Anda di halaman 1dari 20

PENDEKATAN ILMIAH EKSISTENSIALISME MARTIN HEIDEGGER

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pembimbing : Dr. Usman , SS, M.Ag

Disusun Oleh :
KELOMPOK 5

Nama : Amalia
NIM/Semester : 15410059 / 5
Kelas : PAI A

Pendidikan Agama Islam


Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
TAHUN AJARAN 2017/2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
PENDEKATAN ILMIAH EKSISTENSIALISME MARTIN HEIDEGER sebagai
tugas dari mata kuliah Filsafat Ilmu.

Makalah ini kami susun dengan bantuan beberapa pihak sehingga dapat
terselesaikan dengan baik. Untuk itu, kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini. Selanjutnya,
kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan
satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami sebagai penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam


penyusunan makalah ini. Untuk itu, kami mengajak pembaca untuk memberikan kritik
dan saran agar makalah ini bisa tersusun lebih sempurna. Mohon maaf apabila ada
kesalahan karena itu datangnya dari kami sebagai penulis, dan apabila ada kebenaran
itu datangnya dari Allah SWT.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.

Yogyakarta, 10 Oktober 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................. i

Daftar Isi ......................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah.............................................................................. 5
C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 5

BAB II: PEMBAHASAN

A. Biografi Martin Heidegger ................................................................ 6


B. Pengertian Eksistensialisme .............................................................. 7

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 15

LAMPIRAN .................................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam filsafat, telah dibahas bahwa dalam garis besarnya filsafat terbagi
dalam 3 cabang. Teori pengetahuan yang membicarakan tentang cara memperoleh
disebut dengan sistematika epistemologi, dan yang membicarakan tentang hakikat
pengetahuan adalah sistematika ontologi, sedangkan yang membicarakan guna
atau manfaat pengetahuan adalah sistematika axiologi.

Filsafat sebagai ilmu pengatahuan yang kita pelajari sekarang ini sering
nampak sukar, karena memang mengandung pandangan-pandangan yang muluk-
muluk yang dalam-dalam dan sukar dimengerti. Akan tetapi hal ini tidaklah berarti
bahwa filsafat itu lalu tidak ada artinya bagi kita, justru sebaliknya. Karena yang
dipersoalkan dalam filsafat itu ialah: diri kita sendiri. Filsafat adalah eksistensial
sifatnya, erat hubungannya dengan hidup kita sehari-hari, dengan adanya manusia
sendiri. Hidup kita sendirilah yang memberi bahan-bahan untuk direnungkan.
Filsafat berdasar dan berpangkal pada diri kita yang konkrit, pada diri kita yang
hidup di dalam dunia dengan segala persoalan-persoalan yang kita hadapi.

Apabila di dalam teori terdapat teori yang macam-macam dan sukar maka
hal itu maksud dan tujuannya tidak lain hanya ingin menerangkan kenyataan yang
konkrit dan real yang kita alami di dunia kita. Pada waktu sekarang ini makin
banyak dititikberatkan pada sifat eksistensial bahwa kita dalam berfilsafat harus
berpangkal pada situasi diri kita sendiri di dalam dunia ini.

Sifat eksistensial inilah yang dijadikan dasar dalam aliran filsafat


Eksistensialisme yang berkembang pada abad ke-20 ini. Di pembahasan berikut
ini kita akan membahas tentang eksistensialisme.

4
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini saya akan menjelaskan:
1. Biografi Martin Heidegger..
2. Pengertian Eksitensialisme
3. Eksistensialisme Martin Heidegger.

C. TUJUAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini diantaranya:
1. Untuk memenuhi tugas makalah individu mata kuliah filsafat umum.
2. Dapat mengetahui pengertian eksistensialisme.
3. Dapat mengetahui biografi Martin Heidegger.
4. Dapat mengetahui beserta memahami eksistensialisme Martin Heidegger.

5
BAB 2

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI MARTIN HEIDEGGER


Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota kecil
Messkirch Baden, Jerman. Ia adalah anak seorang pastor pada gereja katolik Santo
Mortus. Martin Heidegger mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di
Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari
Universitas Freiburg dimana ia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl
(penggagas fenomelogi). Sebelumnya ia kuliah di fakultas Teologi sampai empat
semester, lau pindah filsafat di bawah bimbingan Heinrich Rickert, penganut filsafat
Neo-Kantianisme yang juga banyak memberi pengaruh padanya.
Ia pernah menjabat sebagai guru besar filsafat di Universitas Masburg dan
berkenalan dengan teolog protestan kenamaan Rodolf Bultmann, kemudian kembali ke
Freiburg untukk menggantikan Huserl. Di Marburg ia sempat menyelesaikan karya
monumental Sein und Zeit (Being and Time). Pada 1993, ia di angkat oleh gerakan Nazi
menjadi rektor pertama di Universitas Freiburg. Sadr kalau dirinya dieksploitasi,
setahun kemudian ia meletakkan jabatan rektornya, tapi tetap mengajar sampai pensiun
1957.
Selain Sein and Zeit dan Einfuhrung in die Methaphisic, masih banyak lagi karyanya.
Kebanyakan tulisannya membahas maslah seperti What is Being, Why is there
something rather than nothing at all? demikian juga dengan judul-judul megenai
eksistensi manusia, kegelisahan, keterasingan, dan mati.1

1
Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala

Khomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.152-153

6
B. PENGERTIAN EKSISTENSIALISME

Eksitensialisme berasal dari kata existere (latin) yang secara etimologi


berarti: the mode of being wich consist in interaction with other things. . . , sometimes
idenfied with truth of reality opposite of essence. Secara terminologinya
adalah determines the worth of knowledge not in relation to truth but according to its
biological value contained in the pure data of consciousness when unaffected by
emotion, valition and social prejudice.2
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, eksistensialisme adalah aliran filsafat
yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas
kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak
benar.3
Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan
berpangkal kepada eksistensi. Secara umum eksistensi berarti keberadaan. Secara
khusus eksistensi adalah cara manusia berada di dalam di dunia. Cara manusia berada
di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar
akan keberadaannya. Berbeda dengan manusia. Benda-benda menjadi lebih berarti
karena manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat
eksistensialisme dikatakan, bahwa benda-benda berada, sedangkan manusia
bereksistensi. Jadi hanya manusia yang bereksistensi.
Kata eksistensi berasal dari eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata
kerja sisto(berdiri, menempatkan). Eksistensi diartikan manusia berdiri sebagai diri
sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada. Ia dapat
meragukan segala sesuatu, tapi satu hal yang pasti, yaitu bahwa dirinya ada. Dirinya

2
Ibid.155

3
Kamus Besar bahasa indonesia

7
itu disebut aku. Segala sesuatu di sekitarnya dihubungkan dengan dirinya contoh
mejaku, kursiku, temanku,dsb. Di dalam dunia manusia menentukan keadaanya dengan
perbuatan-perbuatannya. Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menemukan
pribadinya dengan seolah-olah keluar dari diriya sendiri dan menyibukkan diri dengan
apa yang di luar dirinya. Ia menggunakan benda-benda disekitarnya. Dengan
kesibukannya itulah ia menemukan dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai diri sendiri
dengan keluar dari dirinya dan sibuk dengan dunia luarnya. Demikianlah manusia
bereksistensi.
Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah
aliran filsafat yang bersifat tehnis, yang menjelma dalam bermacam-macam sistem,
yang satu berbeda dengan yang lainn. Sekalipun demikian ada juga ciri-ciri yang sama,
yang menjadikan sistem-sistem itu dapat dicap sebagai filsafat eksistensialisme. Paling
sedikit ada empat pemikiran yang jelas dapat disebut filsafat eksistensialisme, yaitu
pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers dan Gabriel Marcel.
Beberapa ciri-ciri yang sama yang dimiliki di antaranya:
1. Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada.
Hanya manusia yang bereksistensi. Eksistensi adalah khas manusia berada.
Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanitis.
2. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan
dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencenakan.
Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaanya.
3. Di dalam filsafat eksistesialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia
adalah realitas yang belum selesai, yanng masih harus dibentuk. Pada
hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terutama kepada sesama
manusia.
4. Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang kongrit,
pengalaman eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger
memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel

8
kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang
bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.4
Ada tujuh hal yang di jadikan pedoman dalm pemikiran eksistensialis,
yaitu :
1. Eksistensi mendahului esensi (existence comes before essence).
2. Kebenaran itu subjektif.
3. Alam tidak menyediakan aturan moral. Prinsip-prinsip moral dikonstruksi oleh
manusia dalam konteks bertanggung jawab atas perbuatan mereka dan
perbuatan selainnya.
4. Perbuatan individu tidak diprediksi.
5. Individu mempunyai kebebasan kehendak secara sempurna.
6. Individu tak dapat membantu melainkan sekedar membuat pilihan.
7. Individu dapat secara menjadi selain daripada keberadaanya.5

C. EKSISTENSIALISME HEIDEGGER
Untuk memahami filsafat Heidegger langkah yang paling tepat yaitu dengan
menanamkan kata-kata kuncinya yakni:
1. Dasein (Da-sein, Being-there) adalah eksistensi manusia di dunia empiris ini.
2. Seinde adalah baradanya benda-benda (Things yang keberadaanya terletak begitu saja
di depan orang (Vorhanden).
3. Fakticity yaitu suatu fakta bahwa Desein adalah Being yang terlempar.
4. Existensiality yaitu suatu fakta bahwa Desein senantiasa harus mengatasi dirinya
sendiri untuk menuju kepada kuasa untuk meng-ada-nya.

4
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Fisafat Barat 2, ( Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal.148-149

5
Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains

ala Khomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.156

9
5. Forfeiture (Being fallen) yaitu dasein sebagai kesenantiasaan yang harus mengada
ketika telah tersedia sebagai at.
6. Geworfein-sein yaitu situasi keberadaan manusia kongret di dunia ini yang tahu-tahu
sudah terlempar dan ada di bumi ini. Ia tidak memilih tetapi sudah dilahirkan dan ada
di jagad ini.
7. Some yaitu kecemasan yang mendalam, cemas akan macam-macam hal yang melekat
pada situasi keterlemparan manusia di dunia.
8. Zuhandes (jamak) yaitu lingkup dunia saran-saran alat.
9. Vorhandenes yaitu lingkup dunia benda-benda.
10. Angst yaitu ketakutan eksistensial, sebuah rasa takut yang bercammpur cemas, gelisah
dan bertanya-tanya muncul dan berkembang dari kesadaran manusia bahwa kelak
(tanpa diketahui kapan) ia akan mati.
11. Sein zum Tode yaitu langkah demi langkah yang menuju kematian.
12. Entschlossenheit yaitu ketegaran dalam mengahadapi kematian.
13. Entwurf yaitu persiapan atua rancangan-rancangan budaya yang dibuat begitu
menyadari akan eksistensinya guna sungguh-sungguh mengalami dirinya itu eksis.
Bagi Heidegger dasar untuk menjelaskan ada itu adalah sein un zeit (being and
time) dua struktur dasar atau kategori ada dibahas dalam adanya manusia secara
fenomelogis.
Menurut Heidegger ada tidak bisa lepas dengan waktu, Sein und
Zeit karena dasein tidak lain adalah waktu itu sendiri. Waktu merupakan masa yang
terdiri dari 3 masa yaitu masa sekarang, masa mendatang (future) yang terdiri dari masa
sekarang yang belum terjadi dan pada suatu ketika akan terjadi, dan masa lampau.
Struktur pemahaman waktu sebagaimana ada pendapat umum hanya berlaku
bagi being lain (seinde) dan bukan pada dasein. Dasein mentransindensi beings lain,
sebab pada dasein aktus pelaksanaan diri dan potensi pelaksanaan diri bertemu, it
already is what it can be. Dengan demikian dimensi yang paling penting menurut
Heidegger adalah masa mendatang (future, zukunft).

10
Dasein selalu berada dalam proses pelaksanaan diri. Proses
dimana dasein melaksanakan diri di tunjuk dengan masa mendatang. Waktu lampau
(past, gewesenheit) dan sekarang present harus dimengerti atas dasar waktu mendatang
(future). Waktu adalah tahap-tahap yang tidak dapat dipisahkan-pisahkan antara masa
lalu, sekarang dan akan datang.6
Menurut Heidegger persoalan tentang berada ini hanya dapat di jawab
dengan ontologi, artinya: jika, persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari
artinya dalam hubungan itu. Agar supaya hubungan ini berhasil maka harus
menggunakan metode fenomenologis. Demikianlah yang penting ialah menemukan
arti berada itu.
Satu-satunya berada yang sendiri dapat dimengerti sebagai berada ialah
baradanya-nya manusia. Harus dibedakan antara berada (sein) dan yang berada
(seiende). Uangkapan yang berada (seiende) hanya berlaku bagi benda-benda atau
bukan manusia. Yang jikalau dipandang dari dirinya sendiri, artinya terpisah dari
segala yang lain, hanya berdiri sendiri. Benda-benda itu hanya vorhanden artinya
hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu.
Contoh: meja jika dipandang pada dirinya, berkedudukan sebagai meja lepas dari
hubungannya dari apapun. Benda-benda itu hanya berarti jika dihubungkan dengan
manusia, jika manusia memeliharanya. Kalau benda itu dihubungkan dengan
manusia, maka akan memiliki arti dalam hubungan itu.
Manusia memang juga berdiri sendiri, akan tetapi ia mengambil tempat di
tengah-tengah dunia sekitarnya. Manusia tidak termasuk yang berada, tetapi manusia
berada. Keberadaan manusia disebut Desein berada di sana, di temppat. Berada
berarti menempati atau mengambil tempat. Untuk itu manusia harus keluar darinya dan
berdiri di tengah-tengah segala yang berada. Desein manusia disebut juga eksistensi.

6
Ibid. 157-159

11
Guna menemukan arti berada itu manusia harus diselidiki dalam wujudnya
yang biasa tampak sehari-hari. Heidegger bermaksud mengetahui keadaan manusia
sebelum keadaan itu di pikirkan secara ilmiah, yaitu dalam perwujudannya yang belum
di tafsirkan. Hasil usahanya ini ialah bahwa ia menemukan manusia yang di dalam
dunia. Inilah ketentuan asasi yag paling umum tentang manusia. Manusia berada di
dalam dunia. Desein berarti di dalam dunia. Ketentuan ini berlaku bagi semua
manusia, sekalipun cara mereka berada di dalam dunia berbeda-beda. Manusia
berada di dalam dunia maka manusia dapat memberi tempat kepada benda-benda di
sekitarnya. Manusia dapat bertemu dengan benda-benda dan degan manusia-manusia
yang lain, dapat bergaul dan berkomunikasi dengan semuanya itu.
Benda-benda pada dirinya tidak mewujudkan dunia. Sebab benda-benda itu
tidak saling menjamah, tidak saling berjumpa, tempat mereka diberikan oleh manusia,
karena manusia berada di dalam dunia. Misal kayu adalah bahan bakar atau bahan
bangunan, yang menentukan itu adalah manusia. Demikianlah ungkapan berada di
dalam dunia mempunyai sifat ragkap yaitu memiliki dunia dan berada di dunia.
Karena memang manusia tidak hanya berada di dalam dunia namun juga manusia
memiliki dunia.
Secara fenomenologis hubungan sehari manusia dan dunianya bersifat praktis.
Hubungan ini dapat disebut dengan demikian, bahwa manusia sibuk dengan dunia,
mengerjakan dunia, mengusahakn dunia dan sebagainya. Semua itu dirangkumkan oleh
Heidegger dalam kata Besorgen (memelihara). Hubungan asli yang dalam kesatuan
antara Desein dan dunia adalah Besorgen (memelihara). Di dalam dunia itu manusia
tampak sebagai yang berbuat. Perbuatan itu bukan hanya dalam bentuk yang kongrit,
tetapi juga jika manusia diam juga dikatakan berbuat. Ada suasana perbuatan yang
praktis dan teoritis. Akan tetapi manusia terlebih-lebih disibukkan dengn perbuatan
yang praktis yang berkaitan dengan dunia yang dijumpainya. Contoh manusia
memegang pintu, memegan tas, naik sepeda, dsb. Pintu, tas, dan sepeda itu adalah
benda-benda yang bagi manusia berfungsi sebagai alat (Zeug), yaitu alat untuk
mengusahakan sesuatu. Demikianlah ciri khas Desein adalah dunia dan memiliki dunia

12
itu. Desein berwatak dunia (weltich). Weltichkeit (berwatak dunia) ini harus dicari di
dalam bentuk harian yang diambil oleh manusia yang di dalam dunia itu, yaitu dalam
alam sekitarnya sehari-hari, dalam Unwelt-nya. Dalam hidupnya sehari-hari manusia
bersifat praktis, di sibukkan dengan benda-benda yang tersedia untuk ditangani
(zuhanden), sehingga benda-benda itu memilki tabiatnya sendiri-sendiri, manjadi alat
yang dipakai manusia. Benda-benda itu senantiassa diberi kaitan, dijadikan alat untuk
melakukan sesuatu. Fungsi benda tersebut di tentukan oleh manusia.demiakialah
benda-benda itu menunjuk kepada suatu tujuan, sedang tujuan itu menunjuk lagi pada
tujuan lain. Akan tetapi benda-benda itu sendiri tidak dengan sadar menonjolkan diri.
(manusia memakai kemeja, kemeja itu kita tanggalkan, kemeja itu tetap pada dirinya).
Dunia yaitu segala sesuatu yang dalam kaitannya dengan manusia, baru tampil jika ada
sesuatu yang tidak berfungsi dengan semestinya, misalnya: kemeja itu terlalu kecil
untuk dipakai, mobilnya mogok, dsb. Baru pada saat itu dunia menonjol jadi biasanya
dunia tidak memberitahukan dirinya kepada manusia.
Tingkah laku manusia sehari-hari menunjukan, bahwa Dasein kita secara asasi
senatiasa bersama-sama dengan dasein orang lain, dann memiliki jalan masuk
kepada Dasein, yang lain itu, sehingga dapat dikatakan bahwa berada kita adalah
berada bersama-sama. Di dalam hidup sehari-hari kita menjumpai orang lain itu tidak
sama dengan cara kita menjumpai benda-benda. Pertama-tama kita menjumpai sesama
dalam eksistensi mereka di dalam dunia, dalam kesibukan mereka, dalam tingkah laku
mereka, seperti ketika kita mengenal diri kita sendiri, juga dalam kesibukan dan
perbuatan-perbuatan kita. Orang-orang lain itu adalah sesama kita. Mereka dengan kita
bersama-sama berada di dalam dunia. Kita bersama-sama sibuk di dalam dunia.
Demikianlah Dasein itu di tentukan oleh Mitsen (berada bersama-sama). Kita
menentukan diri di dalam dunia sebagai pemelihara. Pemeliharaan itu
disebut Besorgen kalau di kenakan kepada benda-benda dan disebut Filsorge, kalau
dikenakan kepada sesama kita.

13
Manusia terbuka kepada dunianya dan sesamanya. Keterbukaan ini bersandar
pada tiga hal asasi yang penting, yaitu Befindlichkeit atau kepekaan, Verstehen atau
mengerti, memahami dan Rede atau kata-kata atau hal yang berbicara.
Befindlichkeit di ungkapkan dalam bentuk perasaan dan emosi. Seperti senang,
marah kecewa, takut, dsb. di dalam kehidupan sehari-harinya manusia dapat
mendesakkan kepekaan itu, dapat menindasnya atau mengalahkannya, akan tetapi ia
akan tetap mengalami kepekaan itu, inilah kenyataan hidupnya atau nasibnya. Ia
terlempar (geworfon) ke situ. Oleh karena itu Befindichkeit adalah pengalaman yang
elementer menguasai realitas, itulah keadaan dimana dunia di hdapkan dengan kita,
itulah keadaan dimana kita menemukan dan menjumpai dunia sebagai nasib, dan
dimana kita sekaligus menghayati kenyataaan eksistensi yang serba terbatas dan
ditentukan. Jadi kepekaan mendasari semua rasa yang kongrit.
Verstehen atau mengerti atau memahami adalah dasar segala pengertian. Kalau
Bifindichkeit di kaitkan dengan segi nasib manusia, maka Verstehen dikaitkan dengan
kebebasan manusia. Hal ini bersangkut-paut dengan manusia dan kemungkinan-
kemungkinannya. Pertama-tama manusia tahu atau menartikan kemungkinan-
kemungkinan yang ada pada dirinya sehingga tampaklah dunia dengan segala
kemungkinan-kemungkinannya untuk dipakai, diambil dan dimanfaatkan. Di dalam
Verstehen tersirat struktur yang eksistensial yang disebut Entwurf atau rencena. Oleh
karena itu manusia merencenakan lalu merealisasikan kemungkinan-kemungkinan itu
sendiri. Jadi Vertehen termasuk cara berada manusia.
Rede atau hal berbicara secara priori manusia telah memiliki daya untuk
berbicara. Di dalam kehidupan sehari-hari manusia banyak berbicara atau mengobrol.
Dengan hal tersebut manusia dapat saling mengerti, akan tetapi pengertian itu bukanlah
pengertian yang benar. Orang hanya menirukan percakapan atau pendapat orang lain.
Pendapat orang lain itu di teruskan dengan kata lain orang tidak dapat tahu apa yang
semula di gali dari pengertian yang sebenarnya. Pandangan umum bertahan karena
omongan orang. Akibatnya Dasein di korbankan demi pendapat orang. Dasein
dilepaskan dari hubungan yang sebenarnya dengan dengan dunia, sesamanya dan

14
dengan dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan bahwa segala gagasan atau pendapat
serta segala perbuatan manusia menjadi kabur, mengambang. Manusia kehilangan
akarnya, kehilangan akar untuk mengerti yang benar, untuk berkomunikasi yang benar
, untuk bergaul yang benar, dsb.
Dengan obrolan-obrolan, kita menemukan cara manusia sehari-hari berada
di dalam dunia. Cara berada manusia sehari-hari ini oleh Heidegger
disebut Verfallenheit atau kemerosotan, tapi kemerosotan ini tidak boleh di artikan
sebagi kerugian yang disebabkan karena kita kehilangan situasi kita semula yang baik.
Ada dua macam cara manusia bereksistensi, yaitu bereksistensi yang
sebenarnya dan yang tidak sebenarnya. Di dalam hidup seharii-hari manusia tidak
bereksistensi sebenarnya.
Befindichkeit atau kepekaan mengindrai dunia ini, mengindrai kenyataan kita
bhwa kita terlempar, dan bahwa kita dikuasai nasib. Di antara suasana batin atau
perasaan-perasaan itu yang terpenting adalah cemas (Angst). Karena rasa cemas itu
adalah rasa yang asasi, yang sadariah, yag menjadi kunci keberadaan kita yang
terdalam. Kecemasan (Angst) di sini bukan kecemasan pada umumnya (Furcht), tapi
kecemasan ittu mengenai diri sendiri. Yang di makzud kecemasan di sini adalah
ketakutan-ketakutan yang datangya tiba-tiba yang menyergap kita dan menjadikan kita
menjadi bingung seketika. Kecemasan ini datang dan pergi namun setelah pergi dan
kecemasan ini bukanlah apa-apa. Sebab sebenaranya tidak ada hal kongrit yang harus
dicemaskan. Yang dicemaskan tidak berwujud tapi ada, bahkan dekat sekali,
sedemikian dekat hingga kita tidak dapat bernafas lega. Kecemasan ini di latar
belakangi oleh pengalaman umum. Yang menjadikan tiba-tiba merasa sendirian,
dikepung oleh kekosongan hidup, dimana kita merasa seluruh hidup kita tiada artinya.
Kecemasan ini bukan ketakutan terhadap sesuatu yang ada di dunia, tapi ketakutan
terhadap dunia itu sendiri.
Itulah kenapa di dalam kehidupan sehari-hari manusia berkesistensi yang tidak
sebenarnya. Tetapi justru karena itu manusia manusia memiliki kemungkinan-
kemungkinan untuk keluar dari eksistensi yang tidak sebenarnya, keluar dari belunggu

15
pendapat orang benyak dan menemukan dirinya sendiri. Atau jika dilihat dari segi
waktu, manusia harus merencanakan diri atau menggusakan dirinya sampai kepada
kemungkinan-kemungkinan yang terakhir, yang tidak dapat di elakkan, yaitu kematian
atau maut. Kematian adalah batas terakhir dari keberadaan manusia sebagai eksistensi,
batas yang tidak dapat di kalahkan.
Kematian disini bukan kesadaran umum yang ad sehari-hari, yaitu bahwa
semua manusia akan mati. Menurut Hidegger kematian adalah segala kemungkinan
yang dari dalam Verstehen, dimustahilkan. Kematian ini mewujudkan suatu kesatuan
yang tidak dapat di patahkan dengan eksistensi manusia. Kematian di sini adalah suatu
akhir yang seolah-olah setiap saat hadir. Di dalam Verfallenheit atau keruntuhan, orang
takut akan kematian ini. Sehingga orang ingin melupakannya yaitu dengan cara
menyibukan diri dalam kegiatan.
Menurut heidegger Schuld adalah Hutang atau salah yang di hubungkan dengan
eksistensi manusia, dengan cara berada manusia. Cara berada manusia ialah bahwa
manusia meng-ada-kan adanya sendiri, bukan dalam arti menciptakan, tetapi manusia
bertanggung jawab atas adanya dirinya itu. Cara berada manusia di-ada-kan
secara schulding (salah). Menurut heidegger dalam kata schuld, schulding senantiasa
terkandung unsur yang hanya dapat di ungkapkan secara negatif dan unsur yang
menjadi alasan atau sebab timbulnya hal negatif itu.
Inilah fakta keberadaan manusia yang timbul dari Geworfenheid atau situasi
terlempar-nya itu. Manusia berusaha merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya
sedang ia merealisasikan kemungkinan yang satu, kemungkinan-kemungkinan yang
lain tidak di realisasikan tapi tetap menjadi tanggung jawabnya. Untuk meng-ada
sebagai diri ini atau itu. Segera manusia memilih satu kemungkinan, dirinya tidak
memilih kemungkinan-kemungkinan yang lain, lalu men-ada-lah kebebasan.
Kebebasan baru mengada dalam hal memilih satu kemungkinan, artinya dalam hal
menanggung bahwa kemugkinan-kemungkinan lain tidak dapat di pilih dan tidak dapat
di pilihnya. Situasi inilah yang oleh Heidegger disebut Schuld.

16
Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenaranya itu menghadapi
hidup dengan semu, hidup orang banyak dan sibuk dengan kesannya yang sementara.
Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai suatu kesatuan. Kesibukan-kesibukannya
mewujudkan perkumpulan yang tidak teratur, tanpa di hubungkan dengan yang satu
dan yang lain, seperti halnya dengan pasir.
Jalan menuju kehidupan yang sejati, keputusan yang pasti, pengetahuan yang
benar dan kepada eksistensi yang sebenarnya terletak dalam suatu kepastian yang
temporal, dalam menanggung kepastian yang terakhir yaitu kematian. Memasukkan
kematian dalam eksistensi bukan berarti hanya mau tahu bahwa manusia akan
mati,melainkan mendahului kematian. Manusia harus menyadari akan kehinaanya
tanpa ilusi atau khayalan sehingga manusia akan terlindung dari hal-hal yang semu.
Dengan ketekunan (Entschlossenheit) manusia akan lepas dari eksistensi yang tidak
sebenarnya. Jadi dengan ketekunan mengikuti kata hatinya itulah cara bereksistensi
yang sebenarnya dan guna menacapai eksistensi yang sebenarnya. Di dalam
ketekunan ini seluruh eksistensi akan jelas sehingga orang akan mendapat pengertian
dan pemikiran yang benar tentang manusia dan dunia. Dari dalam kata hati itu akan
muncul kegembiraan.7

7
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Fisafat Barat 2, ( Yogyakarta: Kanisius, 1980), Hal.150-156

17
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota kecil
Messkirch Baden, Jerman. Ia adalah anak seorang pastor pada gereja katolik Santo
Mortus. Martin Heidegger mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di
Eropa dan Amerika Selatan. Ia pernah menjabat sebagai guru besar filsafat di
Universitas Masburg dan berkenalan dengan teolog protestan kenamaan Rodolf
Bultmann, kemudian kembali ke Freiburg untukk menggantikan Huserl. Di Marburg
ia sempat menyelesaikan karya monumental Sein und Zeit (Being and Time).
Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal
kepada eksistensi. Secara umum eksistensi berarti keberadaan. Secara khusus
eksistensi adalah cara manusia berada di dalam di dunia. Cara manusia berada di dalam
dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan
keberadaannya. Berbeda dengan manusia. Benda-benda menjadi lebih berarti karena
manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme
dikatakan, bahwa benda-benda berada, sedangkan manusia bereksistensi. Jadi
hanya manusia yang bereksistensi.
Menurut Heidegger, keberadaan hanya dapat dijawab melalui jalan ontologi dan
metode yang digunakan adalah metodelogis fenomelogis. Bagi Heidegger yang penting
adalah menemukan arti keberadaan itu. Satu-satunya berada yang sendiri dapat
dimengerti sebagai berada ialah baradanya-nya manusia. Harus dibedakan antara
berada (sein) dan yang berada (seiende). Uangkapan yang berada (seiende)
hanya berlaku bagi benda-benda atau bukan manusia. Yang jikalau dipandang dari
dirinya sendiri, artinya terpisah dari segala yang lain, hanya berdiri sendiri. Benda-
benda itu hanya vorhanden artinya hanya terletak begitu sajadi depan orang, tanpa
ada hubungannya dengan orang itu. Contoh: meja jika dipandang pada dirinya,
berkedudukan sebagai meja lepas dari hubungannya dari apapun. Benda-benda itu

18
hanya berarti jika dihubungkan dengan manusia, jika manusia memeliharanya. Kalau
benda itu dihubungkan dengan manusia, maka akan memiliki arti dalam hubungan itu.

19
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Fisafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
M.Pd ., Zubaedi, Dr. M.Ag., dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes
Hingga Revolusi Sains ala Khomas Khun, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010.

20

Anda mungkin juga menyukai