a. Embriologi Kornea
Mata berkembang dari tiga lapisan embrional primitif, yaitu ektoderm,
neuroektoderm dan mesoderm. Kornea dibentuk dari lapisan neural crest cell
yang merupakan derivat dari ektoderm.
Pada akhir dari minggu ke 6 gestasional, kornea telah terdiri dari 3 lapis,
yaitu lapisan epitel skuamosa superfisial dengan sel basal yang berbentuk kubus,
lapisan stroma dan laisan set endotel. Pada bulan ke empat, lapisan Bowman dan
descement mulai terlihat. Saat lahir ukuran diameter kornea mencapai 10,00 mm
dan terus berkembang kemudian berhenti ketika telah berusia 1 tahun.1
Kornea
Gambar 1
Gambar kornea dan bagian-bagian di sekitar kornea (tampak samping)
c. Fisiologi Kornea
Fungsi dari kornea adalah sebagai membran protektif dan sebagai jendela yang
dilewati oleh cahaya untuk sampai ke retina.
Sifat transparan dari kornea dihasilkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan,
yaitu susunan dari lamela kornea, sifat avaskular, serta keadaan dehidrasi relatif (70%)
yang dijaga oleh adanya efek barrier dari epitelium, endotelium, dan pompa bikarbonat
yang bekerja secara aktif pada endotelium. 2,3,4,5,6,7
Keadaan dehidrasi tersebut dihasilkan oleh evaporasi air dari laporan air mata
prekorneal yang menghasilkan lapisan dengan sifat hipertonis. Dalam hal ini,
endotelium memegang peranan yang lebih besar daripada epitelium. Demikian pula
bila terjadi kerusakan pada endotelium, akan diperoleh dampak yang lebih
besar.2,3,4,5,6,7
Penetrasi pada kornea yang sehat atau intak oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut
lemak dapat melewati epithelium dan substansi larut air dapat melewati stroma. Obat
yang diharapkan untuk dapat menembus kornea harus memiliki kedua sifat tersebut.5
d. Metabolisme Kornea
Untuk menyokong sifat fisiologis tersebut, kornea membutuhkan energi. Adapun
sumber energi kornea diperoleh melalui:
Zat terlarut, misalnya glukosa, masuk ke kornea secara pasif melalui difusi
sederhana maupun secara transpor aktif melalui aqueous humor, serta melalui
difusi dari kapiler perilimbal.
Oksigen, secara langsung diperoleh dari udara atmosfer melalui lapisan air
mata. Proses ini dijalankan secara aktif melalui epitelium.
Sumber energi ini kemudian diproses / dimetabolisme, terutama oleh epitelium dan
endotelium. Dalam hal ini, karena epitelium jauh lebih tebal daripada endotelium,
suplai energi yang dibutuhkan pun jauh lebih besar, sehingga akitivitas metabolisme
tertinggi di mata dijalankan oleh kornea.5 Kornea adalah jaringan yang braditrofik,
yaitu jaringan dengan metabolisme yang lambat dan karenanya juga penyembuhan
yang lambat.6
Sebagaimana jaringan lain, epitelium dapat melangsungkan metabolisme secara
aerobik maupun anaerobik. Secara aerobik, proses yang terjadi adalah glikolisis (30%)
dan heksosa monofosfat (65%). Secara anaerobik, metabolisme akan menghasilkan
karbon dioksida, air, dan juga asam laktat.3,4,5
Kornea juga dilengkapi oleh beberapa materi antioksidan untuk menangkal radikal
bebas yang dapat terjadi sebagai efek samping dari proses metabolisme. Adapun
antioksidan yang terkandung dalam jumlah terbesar pada kornea adalah glutation
reduktase, selain terdapat pula askorbat, superoksida dismutase, serta katalase.
Proteksi dan Persarafan Kornea
Struktur ini menerima persarafan dari cabang ophtalmica dari nervus trigeminalis.
Kornea sendiri adalah sebuah struktur vital pada mata dan karenanya juga bersifat
sangat sensitif. Sensasi taktil minimal telah dapat menimbulkan refleks penutupan
mata. Adapun lesi pada kornea akan membuat ujuang saraf bebas terpajan dan sebagai
akibatnya, akan timbul nyeri hebat diikuti refleks pengeluaran air mata beserta lisozim
yang terkandung di dalamnya (epifora) dan penutupan mata secara involunter
(blefarospasme) sebagai mekanisme proteksinya.6
Resistensi Kornea terhadap Infeksi
Epitelium kornea, dengan sifat hidrofobik dan regenerasi cepatnya, merupakan
pelindung yang sangat baik dari masuknya mikroorganisme ke dalam kornea. Akan
tetapi, bila lapisan ini mengalami kerusakan, lapisan stroma yang avaskular serta
lapisan Bowman dapat menjadi tempat yang baik bagi mikroorganisme, misalnya
bakteri, amuba, dan jamur. 3
Faktor predisposisi yang dapat memicu inflamasi pada kornea di antaranya adalah
blefaritis, perubahan pada epitel kornea (misalnya mata kering), penggunaan lensa
kontak, lagoftalmus, kelainan neuroparalitik, trauma, dan penggunaan kortikosteroid.
Untuk dapat menimbulkan infeksi, diperlukan inokulum dalam jumlah besar atau
keadaan defisiensi imun. 3
Di dalam kornea itu sendiri, terdapat Streptococcus pneumoniae, yang merupakan
bakteri patogen kornea yang sesungguhnya. Salah satu bakteri oportunis yang dapat
menginfeksi adalah Moraxella liquefaciens. Umumnya, mikroorganisme ini ditemui
pada pengonsumsi alkohol sebagai akibat dari deplesi piridoksin. Di samping itu,
ditemukan pula kelompok lain, misalnya Serratia marcescens, Mycobacterium
fortuitum-chelonei complex, Streptococcus viridans, Staphylococcus epidermidis,
virus, amuba, dan jamur. 3
Faktor lain, yaitu defisiensi imun, dapat disebabkan oleh konsumsi
kortikosteroid lokal maupun sistemik, sehingga organisme oportunistik dapat
menyerang dan menginfeksi kornea.3
b. Noninfeksi
Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.11
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik,
organik dan organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan
terjadi pengendapan protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak
tinggi maka tidak bersifat destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat
superfisial saja. Trauma kimia asam adalah trauma pada kornea dan
konjungtiva yang disebabkan karena adanya kontak dengan bahan kimia asam
yang dapat menyebabkan kerusakan permukaan epitel bola mata, kornea dan
segmen anterior yang cukup parah serta kerusakan visus permanen baik
unilateral maupun bilateral. Sebagian besar bahan asam hanya akan
mengadakan penetrasi terbatas pada permukaan mata, namun bila penetrasi
lebih dalam dapat membahayakan visus. Asam sulfat merupakan penyebab
paling sering dari seluruh trauma kimia asam. Asam bereaksi dengan air mata
yang melapisi kornea dan mengakibatkan temperatur meningkat (panas) dan
terbakarnya epitel kornea. Semua asam cenderung untuk mengkoagulasi dan
mengendapkan protein. Sel-sel terkoagulasi pada permukaan berfungsi
sebagai penghalang relatif pada penetrasi asam yang lebih parah. Protein
jaringan juga memiliki efek buffer pada asam, yang berkontribusi pada sifat
terlokalisir luka bakar asam.
Pada bahan alkali antara lain amonia, cairan pembersih yang
mengandung kalium/natrium hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi
penghancuran kolagen kornea. Trauma basa biasanya lebih berat daripada
trauma asam, karena bahan-bahan basa memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan
lipolifik dimana dapat mengijinkan mereka secara cepat untuk penetrasi sel
membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai retina. Sementara
trauma asam akan menimbulkan koagulasi protein permukaan, dimana
merupakan suatu sawar perlindungan agar asam tidak penetrasi lebih
dalam. Bahan ammonium hidroksida dan akustik soda dapat menyebabkan
kerusakan yang berat karena mereka dapat penetrasi secara cepat, dan
dilaporkan bahwa bahan akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata
depan dalam waktu 7 detik. Kornea, pada organ ini dapat terjadi edema
kornea karena adanya kerusakan dari epitel, glikosaminoglikan, keratosit, dan
endotel, sehingga aquos humor dari bilik mata anterior dapat masuk kedalam
kornea. Selain itu karena adanya iskemia limbus suplai nutrisi berkurang
sehingga menyebabkan tidak terjadinya reepitelisai kornea dan pada akhirnya
dapat timbul sikatrik pada kornea.
Rheumathoid arthritis
RA adalah gangguan vaskulitis sistemik yang paling sering melibatkan
permukaan okular. Pasien dengan RA berat sering hadir dengan ulserasi
progresif indolen dari kornea perifer atau pericentral dengan peradangan
minimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perforasi kornea.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Tukak (Ulkus) Kornea. Dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. 159-167
2. Jusuf AA. Diktat Kuliah; Tinjauan Histologi Bola Mata, Alat Keseimbangan
dan Pendengaran. Bagian Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2012.
3. Vaughan, Asbury. Lensa. Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta : EGC; 2010. p
125-35.
4. Kanski JJ. Clinical Ophtalmology: a systematic approach 7th ed. USA:
Elsevier. 2011.
5. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. New Delhi: New Age
International; 2007. p. 89-126.
6. Lang GK, Ophhalmology. Stuttgart: Thieme; 2000.p.117-41.
7. Cassidy L, Oliver J. Ophthalmology at a Glance. Massachusetts: Blackwell
Science; 2005. p.66-8.
8. Amescua G, Miller D, Alfonso E.C. 2012. What is Causing the Corneal
Ulcer?Management Strategies for Unresponsive Corneal Ulceration. Bascom
Palmer Eye Institute, University of Miami Miller School of Medicine, Miami,
Florida, USA
9. Riset Kesehatan Dasar. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Daerah
Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
10. Murillo-Lopez FH. Corneal Ulcer. New York: The Medscape from WebMD
Journal of Medicine; [updated 2011, Nov 13; cited 2012, October 14].
11. Ilyas S. Trauma Kimia. Dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, 2010. 271-273