar 2.500 sel/mm2. Densitas ini berkurang sepanjang usia kurang lebih 0,6% setiap
tahun dan sel-sel endotel tetanga membesar berusaha untuk mengisi ruang kosong. Sel-
sel endotel ini tidak dapat beregenerasi. Pada densitas 500 sel/mm2, akan terjadi edema
kornea dan transparansi menjadi berkurang.
Gambar 2. Histologi Kornea4

c. Fisiologi Kornea
Fungsi dari kornea adalah sebagai membran protektif dan sebagai jendela yang
dilewati oleh cahaya untuk sampai ke retina.
Sifat transparan dari kornea dihasilkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan,
yaitu susunan dari lamela kornea, sifat avaskular, serta keadaan dehidrasi relatif (70%)
yang dijaga oleh adanya efek barrier dari epitelium, endotelium, dan pompa bikarbonat
yang bekerja secara aktif pada endotelium. 2,3,4,5,6,7
Keadaan dehidrasi tersebut dihasilkan oleh evaporasi air dari laporan air mata
prekorneal yang menghasilkan lapisan dengan sifat hipertonis. Dalam hal ini,
endotelium memegang peranan yang lebih besar daripada epitelium. Demikian pula
bila terjadi kerusakan pada endotelium, akan diperoleh dampak yang lebih
besar.2,3,4,5,6,7
Penetrasi pada kornea yang sehat atau intak oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut
lemak dapat melewati epithelium dan substansi larut air dapat melewati stroma. Obat
yang diharapkan untuk dapat menembus kornea harus memiliki kedua sifat tersebut.5
d. Metabolisme Kornea
Untuk menyokong sifat fisiologis tersebut, kornea membutuhkan energi. Adapun
sumber energi kornea diperoleh melalui:
Zat terlarut, misalnya glukosa, masuk ke kornea secara pasif melalui difusi
sederhana maupun secara transpor aktif melalui aqueous humor, serta melalui
difusi dari kapiler perilimbal.
Oksigen, secara langsung diperoleh dari udara atmosfer melalui lapisan air
mata. Proses ini dijalankan secara aktif melalui epitelium.
Sumber energi ini kemudian diproses / dimetabolisme, terutama oleh epitelium dan
endotelium. Dalam hal ini, karena epitelium jauh lebih tebal daripada endotelium,
suplai energi yang dibutuhkan pun jauh lebih besar, sehingga akitivitas metabolisme
tertinggi di mata dijalankan oleh kornea.5 Kornea adalah jaringan yang braditrofik,
yaitu jaringan dengan metabolisme yang lambat dan karenanya juga penyembuhan
yang lambat.6
Sebagaimana jaringan lain, epitelium dapat melangsungkan metabolisme secara
aerobik maupun anaerobik. Secara aerobik, proses yang terjadi adalah glikolisis (30%)
dan heksosa monofosfat (65%). Secara anaerobik, metabolisme akan menghasilkan
karbon dioksida, air, dan juga asam laktat.3,4,5
Kornea juga dilengkapi oleh beberapa materi antioksidan untuk menangkal radikal
bebas yang dapat terjadi sebagai efek samping dari proses metabolisme. Adapun
antioksidan yang terkandung dalam jumlah terbesar pada kornea adalah glutation
reduktase, selain terdapat pula askorbat, superoksida dismutase, serta katalase.
Proteksi dan Persarafan Kornea
Struktur ini menerima persarafan dari cabang ophtalmica dari nervus trigeminalis.
Kornea sendiri adalah sebuah struktur vital pada mata dan karenanya juga bersifat
sangat sensitif. Sensasi taktil minimal telah dapat menimbulkan refleks penutupan
mata. Adapun lesi pada kornea akan membuat ujuang saraf bebas terpajan dan sebagai
akibatnya, akan timbul nyeri hebat diikuti refleks pengeluaran air mata beserta lisozim
yang terkandung di dalamnya (epifora) dan penutupan mata secara involunter
(blefarospasme) sebagai mekanisme proteksinya.6
Resistensi Kornea terhadap Infeksi
Epitelium kornea, dengan sifat hidrofobik dan regenerasi cepatnya, merupakan
pelindung yang sangat baik dari masuknya mikroorganisme ke dalam kornea. Akan
tetapi, bila lapisan ini mengalami kerusakan, lapisan stroma yang avaskular serta
lapisan Bowman dapat menjadi tempat yang baik bagi mikroorganisme, misalnya
bakteri, amuba, dan jamur. 3
Faktor predisposisi yang dapat memicu inflamasi pada kornea di antaranya adalah
blefaritis, perubahan pada epitel kornea (misalnya mata kering), penggunaan lensa
kontak, lagoftalmus, kelainan neuroparalitik, trauma, dan penggunaan kortikosteroid.
Untuk dapat menimbulkan infeksi, diperlukan inokulum dalam jumlah besar atau
keadaan defisiensi imun. 3
Di dalam kornea itu sendiri, terdapat Streptococcus pneumoniae, yang merupakan
bakteri patogen kornea yang sesungguhnya. Salah satu bakteri oportunis yang dapat
menginfeksi adalah Moraxella liquefaciens. Umumnya, mikroorganisme ini ditemui
pada pengonsumsi alkohol sebagai akibat dari deplesi piridoksin. Di samping itu,
ditemukan pula kelompok lain, misalnya Serratia marcescens, Mycobacterium
fortuitum-chelonei complex, Streptococcus viridans, Staphylococcus epidermidis,
virus, amuba, dan jamur. 3
Faktor lain, yaitu defisiensi imun, dapat disebabkan oleh konsumsi
kortikosteroid lokal maupun sistemik, sehingga organisme oportunistik dapat
menyerang dan menginfeksi kornea.3

2.2. Definisi Ulkus Kornea


Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat
kematian jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai
defek kornea bergaung, dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari
epitel sampai stroma.2,3
Ulkus kornea adalah suatu kondisi yang berpotensi menyebabkan kebutaan
yang membutuhkan penatalaksanaan secara langsung.4

2.3. Epidemiologi Ulkus Kornea


Ulkus kornea menjadi penyebab tersering kebutaan di Amerika dengan
insidensi 30.000 kasus pertahun dan California sebesar 28 per 100.000 orang
pertahun, dengan perkiraan sebanyak 75.000 orang yang mengalami ulkus
kornea setiap tahunnya.8
Insidensi ulkus kornea di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 5,5 %
dengan prevalensi tertinggi 11% di Bali, 10,2% di DIY dan 9,4% di Sulawesi
Selatan. Prevalensi kekeruhan kornea terendah sebesar 2% dilaporkan di Papua
Barat dan 3,1% di DKI Jakarta. Prevalensi kekeruhan kornea pada laki-laki
cenderung sedikit lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Prevalensi
kekeruhan kornea yang paling tinggi sebesar 13,6% ditemukan pada kelompok
responden yang tidak sekolah. Petani, nelayan, dan buruh mempunyai prevalensi
kekeruhan kornea tertinggi, yaitu sebanyak 9,7% dibanding kelompok pekerja
lainnya. Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi tersebut berkaitan dengan
riwayat trauma atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat
pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia.9
2.4. Etiologi Ulkus Kornea1,10
a. Infeksi
Infeksi Bakteri : P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies
Moraxella merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk
sentral. Gejala klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar
bersifat mukopurulen yang bersifat khas menunjukkan infeksi P aeruginosa.
Infeksi Jamur : disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergilus,
Cephalosporium.
Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas
dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah
akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila
mengalami nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster,
variola, vacinia (jarang).
Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat didalam air yang
tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh
acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna lensa
kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi
juga biasanya ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak yang terpapar air
atau tanah yang tercemar.

b. Noninfeksi
Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.11
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik,
organik dan organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan
terjadi pengendapan protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak
tinggi maka tidak bersifat destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat
superfisial saja. Trauma kimia asam adalah trauma pada kornea dan
konjungtiva yang disebabkan karena adanya kontak dengan bahan kimia asam
yang dapat menyebabkan kerusakan permukaan epitel bola mata, kornea dan
segmen anterior yang cukup parah serta kerusakan visus permanen baik
unilateral maupun bilateral. Sebagian besar bahan asam hanya akan
mengadakan penetrasi terbatas pada permukaan mata, namun bila penetrasi
lebih dalam dapat membahayakan visus. Asam sulfat merupakan penyebab
paling sering dari seluruh trauma kimia asam. Asam bereaksi dengan air mata
yang melapisi kornea dan mengakibatkan temperatur meningkat (panas) dan
terbakarnya epitel kornea. Semua asam cenderung untuk mengkoagulasi dan
mengendapkan protein. Sel-sel terkoagulasi pada permukaan berfungsi
sebagai penghalang relatif pada penetrasi asam yang lebih parah. Protein
jaringan juga memiliki efek buffer pada asam, yang berkontribusi pada sifat
terlokalisir luka bakar asam.
Pada bahan alkali antara lain amonia, cairan pembersih yang
mengandung kalium/natrium hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi
penghancuran kolagen kornea. Trauma basa biasanya lebih berat daripada
trauma asam, karena bahan-bahan basa memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan
lipolifik dimana dapat mengijinkan mereka secara cepat untuk penetrasi sel
membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai retina. Sementara
trauma asam akan menimbulkan koagulasi protein permukaan, dimana
merupakan suatu sawar perlindungan agar asam tidak penetrasi lebih
dalam. Bahan ammonium hidroksida dan akustik soda dapat menyebabkan
kerusakan yang berat karena mereka dapat penetrasi secara cepat, dan
dilaporkan bahwa bahan akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata
depan dalam waktu 7 detik. Kornea, pada organ ini dapat terjadi edema
kornea karena adanya kerusakan dari epitel, glikosaminoglikan, keratosit, dan
endotel, sehingga aquos humor dari bilik mata anterior dapat masuk kedalam
kornea. Selain itu karena adanya iskemia limbus suplai nutrisi berkurang
sehingga menyebabkan tidak terjadinya reepitelisai kornea dan pada akhirnya
dapat timbul sikatrik pada kornea.

Radiasi atau suhu


Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan
merusak epitel kornea.
Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca yang
merupakan suatu keadaan mata kering yang dapat disebabkan defisiensi unsur
film air mata (aqeous, musin atau lipid), kelainan permukan palpebra atau
kelainan epitel yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik kering pada
kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul ulkus pada kornea dan defek
pada epitel kornea terpulas dengan fluoroscent.
Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan vitamin
A dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan ganggun
pemanfaatan oleh tubuh.
Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya; kortikosteroid,
IDU (Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.
Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.
Pajanan (exposure)
Dapat timbul pada situasi apapun dengan kornea yang tidak cukup dibasahi
dan dilindung oleh palpebra.
Neurotropik
Ulkus yang terjadi akibat gangguan saraf ke V atau ganglion Semilunare
Gasseri. Pada keadaan ini kornea atau mata menjadi anestetik dan reflek
mengedip hilang. Benda asing pada kornea bertahan tanpa memberikan
keluhan selain daripada itu kuman dapat berkembang biak tanpa ditahan daya
tahan tubuh. Terjadi pengelupasan epitel dan stroma kornea sehingga menjadi
ulkus kornea.

c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)


SLE
SLE adalah gangguan autoimun multisistem dengan komplikasi okular di
segmen anterior dan posterior, termasuk keratitis sicca, episkleritis, ulkus
kornea, uveitis, dan vasculitis retina.

Rheumathoid arthritis
RA adalah gangguan vaskulitis sistemik yang paling sering melibatkan
permukaan okular. Pasien dengan RA berat sering hadir dengan ulserasi
progresif indolen dari kornea perifer atau pericentral dengan peradangan
minimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perforasi kornea.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Tukak (Ulkus) Kornea. Dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. 159-167
2. Jusuf AA. Diktat Kuliah; Tinjauan Histologi Bola Mata, Alat Keseimbangan
dan Pendengaran. Bagian Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2012.
3. Vaughan, Asbury. Lensa. Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta : EGC; 2010. p
125-35.
4. Kanski JJ. Clinical Ophtalmology: a systematic approach 7th ed. USA:
Elsevier. 2011.
5. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. New Delhi: New Age
International; 2007. p. 89-126.
6. Lang GK, Ophhalmology. Stuttgart: Thieme; 2000.p.117-41.
7. Cassidy L, Oliver J. Ophthalmology at a Glance. Massachusetts: Blackwell
Science; 2005. p.66-8.
8. Amescua G, Miller D, Alfonso E.C. 2012. What is Causing the Corneal
Ulcer?Management Strategies for Unresponsive Corneal Ulceration. Bascom
Palmer Eye Institute, University of Miami Miller School of Medicine, Miami,
Florida, USA
9. Riset Kesehatan Dasar. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Daerah
Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
10. Murillo-Lopez FH. Corneal Ulcer. New York: The Medscape from WebMD
Journal of Medicine; [updated 2011, Nov 13; cited 2012, October 14].
11. Ilyas S. Trauma Kimia. Dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, 2010. 271-273

Anda mungkin juga menyukai