Anda di halaman 1dari 41

RESPONSI

MORBUS HANSEN MULTIBASILER DENGAN REAKSI ERITEMA


NODUSUM LEPROSUM (ENL)

Disusun oleh:
Mila Ulfia
G99162103

Pembimbing:
dr. Nurrachmat Mulianto, M.Sc, Sp. KK

KEPANITERAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN RESPONSI

Kasus Responsi yang berjudul : Morbus Hansen Multi Basiler dengan Reaksi
Eritema Nodusum Leprosum (ENL)

Mila Ulfia, NIM : G99162103


Periode Koass: 23 Oktober s/d 19 november 2017

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dari Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret
Yang bertanda tangan dibawah ini :

Surakarta, 6 November 2017

Chief Residen Koass Residen Bangsal

dr. Agung dr. Ambar

Staff Pembimbing

dr. Nurrachmat Mulianto, M.Sc., Sp.KK

1
TINJAUAN PUSTAKA MORBUS HANSEN
ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, M.Sc, Sp.KK


Nama : Mila Ulfia
NIM : G99162103

MORBUS HANSEN

A. Definisi
Morbus Hansen adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae. Infeksi bakteri ini terutama mengenai kulit,
sistem saraf perifer, namun dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas,
mata, kelenjar getah bening dan testis dan sendi-sendi.1,2

B. Epidemiologi
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta yaitu orang yang tinggal
di daerah endemik dengan kondisi yang buruk (tempat tidur yang tidak
memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya
penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun) Pria
memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.2
Prevalensi kusta yang terdaftar secara global pada akhir tahun 2015
adalah 176.176 kasus (0,2 kasus per 10.000 orang). Jumlah kasus baru yang
dilaporkan secara global pada tahun 2015 211.973 (2,9 kasus baru per
100.000 orang). Pada tahun 2014, 213.899 kasus baru dilaporkan terjadi, dan
pada tahun 2013, 215.656 kasus baru.
Statistik global menunjukkan bahwa 199.992 (94%) kasus kusta baru
dilaporkan dari 14 negara. Masing-masing negara dari 14 negara tersebut
melaporkan lebih dari 1000 kasus baru dan hanya 6% kasus baru yang

1
dilaporkan terjadi di wilayah lain di dunia.
Endemisitas tinggi masih ada di beberapa wilayah di banyak negara,
termasuk negara-negara yang melaporkan kurang dari 1000 kasus baru.
Beberapa area ini menunjukkan tingkat pemberitahuan yang sangat tinggi
untuk kasus baru dan mungkin masih mengindikasikan transmisi yang kuat.4

Gambar 1. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2015

Di Indonesia kasus kusta baru pada tahun 2013 terbanyak pada provinsi jawa
timur (4.132 jiwa), Jawa Barat (2.180 jiwa), Jawa Tengah (1.765 jiwa), papua
(1.180 jiwa), dan Sulawesi selatan (1.172 jiwa).

Grafik 1. Kasus Baru Kusta 2013

2
C. Etiologi
Kuman penyebab dari Morbus Hansen adalah Mycobacterium leprae,
suatu bakteri gram positif tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1-8,
lebar 0,2-0,5 biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu.2,3
Mycobacterium leprae berwarna merah pada pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN).
Bakteri ini bersifat obligat intraseluler, biasanya menginfeksi makrofag dan
sel Schwann. Replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-
mediated immune response, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik,
sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan iskemia,
fibrosis, dan kematian akson.2 Suhu yang dibutuhkan untuk bertahan hidup
dan proliferasi adalah antara 27-300C sehingga bakteri banyak ditemukan di
area permukaan seperti kulit, saraf perifer, testis, saluran napas atas, dan
organ dalam bawah. Daerah predileksi pada jaringan yang lebih dingin (kulit,
sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran
napas atas, kaki serta testis) dan tidak mengenai area yang hangat (aksila,
inguinal, kepala dan garis tengah punggung). Masa belah diri kuman kusta
memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain. Oleh
karena itu masa tunasnya sekitar 2-5 tahun.1,3
Hewan perantara yang biasa menularkan penyakit Kusta antara lain
ditemukan dalam 3 spesies yaitu armadillos, simpanse dan monyet
mangabay.2

Gambar 2. Bakteri M.leprae

3
D. Cara Penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan daripenderita kusta tipe multi basilar
(MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan
yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat
bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit.
E. Patogenesis
M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan
oleh respon imun yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik. Cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan penularan tersering
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui
mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor
imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang
rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan
nontoksis.1
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC
(Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan
signal kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen
(TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada
permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan
ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang
berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan
mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2.
Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1.5
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan
fagositosis makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari

4
M.leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada
permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2
juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid
I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida
dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena
gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus
dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus
diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan
membesar disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan
membentuk granuloma. 5
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi
dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan
mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13
akan mengaktifasi sel mast.5
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan
tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah
Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, tampak bahwa Th 1 akan lebih tinggi
dibandingkan dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous Leprosy, Th2 akan
lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.5

F. Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi untuk penyakit kusta1:
1. Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988):
Klasifikasi yang lebih sederhana digunakan untuk tujuan operasional dan
terapeutik, berdasarkan tampakan manifestasi klinis lesi, keterlibatan
saraf, dan hasil pengecatan bakteri tahan asam (BTA). Ada 2 jenis:
Tipe PB MB
Lesi kulit 5 >5
Keterlibatan saraf 1 >1
Hasil BTA (-) (+)

5
Klasifikasi Ridley TT dan BT BB, BL, LL,
sebagian BT
Distribusi Unilateral atau Bilateral simetris
bilateral asimetris
Permukaan bercak Kering, kasar Halus, mengkilap
Batas bercak Tegas Kurang tegas
Mati rasa pada bercak Jelas Biasanya kurang jelas
Deformitas Proses terjadi lebih Terjadi pada tahap
cepat lanjut
Ciri-ciri - Madarosis, hidung
pelana, wajah singa
(faciesleonina),
ginekomastia pada
laki-laki.
Tabel 1. Klasifikasi Lepra menurut WHO7: tipe Pausibasiler (PB) dan
Multibasiler (MB)

2. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962):


Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi menjadi
a. Indeterminate leprosy (I) : makula hipopigmentasi, terkadang makula
eritema. Kehilangan rasa sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita
mengalami kesembuhan spontan, sedangkan pada yang lainnya akan
tetap pada bentuk ini sampai ketika imunitas menurun, maka akan
berubah menjadi bentuk yang lain).
b. Tuberculoid leprosy (TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa
satu plak eritem dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada
wajah, ekstremitas, intertriginosa, dan kepala. Lesi kering, skuama,
hipohidrotik, dan tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi pada kulit sudah
mengalami anestesi (Lewis, 2010).

6
c. Borderline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe
tuberculoid, namun lesi lebih kecil dan banyak. Berupa makula
anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di pinggirnya. Gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas. Saraf tidak
terlalu membesar dan tidak terlalu menyebabkan alopesia

Karakteristik Tuberkuloid (TT) Borderline Indeterminate (I)


Tuberkuloid (BT)

dibandingkan tipe tuberculoid. Bentuk ini biasanya bertahan/tetap,


namun dapat kembali pada tipe tuberkuloid atau progresif menuju
bentuk lepromatosa.
d. Borderline borderline leprosy(BB) : tipe yang paling tidak stabil,
disebut juga dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah,
berupa plak ireguler. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk,
maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yaitu
hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah. Distribusi menyerupai
bentuk lepromatosa, namun asimetris. Dapat terjadi adenopati
regional.
e. Borderline lepromatous leprosy (BL): lesi banyak dan terdiri atas
makula, papula, plak dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular.
Anestesi tidak terjadi.
f. Lepromatous leprosy (LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula
kecil, difus dan simetris. Anestesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak
menebal, dan hidrotik. Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif

Tabel 2. Klasifikasi Morbus Hansen

7
Lesi
Bentuk Makula atau Makula dibatasi Hanya infiltrat
makula dibatasi infiltrat; infiltrat
infiltrat saja
Jumlah Satu atau Satu dengan lesi Satu atau
beberapa satelit beberapa
Distribusi Terlokasi dan asimetris Bervariasi
asimetris
Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Halus agak
berkilat
Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai
tidak jelas
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
tidak jelas
BTA
Pada lesi kulit Negative Negatif, atau 1+ Biasanya negatif
Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif
lemah atau
negatif

Karakteristik Lepromatosa Borderline Mid-borderline


(LL) Lepromatosa (BB)
(BL)
Lesi
Bentuk Makula, infiltrat Makula, plak, Plak, lesi bentuk
difus, papul, papul kubah, lesi punched
nodus out
Jumlah Banyak distribusi Banyak tapi kulit Beberapa, kulit
luas, praktis tidak sehat masih ada sehat (+)
ada kulit sehat
Distribusi Simetris Cenderung Asimetris
simetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Sedikit berkilap,
beberapa lesi kering
Anestesia Tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
BTA
Pada lesi kulit Banyak Banyak Agak banyak
Sekret hidung Banyak Biasanya tidak Tidak ada
ada
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

TT BT I

8
LL BL BB

Gambar 3 Tipe Kusta

Gambar 4. Klasifikasi Ridley-Joping

G. Tanda Klinis dan Gejala

9
Manifestasi klinis tergantung pada respon imune seluler seseorang
terhadap M leprae. Manifestasi klinis didahului oleh periode inkubasi yang
lama yaitu antara 6 bulan sampai 20 tahun (rata-rata 2-4 tahun). Seropositif
terhadap antigen M leprae sudah ditemukan 9 tahun sebelum diagnosis klinis
ditemukan. Proliferasi yang lambat, antigenitas yang rendah, dan keterbatasan
metabolik M leprae kemungkinan menjadi alasan periode inkubasi yang lama
dari penyakit kusta ini. 6
Respon imun tubuh terhadap M.leprae yang bervariasi menyebabkan
manifestasi kinis yang ditimbulkan bermacam-macam. Respon tersebut juga
dapat berkembang menjadi suatu reaksi. Penyakit lepra pertama kali
menyerang kulit, saraf perifer superfisial, mata dan organ lain. Pasien
biasanya datang ke pelayanan kesehatan dengan keluhan terdapat suatu lesi,
disertai keluhan lain seperti mati rasa dan demam. Penyakit kusta dapat
menyebabkan inflamasi neuropati sehingga timbul gejala-gejala gangguan
sensorik, motorik, dan autonom. Saraf yang paling sering terkena adalah
nervus ulnaris, radialis, medianus, auricular magnus, tibialis posterior, fibula
superficialis, dan radialis superfisialis.

1. Indeterminate Leprosi (I)


Indeterminate Leprosi (I) merupakan bentuk awal dari determinate
leprosi yang ditandai dengan makula hipopigmentasi yang memiliki
permukaan halus dan bersisik. Sensasi pada makula ini mungkin berkurang
mungkin tidak. Saraf proksimal pada patch dapat mengalami penebalan 7.
2. TuberkuloidLeprosi(TT)
TT ditandai dengan adanya lesi berukuran kecil atau sedikit
menunjukkan adanya peninggian (papula dan plak). Peninggian ini
menunjukkan kemungkinan adanya central healing. Ciri khas lesi TT yaitu
menurunnya jumlah keringat, rambut tubuh yang menghilang, dan
anestesi: pertama termal, taktil, kemudian sensitivitas nyeri menghilang.
Beberapa pasien tuberkuloid mempunyai manifestasi klinis daerah

10
anestesi tanpa perubahan warna kulit atau pembesaran saraf perifer. Lesi
pada wajah dapat menjadi tanda sensitivitas normal.
Lesi pada kusta tipe TT dapat meniru penyakit berikut:
a. Tinea
Seperti di TT, ada kecenderungan untuk terlihat central healing;
pruritus, ekskoriasi lokal dan bekas luka superfisial penting digunakan
untuk membedakan lesi tersebut dari lesi pada kusta TT.
b. Lupus eritematosa kutaneous.
Lesi terlokalisasi terutama pada wajah dan daerah yang terkena tubuh
lainnya, ada kecenderungan untuk penyembuhan spontan, atrofi dan
jaringan parut.
c. Granuloma annular.
Lesi ditandai dengan kehadiran plakat anular sangat mirip dengan TT
tetapi sensitivitasnya normal.
d. Sifilis sekunder.
Riwayat adanya lesi pada penis dan ulserasi vulva penting untuk
ditanyakan, untuk membedakan dengan TT.

3. Borderline leprosy (BL)


Biasanya ditemukan adanya keterlibatan beberapa saraf perifer dan
berat. Ketidakstabilan adalah karakteristik utama dari kelompok ini. Tanpa
pengobatan pasien BL dapat menurun ke arah Lepromatosa Leprosy (LL).
Pada pasien borderline sering sekali terjadi reaksi reversal. Reaksi reversal
terjadi bisa karena obat maupun tidak. Reaksi reversal ditandai dengan
memburuknya lesi kulit dan saraf. Tanpa adanya perawatan yang adekuat,
kelumpuhan sering terlihat selama reaksi.
4. Borderline Tuberkuloid(BT)
Lesi kulit (10 - 20 atau lebih) yang mirip dengan yang diamati pada
kusta tuberkuloid. Biasanya lesi lebih besar daripada yang diamati dalam
TT. Hal ini sering untuk mengamati lesi satelit dekat lesi yang lebih besar

11
atau "finger-like" yang memanjang dari tepi plakat atau ke dalam kulit
normal, dan warna bervariasi dari hipokromik sampai kemerahan. Lesi
dapat bervariasi dalam ukuran, bentuk dan warna pada pasien yang sama.
Reaksi tipe 1 sering terjadi dan muncul bengkak/ ulserasi lesi kulit.Saraf
sering terlibat dalam reaksi di kusta BT. Fungsi saraf dapat memburuk
dengan cepat, dan diperlukan perawatan segera untuk mencegah
deformitas permanen dan cacat. Pada tes BTA hasilnya dapat bervariasi,
dari negatif ke positif (+2).
5. Kustaborderline (BB) atau kusta mid-borderline
BB ditandai dengana danya plak infiltrat yang ukurannya berbeda-
beda, tidak berbatas tegas, dan menyerang beberapa daerah kulit normal.
Kombinasi lesi ini memberikan "Swisschesee like". Makula, plak, papula,
nodul biasanya ditemukan dalam kombinasi dengan lesi yang khas. Di
kusta BB terdapat kumpulan lesi tembaga kemerahan, biasanya
terdistribusi simetris. Pada tes BTA hasilnya dapat bervariasi, dari negatif
ke positif (+2 s.d. +4).
6. Borderline Lepromatosa (BL)
Seperti dalam jenis kusta lainnya, BL dimulai sebagai makula
hipopigmentasi. Pada pasien ini, lesi meluas, dan terdistribusi simetris.
Dengan seiring waktu terdapat macula meluas, menjadi eritematosa dan
menginfiltrasi. Tepi lesi tidak teratur dan menginvasi kulit normal. Reaksi
Tipe 1 dan 2 kusta sering terjadi pada pasien ini. Pada tes BTA hasilnya
sangat positif.
7. Lepromatosa Leprosy (LL)
Karena ketidakmampuan untuk mengeluarkan respon mediasi seluler
yang efektif untuk Mycobacterium leprae dan akibat penyebaran secara
hematogen dari bakteri basil, pada beberapa pasien muncul banyak lesi
hiprokomik dan terdistribusi simetris. Tanpa pengobatan pasien ini akan
menjadi kusta yang non resistenpolar lepromatous (LL). LL ini disebut
juga "lepra bonita" (kusta cantik). Fenomena Lucio dan ulserasi luas
diamati sebagai progres dari penyakit pada pasien ini.

12
Pada pasien LL, keterlibatan mukosa saluran pernapasan atas sering
terjadi dan dapat menyebabkan bersin, secret mukopurulen, dan epistaksis.
Pada kasus yang parah, langit-langit dan laring dapat terlibat. Keterlibatan
oftalmologi juga dapat terjadi di LL. Lagophthalmo smenyebabkan adanya
risiko mengeringnya kornea, trauma, infeksi sekunder, ulserasi dan
perforasi. Kornea anestesi, iritis, uveitis, glaukoma, dan kebutaan dapat
terjadi sebagai akibat dari keterlambatan diagnosis dan penanganan yang
kurang memadai.
Tabel 4. Kelainan saraf pada Morbus Hansen

No. Nervus Kelainan Saraf


a. Anestesia pada ujung jari anterior kelingking
dan jari manis
1 N. Ulnaris
b. Clawing kelingking dan jari manis
c. Atrofi hipotenar
a. Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu
jari, telunjuk,
2 N. Medianus b. dan jari tengah
c. Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
d. Atrofi otot tenar
a. Anestesia dorsum manus, serta proksimal jari
telunjuk
3 N. Radialis b. Tangan gantung (wrist drop)
c. Tak mampu ekstensi jari-jari atau
pergelangan tangan
a. Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dari
N. dorsum pedis
4
Poplitealateralis b. Kaki gantung (foot drop)
c. Kelemahan otot peroneus
N. Tibialis a. Anestesia telapak kaki
5
posterior b. Claw toes
a. Cabang temporal dan zigomatik
menyebabkan lagoftalmus
6 N. Fascialis
b. Cabang bukal, mandibular, dan servikal
menyebabkan kehilangan ekspresi wajah.

13
Borderline Borderline Tuberkuloid Indeterminate
Lepromatosa Mid Borderline
Sifat Lepromatosa Tuberkuloid
( LL) ( BB ) ( TT) (I)
(BL) (BT)
Plakat,
Makula dibatasi Makula saja,
Makula infiltrat Makula, plakat, dome-shaped
Bentuk lesi infiltrat,infiltrat makula dibatasi Hanya makula
difus,papul,nodul papul (kubah),
saja infiltrat
punched-out
Tak
Sukar dihitung, Dapat dihitung, Beberapa atau
terhitung,praktis Satu dapat Satu atau
Jumlah masih ada kulit kulit sehat jelas satu dengan
tidak ada kulit beberapa beberapa
sehat ada satelit
yang sehat
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris Masih asimetris Asimetris Variasi
Agak kasar,agak Halus agak
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Kering bersisik Kering bersisik
berkilat berkilat
Dapat jelas /
Batas Tak jelas Agak jelas Agak jelas Jelas Jelas
tidak
Tak ada sampai
Anestesia Tak jelas Lebih jelas Jelas Jelas (-) s/d tak jelas
tak jelas
IB + 5 atau + 6 + 3 atau + 4 + 1 atau + 2 (-) atau + 1 (-) (-)
Tabel 5. Perbedaan Gambaran Klinis Dari Kusta

14
H. DIAGNOSIS
Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinik, dimulai dengan
inspeksi, palpasi, lalu digunakan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana,
yaitu jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin,
pensil, dan sebagainya. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat
hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau keduanya. Kusta mendapat
julukan the great imitator dalam penyakit kulit sehingga perlu didiagnosa banding
dengan penyakit-penyakit kulit yang lain. Diagnosa bandingnya antara lain
adalah: dermatofitosis, tinea versikolor, ptiriasis rosea, ptiriasis alba, dermatitis
seboroika, psoriasis, neurofibromatous, granuloma anulare, xantomatosis,
skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark.
Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat
banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini
dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas
terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin
dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang
dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula
diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi.
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi,
dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu
diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N.
medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa
kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid
kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat lansung oleh
granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas,
tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat

15
kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama
karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf:
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,
clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta
kedua otot lumbrikalis medial
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot
lumbrikalis lateral
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk,
tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan
tangan
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum
pedis, kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot
intristik kaki dan kolaps arkus pedis
6. N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal,
mandibular dan servikal)
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

Penentuan diagnosis penyakit kusta menggunakan tanda kardinal (cardinal


sign), yang terdiri dari:8
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
Lesi kulit tersebut bisa berwujud hipopigmentasi atau eritematosa,
mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat
total atau sebagian saja terhadap sensasi raba, suhu, dan nyeri.
2. Penebalan atau pembesaran saraf tepi
Ganguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi
(neuritis perifer) kronis. Gangguan fungsi saraf ini berupa:
a. Gangguan fungsi saraf sensoris: mati rasa.

16
b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan
(paralisis) otot.
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak.
3. Ditemukan bakteri tahan asam
Bahan pemeriksaan yang diambil adalah apusan kulit cuping telinga dan
lesi kulit pada bagian yang aktif.
Dalam menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda kardinal.Bila tidak atau belum dapat ditemukan maka
kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan
diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan
atau disingkirkan.

I. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan yang dilakukan untuk membantu diagnosis penyakit kusta:8
1. Anamnesis
a. Keluhan pasien
b. Riwayat kontak dengan pasien
c. Latar belakang keluarga
d. Riwayat pengobatan sebelumnya
2. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik, perhatikan setiap bercak (makula), bintil-
bintil (nodulus), jaringan parut, kulit yang keriput dan setiap penebalan
kulit. Selain itu juga dilihat apakah terdapat kelainan dan cacat yang
terdapat pada tangan dan kaki antara lain atrofi, pemendekan jari dan
ulkus.
3. Palpasi
a. Kelainan kulit : nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada
tangan dan kaki
b. Kelainan saraf : Pemeriksaan saraf dengan teliti, N. Aurikularis
magnus, N. Ulnaris, N. Peroneus, dan N. tibialis posterior. Harus dicatat

17
adanya nyeri tekan yang dilihat dari mimik pasien dan adanya
penebalan saraf. Pemeriksaan harus dilakukan sisi kanan dan kiri.
3. Pemeriksaan fungsi saraf
a. Pemeriksaan sensoris, dengan menggunakan kapas, jarum serta tabung
reaksi berisi air hangat dan dingin.
b. Pemeriksaan otonom, berdasarkan adanya gangguan berkeringat di
makula anestesi.
1) Tes dengan pensil tinta (tes Gunawan)
Pensil tinta digoreskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai
terus sampai ke daerah kulit normal.
2) Tes Pilocarpin
Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntikan pilokarpin
subkutan setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal
berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.
c. Pemeriksaan motorik, dengan Voluntary Muscle Test (VMT).

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Bakterioskopis2,8
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL
NEELSON. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang
diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan
jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan
untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2 - 4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling
eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada
cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae3
Indeks Bakteri (IB)
Pengukuran semikuantitatif kepadatan BTA untuk menentukan tipe
kusta dan hasil pengobatan.

18
Indeks Bakteri
+1 1-10 BTA dalam 100 LP
+2 1-10 BTA dalam 10 LP
+3 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
+4 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
+5 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
+6 > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Tabel 4.Skala logaritma Ridley

a. Indeks Morfologi (IM)


Indeks morfologi merupakan persentase kuman basil yang solid
dibandingkan seluruh BTA. Berguna untuk mengetahui daya penularan
kuman, menilai hasil pengobatan, dan menentukan resistensi terhadap
obat.
jumlah kuman BTA solid
= 100%
jumlah seluruh BTA

2. Biopsi Kulit
Lesi kulit dibiopsi dan diwarnai menggunakan teknik fite-faraco. Pada
jenis tuberculoid, kuman basil tidak tampak. Pada jenis lepromatous
tampak infiltrasi inflamasi dengan sel virchow yang penuh dengan kuman
basil dan hilangnya struktur adneksa. Biopsi kulit dapat digunakan untuk
menunjukan indeks morfologi, yang berguna untuk evaluasi pengobatan
pasien yaitu jumlah bakteri yang viabel per 100 bakteri pada jaringan
lepra.3,6
3. Tes Lepromin
Lepromin adalah suspensi yang berisi M.Lepra yang dimatikan diambil
dari manusia yang terinfeksi dan jaringan Armadillo. Setelah terjadi
inokulasi intradermal, akan timbul reaksi cepat (48 jam, reaksi Fernandez)
juga reaksi lambat (3-4 minggu, reaksi mitsuda). Reaksi Mitsuda
merupakan respon granulomatosis terhadap antigen yang lebih tepat.

19
Pasien-pasien dengan kusta tipe TT atau BT mempunyai respon positif
kuat (> 5 mm) akan tetapi pasien dengan tipe LL tidak ada respon. Tes ini
merupakan petunjuk untuk mengetahui fungsi sistem imunitas seluler
seseorang. Respon imunitas seluler terhadap M.Leprae juga dapat dilihat
dengan menggunakan Lymphocite Transformation Test (LTT) dan
Lymphocyte Migration Inhibition Test (LMIT). Dasar test ini adalah untuk
mendeteksi antibodi atau antigen M.Leprae.2,3
4. Tes-tes Serologis
Tes serologi mayor meliputi Fluorescent Antibody absorbtion test (FLA-
ABS), Radioimunoassay (RIA), ELISA, Passive Hemaglutination Assay
(PHA), Serum Antibody Compettion Test (SACT) dan Particle
agglutination assay (PAA).3
5. Analisa Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR bisa untuk mendeteksi dan mengidentifikasi M.Leprae. Teknik
ini sering digunakan ketika basil tahan asam telah ditemukan tetapi
gambaran klinis atau gambaran histopatologinya atipikal. Test ini tidak
berguna saat basil tahan asam tidak ditemukan dengan mikroskop cahaya.4
6. Pemeriksaan Histopatologi
Pada tipe TT didapatkan bangunan epiteloid granuloma dalam
papiladermis, disekitarnya didapatkan struktur neovaskuler.Granuloma
tertangkap oleh limfosit yang meluas ke epidermis dan kadang terbentuk
sel datia langhans. Nervus pada dermal dihancurkan atau mengalami
pembengkakan karena adanya granuloma,tidak didapatkan basil tahan
asam.
Pada tipe LL epidermis normal, daerah yang tidak patologik
memisahkan epidermis dari reaksi granulomatous difus dengan makrofag,
sel busa histiosit yang besar (Virchow atau sel lepra) dan didapatkan
banyak basil tahan asam yang bergabung membentuk globi. Sel epiteloid
dan sel datia tidak ditemukan. Granuloma banyak terdapat di sekitar
pembuluh darah, saraf dan kulit kadang ditemukan banyak sel plasma.
Saraf kulit dapat terlihat dengan mudah.

20
Tipe BT, granuloma terdiri dari epiteloid dan limfosit, saraf pada kulit
kebanyakan sudah rusak, basil mungkin ditemukan atau tidak ada.
Tipe BB, granuloma terdiri dari epiteloid, saraf kulit mungkin masih
ada dan basil terlihat lebih banyak dari tipe BT.
Tipe BL, granuloma dibangun oleh histiosit, saraf kulit masih ada dan
basil ditemukan lebih banyak dari tipe lainnya.3

K. REAKSI KUSTA
Ada 2 tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkan reaksi
kusta, yaitu:8,9
1. Reaksi Kusta tipe I
Reaksi kusta tipe 1 banyak terdapat pada pasien dengan tipe tidak
stabil (borderline), terjadi akibat respon hipersensitivitas tipe delay
terhadap M. leprae. Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan
bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imunitas seluler
yang cepat. Reaksi kusta tipe 1 ini terjadi akibat perubahan keseimbangan
antar imunitas seluler dan basil. Hasil akhir reaksi tersebut dapat terjadi
upgrading/reversal apabila menuju ke arah tuberkuloid (terjadi
peningkatan Sistem Imun Seluler/ SIS) atau downgrading apabila menuju
kebentuk lepromatosa (terjadi penurunan SIS).
2. Reaksi Kusta tipe II
Reaksi kusta tipe 2 ini dikenal dengan nama Eritema Nodusum
Leprosum (ENL). Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III
menurut Comb dan Gell, antigen berasal dari produk kuman yang telah
mati dan bereaksi dengan antibody membentuk kompleks Ag-Ab yang
mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL merupakan
reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom komplek imun.
Terutama terjadi pada tipe MB (bentuk LL dan terkadang BL), biasanya
terjadi gejala sistemik.
No Gejala Reaksi Tipe I Reaksi Tipe II
1. Tipe kusta Dapat terjadi pada tipe PB Hanya pada tipe MB

21
atau MB
Setelah pengobatan,
2. Onset Segera setelah pengobatan
umumnya > 6 bulan
Ringan sampai berat,
Baik, demam ringan
Keadaan disertai kelemahan
3. (subfebris) atau tanpa
umum umum dan demam
demam
tinggi
Bercak kulit lama lebih
Nodus kemerahan,
meradang (merah),
lunak, dan nyeri tekan.
Peradangan bengkak, berkilat, hangat.
4. Biasa pada lengan dan
kulit Kadang hanya pada
tungkai. Nodus dapat
sebagian lesi, dapat timbul
pecah.
bercak baru.
Sering terjadi, biasanya
berupa nyeri saraf atau
5. Saraf Dapat terjadi
gangguan fungsi saraf.
Silent neuritis (-)
Oedem
6. (+) (-)
ekstremitas
Anestesi kornea dan
Peradangan Iritis, iridosiklitis,
7. lagoftalmos (N.V dan
mata glaukoma, katarak, dll.
N.VII)
Terjadi pada testis,
Peradangan
8. Hampir tidak ada sendi, ginjal, kelenjar
organ lain
getah bening, dll.
Tabel 5. Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 28

Fenomena Lucio10
Lucio leprosy (diffuse non-nodular type of leprosy) adalah salah satu
tipe dari kusta dengan gambaran klinik kusta tipe multibasiler. Gambaran
klinis lucio leprosy umumnya status generalis tidak ditemukan kelainan, kulit
terlihat eritem yang menebal dan mengkilat, kerontokan rambut, penebalan
kelopak mata sehingga penderita terlihat mengantuk dan melankolik.
Penurunan sensoris terjadi biasanya setelah kelainan kulit menghilang. Sama
seperti pada kusta tipe lepromatosa dapat terjadi edema dan ulkus pada kedua
tungkai. Ulserasi juga dapat terjadi pada mukosa hidung menyebabkan

22
gejala-gejala hidung dan epistaksis, mengenai laring sehingga suara menjadi
serak dan iktiosis pada fase lanjut. Namun demikian tidak terdapat nodul,
kelemahan motorik, kontraksi jari-jari dan kerusakan mata.
Kecacatan pada kusta
Cacat akibat kusta dibagi menjadi 2 tingkat kecacatan, yaitu:2
a. Cacat pada tangan dan kaki
i. Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada
kerusakan atau deformitas yang terlihat.
ii. Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau
deformitas yang terlihat.
iii. Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.
b. Cacat pada mata
i. Tingkat 0 : tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak
ada gangguan penglihatan.
ii. Tingkat 1 : ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada
gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik
(dapat menghitung jari pada jarak 6 meter).
iii. Tingkat 2 : gangguan penglihatan berat (visus kurang dari
6/60; tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter).
Jenis dari cacat kusta dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:
a. Cacat primer, adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh
aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap
mycobacterium leprae. Yang termasuk kedalam cacat primer adalah :
i. Cacat pada fungsi saraf
Fungsi saraf sensorik misalnya : anestesi
Fungsi saraf motorik misalnya : claw hand, wist drop, foot
drop, clow tes, lagoftalmus
Fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit menjadi
kering dan elastisitas kulit berkurang, serta gangguan reflek
vasodilatasi.

23
ii. Inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan
kulit berkerut dan berlipat-lipat
iii. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi
pada tendon, ligamen, tulang rawan, testis, dan bola mata.
c. Cacat sekunder
Cacat ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan
saraf sensorik, motorik, dan otonom. Kelumpuhan motorik
menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan berjalan dan mudah
terjadinya luka. Lagoftalmus menyebabkan kornea menjadi kering dan
memudahkan terjadinya kreatitis. Kelumpuhan saraf otonom menjadikan
kulit kering dan berkurangnya elastisitas akibat kulit mudah retak dan
terjadi infeksi skunder.

L. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa tampakan klinis yang berpengaruh dalam menentukan
diagnosis banding, yaitu makula hipopigmentasi, pemeriksaan bakteriologi
memperlihatkan basil tahan asam, adanya daerah anestesi, dan adanya
pembengkakan saraf tepi atau cabang-cabangnya.10
1. Makula hipopigmentasi:
Tinea versikolor, vitiligo, ptiriasis rosea, dermatitis seboroika, atau liken
simplek kronik.
2. Makula eritematosa dengan pinggir meninggi:
Tinea corporis, psoriasis, lupus eritematosus tipe discoid, ptiriasis rosea.
3. Makula eritema tak berbatas tegas
Selulitis, erisipelas, psoriasis.
4. Bentuk nodul:
Lupus eritematosis sistemik, dermatomiositis, erupsi obat.

M. TERAPI
Tujuan utama terapi pada kusta adalah mengurangi morbiditas, mencegah
komplikasi dan eradikasi penyakit. Manajemen panatalaksanaan penderita

24
mencakup terapi medikamentosa untuk menghentikan proses infeksi dan
penatalaksanaan untuk meminimalkan deformitas berupa rehabilitasi fisik,
sosial dan psikologi. Deformitas potensial dapat dicegah dengan memberi
edukasi pada pasien tentang adanya kerusakan saraf dengan perawatan diri
untuk mengurangi kerusakan yang lain.8
1. Medikamentosa
Pada tahun 1980, WHO mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta
dengan kombinasi dikenal sebagai rejimen Multi Drug Therapy (MDT-
WHO). Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obatan Dapson,
Rifampisin dan Klofazimin. MDT merupakan terapi yang aman, efektif,
dan mudah didapatkan oleh penderita yang kurang mampu.
Kelompok orang yang membutuhkan MDT: a.) Pasien baru
didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT; b.) Pasien ulangan,
yaitu pasien yang mengalami relaps, masuk kembali setelah default (PB/
MB), pindahan (pindah masuk), dan ganti klasifikasi atau tipe.
Obat-obat pada rejimen MDT-WHO:
a. Dapson (DDS atau 4,4 diamino difenil sulfon)
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim
dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA.
Resistensi terhadap dapson timbul sebagai akibat kandungan enzim
sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta. Diberikan dalam dosis
tunggal, yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg BB untuk
anak-anak. Obat sangat murah, efektif dan relatif aman.Efek samping
jarang timbul, efek sampingnya berupa: erupsi obat, anemia
hemolitik, leukopenia, insomnia neuropati, nekrosis epidermal
toksik,hepatitis dan methemoglobinemia. Namun efek samping
tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.
b. Rifampisin
Obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta dan bersifat bakterisidal
kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja dengan menghambat enzim
polimerase RNA yang berikatan secara irreversible. Dosis tunggal

25
600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) dan pada anak 1 mg/kgBB.
Pemberian seminggu sekali dengan dosis tinggi (900-1200 mg) dapat
menimbulkan gejala yang disebut flu like syndrom. Pemberian 600
mg atau 1200 mg sebulan sekali ditoleransi dengan baik. Efek
samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik,
gejala gastrointestinal dan erupsi kulit. Obat ini harganya mahal dan
saat ini telah dilaporkan adanya resistensi.
c. Klofazimin (lampreneCIBA GEIGY : B-663)
Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazine dan mempunyai
efek bakteriostatik sama dengan dapson. Bekerja melalui gangguan
metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek
antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta
khususnya: ENL. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/hari atau 100 mg
tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1mg/kg BB/hari. Dosis
bulanan 300 mg diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe
1 dan 2. Harga obat ini cukup mahal, di samping itu menyebabkan
pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan
penderita. Efek sampingnya hanya terjadi pada dosis tinggi, berupa
gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksi dan
vomitus).
Skema Rejimen MDT-WHO3,7
Rejimen MDT-WHO baku terdiri atas kombinasi obat-obatan dapson,
Rifampisin dan klofazimin dengan skema sebagai berikut :
a. Rejimen PB untuk kusta PB, terdiri atas Rifampisin 600 mg sebulan
sekali, di bawah pengawasan ditambah dapson 100 mg/hr (1-2
mg/kgBB) selama 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal
pengobatan adalah dengan Rifampisin 600 mg ditambah dengan
Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
b. Rejimen MB untuk kusta MB, terdiri atas kombinasi Rifampisin 600
mg sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson 100 mg/hari
swakelola, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50

26
mg/hari swakelola. Lama pengobatan minimal 2 tahun dan juga
mungkin sampai BTA negatif. Dosis tersebut merupakan dosis dewasa
untuk anak-anak disesuaikan dengan berat badan.
Obat Dewasa Anak
BB< 35 kg BB > 35 kg 10-14 tahun
Rifampisin 450 mg/bln 600 mg/bln 450 mg/bln
(diawasi) (diawasi) (diawasi)
Dapson 50 mg/hr (1-2 100mg/hr 50 mg/hr
(swakelola) mg/kg BB/hr) 1-2 mg/kgBB/hari)
Tabel 6. Obat dan dosis Rejimen MDT-PB

Obat Dewasa Anak


BB<35 kg BB . 35 kg 10-14 tahun
Rifampisin 450mg/bln 600mg/bulan 450 mg/bln
(diawasi) (diawasi) (12-15
mg/kgBB/bl)
(diawsi
Klofazimin 300 mg/bln 200 mg/bln
diawasi dan diawasi diteruskan
diteruskan 50 50 mg selang
mg/hr sehari
Swakelola
Dapson 50 mg/hr 100mg/hari 50 mg/hari
swakelola (1-2 mg/kg
BB/hari)
Tabel 7. Obat dan dosis Rejimen MDT-MB

Obat KustaAlternatif
Beberapa masalah yang timbul pada program MDT WHO, yaitu
adanya persisten, resistensi, rifampisin dan lamanya pengobatan
terutama untuk kusta MB. Penderita kusta PB rejimen MDT-PB juga

27
masih menimbulkan beberapa masalah antara lain: masih menetapnya
lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan dan late reversal reaction yang
timbul setelah MDT. Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan
mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat rejimen MDT
saat ini, obat-obat kusta baru yang ideal memiliki syarat antara lain :
bersifat bakterisidal kuat terhadap Mycobacterium leprae, tidak
antagonis dengan obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas
penderita baik dapat di berikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak
lebih dari sekali sehari. Obat-obatan yang dipakai yaitu:
a. Ofloksasin 400 mg/hari
Diberikan bersama rifampisin 600mg/hari selama 1 bulan baik untuk
penderita kusta MB atau PB. Ofloksasin merupakan turunan
florokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae in
vitro. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui
harus hati-hati.
b. Minosiklin 100 mg/hari
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih
tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin.
Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak,
kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran
mukosa, berbagai simptom saluran cerna dan susunan saraf pusat,
termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan
untuk anak-anak atau selama kehamilan.
c. Klaritromisin 500 mg/hari
Digunakan pada penderita kusta tipe MB.

Terapi Komplikasi8
Kortikosteroid, terutama prednison merupakan terapi untuk reaksi
kusta dan kerusakan saraf pada kusta. Kortikosteroid memiliki
mekanisme menekan sitokin proinflamasi termasuk tumor necrosis
alpha(TNFa). Pada reaksi, prednisone diberikan dalam dosis tunggal

28
pagi hari sesudah makan dengan dosis awal 40 mg/hari dan di tapering
off tiap 2 minggu selanjutnya. Efek samping dari pemberian
kortikosteroid harus diperhatikan.
Obat lainnya adalah lampren, terutama untuk reaksi tipe 2.
Digunakan untuk penanganan atau pengobatan reaksi ENL yang
berulang (steroid dependent). Diberikan dalam dosis tunggal 300
mg/hari pada pagi hari sesudah makan, kemudian diturunkan dosisnya
setelah 2 bulan.
2. Non Medikamentosa
Terapi non medikamentosa berupa edukasi:
a. Penjelasan mengenai diagnosis dan prognosis penyakitnya.
b. Penjelasan tentang hilangnya sensasi rasa yang terjadi, pasien harus
berhati-hati dan mencegah terjadinya trauma dengan menggunakan
alas kaki serta komplikasi yang lain.
c. Penjelasan mengenai timbulnya reaksi kusta, bagaimana
mengenalinya, dan harus mendapatkan pengobatan secepatnya.
d. Kemungkinan pasien membutuhkan konsultasi psikologi dalam
menghadapi penyakitnya untuk mengatasi stigma yang beredar di
masyarakat.
e. Fisioterapi dan terapi okupasi dibutuhkan sebagai rehabilitasi pada
pasien yang telah mengalami kecacatan.
f. Ketaatan penggunaan obat sesuai aturan dan memperhatikan cara
pemakaian.

N. Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium
penyakit.Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap
pengobatan.Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian,
serta kualitas hidup pasien menurun3.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Bhat RM, Prakash C. Leprosy: an overview of pathophysiology.Review


Article of Interdisciplinary Perspectives on Infectious Diseases. 2012;1-6.
2. Djuanda A. Kusta. Dalam :Kosasih, I made Wisnu, Syamsoe- Daili, Menaldi.
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi V. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
2007;173-80.
3. Eichelmann K, Gonzalez, Salas-Alanis, Ocampo-Candiani.Leprosy.An
Update: Definition, Pathogenesis, Classificatio, Diagnosis, and
Treatment.ActasDermosifiliogr.2013;147, 554-563.
4. World Health Organization. Leprosy Elimination.
http://www.who.int/lep/epidemiology/en/. 2017
5. Abreu MA, Lastoria JC. Leprosy: a review of laboratory and therapeutic
aspects - part 2.Journal of Dermatology An Bras. 2013;89(3), 389-401.
6. Lastoria JC. Leprosy : review of the epidemiological, clinical, and
etiopathogenic aspects-Part1. An Bras Dermatol. 2014;89(2):2015-18
7. Eichelmann K, Gonzalez SEG, Alanis JCS, Candiani JO. Leprosy. An
update: Definition, Pathogenesis, Classification, Diagnosis, and Treatment.
Actas Dermosifiliorg. 2013; 104(7):554-563.

8. Siregar, R.S. Atlas berwarna saripati penyakit kulit.Edisi kedua.Cetakan


pertama.Jakarta: EGC. 2005:29-34.
9. Nascimento OJ. Leprosy neuropathy: clinical presentations.Review Journal.
2013;9, 661-666.
10. PERDOSKI.Panduan Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan
Venereologi. PP Perdoski. Salemba. 2012;52.

30
STATUS RESPONSI
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, M.Sc, Sp. KK


Nama : Mila Ulfia
NIM : G99162103

I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Tn. AG
No rekam medik : 013xxxxx
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Plupuh, Sragen, Jawa Tengah
Tanggal periksa : 26 Oktober 2017

B. Keluhan utama
Pasien mengeluhkan nyeri diseluruh tubuh terutama kaki dan tangan sejak 2
hari yang lalu.

C. Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke poli kulit RS. Dokter Moewardi pada tanggal 26
Oktober 2017 dengan keluhan nyeri diseluruh tubuh terutama kaki dan
tangan, pasien juga mengeluhkan sulit bergerak dan berjalan, disertai
demam dan muncul bercak kemerahan yang meninggi pada kaki dan
tangan sejak 2 hari SMRS. Keluhan tersebut dirasakan hilang timbul sejak
10 bulan SMRS ( Desember 2016-Oktober 2017). Keluhan tersebut terjadi

31
hampir setiap bulan selama 3-4 hari kemudian membaik. 5 bulan SMRS
pasien mengeluhkan adanya kebas ada bagian tangan namun sekarang
sudah berkurang kebasnya. Pasien rutin kontrol ke poli kulit RS. Sragen
untuk keluhan tersebut. 1 hari sebelum SMRS pasien kontrol ke Poli kulit
RS. Sragen, karena keluhan nyeri sendi pasien semakin berat maka pasien
diujuk ke RS. Dokter Moewardi.
Keluhan pasien pertama kali yaitu pada Desember 2015, pasien
mengeluhkan adanya bercak kemerahan pada tangan dan wajah. Bercak
merah tersebut tidak gatal, tidak nyeri dan tidak kebas. Pasien periksa ke
klinik dokter umum dan diberi salep. Bercak merah berubah sedikit
menjadi berwarna putih namun bercak bertambah banyak dan meluas ke
badan. Karena merasa tidak ada perubahan pasien kemudian berobat ke
poli kulit RS. Sragen pada Januari 2016 dan pasien didiagnosis dengan
kusta. Pasien menjalani MDT selama 1 tahun dari Januari 2016 sampai
dengan januari 2017. Pada Januari 2017 dilakukan pemeriksaan
laboratorium BTA didapatkan hasil +2. Kemudian dilakukan pemeriksaan
BTA kembali pada Juli 2017 dan didapatkan hasil (-).
Pasien menyangkal adanya riwayat batuk lama. Pasien dan
keluarga mengatakan tidak ada yang sakit serupa dirumah maupun
dikampungnya. Dahulu pada tahun 2012 pasien bekerja sebagai pembuat
donat dan sering berpindah-pindah daerah tempat kerja yaitu di Bandung-
Tasikmalay dan Bali, pasien tinggal bersama teman kerjanya.

D. Riwayat penyakit dahulu


Riwayat penyakit serupa : diakui, sejak Desember
2016. keluhan hampir terjadi
setiap bulan
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat kontak dengan penderita kusta : disangkal
Riwayat berpergian ke daerah endemis kusta : diakui (Jawa barat)

32
Riwayat MDT kusta : Januari 2016- Januari 2017

E. Riwayat penyakit keluarga


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat berpergian ke daerah endemis kusta : disangkal

F. Riwayat Gizi dan Kebiasaan


Gizi pasien terkesan cukup. Pasien sehari makan sebanyak 3 kali
dengan nasi, sayur, dan lauk pauk. Pasien biasa mandi 2 kali sehari,
mengganti pakaian 1x sehari, dan tidak memakai handuk secara bersamaan.
Pasien jarang olahraga. Dahulu saat bekerja diluar kota pasien tinggal
bersama teman kerjanya.

G. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan laki-laki berumur 21 tahun belum menikah saat ini
tinggal bersama orang tuanya. Pasien merupakan anak tunggal. Pada tahun
2012 pasien bekerja sebagai pembuat donat dan sering berpindah-pindah
tempat kerja ( Bandung-Tasikmalaya-Bali) semenjak tahun 2015 pasien
sudah tidak bekerja. Pasien berobat di RSUD Dr. Moewardi menggunakan
fasilitas BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6,
kesan gizi kurang
Vital sign :TD : 100/70 mmHg
HR : 116 x/ menit
RR : 25 x/ menit

33
T : 39,4C
VAS :2
TB : 165cm
BB : 55 kg
IMT : 20,22 kg/m2 gizi cukup
Kepala : mesocephal
Mata : lagoftalmus (+), madarosis (-)
Mulut : dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (-) (lihat STDV)
Thorax Anterior : paru, jantung, dan abdomen dalam batas normal
(lihat STDV)
ThoraxPosterior : dalam batas normal (lihat STDV)
Ekstremitas atas : dalam batas normal (lihat STDV)
Ekstremitas bawah : dalam batas normal (lihat STDV)

A. Status dermatovenerologi (STDV)


1) Regio facialis :
Tampak patch hiperpigmentasi ukuran bervariasi, batas tidak tegas
multipel diskrit dan nodul eritem.
2) Regio colli :
Tampak papul hiperpigmentasi sebagaian eritem berbatas tidak tegas,
tepi reguler, multipel diskrit.
3) Regio truncus anterior :
Tampak papul hiperpigmentasi sebagaian eritem berbatas tidak tegas,
tepi reguler, multipel diskrit.
4) Regio truncus posterior :
Tampak papul hiperpigmentasi sebagaian eritem berbatas tidak tegas,
tepi reguler, multipel diskrit.

34
5) Regio brachii dekstra et sinistra :
Tampak patch hiperpigmentasi ukuran bervariasi, berbatas tidak tegas,
tepi reguler, multiple diskrit.
6) Regio antebrachii dextra et sinistra :
Tampak patch hiperpigmentasi ukuran bervariasi, berbatas tidak tegas,
tepi reguler, multiple dan nodul eritem multipel.
7) Regio femur dextra et sinistra :
Tampak patch dan makula hiperpigmentasi, ukuran bervariasi, berbatas
tidak tegas, tepi reguler, multipel diskrit.
8) Regio Cruris dextra et sinistra :
Tampak patch hiperpigmentasi, ukuran bervariasi, berbatas tidak tegas,
multipel diskrit dan nodul eritem multipel.
9) Regio Pedis dextra et sinistra
Tampak patch dan makula hiperpigmentasi, ukuran bervariasi, berbatas
tidak tegas, tepi reguler, multipel diskrit dan nodul eritem.

35
36
III. PEMERIKSAAN SARAF
Nervus Pemeriksaan Sensorik Penebal Pemeriksaan Motorik
Raba Nyeri Suhu an Saraf
N. Fasialis - Mengangkat alis
(kuat/kuat)
Tersenyum (kuat)
Mengatupkan bibir (kuat)
Bersiul (kuat)
Kelopak mata menutup
(lemah. Mata kanan
Celah 0,5 cm/kuat)
Menguyaah (kuat)
Menjulurkan lidah (kuat)
N. +/+
Auricularis
magnus
N. Ulnaris n/n n/n n/n -/- Clawing kelingking dan
jari manis (-/-)
Jari kelingking adduksi
(kuat/kuat)
N. n/n n/n n/n -/- Clawing ibu jari, telunjuk,
Medianus jari tengah (-/-)
Ibu jari adduksi
(kuat/kuat)
Ibu jari kontraktur (-/-)
N. Radialis n/n n/n n/n -/- Wrist drop (-/-)
Ekstensi pergelangan
tangan (kuat/kuat)
N. Poplitea -/- Foot drop (-/-)
lateralis Ekstensi pergelangan kaki
(kuat/kuat)
N. Tibialis n/n n/n n/n -/- Claw toes (-/-)
posterior Paralisis otot kaki (-/-)

IV. DIAGNOSIS BANDING

37
- MH tipe MB dengan reaksi ENL
- Eritema nodusum yang disebabkan oleh tuberculosis
- Fixed drug eruption

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
BTA : Cuping kanan/cuping kiri (+1/+3)
Interfalang kanan/kiri (-/-)
Lesi pada regio palmar (+2),
IM = 0%; IB : +2

VI. DIAGNOSIS KERJA


Morbus Hansen tipe MB dengan reaksi ENL

VII. TERAPI
A. Non Medikamentosa
1. Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit, gejala,
penularan, cara meminum obat, efek samping pemakaian obat, serta
prognosisnya
2. Edukasi pasien untuk perbanyak istirahat, dan imobilisasi
3. Edukasi pasien untuk kontrol rutin setelah rawat inap
4. Edukasi pasien untuk menjaga kondisi tubuh dengan rutin olahraga,
konsumsi makanan bergizi, dan istirahat cukup
5. Edukasi pasien untuk mengurangi stress fisik dan mental
6. Edukasi pasien untuk selalu mengenakan alas kaki
7. Edukasi pasien untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar

B. Medikamentosa
1. IVDF Nacl 0,9 % 20 tpm
2. Metil Prednisolon 40 mg/24 jam p.o (H1)
3. Paracetamol 500 mg/8 jam p.o

38
4. Apirin 500 mg/ 8 jam
5. Injeksi Ranitidin 50 mg/ 24 jam

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad kosmetikam : dubia ad malam

39

Anda mungkin juga menyukai