Anda di halaman 1dari 24

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PENANGANAN

GIZI DI MASYARAKAT

Oleh:
SITI NUR ALYAH
NPM:17340134.P

PROGRAM STUDI D IV KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS MALAHAYATI
TAHUN 2017

0
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah gizi adalah gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang,
kelompok atau masyarakat sebagai akibat adanya ketidakseimbangan antara
asupan (intake) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh
interaksi penyakit (infeksi). Ketidakseimbangan ini bisa mengakibatkan gizi
kurang maupun gizi lebih.
Sebagian besar masyarakat Indonesia mengalami masalah gizi, baik
gizi lebih maupun gizi kurang. Gizi buruk pada anak masih menjadi masalah
di Indonesia, bahkan sampai 2011 ada sekitar satu juta anak yang mengalami
gizi buruk diantara 240 juta penduduk Indonesia. Salah satu penyebabnya
adalah faktor perilaku, seperti pengolahan pangan yang tidak benar serta
akibat faktor pendidikan yang rendah di masyarakat.
Hanya mereka yang telah ahli dalam bidang gizi, yang dapat
melakukan diagnosis kekurangan gizi dan menaksir besar masalahnya.
Kekurangan gizi adalah keadaan kronis dan membuat cemas bagi
pembangunan bangsa berbagai negara. Latar belakang masalah ini adalah
cepatnya laju kenaikan atau pertambahan penduduk yang tidak dapat
diimbangi oleh laju kenaikan produksi pertanian.
Kekurangan gizi dapat disebabkan oleh salah satu dari empat faktor
penyebabnya yaitu:
1. Konsumsi pangan kurang, baik jumlah dan mutunya,
2. Kekurangan salah satu atau lebih zat gizi yag dapat menimbulkan beberapa
penyakit defisiensi,
3. Karena menderita sakit, faktor keturunan atau karena lingkungan yang
menyebabkan gangguan penyerapan zat gizi,
4. Konsumsi pangan berlebih sehingga berakibat timbulnya beberapa
penyakit gizi lebih.
Keempat hal tersebut diatas dapat dialami oleh negara kaya maupun
negara miskin. Di negara kaya sering dijumpai makanan yang tinggi lemak,
garam dan gula, tetapi rendah buah-buahan dan sayuran. Ini mengakibatkan

1
timbulnya penyakit diabetes, kegemukan, hipertensi, penyakit jantung
koroner dan penyakit defiensi vitamin-mineral yang cukup parah. Di negara
miskin dimana persediaan pangan terbatas jumlahnya, sering dijumpai
keadaan gizi karena kombinasi faktor-faktor pertama, kedua dan ketiga
diatas.
Mengingat Indonesia merupakan negara berkembang yang masih
banyak masayrakat hidup berkekurangan, sehingga tidak mudah untuk
mereka memenuhi kebutuhan makanan. Penting untuk kita mengetahui
masalah-masalah gizi apa yang bisa dialami masyarakat Indonesia serta
bagaimana upaya penanggulangan masalah gizi di Indonesia. Hal inilah yang
melatar belakangi kelompok untuk megembangkan materi tentang
penanggulangan gizi utama di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat
dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada penulisan kali ini yaitu:
1. Apa dan bagaimana empat masalah gizi utama di Indonesia?
2. Bagaimana upaya program penanggulanganya masalah gizi di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


Dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah:
1. Mengidentifikasi empat masalah gizi utama di Indonesia
2. Menjelaskan upaya program penanggulanganya masalah gizi di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

2
2.1 Masalah Gizi Utama di Indonesia
Pada saat ini, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah
gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang pada umumnya
disebabkan oleh kemiskinan; kurangnya persediaan pangan; kurang baiknya
kualitas lingkungan (sanitasi); kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi,
menu seimbang dan kesehatan; dan adanya daerah miskin gizi (iodium).
Sebaliknya masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan
masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu
seimbang dan kesehatan.

2.1.1 Masalah Gizi Kurang


Keberhasilan pemerintah dalam peningkatan prosuksi pangan dalam
Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJP I) disertai dengan perbaikan distribusi
pangan, perbaikan ekonomi, dan peningkatan daya beli masyarakat telah banyak
memperbaiki keadaan gizi masyarakat. Namum, empat masalah gizi kurang yang
dikenal sejak Pelita I, hingga sekarang masih ada walaupun dalam taraf jauh
berkurang.
1. Kurang Energi Protein (KEP)
Kurang energi protein (KEP) disebabkan oleh kekurangan makanan
sumber energi secara umum dan kekurangan sumber protein. Kurang energi
protein dikelompokan menjadi KEP primer dan KEP sekunder. Ketiadaan
pangan melatar belakangi KEP primer yang mengakibatkan berkurangnya
asupan. Penyakit yang mengakibatkan pengurangan asupan, gangguan
sarapan dan utilisasi pangan serta peningkatan kebutuhan (dan/atau
kehilangan) akan zat gizi, dikategorikan sebagai KEP sekunder.
Setidaknya ada empat faktor yang melatar belakangi KEP, yaitu:
masalah sosial, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Kemiskinan, salah satu
determinan sosial ekonomi yang merupakan akar dari ketiadaan pangan,
tempat mukim yang berjejalan, kumuh dan tidak sehat serta ketidakmampuan
mengakses fasilitas kesehatan. Ketidaktahuan, baik yang berdiri sendiri
maupun yang berkaitan dengan kemiskinan, menimbulkan salah paham
tentang cara merawat bayi dan anak yang benar, juga salah mengerti mengenai

3
penggunaan bahan pangan tertentu dan cara memberi makan anggota keluarga
yang sedang sakit.
Komponen biologi yang menjadi latar belakang KEP antara lain,
malnutrisi ibu, baik sebelum maupun selama hamil, penyakit infeksi, serta
diet rendah energi dan protein. Seorang ibu yang mengalami KEP selama
kurun waktu tersebut pada gilirannya akan melahirkan bayi berberat badan
rendah. Tanpa ketersediaan pangan yang cukup, bayi KEP tersebut tidak akan
mampu mengejar ketertinggalannya, baik kekurangan berat semasa
kandungan maupun setelah lahir.
Pada anak-anak, KEP dapat menghambat pertumbuhan, rentan
terhadap penyakit terutama penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya
tingkat kecerdasan. Pada orang dewasa, KEP menurunkan produktivitas kerja
dan derajat kesehatan sehingga menyebabkan rentan terhadap penyakit.
KEP berat pada orang dewasa yang disebabkan oleh kelaparan, pada
saat ini sudah tidak terdapat lagi. KEP berat pada orang dewasa di kenal
sebagai honger oedeem. KEP pada saat ini terutama terdapat pada anak balita.
Pada umumnya KEP lebih banyak terdapat di daerah pedesaan
daripada di daerah perkotaan. Di samping kemiskinan, faktor lain yang
berpengaruh adalah, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang makanan.
Faktor lain yang berpengaruh adalah, kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan atau pemberian makanan
sesudah bayi disapih serta tentang pemeliharaan lingkungan yang sehat.
Menurut prevalensi gizi buruk dan gizi kurang secara rata-rata,
walaupun Indonesia mengalami krisis ekonomi sejak tahun 1997, diduga
sebagai akibat diselenggarakannya program Jaringan Sosial Bidang Kesehatan
(JS-BK) yang dikembangkan sejak tahun 1998, antara lain dengan pemberian
makanan tambahan (PMT) kepada balita bermasalah melalui rumah sakit-
rumah sakit dan puskesmas.

2. Anemia Gizi Besi (AGB)

4
Di Indonesia, anemia gizi masih merupakan salah satu masalah gizi
utama di Indonesia. Dampak kekurangan zat besi pada wanita hamil dapat
diamati dari besarnya angka kesakitan dan angka kematian janin, serta
kematian maternal antara lain pendarahan pascapartum dan plasenta previa
yang kesemuanya bersumber pada anemia defisiensi.
Penyebab masalah AGB adalah kurangnya daya beli masyarakat untuk
mengkonsumsi makanan sumber zat besi, terutama dengan ketersediaan
biologik tinggi (asal hewan), dan pada perempuan ditambah dengan
kehilangan darah melalui haid atau pada persalinan. Secara umum ada tiga
penyebab anemia gizi besi, yaitu: (1) kehilangan darah secara kronis, sebagai
dampak pendarahan kronis seperti pada penyakit ulkus peptikum, hemoroid,
infestasi parasit dan proses keganasan, (2) asupan zat besi tidak cukup dan
penyerapan tidak adekuat, dan (3) peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk
pembentukan sel darah merah yang lazim berlagsung pada masa pertumbuhan
bayi, masa pubertas, masa kehamilan dan menyusui.
Tanda dan gejala anemia gizi besi biasanya tidak khas dan sering tidak
jelas, seperti: pucat, mudah lelah, berdebar, takikardia, dan sesak napas.
Kepucatan bisa diperiksa pada telapak tangan, kuku, dan konjungtiva
palpebra.
AGB menyebabkan penurunan kemampuan fisik atau produktivitas
kerja, penurunan kemampuan berpikir dan penurunan antibodi sehingga
mudah terserang infeksi. Penanggulangannya dilakukan melalui pemberian
tablet atau sirup besi kepada kelompok sasaran.

3. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)


Defisiensi iodium disuatu wilayah memengaruhi baik manusia
maupun cadangan bahan pangan. Sama seperti manusia, semua jenis tanaman
yang tumbuh didaerah yang tidak atau hanya sedikit mengandung iodium juga
mengalami kekurangan.
Kekurangan Iodium sesungguhnya telah mendunia, bukan hanya
masalah gangguan gizi di Indonesia. Berdasarkan taksiran WHO dan
UNICEF, sekitar satu juta penduduk di negara yang sedang berkembang

5
beresiko mengalami kekurangan iodium, semata karena kesalahan memilih
tempat bermukin di tanah yang tidak cukup mengandung iodium.
Kekurangan Iodium biasanya terjadi di daerah pegunungan, di mana
tanah kurang mengandung iodium yang mungkin diakibatkan oleh terbawa
hanyutnya iodium bersama air hujan. Namun daerah yang terbentang
didataran rendah pun bukan tidak mungkin mengalami kekurangan iodium.
Air bah yang kerap berkunjung, menghanyutkan iodium yang tersimpan
dalam tanah.
GAKI yang berlangsung lama akan mengganggu fungsi kelenjar
tiroid, yang secara perlahan menyebabkan kelenjar ini membesar sehingga
menyebabkan gondok. Istilah ini digunakan untuk setiap pembesaran kelenjar
tiroid. Pada anak-anak rendahnya kadar hormone tiroid dalam aliran darah
menyebabkan hambatan dalam pertumbuhan jasmani, maupun mental. Hal
tersebut berupa keadaan tubuh yang cebol, dungu, terbelakang atau bodoh.
Daerah GAKI merentang sepanjang Bukit Barisan di Sumatera, daerah
pegunungan di Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan
Irian Jaya. Di daerah tersebut GAKI terdapat secara endemik.
Penanggulangan masalah GAKI secara khusus dilakukan melalui
pemberian kapsul minyak beriodium/iodized oil capsule kepada semua wanita
usia subur dan anak sekolah dasar di daerah endemik. Secara umum
pencegahan GAKI dilakukan melalui iodisasi garam dapur.

4. Kurang Vitamin A (KVA)


Kurang vitamin A dapat menyebabkan rabun senja, serosis, dan
keratinisasi konjungtiva dan kornea yang pada akhirnya menimbulkan ulkus
serta nekrosis kornea. Kebutaan yang disebabkan oleh malnutrisi merupakan
akibat dari defisiensi vitamin A yang berkepanjangan.
Kekurangan vitamin A, dengan demikian dapat disimpulkan sebagai
penyakit sistemik yang mempengaruhi dan mengganggu sel dan jaringan
diseluruh tubuh. Pengaruh terbesar dan paling khas terjadi pada mata.
Kekurangan vitamin A kerap berlangsung di daerah yang serba
berkekurangan (daerah kantong), baik yang bersifat sosial, ekonomi, maupun

6
ekologis. Kasus defisiensi ini kerap terjadi secara berkelompok, bersifat
musiman, mencapai puncaknya pada masa kesulitan pangan, sesudah epidemi
penyakit campak dan diare, dan setelah terjadi penyakit infeksi.
Banyak sekali keadaan yang mempengaruhi status vitamin A
seseorang. Salah satu faktor yang penting ialah kecukupan asupan vitamin A
dan provitamin A. Asupan yang dianjurkan minimal sebesar 180-450 g
retinol dan kesetaraan retinol (RE) dalam sehari bergantung pada usia, jenis
kelamin serta keadaan fisiologis. Sumber vitamin A untuk masyarakat yang
beresiko mengalami defisiensi sebagian besar berasal dari buah dan sayuran
berwarna kuning dan hijau yang mengandung karetenoid. Bahan pangan ini
kerap bersifat musiman. Karena itu untuk membangun cadanagan vitamin A,
seseorang harus mengonsumsi buah dan sayuran ini sebanyak bebrapa kali
dari jumlah yang dianjurkan (konsumsi sayuran kurang dari sekali seminggu
akan meninggikan resiko sebesar 7,3 kali).
Kurang vitamin A yang menyebabkan kebutaan, pada akhir
Pembangunan Jangka Panjang I (PJP I) sudah hampir tidak ada lagi. Hasil
Susenans di 15 provinsi rawan defesiensi vitamin A menunjukkan, bahwa
prevalensi KVA dengan indikator bercak bitot (X1B), yang pada tahun 1987
ada sebesar 1,3%, pada tahun 1992 turun menjadi 0,35% (TABEL).
Prevalensi ini berada di atas kriteria WHO guna menetapkan apakah KVA
merupakan masalah kesehatan masyarakat (X1B > 0,5%), sehingga secara
nasional KVA saat ini tidak merupakah masalah lagi. Tingkat yang lebih
parah, xerosis kornea (X2), ulkus kornea (X3A), keratomalasia (X3B), dan
parut kornea (XS), sejak tahun 1992 sudah tidak ditemukan lagi.
Hasil Susenas tahun 1992 menunjukkan bahwa masalah KVA barupa
bercak Bitot (X1B) masih terdapat di tiga provinsi yaitu Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah dan Maluku. Khusus Sulawesi Selatan, survei ulang yang
dilakukan 4 bulan kemudian menunjukkan penurunan prevalensi bercak Bitot
hingga 0%. Hal ini terjadi sebagai akibat intervensi yang dilakukan berupa
pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi di daerah kantong-kantong rawan
xeroftalmia. Atas keberhasilan penanggulangan masalah KVA ini, pada tahun

7
1995 Indonesia mendapat penghargaan dari Yayasan Helen Keller
Internasional.
Kemungkinan munculnya kembali masalah KVA sebagai masalah
kesehatan masyarakat tetap perlu diwaspadai, karena pada tahap subklinik
KVA masih merupakan masalah. Sebanyak 50,0% anak balita masih
menunjukkan kadar serum vitamin A yang rendah, yaitu < 20g/dl (Dit. BGM
Depkes, 2000).
KVA dapat menyebabkan kebutaan, mengurangi daya tahan tubuh
sehingga mudah terserang infeksi, yang sering menyebabkan kematian pada
anak-anak. Penyebab masalah KVA adalah kemiskinan dan kurangnya
pengetahuan tentang gizi.

2.1.2 Masalah Gizi Lebih


Masalah gizi lebih baru muncul di permukaan pada tahun-tahun terakhir
PJP 1, yaitu pada awal tahun 1990-an. Peningkatan pendapatan pada kelompok
masyarakat tertentu, terutama diperkotaan menyebabkan perubahan dalam gaya
hidup, terutama dalam pola makan. Pola makan tradisional yang tadinya tinggi
karbohidrat, tinggi serat kasar, dan rendah lemak berubah ke pola makan baru
yang rendah karbohidrat, rendah serat kasar, dan tinggi lemak sehingga menggeser
mutu makanan ke arah tidak seimbang. Perubahan pola makan ini dipercepat oleh
makin kuatnya arus budaya makanan asing yang disebabkan oleh kemajuan
teknologi informasi dan globalisasi ekonomi. Di samping itu perbaikan ekonomi
menyebabkan berkurangnya aktifitas fisik masyarakat tertentu. Perubahan pola
makan dan aktifitas fisik ini berakhir semakin banyaknya penduduk golongan
tertentu mangalami masalah gizi lebih berupa kegemukan dan obesitas. Makanan
berlebihan dikaitkan pula dengan tekanan hidup atau stress.
Kriteria kegemukan adalah Indeks Masa Tubuh (IMT) 25,1-30,0,
sedangkan obesitas IMT > 30,0. Dampak masalah gizi lebih pada orang dewasa
tampak dengan semakin meningkatnya penyakit degeneratif, seperti jantung
koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit hati. Penyakit ini menonjol
pada orang dewasa dan lanjut usia didaerah perkotaan di daerah Sumatera, Jawa,
Bali. Selain itu, penyakit endokrin dan metabolisme terutama diabetes melitus dan

8
neoplasma (tumor dan kanker) menonjol di perkotaan, khususnya di antara
penduduk berpendidikan tinggi.

2.2 Upaya Program Penaggulangan Masalah Gizi di Indonesia


Penanggulangan masalah gizi kurang perlu dilakukan secara terpadu antar
departemen dan kelompk profesi, melalui upaya-upaya peningkatan pengadaan
pangan, penganekaragaman produksi dan konsumsi pangan, peningkatan status
sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat, serta peningkatan
teknologi hasil pertanian dan teknologi pangan. Semua upaya ini bertujuan untuk
memperoleh perbaikan pola konsumsi pangan masyarakat yang beraneka ragam,
dan seimbang dalam mutu gizi.
Upaya penanggulangan masalah gizi kurang yang dilakukan secara
terpadu antara lain :
1. Upaya pemenuhan persediaan pangan nasional terutama melalui peningkatan
produksi beranega ragam pangan
2. Peningkatan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yang diarahkan pada
pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah
tangga
3. Peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan sistem rujukan dimulai dari
tingkat Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), hingga Puskesmas dan Rumah
Sakit
4. Peningkatan upaya keamanan pangan dan gizi melalui Sistem Kewaspadaan
Pangan dan Gisi (SKPG)
5. Peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi di bidang pangan dan gizi
masyarakat
6. Peningkatan teknologi pangan untuk mengembangkan berbagai produk
pangan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat luas
7. Intervensi langsung kepada sasaran melalui pemberian makanan tambahan
(PMT), distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi, tablet dan sirop besi serta
kapsul minyak iodium
8. Peningkatan kesehatan lingkungan
9. Upaya fortifikasi bahan pangan dengan Vitamin A, iodium dan zat besi

9
10. Upaya pengawasan makanan dan minuman dan
11. Upaya penelitian dan pengembangan pangan dan gizi

Melalui Intruksi Presiden No.8 tahun 1999 telah dicanangkan Gerakan


Nasional Penanggulangan Masalah pangan dan gizi, yang diarahkan pada :
1. Pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah
tangga
2. Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan cakupan, kualitas pencegahan
dan penanggulangan masalah pangan dan gizi masyarakat
3. Pemantapan kerja sama lintas sektor dalam pemantauan dan penanggulangan
masalah gizi melalui SKPG dan
4. Peningkatan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan (Azwar, A. 2000)

2.2.1 Penanganan Kurang Energi Protein (KEP)


Pasien yang menderita KEP tanpa penyulit sangat dianjurkan untuk
dirawat dirumah saja. Menginap dirumah sakit justru meningkatkan resiko infeksi
silang, sementara suasana yang berlainan dengan keadaan rumah menyebabkan
anak merasa diasingkan sehingga kondisi tersebut menyuburkan suasana apatis
sekaligus memperburuk anoreksia yang telah ada.
Secara garis besar penanganan KEP berat dikemlompokkan menjadi
pengobatan awal, dan rehabilitasi. Pengobatan awal ditujukan untuk mengatasi
keadaan yang mengancam jiwa, sementara fase rehabilitasi diarahkan untuk
memulihkan keadaan gizi. Yang pertama dimulai sejak pasien tiba dirumah sakit
hingga kondisi anak stabil dan nafsu makan pulih. Fase ini biasanya berlangsung
selama 2-7 hari. Jika lebih dari 10 hari keadaan pasien tidak juga pulih, berarti
diperlukan upaya tambahan.
Upaya pengobatan awal meliputi: (1) pengobatan atau pencegahan
terhadap hipoglikemia, hipotermia, dehidrasi dan pemulihan ketidakimbangan
elektrolit, (2) pencegahan jika ada ancaman atau perkembangan renjatan septik,
(3) pengobatan infeksi, (4) pemberian makanan, (5) pengidentifikasian dan
pengobatan masalah lain seperti kekurangan vitamin, anemia berat dan payah
jantung.

10
Selanjutnya fase rehabilitasi, yang semestinya telah dimulai di rumah sakit
dan dianjurkan secara rawat jalan. Penderita harus terus mengonsumsi energi,
protein dan zat-zat gizi lain dalam jumlah yang tepat, terutama jika makanan
tradisional telah dimasukkan kedalam menu harian. Sementara itu dukungan fisik
dan emosi juga harus diberikan, dismaping pengobatan untuk diare yang
membandel, parasit usus, penyulit, serta vaksinasi.Tugas utama dari fase ini ialah
mendorong anak untuk makan sebanyak mungkin, memulai dan mendorong
pemberian air susu ibu secukupnya, merangsang perkembagan fisik dan emosi,
serta menyiapkan ibu atau pengasuh dalam pengawasan anak setelah keluar rumah
sakit..
Pemberian makanan tradisional, yaitu makanan yang biasa disantap
dirumah, baru dapat terlaksana manakala edema telah lenyap, lesi kulit hampur
sembuh, penderita telah aktif serta dapat berinteraksi dengan lingkungannya,
nafsu makan telah pulih, dan kecepatan tumbuh untuk mengejar ketertinggalan
selama sakit telah tercapai. Dalam fase ini, makanan tradisional yang tersedia
dirumah (dicampur dengan makanan formula yang mengandung kalori dan
protein tinggi) perlahan-lahan dimasukkan dalam diet. Untuk anak-anak, jumlah
asupan protein sehari minimal 3-4 gram, dan energy 120-150 kkal/kgBB. Untuk
memperoleh nilai ini, makanan padat yang kaya akan energi harus diperkaya lagi
dengan menambahkan minyak, sementara mutu kepadatan protein didapat melalui
penggunaan bahan pangan yang berasal dari hewan, protein kacang, dan
campuran protein sayuran.
Penanganan fisik dan emosi tidak kalah penting dalam pengobatan KEP
berat. Sejak awal pengobatan, penderita memerlukan perhatian dan kasih sayang
baik dari keluarga maupun staf rumah sakit. Segera setetelah mampu bergerak
tanpa bantuan dan mau berinteraksi dengan staf rumah sakit dan anak-anak lain,
anak harus didorong agar mau bermain serta berpartisipasi pada seluruh kegiatan
fisik. Sementara untuk pasien dewasa harus melakukan olahraga secara teratur
agar terjadi penigkatan ketahanan kardiorespiratorik secara bertahap.

2.2.2 Penaggulangan Anemia Gizi Besi (AGB)

11
Penanggulangan anemia gizi besi dapat dilakukan dengan tindakan
pencegahan yang sejauh ini terdapat empat pendekatan dasar pencegahan anemia
defisiensi zat gizi. Keempat pendekatan tersebut adalah (1) pemberian tablet dan
suntikan zat besi, (2) pendidikan dan upaya yang ada kaitannya dengan
peningkatan asupan zat besi melalui makanan, (3) pengawasan penyakit infeksi,
dan (4) fortifikasi makanan pokok dengan zat besi.
Pada tataran praktisi klinis, jika penyebab anemia sudah ditemukan,
pengobatan diarahkan untuk mengganti defisit zat besi dengan garam besi
anorganik. Sesungguhnya masalah defisisensi zat besi cukup diterapi dengan
memberikan makanan yang cukup mengandung zat besi. Namun, jika anemia
sudah terjadi, tubuh tidak akan mungkin menyerap zat besi dalam jumlah besar
dan dalam waktu yang relatif singkat. Karena itu pengobatan selalu meggunakan
suplementasi zat besi, disamping dengan menambah jumlah makanan yang kaya
akan dan yang dapat menambah penyarapan zat besi.

2.2.3 Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)


Masalah gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) dapat dicegah
melalui pemberian garam beriodium. Untuk memenuhi kebutuhan iodium sebesar
150 g/hari garam beriodium dan jika garam beriodium tidak tersedia , berikan
kapsul minyak beriodium setiap 3,6 atau 12 bulan atau suntikan kedalam otot
setiap 2 tahun.
Dan untuk upaya pengobatan apabila telah terjadi gangguan akibat
kekurangan iodiium dapat dilakukan dengan memenuhi kebutuhan iodium melalui
beberapa cara antara lain: (1) Konsumsi garam beriodium, (2) Suplementasi
iodium pada binatang, (3) Suntikan minyak beriodium (lipiodol), (4) Kapsul
minyak beriodium.

2.2.4 Penanggulangan Kurang Vitamin A (KVA)


Secara umum, pengobatan KVA diarahkan pada upaya memperbaiki status
gizi vitamin A. Langkah ini harus segera diselenggarakan karena KVA bukan
hanya mencederai mata, tetapi juga mengganggu kesehatan dan mengancam jiwa
penderitanya. Karena itu xeroftalmia beserta masalah yang terkait didalamnya,

12
misalnya campak dan KKP berat, selayaknya diperlakukan sebagai kasus gawat
darurat. Xeroftalmia bukan hanya merusak kornea dan menyebabkan kebutaan,
tetapi juga sepsis dan kematian. Pengobatan KVA secara efektif diawali dari
menggali secara cepat dan tepat anak yang berpenyakit aktif , menyelenggarakan
pemberian vitamin A dosis tinggi, mengobati penyakit sistemik yang melatar
belakangi dan KKP secara bersamaan.
Vitamin A dosis tinggi harus diberikan segera setelah diagnosis ditegakan.
Pilihan pertama ialah preparat oral karena telah terbukti amat efektif, aman dan
murah. Tablet vitamin A dengan minyak sebagai bahan utama lebih disukai, tetapi
jika preparat tersebut tidak tersedia boleh digunakan vitamin A yang larut dalam
air.
Cara lain, yaitu suntikan intra muskular, dapat dilakukan jika anak tidak
dapat menelan, misalnya akibta menderita stomatitis, muntah berkepanjangan atau
gangguan penyerapan. Pada keadaan ini disuntikkan 55 mg (100.000 IU) retinel
palmitat yang terlarut dalam air (jangan menggunakan preparat yang terlarut
dalam lemak karena sulit diserap dari lokasi yang disuntik). Untuk mengobatai
atau mengurangi resiko infeksi mata sekunder (akibat bakteri atau virus) yang
dapat memperburuk kerusakan kornea, sebaiknya diberikan antibiotik salep mata
yang mengandung tetrasiklin atau kloramfenikol.

2.2.5 Upaya Penanggulangan Masalah Gizi Lebih di Indonesia


Masalah gizi lebih disebabkan oleh kebanyakan masukan energi
dibandingkan dengan keluaran energi. Penanggulangannya adalah dengan
menyeimbangkan masukan dan keluaran energi melalui pengurangan makan dan
penambahan latihan fisik atau olahraga serta menghindari tekanan hidup/ stress.
Penyeimbangan masukan energi dilakukan dengan membatasi konsumsi
karbohidrat dan lemak serta menghindari konsumsi alkohol. Untuk itu diperlukan
upaya penyuluhan ke masyarakat luas. Di samping itu, diperlukan peningkatan
teknologi pengolahan makanan tradisional Indonesia siap santap, sehingga
makanan tradisional yang lebih sehat ini disajikan dengan cara-cara dan kemasan
yang dapat menyaingi cara penyajian dan kemasan makanan barat.
2.2.6 Mengatasi Masalah Gizi

13
Cara mengakhiri masalah gizi kurang adalah dengan penanggulangan
kurang gizi jangka panjang. Cara tersebut akan bergantung pada kemampuan
manusia untuk bekerja sama untuk terwujudnya perkembangan pendidikan dan
ekonomi, kedamaian, pengendalian pertumbuhan penduduk, perbaikan sanitasi,
keadilan sosial bagi perempuandan anak-anak. Faktor lain adalah kebijakan dan
praktik yang benar terhadap lingkungan dan produktivitas pertanian. Kelompok
yang sangat terpengaruh oleh kurang gizi harus aktif berpartisipasi dalam proses
perencanaan dan implementasi program perbaikan gizi-kesehatan.
Terdapat program yang telah berhasil mengurangi masalah kurang gizi di
berbagai negara di dunia yang dapat diadopsi. Program yang sering didengungkan
adalah perbaikan ekonomi, pendidikan, gizi dan sanitasi akan mengatasi masalah
kurang gizi dan penyakit infeksi serta meningkatkan usia harapan hidup di negara
maju sekitar 100 tahun silam. Selain itu, kurang zat gizi tertentu secara nyata
dapat diatasi melalui fortifikasi makanan dan program edukasi gizi, contohnya:
1. Program suplementasi vitamin A dan edukasi tentang makanan kaya
kandungan vitamin A dikaitkan dengan pemrmnan drastis kasus kurang
vitamin A sedang dan berat serta infeksi pada anak-anak di Indonesia.
2. Suplementasi makanan pada kelompok bayi di Rusia, Brazll, Afrika Selatan
dan Cina dikaitkan dengan peningkatan skor IQ pada usia 8 tahun.
3. Yodisasi garam dapat mengatasi masalah kurang yodium di Bolivia dan
Ekuador.
4. Kematian pada anak balita akibat kurang gizi danpenyakit terkait turun secara
nyata di negara yang mempraktikkan pernberian ASI.
5. Status kesehatan masyarakat di negara yang sedang berkembang mengalami
perbaikan dengan penggunaan cairan oralityang melindungi anak dari
kekurangancakan akibat diare dan program vaksinasi yang melindungi anak
dari berbagai penyakit infeksi.
Konferensi tingkat tinggi pangan dunia pada tahun 1996 telah menetapkan
bahwa pada tahun 2015 negara akan menurunkan angka kelaparan dan kurang gizi
sebanyak 50%, namun karena lambatnya pencapaian tersebut maka dbutuhkan
waktu sampai tahun 2030.

14
Di Indonesia, sampai saat ini masalah gizi terutama masalah gizi buruk
belum terselesaikan secara tuntas. Sering dipertanyakan, mengapa hal itu dapat
terjadi, padahal sudah banyak program diupayakan dan jumlah pakar gizi dari
berbagai tingkatan dan jalur pendidikan gizi sudah cukup, baik dari dalam
maupun luar negeri.
Untuk program gizi masyarakat dengan tujuan penanggulangan masalah gizi,
sudah banyak program yang diluncurkan, antara lain program edukasi gizi,
program suplementasi gizi melalui pernberian makanan maupun produk zat gizi
seperti pil besi dan vitamin A, program fortifikasi bahan makanan seperti
fortifikasi yodium pada garam maupun fortifikasi besi pada tepung. Meskipun
demikian, angka kurang gizi di masyarakat terutama pada kelompok rentan
masalah gizi seperti bayi, balita, anak sekolah, remaja, ibu hamil dan menyusui
serta lanjut usia masih tetap menjadi masalah. Pertanyaannya adalah mengapa
demikian? Apakah masih ada yang harus diperbaiki dalam penyusunan kebijakan
penyusunan progmm penanggulangan masalah gizi ini? Secara klasik,
penanggulangan masalah gizi dilakukan mengikuti kegiatan siklus gizi kesehatan
masyarakat, yang dimulai dengan:
1. Mengenal faktor risiko utama terkait masalah gizi
2. Menyusun hasil akhir yang diharapkan
3. Menyusun tujuan khusus program
4. Menyusun indikator keberhasilan program
5. Menyusun kegiatan program
6. Melaksanakan kegiatan program
7. Melakukan evaluasi program
Selain itu perlu dipertimbangkan pula bahwa suatu kebijakan atau program
seyogyanya disusun secara dinamis karena akan bergantung pada berbagai faktor
terkait seperti faktor sosial, ekonomi, politik, kelompok produk pangan, kelompok
sasaran, kelompok pedagang produk pangan. Faktor yang tidak kalah penting
adalah kelompok pakar yang akan memberikan bukti ilmiah terkait program
tersebut. Singkatnya, ada beberapa kelompok kunci dalam penyusunan suatu
kebijakan yaitu: pemegang kebijakan (biasanya pemerintah dan politisi),
kelompok berpengaruh (biasanya kelompok yang mempunyai kepentingan),
publik, dan media. Kelompok dominan dalam penyusunan kebijakan tersebut
terutama suasana politik negara. Para praktisi politik penyusun kebijakan akan

15
mempertimbangkan apakah kebijakan yang disusun akan mencapai hasil sesuai
dengan yang mereka harapkan sehingga akan memberi kredit positif kepada
kinerja mereka. Tanpa komitmen di tingkat politik tersebut maka akan sulit
memperoleh dukungan pelaksanaan program dan dukungan dalam pencapaian
hasil yang diharapkan sesuai tujuan program.
Meningkatkan ketrampilan para tenaga kesehatan, penargetan sumber daya
yang lebih baik, dan memperkuat pengetahuan dasar tentang berperilaku
sederhana seperti pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama setelah
bayi baru lahir, dan menerapkan pemberian makanan tambahan setelah enam
bulan tersebut, diketahui dapat mengurangi resiko gizi buruk juga membantu
mengurangi angka kematian anak.
Angka kematian bayi dan balita di Indonesia adalah seperempatnya sejak
tahun 1990, namun laporan terbaru menunjukkan bahwa sebanyak 134.000 anak-
anak di bawah usia lima tahun meninggal dunia setiap tahunnya, dimana hal
tersebut terutama disebabkan oleh masih adanya permasalahan kesehatan dan gizi.

2.2.6.1 Kebijakan dan Strategi


Berbagai upaya untk mengatasi maslah yang berkaitan dengan gizi buruk
maka tidak lepas dari kebijakan dan strategi dari pihak terkait terutama
pemerintah sebagai pemenang wewenang untuk menungkat kesejahteraan
masyarakat.
1. Kebijakan
a. Mengingat besarnya dan sebaran gizi buruk yang ada di semua wilayah
indonesia dan dampaknya terhadap kualitas sumber daya manusia,
pencegahan dan penganggulangan gizi buruk merupakan program nasional
sehingga perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dilaksanakan secara
berkesinambungan antara pusat daerah.
b. Penanggulangan masalah gizi buruk dilaksanakan pendekatan komperatif
dengan mengutamakan upaya pencegahan dan upaya peningkatan yang di
dukung upaya pengobatan dan upaya pemulihan.

16
c. Penanggulan masalah gizi buruk dilaksanakan oleh semua kabupaten atau
kota secara terus menerus dengan koordinasi lintas instansi / sektor atau
dinas organisasi masyarakat.
d. Penangulangan masalah gizi buruk diselenggarakan secara demoatis
transparan melalui kemitraan di tingkat kabupaten atau kota anatara
pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat.
e. Penanggulangan masalah gizi buruk dilakukan dengan pendekatan
pemberdayaan masyarakat yaitu dengan meningkatkan akses untuk
memperoleh informasi dan kesempatan untuk mengemukakan pendapatan,
serta keterlibatan dalam proses pengembalian keputusan. Masyarakat yang
telah berdaya diharapkan berperan sebagai pelaku / pelaksanaan,
melakukan advokasi, dan melakukan pemantauan untuk peningatan
pelayanan publik.

2. Strategi
a. Pencegahan dan penanggulangan gizi buruk dilaksanakan di seluruh
kabupaten / kota di indonesia sesuai dengan kewenangan wajib dan standar
pelayanan minimal (SPM) dengan memperhatikan besaran dan luasnya
masalah.
b. Mengambilkan fungsi posyandu dan meningkatkan kembali partisipasi
masyarakat dan keluarga dalam memantau tumbuh kembang balita,
mengenali dan menanggulangi secara dini balita yang mengalami
gangguan pertumbuhan melalui revitalitas posyandu.
c. Meningkatkan kemampuan petugas dalam manajemen dan melakukan tata
laksana gizi buruk untuk mendukung fungsi melakukan tata laksana gizi
burk untuk mendukung fungsi posyandu yang di kelola oleh masyarakat
melalui revitalisasi Puskesmas.
d. Menanggulangi secara langsung masalah gizi yang terjadi pada kelompok
rawan melalui pemberian intervensi gizi (suplementasi), seperti kapsul
Vitamin A, MP ASI, dan makanan tambahan.

17
e. Mewujudkan keluarga sadar gizi melalui promosi gizi, advokasi dan
sosialisasi tentang makanan sehat dan bergizi seimbang serta pola hidup
bersih dan sehat.
f. Mengalang kerjasama lintas sektor dan kemiraan dengan swasta ataun
dunia usaha dan masyarakat untuk mobilisasi sumber daya dalam angka
meningkatkan daya beli keluarga untuk menyediakan makanan sehat dan
bergizi seimbang.
g. Mengaktifkan kembali Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
melalui revit alisasi SKPG dan Sistem Kewaspadaan Dini Gizi Buruk,
yang dievaluasi dengan kajian data SKDN < yaitu semua balita mendapat
kartu menuju sehat ditimbang setiap bulan, dan berat badan naik dan
penyakit dan dat pendukung lainnya.

2.2.6.2 Program Pemerintah


Program gizi dilaksanankan saat ini di jabarkan dalam Rencana Aksi
Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk tahun 2011-2015 sebagai
berikut.
1. Revitalisasi posyandu
Pokok kegiatan revintalisasi posyandu meliputi :
a. pelatihan atau orientasi petugas puskesmas, petugas sektor dan kader yang
berasal dari masyarakat
b. pelatihan ulang petugas dan kader
c. pembinaan dan pendamping kader

d. penyediaan sarana terutama decin, KMS atau buku KIA, panduan


posyandu, media KIA, sarana pencatatan

e. penyediaan biaya oprasional

f. penyedian modal usaha kader melalui Usaha Kecil Menengah (UKM) dan
mendorong partisipasi swata.

18
2. Revitalisasi puskesmas
Pokok kegiatan revintalisasi puskesmas meliputi :
a. pelatihan manajemen program gizi di puskesmas bagi pimpinan dan
petugas puskesmas dan jaringan.
b. Penyediaan biaya operational puskesmas untuk pembinaan
posyandu,pelacakan kasus kerja sama lintas sektor tingkat kecamatan,dll.
c. Pemenuhan saran atau pometri KIE bagi puskesmas dan jaringan.

d. Pelatihan tatalaksana gizi buruk bagi petugas rumah sakit,puskesmas dan


perawat.

2.2.6.3 Perencanaan program


Penyusunan strategi direktoran gizi masyarakat di dasari analisis akhir situasi gizi
masyarakat. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian instansi dalam
penyusunan rencana strategi adalah sebagai berikut:
1. Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang penangulangan tidak
dapat dilakukan dengan pendekatan dan pelayanan kesehatan saja.
2. Masalah gizi merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan
masalah ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Oleh karena itu,peningkatan
status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang menjamim juga cukup,
baik jumlah maupun mutunya.
3. Masalah gizi dapat disebabkan oleh kesadaran gizi masyarakat belum
memadai. Jika hal ii disertai dengankeadan hygiene perorangan maupun
sanitasi lingkungan yang kurang mendukung, akan menyebabkan timbulnya
berbagai penyakit infeksi yang akhirnya akan menurunkan keadaan kesehatan
dan gizi.
4. Meskipun masalah gizi merupakan sindroma kemiskinan, tetapi dalam kasus-
kasus tertentu pemecahan kemungkinan tanpa hrus menungu sampai dicapai
tingkat pertumbuhan ekonomi memadai, misalnya penanggulangan masalah
kurang Vitamin A, penanganan anemia dan lain-lain.

19
5. Dengan demikian Direktorat Gizi Masyarakat menyusun rencana program
yang berlandaskan kebijaksanaan dan perencanaan holistik atau menyeluruh
dengan memperhatikan the Strengh, the weakness, the Theat (analisa SWOT).
Program-program yang mendukung aksi pangan dan gizi disusun dengan
mengacu pada progrm pembangunan nasinal (Propenas 2010-2005) bidang
pertanian, kesehatan dan industri. Program-program dalam aksi pangan dan gizi
ini dirancang sedemikian rupa sehingga merupakan ramuan yang sinergis antara
ketiga bidang tersebut di atas, dengan tetap memberikan ruang gerak yang luas
dalam implementasinya.

2.2.6.4 Intervensi Gizi dan Kesehatan


Intervensi gizi dan kesehatan bertujuan memberikan pelayanan langsung
kepada balita. Ada dua bentuk pelayanan langsung kepada balita. Ada dua bentuk
pelayanan gizi dan kesehatan yaitu pelayanan perorangan dalam merangka
menyembuhkan dan memulihkan anak dari kondisi gizi buruk dan pelayanan
masyarakat, yaitu dalam rangka mencegah timbulnya gizi buruk di masyarakat.
Pokok kegiatan intervensi gizi dan kesehatan adalah sebagai berikut :
1. Perawatan atau pengobatan gratis dirumah sakit dan puskesmas balita gizi
buruk dari keluarga miskin.
2. Pemberian makanan tambahan (PMT) berupa MP ASI bagi anak 6-23 bulan
dan PMT pemulihan pada 24-59 bulan kepada balita gizi kurang dari keluarga
miskin
3. Pemberian suplementasi gizi (kapsul Vitamin A, tablet atau sirup Fe).

2.2.6.5 Promosi keluarga sadar gizi


Promosi keluarga sadar gizi bertujuan dipraktikkannya normal keluarga sadar gizi
bagi seluruh keluarga di indonesia untuk mencegah terjadinya promosi keluarga
sadar gizi dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek sosial budaya (lokal
spesifik).
Pokok kegiatan promosi keluarga sadar gizi meliputi :
1. Menyusun strategi promosi keluarga sadar gizi

20
2. Mengembangkan, menyediakan, dan menyebar luaskan materi promosi pada
masyarakat, organisasi kemasyarakatan institusi, pendidikan, tempat kerja,
dan tempat-tempat umum.
3. Melakukan kampanye secara tehnik menggunakan media efektif terpilih.
4. Menyelenggarakan diskusi kelompok terarah melalui dasawisma dengan
dukungan petugas.

21
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Gizi buruk atau lebih dikenal dengan gizi di bawah garis merah adalah
keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi
energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup
lama. Tanda-tanda klinis dari gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan
marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor (RI dan WHO) orang yang
banyak makan tanpa disadari juga bisa menderita gizi buruk apabila mereka tidak
makan makanan yang mengandung nutrisi, vitamin dan mineral secara
mencukupi.
Orang yang menderita gizi buruk akan mudah untuk terkena penyakit atau
bahkan meninggal dunia akibat efek sampingnya. Anak-anak yang menderita gizi
buruk juga akan terganggu pertumbuhannya, biasanya mereka tidak tumbuh
seperti seharusnya (kerdil) dengan berat badan di bawah normal. Program-
program pemerintah untuk pencegahan dan penanggulangan gizi buruk di
Indonesia adalah : beras miskin (raskin), pemberian ASI, PKH (program keluarga
harapan), SUN (scaling up nutrition), kadarzi (keluarga sadar gizi), SKPG (Sistem
kerawanan pangan dan gizi).

3.2 Saran
1. Meningkatkan pemantauan dan evaluasi dari setiap program untuk
mengurangi angka gizi buruk di Indonesia.
2. Menigkatkan kerjasama lintas sektor dan lintas program guna meningkatkan
derajat kesehatan.

22
23

Anda mungkin juga menyukai