Anda di halaman 1dari 9

Efikasi Aminofilin vs.

Kafein untuk Mencegah Apnea Prematuritas


Hendy, Setya Wandita, I Made Kardana

ABSTRAK
Latar Belakang: Apnea prematuritas (AOP) biasanya terjadi pada bayi baru lahir dengan
usia kehamilan < 34 minggu. WHO merekomendasikan pemberian kafein atau aminofilin
untuk mencegah AOP, tetapi efikasi aminofilin masih belum jelas, dan kafein sitrat tidak
tersedia di Indonesia.
Tujuan: Untuk membandingkan efikasi aminofilin dan kafein dalam mencegah AOP.
Metode: Percobaan klinis single-blind ini dilakukan pada bayi baru lahir (usia kehamilan 28
34 minggu) yang mampu bernapas spontan dalam 24 jam pertama kehidupan dan masuk ke
RS Sanglah dari Desember 2012 hingga April 2013. Subyek secara acak dialokasikan
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok aminofilin dan kafein. Kelompok aminofilin menerima
aminofilin dihidrat pada dosis awal 10 mg/kgBB, kemudian dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2.5 mg/kgBB setiap 12 jam. Kelompok kafein menerima kafein anhydrous
pada dosis awal 10 mg/kgBB, kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1.25
mg/kgBB setiap 12 jam. Kami memantau subyek sampai berusia 10 hari. Subyek menerima
terapi per oral selama 7 hari. Perbandingan efikasi antara dua kelompok dinilai dengan uji
Chi-Square dengan 95% CI dan nilai signifikansi statistik P < 0.05. Kami menggunakan uji
multivariat untuk menganalisis faktor perancu.
Hasil: 96 subyek ikut serta dalam studi; 48 subyek menerima terapi aminofilin dan 48 subyek
lainnya menerima terapi kafein. 28 subyek mengalami apnea: 13 subyek dari kelompok
aminofilin (27.1%), dan 15 subyek dari kelompok kafein (31.3%). Terlihat bahwa aminofilin
sedikit lebih baik dibandingkan dengan kafein, tetapi perbedaannya secara statistik tidak
signifikan, dengan RR sebesar 0.9 (95%CI 0.5 1.3; P = 0.8). Kami menemukan efek
samping kedua terapi yaitu muntah, dan perbedaannya tidak signifikan antar kelompok.
Sepsis dan penyakit membran hyalin terbukti merupakan faktor perancu dalam studi ini.

1
Prematuritas bayi didefinisikan usia kehamilan < 37 minggu. Afrika memiliki angka
kelahiran bayi prematur tertinggi sebesar 11.9%, sementara di Asia Tenggara sekitar 11.1%.
Masalah utama yang dihadapi bayi prematur adalah apnea. Apnea disebabkan oleh belum
lengkapnya perkembangan pusat pernapasan, dan disebut sebagai apnea prematuritas (AOP).
Berbagai faktor yang mendasari perlunya pencegahan AOP: 85% insidensi AOP pada bayi
dengan usia kehamilan < 34 minggu, kesulitan dalam mendiagnosis AOP, onset tak
terprediksi, efek jangka pendek dan panjang, lama penanganan yang panjang, dan kebutuhan
perawatan intensif. WHO merekomendasikan pencegahan AOP dengan penggunaan obat-
obatan methylxantine, yaitu, kafein sitrat atau aminofilin. Obat-obatan tersebut bekerja
dengan bersaing dengan adenosin, sebuah neurotransmitter dalam sinaps yang menginhibisi
neuron, oleh karena itu, menyebabkan apnea pada bayi prematur. Kafein sitrat tidak tersedia
di Indonesia pada saat ini, namun, aminofilin tersedia, tetapi efikasinya masih belum jelas.
Pada studi ini, kami memberikan aminofilin dan kafein sesuai dengan dosis yang
direkomendasikan oleh WHO, dikonversi menjadi formula oral. Studi sebelumnya
menunjukkan bahwa dosis aminofilin WHO menghasilkan kadar teofilin plasma sebesar 11.6
mg/L, lebih tinggi daripada studi sebelumnya. Oleh karena itu, pemberian aminofilin yang
sesuai dengan rekomendasi WHO pada studi kami diduga mencegah AOP. Tujuan studi ini
ialah untuk membandingkan efikasi aminofilin dan kafein untuk pencegahan AOP.

METODE
Percobaan klinis single-blind dilakukan dari Desember 2012 hingga April 2013 di
Bangsal Pediatrik Kelas II dan NICU RSU Sanglah, Denpasar, Bali. Kriteria inklusinya
adalah bayi prematur dengan usia kehamilan 28 34 minggu, lahir di atau masuk ke RSU
Sanglah sejak hari pertama kelahiran, dan mampu bernapas spontan selama 24 jam pertama
kehidupan. Kriteria eksklusinya adalah penolakan orang tua untuk berpartisipasi atau
malformasi kongenital mayor. Subyek didistribusi dengan randomisasi blok menggunakan 6
permutasi. Randomisasi disamarkan. Besar sampel dihitung menggunakan formula besar
sampel Fleiss untuk perbedaan dua-jumlah, dengan = 5%, dua sisi, = 20%, P2 = 52%, dan
besar efek = 30%. Minimal besar sampel yang diperlukan dihitung sebesar 44 bayi baru lahir
pada setiap kelompok.
Kami memulai dengan menilai New Ballard Score (NBS) untuk setiap pasien yang
masuk ke RS Sanglah melalui Ruang Emergensi Maternitas atau Pediatrik. Penilaian
dilakukan oleh residen yang bertugas di setiap bangsal, dan hasilnya dilaporkan kepada
peneliti. Jika pasien memenuhi kriteria inklusi, peneliti memberikan penjelasan pada orang

2
tua dan meminta mereka untuk memberikan informed consent. Peneliti kemudian
memberikan nomor identitas pada subyek. Formulasi obat dibantu oleh Farmasi Kimia
Farma. Setalah obat disiapkan, ditangani oleh perawat bangsal untuk memberikannya pada
subyek. Komposisi obat hanya diketahui oleh peneliti. Obat disiapkan dalam 14 paket puyer,
dengan paket pertama sebagai dosis awal, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan setiap 12
jam. Kelompok aminofilin menerima aminofilin dihidrat pada dosis awal 10 mg/kgBB,
kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2.5 mg/kgBB setiap 12 jam. Kelompok
kafein menerima kafein anhydrous pada dosis awal 10 mg/kgBB, kemudian dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 1.25 mg/kgBB setiap 12 jam.
Obat diberikan dengan melarutkan puyer dalam 1 mL air steril, yang kemudian segera
dikonsumsi per oral. Untuk subyek yang puasa, obat diberikan melalui OGT dengan terapi
oksigen berlanjut selama pemberian. Obat diberikan selama 7 hari. Jika subyek pulang
sebelum 7 hari terapi lengkap, obat sisanya diberikan pada keluarga untuk diberikan di
rumah. Subyek yang mengkonsumsi kurang dari 80% obat dalam 7 hari diklasifikasikan
sebagai dropped out (DO) studi.
Observasi apnea dilakukan oleh residen, perawat, atau dokter internship tanpa
mengetahui komposisi obat yang diterima oleh sampel yang disamarkan terhadap terapi.
Observasi dilakukan hingga subyek berusia 10 hari. Subyek rawat inap dimonitor untuk
apnea, syanosis, atau desaturasi, menggunakan pulse oximeter. Subyek rawat jalan berusia
kurang dari 10 hari dipantau oleh ibu mereka di rumah, dengan memantau apnea atau bibir
biru, dan dipantau oleh peneliti sekali setiap 3 hari via telepon atau selama kembali visit ke
Poliklinik Neonatal RS Sanglah. Selama periode observasi, pemberian obat untuk subyek
yang didiagnosis dengan necrotizing enterocolitis (NEC) dihentikan.
Residen, dokter internship, atau perawat mencatat efek samping obat pada pasien
rawat inap dengan memantau takikardia, muntah, atau aspirasi lambung, dan kejang. Namun,
orang tua mengobservasi efek samping obat pada pasien rawat jalan dengan memantau
muntah atau kejang. Pada kasus kejadian-kejadian tersebut, orang tua segera menghubungi
peneliti untuk terapi lebih lanjut.
Manajemen apnea lebih lanjut dilakukan sesuai dengan pedoman klinis di RSU
Sanglah. Kami menghentikan penggunaan obat pada subyek yang mengalami takikardia (200
kali/menit) sebagai efek samping terapi. Untuk subyek dengan kejang, kami memberikan
arang aktif dan pengobatan lebih lanjut dihentikan.
Peneliti mencatat diagnosis akhir subyek dan lama rawat inap di rumah sakit sesuai
dengan register di Subdivisi Neonatal RSU Sanglah, setelah keluar dari rumah sakit. Seluruh

3
data dicatat pada lembar observasi dan dikumpulkan oleh peneliti. Analisis data dilakukan
setelah pengumpulan data minimal besar sampel yang diperlukan. Analisis intention-to-treat
dilakukan untuk subyek DO dengan kemungkinan terburuk, yaitu, apnea.
Definisi operasional prematuritas ialah bayi usia kehamilan < 37 minggu. Usia
kehamilan ialah usia bayi sesuai dengan pengukuran NBS. Bernapas spontan ialah mampu
bernapas tanpa bantuan ventilator selama 24 jam pertama kehidupan. Apnea ialah henti napas
selama 20 detik, atau selama 10 detik disertai sianosis atau desaturasi oksigen. Sianosis ialah
warna biru yang terjadi pada mukosa oral, juga disebut sianosis sentral. Desaturasi ialah
saturasi oksigen kurang dari 80% dan terjadi selama 5 detik atau lebih, diukur dengan
oksimetri.
Studi ini menerima izin etik dari Badan Penelitian dan Pembangunan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah dan izin penelitian dari RSU Sanglah.
Data deskriptif disajikan dalam teks dan tabel. Uji hipotesis Chi-Square digunakan
untuk membandingkan efikasi aminofilin dengan kafein, dengan nilai P < 0.05 dianggap
signifikan secara statistik. Jika distribusi data atau kondisi tidak memenuhi untuk analisis
Chi-Square, maka uji Fisher dilakukan. Analisis RR juga dilakukan, dengan 95% CI. Analisis
multivariat dengan regresi logistik dilakukan untuk mengidentifikasi variabel perancu dalam
studi. Perhitungan statistik dibantu dengan SPSS 17 untuk Windows.

HASIL
Selama periode studi, kami mengidentifikasi 132 bayi baru lahir dengan usia
kehamilan < 34 minggu. Empat bayi baru lahir mengalami apnea dalam 24 jam pertama
kehidupan, dan 8 bayi baru lahir usia kehamilannya < 28 minggu. Total sebanyak 120 bayi
baru lahir memenuhi kriteria inklusi, tetapi 24 dieksklusi akibat kurangnya persetujuan orang
tua. Total sebanyak 96 subyek secara acak dialokasikan terhadap 2 kelompok terapi, setiap
kelompok terdiri dari 48 subyek (Gambar 1). Terapi diberikan selama 7 hari dan observasi
dilakukan hingga subyek berusia 10 hari. Selama periode itu, 9 subyek mengkonsumsi kurang
dari 80% obat, 6 dari kelompok aminofilin dan 3 dari kelompok kafein, akibat kematian. 9
subyek tersebut dianggap sebagai DO. Subyek ditangani sesuai dengan kelompok mereka
dari awal hingga akhir terapi, dan tidak ada subyek yang beralih kelompok terapi.
Karakteristik subyek awal dua kelompok serupa dalam hal jumlah laki-laki dan
perempuan, median berat badan, usia kehamilan, dan median lama pemberian obat (Tabel 1).
Kondisi klinis subyek berdasarkan diagnosis akhir mereka saat keluar dari rumah sakit. Kami
menemukan kondisi klinis yang lebih berat pada kelompok aminofilin dibandingkan pada

4
kelompok kafein, terkait dengan lama rawat inap yang lebih lama dan tingkat kematian yang
lebih tinggi pada kelompok aminofilin (Tabel 2).
Tabel 3 menunjukkan perbandingan efikasi aminofilin dan kafein, untuk mencegah
AOP. Kami menemukan bahwa insidensi apnea pada kelompok aminofilin kurang
dibandingkan pada kelompok kafein, tetapi perbedaan ini tidak signifikan secara statistik (RR
0.9; 95% CI 0.5 1.6; P = 0.8).
Kami menemukan muntah adalah satu-satunya efek samping pemberian
methilxantine. Tidak terdapat kejang atau takhikardia yang ditemukan. Jumlah kejadian
muntah serupa antara kelompok aminofilin dan kafein (RR 1.1; 95% CI 0.5 2.9; P = 1.0).
Kami melakukan analisis multivariat dengan regresi logistik untuk menguji kondisi
klinis subyek yang dapat beraksi sebagai variabel pembaur. Analisis mengungkapkan bahwa
sepsis memiliki OR sebesar 8.3 (95% CI 2.4 29.2; P = 0.001), sedangkan penyakit
membran hyalin memiliki OR sebesar 15.1 (95% CI 4.3 53.7; P = 0.0001). Kedua outcome
klinis merupakan variabel pembaur yang juga dapat menyebabkan apnea pada studi ini (Tabel
4).

5
6
PEMBAHASAN
Karakteristik awal subyek kedua kelompok terapi serupa, tetapi perkembangan
kondisi klinis selama observasi dan periode terapi menyebabkan kelompok aminofilin
memiliki resiko apnea yang lebih tinggi karena penyebab lain, dibandingkan dengan
kelompok kafein. Hal ini dikonfirmasi dengan lama rawat inap yang lebih lama dan angka
kematian yang lebih tinggi pada kelompok aminofilin setelah observasi. Tingkat kematian

7
pada kedua kelompok selama terapi serupa, karenanya kematian tidak disebabkan oleh terapi
methylxantine.
Kami menemukan apnea pada 13/48 (27.1%) subyek pada kelompok aminofilin, dan
pada 15/48 (31.3%) subyek pada kelompok kafein, namun, perbedaan ini tidak signifikan
(RR 0.9; 95% CI 0.5 1.6; P = 0.8). Kami menemukan bahwa aminofilin dan kafein
memiliki efikasi yang serupa untuk mencegah AOP. Hal yang serupa, sebuah studi
menemukan efikasi yang serupa dari aminofilin dan kafein dalam mencegah AOP, meskipun
dosis aminofilin mereka lebih rendah dari studi kami. Aminofilin berasal dari famili obat
yang sama dengan kafein dan memiliki mekanisme aksi yang serupa, yaitu, mempengaruhi
reseptor adenosin yang sama (reseptor adenosin A1, A2A dan A3). Aminofilin dimetabolisme
oleh tubuh menjadi beberapa bentuk aktif, tetapi akibat perkembangan hepar yang inkomplet
pada bayi prematur, berbagai metabolit dari aminofilin tidak dapat diaktivasi. Metabolit aktif
yang berasal dari pemberian aminofilin pada bayi prematur meliputi 25% kafein dan 3-
methylxaintine. Oleh karena itu, aminofilin yang diberikan pada bayi prematur sebenarnya
setara dengan kafein dosis yang lebih rendah, karenanya, pemberian aminofilin pada dosis
yang tepat akan memiliki efek yang serupa dengan kafein pada bayi prematur untuk
mencegah AOP.
Studi sebelumnya tidak merekomendasikan pemberian aminofilin untuk mencegah
AOP, karena penulis menemukan peningkatan insidensi apnea setelah pemberian aminofilin.
Sebaliknya, kami menemukan efikasi yang serupa dari aminofilin dan kafein dalam
mencegah AOP. Perbedaan ini dapat disebabkan dosis aminofilin yang lebih rendah yang
diberikan pada studi mereka, yang menghasilkan rata-rata kadar teofilin plasma sebesar 7.1
mg/L, sedangkan dosis aminofilin berdasarkan rekomendasi WHO, menghasilkan kadar
teofilin plasma sebesar 11.6 mg/dL. Oleh karena itu, dosis aminofilin kami yang lebih tinggi
dapat mencegah apnea.
Penggunaan aminofilin pada bayi prematur dapat menyebabkan efek samping dan
gejala intoksikasi. Studi tahun 1993 melaporkan bahwa aminofilin mencegah AOP. Pada
studi itu, dosis aminofilin 25 mg/mL dan diberikan melalui infuse intravena kontinu selama 5
hari dan rata-rata plasma mereka 12.7 mg/L. Gejala intoksikasi terjadi pada 4 subyek, dengan
kadar teofilin plasma mereka dilaporkan sebesar 30.1 mg/L. Pada studi kami, aminofilin
diberikan per oral setiap 12 jam sesuai dengan rekomendasi WHO. Studi sebelumnya
melaporkan bahwa dosis ini menghasilkan kadar teofilin plasma sebesar 7.2 14.5 mg/L,
kadar yang tidak seharusnya menyebabkan gejala intoksikasi. Efek samping lain adalah
muntah. Kami menemukan insidensi muntah serupa pada kedua kelompok: 16.7% pada

8
kelompok aminofilin dan 14.6% pada kelompok kafein. Muntah pada pasien yang ditangani
dengan methylxantine dapat disebabkan oleh penurunan fungsi sfingter esofagus bagian
bawah, stimulasi asam lambung, dan aktivitas GABA yang rendah. Penilaian lebih lanjut
dibutuhkan untuk mengetahui apakah muntah adalah efek samping mayor terapi, atau
kejadian fisiologis yang sering terjadi pada bayi prematur.
Insidensi apnea pada bayi prematur dapat dipicu oleh berbagai faktor. Imaturitas pusat
respirasi diketahui sebagai salah satu penyebab AOP. Faktor-faktor lain yang juga berperan
penting dalam insidensi apnea. Analisis multivariat mengungkapkan bahwa apnea pada
subyek kami juga dapat disebabkan oleh sepsis atau penyakit membran hyalin. Oleh karena
itu, dua kondisi tersebut tidak dapat diabaikan, meskipun terapi berupa pemberian aminofilin
atau kafein mencegah AOP.
Keterbatasan studi kami ialah kurangnya fasilitas untuk melakukan pengukuran kadar
aminofilin atau kafein subyek. Selain itu, desain studi tersamar tunggal juga dapat
menyebabkan bias. Untuk meminimalkan bias, peneliti tidak berpartisipasi dalam observasi
apnea. Bias informasi juga dapat terjadi sejak beberapa data apnea didapat oleh observasi
orang tua selama terapi di rumah.
Kesimpulannya, aminofilin dan kafein memiliki efikasi serupa untuk mencegah AOP.
Aminofilin dipertimbangkan sebagai tambahan kafein untuk pencegahan AOP di Indonesia,
jika kafein tidak tersedia. Pasien yang menjalani terapi methylxantine memerlukan
pemantauan kondisi klinis, seperti sepsis dan penyakit membran hyalin.

Anda mungkin juga menyukai