Anda di halaman 1dari 24

PEDOMAN PELAYANAN

HIV-AIDS

PUSKESMAS BATALAIWORU
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat yang telah di karuniakan kepada kita
sehingga kita dapat menyelesaikan Buku Pedoman Pelayanan HIV-AIDS di RSU Wiradadi
Husada. Buku ini merupakan acuan dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan pada pasien yang
akan menjalani tes HIV, konseling HIV, dan pengobatan HIV-AIDS di RSU Wiradadi Husada.
Buku pedoman ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan di Klinik VCT.
Penyusun menyampaikan terima kasih atas bantuan semua pihak dalam menyelesaikan Buku
Pedoman Pelayanan HIV-AIDS. Kami sangat menyadari banyak terdapat kekurangan dalam
buku ini. Kekurangan ini secara berkesinambungan terus diperbaiki sesuai dengan tuntunan
dalam pengembangan RSU Wiradadi Husada.

Sokaraja, Agustus 2017

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN
B. Tujuan Pedoman
C. Ruang Lingkup Pelayananan
D. Batasan Operasional
E. Landasan Hukum
BAB II. STANDAR KETENAGAAN
A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia
B. Distribusi Ketenagaan
C. Pengaturan Jaga
BAB III. STANDAR FASILITAS
A. Denah Ruang
B. Standar Fasilitas
BAB IV. TATA LAKSANA PELAYANAN
BAB V. LOGISTIK
BAB VI. KESELAMATAN PASIEN
BAB VII. KESELAMATAN KERJA
BAB VIII. PENGENDALIAN MUTU
BAB IX. PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kajian eksternal pengendalian HIV-AIDS sektor kesehatan yang dilaksanakan pada
tahun 2011 menunjukkan kemajuan program dengan bertambahnya jumlah layanan tes
HIV dan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan HIV-AIDS, yang telah terdapat di
lebih dari 300 kabupaten/ kota di seluruh provinsi dan secara aktif melaporkan
kegiatannya. Namun dari hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa tes HIV masih
terlambat dilakukan, sehingga kebanyakan ODHA yang diketahui statusnya dan masuk
dalam perawatan sudah dalam stadium AIDS.
Diperkirakan terdapat sebanyak 591.823 orang dengan HIV-AIDS (ODHA) pada
tahun 2012, sementara itu sampai dengan bulan Maret 2014 yang ditemukan dan
dilaporkan baru sebanyak 134.053 orang. Namun demikian, jumlah orang yang dites HIV
dan penemuan kasus HIV dan AIDS menunjukkan kecenderungan terjadi peningkatan.
Pada tahun 2010 sebanyak 300.000 orang dites HIV dan tahun 2013 sebanyak 1.080.000
orang. Kementerian Kesehatan terus berupaya meningkatkan jumlah layanan Konseling
dan Tes HIV (TKHIV) untuk meningkatkan cakupan tes HIV, sehingga semakin banyak
orang yang mengetahui status HIV nya dan dapat segera mendapatkan akses layanan
lebih lanjut yang dibutuhkan.
Tes HIV sebagai satu-satunya pintu masuk untuk akses layanan pencegahan,
pengobatan, perawatan dan dukungan harus terus ditingkatkan baik jumlah maupun
kualitasnya. Perluasan jangkauan layanan TKHIV akan menimbulkan normalisasi HIV di
masyarakat. Tes HIV akan menjadi seperti tes untuk penyakit lainnya. Peningkatan
cakupan tes HIV dilakukan dengan menawarkan tes HIV kepada ibu hamil, pasien IMS,
pasien TB dan Hepatitis B atau C dan pasangan ODHA, serta melakukan tes ulang HIV 6
bulan sekali pada populasi kunci (pengguna napza suntik, pekerja seks, laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki serta pasangan seksualnya dan waria).
Peningkatan cakupan tes dilanjutkan dengan penyediaan akses pada layanan
selanjutnya yang dibutuhkan, dimana salah satunya adalah terapi ARV. Terapi ARV
selain berfungsi sebagai pengobatan, juga berfungsi sebagai pencegahan (treatment as
prevention). Setiap RS Rujukan ARV di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus dapat
menjamin akses layanan bagi ODHA yang membutuhkan termasuk pengobatan ARV,
sementara fasilitas pelayanan kesehatan primer dapat melakukan deteksi dini HIV dan
secara bertahap juga bisa memulai inisiasi terapi ARV. Konseling dan Tes HIV telah
mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004, yaitu dengan pendekatan konseling
dan tes HIV atas inisiatif klien atau yang dikenal dengan Konseling dan Tes HIV
Sukarela (KTS). Hingga saat ini pendekatan tersebut masih dilakukan bagi klien yang
ingin mengetahui status HIV nya. Sejak tahun 2010 mulai dikembangankan Konseling
dan Tes HIV dengan pendekatan Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Layanan
Kesehatan (TIPK). Kedua pendekatan konseling dan tes HIV ini bertujuan untuk
mencapai universal akses, dengan menghilangkan stigma dan diskriminasi, serta
mengurangi missed opportunities pencegahan penularan infeksi HIV.

B. TUJUAN PEDOMAN
1. Tujuan Umum
Pedoman ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pelayanan Konseling dan Tes
HIV dalam rangka penegakkan diagnosis HIV-AIDS untuk mencegah sedini mungkin
terjadinya penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV dan pengobatan lebih
dini.
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan testing HIV-AIDS
b. Menjaga mutu layanan melalui penyediaan sumberdaya dan manajemen yang
sesuai.
c. Memberi perlindungan dan konfidensialitas dalam pelayanan konseling dan
testing HIV-AIDS

C. RUANG LINGKUP PELAYANAN


1. Voluntary Counseling and Testing (VCT)
VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu
masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV-AIDS berkelanjutan. Pelayanan VCT
berkualitas bukan hanya membuat orang mempunyai akses terhadap pelayanan namun
juga efektif dalam pencegahan terhadap HIV. Layanan VCT dapat digunakan untuk
mengubah perilaku berisiko dan memberikan informasi tentang pencegahan HIV-
AIDS. Untuk mengurangi stigma dan diskriminassi dari petugas kesehatan,
Puskesmas batalaiworumengadakan sosialisasi dan training tentang pelayanan HIV-
AIDS kepada petugas kesehatan di rumah sakit.
2. Care, Support and Treatment (CST)
Layanan perawatan yang tersedia meliputi konseling dan tes HIV untuk tujuan
skrining dan diagnostik. Terapi antiretroviral (ARV) merupakan komitmen jangka
panjang dan kepatuhan terapi adalah hal yang paling penting dalam menekan replikasi
HIV dan menghindari terjadinya resistensi. Pasien dianjurkan untuk melakukan
konseling ARV. Konseling ini yang terpenting adalah faktor adheren atau kepatuhan
untuk minum obat. Isi dari konseling ini tentang minum obat tepat waktu, tepat dosis
dan tepat penggunaan obat. Pasien diajarkan membuat pengingat untuk minum obat
misalnya alarm di telepon seluler. Pasien yang terbuka kepada keluarga tentang
statusnya, maka keluarga yang menjadi Pendamping Minum Obat (PMO) untuk
mendukung kepatuhan minum obat.
3. Infeksi Oportunistik (IO) & Infeksi Menular Seksual (IMS)
Pelayanan IO dan IMS dilakukan oleh spesialis ataupun dokter umum. Pasien
yang membutuhkan terapi ARV akan dirujuk ke fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh
Kementerian Kesehatan RI untuk pelayanan ARV. Pasien selain mendapatkan
pengobatan juga akan mendapatkan dukungan gizi, pelayanan laboratorium dan
radiologi.
Pemilihan obat untuk IMS harus sesuai dengan pedoman penatalaksanaan IMS
yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI tentang kriteria yang digunakan
dalam pemilihan obat untuk IMS yaitu angka kesembuhan yang tinggi, harga murah,
toksisitas dan toleransi yang masih dapat diterima, diberikan dosis tunggal, cara
pemberian peroral dan tidak merupakan kontra indikasi pada ibu hamil atau ibu
menyusui.
4. Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)
Pelayanan PMTCT merupakan salah satu pelayanan tersedia untuk klien yang
berusia produktif, mempunyai istri atau suami. Pelayanan PMTCT menjadi fokus dari
Klinik Kebidanan dan Kandungan dan Klinik Anak.
5. Pelayanan pada ODHA dengan Faktor Risiko Injection Drug Use (IDU)
Puskesmas Batalaiworu bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN)
Kabupaten Banyumas dalam menangani kasus penyalahgunaan NAPZA. Pasien
dengan NAPZA yang menjalani program konseling dengan dokter umum yang telah
menjalani pelatihan dari BNN akan diperiksa status HIV-nya. Pasien ODHA dengan
faktor risiko IDU akan dilaporkan kepada BNN untuk ditangani sesuai dengan
regulasi BNN.
D. BATASAN OPERASIONAL
1. Pelayanan VCT
Pelayanan VCT meliputi:
a. Penerimaan klien
b. Konseling pra testing HIV-AIDS
c. Konseling pra testing HIV-AIDS dalam keadaan khusus
2. Informed consent
3. Testing HIV dalam VCT

E. LANDASAN HUKUM
1. Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
2. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1285/Menkes/SK/X/2002 tentang Pedoman
Penanggulangan HIV-AIDS dan Penyakit Menular Seksual.
3. Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan
AIDS
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 74 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan
Konseling dan Tes HIV
7. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 87 tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan
Antiretroviral
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu komponen yang paling penting
untuk mendukung dan memberikan pelayanan HIV-AIDS yang berkesinambungan.
Pengetahuan dan sikap SDM dalam hal ini adalah petugas kesehatan akan mempengaruhi
keefektifan penyediaan pelayanan HIV-AIDS. Pelayanan HIV-AIDS membutuhkan
tenaga kesehatan yang berdedikasi dan mempunyai ketrampilan yang memadai.
Adapun petugas pelayanan HIV-AIDS terdiri dari:
1. Dokter Umum
2. Perawat
3. Bidan

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Distribusi ketenagaan pelayanan HIV-AIDS di Puskesmas batalaiworuadalah sebagai
berikut:
1. Dokter umum: 2 orang
2. Perawat: 1 orang
3. Bidan: 1 orang

C. PENGATURAN JAGA
Pelayanan Klinik VCT Puskesmas Batalaiworu dilakukan pada hari Jumat pukul
08.00 s.d. 11.00 dengan petugas sesuai dengan jadwal. Petugas laboratorium berada di
Instalasi Laboratorium dan akan dihubungi oleh petugas jaga di Klinik VCT, apabila ada
klien yang melakukan pemeriksaan HIV.
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. DENAH RUANG
Denah ruang pelayanan VCT terlampir pada Pedoman Pelayanan HIV-AIDS ini.

B. STANDAR FASILITAS
1. Sarana
a. Papan petunjuk
Papan petunjuk dipasang yang jelas untuk memudahkan akses klien ke klinik
VCT. Juga di depan ruang klinik VCT bertuliskan Pelayanan VCT/ Klinik VCT
b. Ruang Tunggu
Ruang tunggu berada di depan ruang konseling. Di ruang tunggu tersedia:
1) Materi KIE: poster, leaflet, brosur yang berisi tentang HIV-AIDS, IMS, KB,
ANC, TB, Hepatitis, Penyalah gunaan Napza, Perilaku sehat, Nutrisi dan seks
yang aman
2) Informasi konseling dan testing
3) Kotak saran
4) Tempat sampah, tissue, air minum
5) Meja dan kursi
2. Jam pelayanan HIV-AIDS
Jam pelayanan konseling dan testing terintregasi dalam jam pelayanan kesehatan
lainnya, bisa dilakukan pada pagi hari atau sore hari sehingga dapat mempermudah
akses klien yang bekerja atau sekolah. Karena keterbatasan sumber daya maka
konseling dan testing tidak dapat dilaksanakan setiap hari. Klinik VCT membuka
pelayanan setiap hari Jumat pukul 08.00 s.d. 11.00 dan pukul 13.00 s.d. 15.00 WIB.
3. Ruang Konseling
Ruang konseling disediakan senyaman mungkin dan terjaga kerahasiaannya serta
terpisah dari ruang tunggu dan ruang pengambilan sampel darah. Ruang konseling
terdapat dua pintu yaitu pintu masuk dan pintu keluar klien sehingga klien yang
selesai konseling dan klien berikutnya yang akan konseling tidak saling bertemu.
Ruang Konseling dilengkapi:
a. 1 meja dan 1 kursi (tempat duduk bagi klien maupun konselor)
b. Buku catatan perjanjian klien dan catatan harian, forrmulir informed consent,
catatan medis klien, formulir pre dan pasca testing, buku rujukan, formulir
rujukan, kalender dan ATK
c. Kondom dan alat peraga penis, alat peraga reproduksi wanita
d. Buku resep gizi seimbang
e. Tisu
f. Air minum
g. Lemari arsip/ lemari dokumen yang dapat dikunci
4. Ruang Pengambilan Sampel Darah
Pelayanan laboratorium pasien HIV-AIDS dilakukan di ruang terpisah dengan
ruang tunggu dan konseling. Pengambilan darah dilakukan langsung di laboratorium.
5. Ruang Petugas Nonkesehatan
Berisi:
a. Meja dan kursi
b. Tempat pemeriksaan fisik
c. Stetoskop dan tensimeter
d. Blangko resep
e. Alat timbangan badan
f. KIE HIV-AIDS
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. KONSELING PRETESTING
1. Penerimaan Klien
a. Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama, sehingga nama tidak
ditanyakan
b. Pastikan klien tepat waktu dan tidak menunggu
c. Buat catatan rekam medic klien dan pastikan setiap klien mempunyai kodenya
sendiri
d. Kartu periksa konseling dan testing dengan nomor kode dan ditulis oleh konselor.
Tanggung jawab klien dalam konselor:
1) Bersama konselor mendiskusikan hal-hal terkait tentang HIV AIDS, perilaku
beresiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negative
atau positif
2) Sesudah melaksanakan konseling lanjutan diharapkan dapat melindungi diri
dan keluarganya dari penyebaran infeksi
3) Untuk klien yang dengan HIV positif memberitahu pasangan atau keluarganya
akan status dirinya dan rencana kehidupan lebih lanjut
2. Konseling Pre-Testing
a. Periksa ulang nomor kode dalam formulir
b. Perkenalan dan arahan
c. Menciptakan kepercayaan klien pada konselor, sehingga terjalin hubungan baik
dan terbina saling memahami
d. Alasan kunjungan
e. Penilaian resiko agar klien mengetahui factor resikodan menyiapkan diri untuk
pretest
f. Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi
g. Konselor membuat keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian resiko
dan merespon kebutuhan emosi klien
h. Konselor VCT membuat penilaian system dukungan
i. Klien memberikan persetujuan tertulis sebelum tes HIV dilakukan.
B. INFORMED CONSENT
Semua Klien sebelum menjalani tes HIV harus Memberikan Persetujuan
Tertulis
Aspek penting dalam persetujuan tertulis adalah:
a. Klien diberi penjelasan tentang resiko dan dampak sebagai akibat tindakan dan
klien menyetujuinya
b. Klien mempunyai kemampuan mengerti/memahami dan menyatakan
persetujuannya
c. Klien tidak dalam terpaksa memberikan persetujuannya
d. Untuk klien yang tidak mampu mengambil keputusan karena keterbatasan dalam
memahami, maka konselor berlaku jujur dan obyektif dalam menyampaikan
informasi.

C. TESTING HIV DALAM VCT


Prinsip testing HIV adalah terjaga kerahasiaannya. Testing dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis. Penggunaan testing cepat (rapid testing) memungkinkan klien
mendapatkan hasil testing pada hari yang sama. Tujuan testing adalah:
1. Menegakkan diagnosis
2. Pengamanan darah donor (skrining)
3. Surveilans
4. Penelitian
Petugas laboratorium harus menjaga mutu dan konfidensialitas, menghindari
terjadinya kesalahan baik teknis (technical error), manusia (human error) dan
administratif (administrative error).
Bagi pengambil sampel darah harus memperhatikan hal-hal berikut:
1. Sebelum testing dilakukan harus didahului dengan konseling dan informed consent
2. Hasil testing diverifikasi oleh dokter patologi klinik
3. Hasil diberikan dalam amplop tertutup
4. Dalam laporan pemeriksaan ditulis kode register
5. Jangan member tanda menyolok terhadap hasil positif atau negatif
6. Meski sampel berasal dari sarana kesehatan yang berbeda tetap dipastikan telah
7. Mendapat konseling dan menandatangani informed consent
D. KONSELING PASCA TESTING
Kunci utama dalam menyampaikan hasil testing:
1. Periksa ulang seluruh hasil klien dalam rekam medis. Lakukan sebelum bertemu klien
2. Sampaikan kepada klien secara tatap muka
3. Berhati-hati memanggil klien dari ruang tunggu
4. Seorang konselor tidak diperkenankan menyampaikan hasil tes dengan cara verbal
5. maupun nonverbal di ruang tunggu
6. Hasil test harus tertulis
Tahapan penatalaksanaan konseling pasca testing
1. Penerimaan klien
a. Memanggil klien dengan kode register
b. Pastikan klien hadir tepat waktu dan usahakan tidak menunggu
c. Ingat akan semua kunci utama dalam penyampaian hasil testing
2. Pedoman penyampaian hasil negatif
a. Periksa kemungkinan terpapar dalam periode jendela
b. Gali lebih lanjut berbagai hambatan untuk seks yang aman
c. Kembali periksa reaksi emosi yang ada
d. Buat rencana tindak lanjut
3. Pedoman penyampaian hasil positif
a. Perhatikan komunikasi nonverbal saat klien memasuki ruang konseling
b. Pastikan klien siap menerima hasil
c. Tekankan kerahasiaan
d. Lakukan penyampaian secara jelas dan langsung
e. Sediakan waktu cukup untuk menyerap informasi tentang hasil
f. Periksa apa yang diketahui klien tentang hasil
g. Dengan tenang bicarakan apa arti hasil pemeriksaan
h. Ventilasikan emosi klien
4. Konfidensialitas
Penjelasan secara rinci pada saat konseling pretes dan persetujuan dituliskan dan
dicantumkan dalam catatan medic. Berbagi konfidensialitas adalah rahasia diperluas
kepada orang lain, terlebih dahulu dibicarakan kepada klien. Orang lain yang
dimaksud adalah anggota keluarga, orang yang dicintai, orang yang merawat, teman
yang dipercaya atau rujukan pelayanan lainnya ke pelayanan medic dan keselamatan
klien. Selain itu juga disampaikan jika dibutuhkan untuk kepentingan hukum.
5. VCT dan etik pemberitahuan kepada pasangan
Dalam konteks HIV-AIDS, WHO mendorong pengungkapan status HIV AIDS.
Pengungkapan bersifat sukarela, menghargai otonomi dan martabat individu yang
terinfeksi, pertahankan kerahasiaan sejauh mungkin menuju kepada hasil yang lebih
menguntungkan individu, pasangan seksual dan keluarga, membawa keterbukaan
lebih besar kepada masyarakat tentang HIV-AIDS dan memenuhi etik sehingga
memaksimalkan hubungan baik antara mereka yang terinfeksi dan tidak.
6. Isu-isu gender
Gender adalah sama pentingnya dengan memusatkan perhatian terhadap
penggunaan kondom, dengan konsistensi tetap bertahan menggunakan kondom
merupakan bentuk perubahan perilaku.

E. PELAYANAN DUKUNGAN BERKELANJUTAN


1. Konseling Lanjutan
Salah satu layanan yang ditawarkankepada klien adalah konseling lanjutan
sebagai bagian layanan VCT apapun hasil testing yang diterima klien. Namun karena
persepsi klien berbeda-beda terhadap hasil testing maka konseling lanjutan ini sebagai
pilihan jika dibutuhkan klien untuk menyesuaikan diri dengan status HIV.
2. Kelompok Dukungan VCT
Layanan ini dapat ditempat layanan klinik VCT dan di masyarakat. Konselor atau
kelompok ODHA akan membantu klien baik dengan hasil positif maupun negatif
untuk bergabung dalam kelompok ini. Kelompok ini dapat diikuti oleh pasangan dan
keluarga.
3. Pelayanan Penanganan Manajemen Kasus
Tahapan dalam manajemen kasus, adalah identifikasi, penilaian kebutuhan
pengembangan rencana tidak individu, rujukan sesuai kebutuhan dan tepat serta
koordinasi tindak lanjut.
4. Perawatan dan Dukungan
Setelah diagnosis ditegakkan dengan HIV positif maka klien dirujuk dengan
pertimbangan akan kebutuhan rawatan dan dukungan. Kesempatan ini digunakan
klien dan klinisi untuk menyusun rencana dan jadwal pertemuan konseling
selanjutnya dimana membutuhkan tindakan medic lebih lanjut, seperti terapi
profilaksis dan akses ke ART.
5. Layanan Psikiatrik
Banyak pengguna zat psikoaktif saat menerima hasil positif testing HIV,
meskipun sudah dipersiapkan terlebih dahulu, klien dapat mengalami goncangan yang
berat, seperti depresi, panik, kecemasan yang hebat, agresif bahkan bunuh diri. Bila
terjadi hal demikian maka perlu dirujuk ke fasilitas layanan psikiatrik.
6. Konseling Kepatuhan Berobat
Dibutuhkan waktu untuk memberikan edukasi dan persiapan guna meningkatkan
kepatuha sebelum dimulai terapi ARV. Sekali dimulai harus dilakukan monitoring
terus menerus yang dinilai oleh dokter, jumlah obat dan divalidasi dengan daftar
pertanyaan kepada pasien. Konseling ini membantu klien mencari jalan keluar dari
kesulitan yang mungkin timbul dari pemberian terapi dan mempengaruhi kepatuhan.
7. Rujukan
Pelayanan VCT bekerja dengan membangun hubungan antara masyarakat dan
rujukan yang sesuai dengan kebutuhannya serta memastikan rujukan dari masyarakat
ke pusat VCT. Sistem rujukan dan alur:
a. Rujukan klien dalam lingkungan sarana kesehatan.
Jika dokter mencurigai seseorang menderita HIV, maka dokter
merekomendasikan klien dirujuk ke konselor yang ada di rumah sakit.
b. Rujukan antar sarana kesehatan
c. Rujukan klien dari sarana kesehatan ke sarana kesehatan lainnya
Rujukan ini dilakukan secara timbale balik dan berulang sesuai dengan kebutuhan
klien.
d. Rujukan klien dari sarana kesehatan lainnya ke sarana kesehatan rujukan.
Dari sarana kesehatan lainnya kesarana kesehatan dapat berupa rujukan medis
klien, rujukan spesimen, rujukan tindakan medis lanjut atau spesialistik.
BAB V
LOGISTIK

1. Kebutuhan anggaran kegiatan pengendalian HIV-AIDS dari anggaran RSU Wiradadi


Husada
2. Pasien dengan pengobatan ARV akan dirujuk ke fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh
Kementerian Kesehatan untuk pelayanan ARV
3. Kebutuhan obat-obatan & peralatan didukung sesuai dengan kemampuan
4. Peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk program pengendalian HIV-AIDS dapat
didukung dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas.
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

Kewaspadaan merupakan upaya pencegahan infeksi yang mengalami perjalanan


panjang. Mulai dari infeksi nosokomial yang menjadi ancaman bagi petugas kesehatan dan
pasien. Seperangkat prosedur dan pedoman yang dirancang untuk mencegah terjadinya
infeksi pada tenaga kesehatan dan juga memutus rantai penularan ke pasien. Terutama untuk
mencegah penularan melalui darah dan cairan tubuh, seperti: HIV, HBV, dan pathogen
lainnya.
Prinsip Kewaspadaan Umum dijabarkan dalam 5 kegiatan pokok yaitu:
1. Cuci Tangan untuk Mencegah Infeksi Silang
Cuci tangan dilakukan:
a. Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi dan bahan terkontaminasi lain.
b. Segera setelah melepas sarung tangan.
c. Di antara kontak dengan pasien
d. Tidak direkomendasikan mencuci tangan saat masih memakai sarung tangan
e. Cuci tangan 6 langkah.
f. Prosedur terpenting untuk mencegah transmisi penyebab infeksi
g. Antiseptik dan air mengalir atau handrub
2. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)/ Perorangan (APP)
a. Sarung Tangan
b. Pelindung Muka
c. Masker
d. Kaca Mata/ goggle
e. Gaun/ Jubah/ Apron
f. Pelindung Kaki
3. Pengelolaan Alat Kesehatan Bekas Pakai (Dekontaminasi, Sterilisasi, Disinfeksi)
a. Dekontaminasi: suatu proses menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran
dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan alkes bekas pakai
b. Pencucian: proses secara fisik untuk menghilangkan kotoran terutama bekas darah,
cairan tubuh dan benda asing lainnya seperti debu, kotoran yang menempel di kulit
atau alat kesehatan
c. Disinfeksi: suatu proses untuk menghilangan sebagian mikroorganisme
d. Disinfeksi Tingkat Tinggi = DTT
1) Suatu proses untuk menghilangan mikroorganisme dari alat kesehatan kecuali
beberapa endospora bakteri
2) Alternatif penanganan alkes apabila tdk tersedia sterilisator atau tidak mungkin
dilaksanakan.
3) Dapat membunuh Mikroorganisme (HBV, HIV), namun tdk membunuh
endospora dengan sempurna seperti tetanus.
e. Sterilisasi.
Suatu proses untuk menghilangkan seluruh mikroorganisme termasuk endospora
bakteri dari alat kesehatan. Cara yang paling aman utk pengolaan alkes yang
berhubungan langsung dgn darah.
4. Pengelolaan Jarum & Alat Tajam
Pengelolaan jarum dan alat tajam ditempatkan pada wadah yang terpisah dengan
limbah lain untuk mempermudah pengelolaan.
5. Pengelolaan Limbah & Sanitasi Ruangan
Pemilihan cara pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan:
a. Limbah Cair
b. Sampah Medis
c. Sampah Rumah Tangga
d. Insinerasi
e. Penguburan
f. Disinfeksi permukaan
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

1. Perlindungan Diri-Profilaksis Pasca Pajanan HIV (PPP)


Profilaksis Pasca Pajanan HIV merupakan adalah tindakan pencegahan terhadap
petugas kesehatan yang tertular HIV akibat tertusuk jarum, tercemar darah dari penderita
atau mayat penderita HIV. Paparan cairan infeksius tidak saja membawa virus HIV tetapi
juga virus hepatitis (HBV atau HCV). Perlukaan perkutaneus merupakan kecelakaan
kerja tersering dan biasanya disebabkan oleh jarum yang berlubang (hollow-bore-needle).
2. Faktor Yang Mempengaruhi
a. Jumlah dan jenis cairan yang mengenai.
b. Kedalaman tusukan/ luka.
c. Tempat perlukaan/ paparan.
3. Indikasi Pemberian PPP
a. Tertusuk/ luka superfisial yang merusak kulit oleh jarum solid yang telah terpapar
sumber dengan HIV (+) asimptomatik. Membran mukosa terpapar oleh darah
terinfeksi HIV dalam jumlah banyak, dari sumber HIV (+) asimptomatik (tergantung
dari banyak tidaknya volume dan tetesan).
b. Membran mukosa terpapar darah yang terinfeksi HIV (+) dalam jumlah sedikit, dari
sumber dengan HIV (+) simptomatik.
c. Terpapar dengan orang HIV (+) asimptomatik lewat tusukan yang dalam jarum
berlubang yang berukuran besar.
d. Luka tusukan jarum dengan darah yang terlihat di permukaan jarum.
e. Luka tusukan jarum yang telah digunakan untuk mengambil darah arteri atau vena
pasien.
f. Luka tusuk dari jenis jarum apapun yang telah digunakan pada sumber dengan HIV
(+) yang simptomatik.
g. Membran mukosa yang terpapar oleh darah yang terinfeksi HIV dalam jumlah yang
banyak dari sumber HIV (+) yang simptomatik.
h. Tusukan jarum dengan tipe jarum apapun dan berbagai derajat paparan dari sumber
dengan status HIV tidak diketahui tetapi memiliki faktor resiko HIV.
i. Tusukan jarum dengan tipe jarum apapun dan berbagai derajat paparan dari sumber
yang tidak diketahui status HIV dan tidak diketahui faktor resikonya, namun dianggap
sebagai sumber HIV (+).
j. Membran mukosa yang terpapar darah dalam jumlah berapapun dari sumber yang
tidak diketahui status HIV tetapi memiliki faktor risiko HIV.
k. Membran mukosa yang terpapar darah dalam jumlah berapapun dari sumber yang
tidak diketahui status HIV-nya, namun sumber tersebut dianggap sebagai sumber HIV
(+).
4. Klasifikasi Katagori Paparan (Exposure Category).
Berdasarkan paparan, kadar RNA HIVdan bahan paparan. Terdapat 4 kategori:
a. EC 1:
1. Tempat paparan adalah kulit atau mukosa yang mengalami luka.
2. Bahan paparan jumlahnya sedikit (tetesan darah atau cairan tubuh yang berdarah.
3. Waktu paparan cepat (tidak lama).
b. EC 2: seperti EC-1, tetapi jumlah bahan paparan lebih banyak dan waktu paparan
lebih lama.
c. EC2: paparan perkutaneus, luka superficial dengan jarum kecil.
d. EC3: seperti EC2, tetapi lewat jarum besar, tertusuk dalam, keluar darah.
5. Penatalaksanaan Pasca Pajanan.
a. Keputusan pemberian ARV harus segera diambil dan ARV diberikan < 4 jam setelah
paparan.
b. Penanganan luka.
c. Beri informed consent.
d. Lakukan test HIV.
e. Pemberian ARV profilaksis.
f. Penanganan tempat paparan/ luka harus segera
g. Luka tusuk dibilas menggunakan air mengalir dan sabun/ antiseptic.
h. Pajanan mukosa mulut: ludahkan dan berkumur.
i. Pajanan mukosa mata: irigasi dg air atau cairan fisiolofis
j. Pajanan mukosa hidung: hembuskan keluar dan bersihkan dengan air
k. Jangan dihisap dengan mulut, jangan ditekan.
6. Disinfeksi
Disinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengan salah satu:
a. Betadine (povidone iodine 2.5%) selama 5mnt
b. Alkohol 70% selama 3 menit.
Catatan:
a. Chlorhexidine cetrimide bekerja melawan HIV tetapi bukan HBV.
b. Pelaporan terjadinya paparan berupa rincian waktu, tempat, paparan dan konseling
serta manajemen pasca paparan.
c. Evaluasi dan risiko transmisi.
d. Konseling berupa risiko transmisi, penceganan transmisi sekunder, tidak boleh hamil
dsb.
e. Pertimbangan pemakaian terapi profilaksis pasca paparan.
f. Pemantauan (follow up).
7. Pemantauan.
Tes Antibodi dilakukan pada minggu ke-6, minggu ke -12 dan bulan ke 6. Dapat
diperpanjang sampai bulan ke-12.
8. Aspek Manajemen.
a. Merupakan bagian medico legal.
b. Perlu dilakukan pencatatan dan evaluasi.
c. Evaluasi meliputi:
1) Kesalahan sistem.
2) Tidak ada pelatihan.
3) Tidak ada SOP tidak tersedia APD.
4) Ratio pekerja dan pasien yg tidak seimbang.
5) Kesalahan manusia.
6) Kesalahan dalam penggunaan dan pemilihan alat kerja.
7) Rekomendasi kepada manajemen rumah sakit perlu diberikan setelah evaluasi
dilakukan.
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Salah satu prinsip yang menggaris bawahi implementasi layanan VCT adalah layanan
berkualitas, guna memastikan klien mendapatkan layanan tepat dan menarik orang untuk
menggunakan layanan. Tujuan pengukuran dari jaminan kualitas adalah menilai kinerja
petugas, kepuasan pelanggan atau klien, dan menilai ketepatan protocol konseling dan testing
yang kesemuanya bertujuan tersedianya layanan yang terjamin kualitas dan mutu.
1. Konseling dalam VCT
Pelayanan konseling dimulai dengan suasana bersahabat yang dilayani oleh konselor
terlatih. Perangkat untuk menilai kualitas layanan termasuk mengevaluasi kinerja seluruh
staff VCT, penilaian kualitas konseling dengan menghadirkan supervisor yang menyamar
sebagai klien, melakukan pertemuan berkala dengan para konselor, mengikuti
perkembangan konseling dan HIV AIDS, kotak saran, penilaian oleh petugas jasa,
mengukur seberapa jauh konselor mengikuti aturan protocol dan supervise suportif yang
regular.
Perangkat jaminan mutu konseling dalam VCT:
a. Perangkat rekaman saat konseling dengan klien samara atau klien sungguhan yang
telah memberikan persetujuan untuk direkam.
Kegiatan ini dapat digunakan untuk melakukan pengamatan, melakukan ikhtisar
sesudah sesi berlangsung (sesi rekam) atau pengamatan ketrampilan konselor melalui
klien samara (tak diketahui konselor) untuk mendapatkan ketepatan pengamatan.
b. Formulir kepuasan pelanggan.
Nomor dan nama klien dicatat. Formulir dimasukkan ke kotak yang aman dan
terkunci. Semua komentar dikumpulkan dan dinilai pada pertemuan dengan seluruh
petugas. Klien yang tidak dapat menulis/ mambaca dapat dibantu relawan. Petugas
yang bekerja pada institusi tidak diperkenankan membantu pengisian. Baca terlebih
dahulu petunjuk dan isi dari formulir, kemudian baru diisi. Klien sama sekali tidak
boleh dipengaruhi pendapatnya, administrasi memastikan apakah jawaban klien sudah
lengkap dan benar sesuai petunjuk.
c. Syarat minimal layanan VCT.
Penilaian internal atau eksternal dapat menggunakan daftar sederhana apakah
pelayanan VCT memenuhi persyaratan standar minimal yang ditentukan Kementerian
Kesehatan dan WHO.
2. Testing pada VCT
Perangkat jaminan testing mutu dalam VCT:
a. Supervisi laboratorium
Untuk melakukan supervisi atas proses pemeriksaan laboratorium, harus dilakukan
oleh teknisi laboratorium senior yang mahir dan telah dilatih penanganan pemeriksaan
laboratorium HIV:
1) Pengamatan akan proses kerja sampel, sesuaikan dengan SPO yang telah
ditetapkan.
2) Periksa dan dukung proses dan kualitas pemeriksaan sampel.
3) Periksa pencatatan dan pelaporan hasil testing HIV
4) Periksa cara penyimpanan semua peralatan dan reagen
5) Pastikan jaminan kualitas pada pusat jaminan kualitas.
6) Lakukan penilaian akan peralatan kerja dalam menjalankan fungsi pemeriksaan
cukup baik, perlu perbaikan atau rusak dan perlu penggantian.
7) Gunakan ceklis pemeriksaan
8) Nilailah kemampuan para personil dan sampaikan rekomendasi pada para manajer
9) Pastikan adanya rujukan pasca pajanan.
BAB IX
PENUTUP

Klinik VCT merupakan pelayanan baru di Puskesmas batalaiworusehingga masih


memerlukan dukungan dari semua pihak. Tim HIV-AIDS sudah terbentuk, namun dalam
melaksanakan kegiatannya masih mengalami banyak kendala dikarenakan saat terbentuk Tim
HIV-AIDS belum ada anggota tim yang telah mendapatkan pelatihan penanganan kasus HIV-
AIDS. Sosialisasi kegiatan Tim HIV-AIDS masih perlu digalakkan baik internal maupun
eksternal rumah sakit. Tim HIV-AIDS Puskesmas batalaiworubelum memberikan pelayanan
terapi HIV-AIDS menggunakan ARV dikarenakan Puskesmas batalaiworubukan rumah sakit
yang ditunjuk Kementerian Kesehatan RI untuk memberikan pelayanan ARV. Pasien yang
membutuhkan terapi ARV akan dirujuk ke rumah sakit yang bekerja sama dengan Puskesmas
Batalaiworu

Anda mungkin juga menyukai