perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah makin bertambah bila tidak dilakukan deteksi
dan intervensi secara dini. Di negara maju, angka tuli kongenital berkisar antara 0,10,3% kelahiran hidup,
sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan Departmen Kesehatan di 7 Provinsi pada
tahun 19941996 sebesar 0,1%. Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila
jumlah penduduk sebesar 214.100.000 (PGPKT, 2007). Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan
adanya pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar 0,22%. Hal ini tentu saja
berdampak pada penyediaan sarana pendidikan dan lapangan pekerjaan di masa mendatang. WHO
memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000 anak tuli lahir hidup di Asia Tenggara. Pertemuan WHO di
Colombo pada tahun 2000 menetapkan tuli kongenital sebagai salah satu penyebab ketulian yang harus
diturunkan prevalensinya (PGPKT, 2007).
o Aberasi kromosom
Di sini terjadi penyimpangan dari kromosom yang dapat menyebabkan ketulian. Penyimpangan
kromosom ini dikenal sebagai "TRISOMI". Trisomi adalah adanya ekstra kromosom yang menyebabkan
anomali dan menyebabkan terjadinya ketulian,; yang sering ada ialah : trisomi 12 dan 18 atau golongan D
dan E. Karena adanya penyimpangan dari kromosom, biasanya kelainannya tidak hanya terjadi di telinga
saja, tetapi juga di organ lain bahkan sering terjadi di organ vital, sehingga anak tidak dapat bertahan hidup
lama dan meninggal pada usia muda.
2. Non herediter
Kerusakan sistem pendengaran pada janin yang tidak disebabkan faktor keturunan, seperti: itu
dapat disebabkan :
a. Obat-obatan
Pemberian obat-obatan yang bersifat ototoksik dan teratogenik yang berpotensi mengganggu
proses organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea. Obat-obatan tersebut antara lain :
o Streptomisin dengan derivatnya.
o Aminoglikosid dan derivatnya > 5 hari.
o Kinin.
o Preparat salisil.
b. Keracunan waktu hamil
Toksemia gravidarum atau hiperemesis gravidarum.
c. Infeksi bakteri maupun virus
Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester pertama sehingga setiap
gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi
bakteri maupun virus pada ibu hamil seperti TORCHS (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes
dan Sifilis), campak, dan parotitis dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan.
d. Penyakit yang menahun
Seperti lues, diabetes, tirotoksikosis, yang diderita oleh ibu hamil dapat menyebabkan ketulian
pada janin.
B. Masa perinatal
Faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran / ketulian antara lain berat
bayi lahir rendah (<2500gram), lahir prematur, hiperbilirubinemia, asfiksia, APGAR skor <4 pada saat menit
pertama setelah dilahirkan atau apgar skor <6 pada menit kelima, penggunaan ventilasi mekanik
>5hari,tindakan dengan alat pada proses kelahiran (eksraksi vakum, forsep) maupun persalinan yang
sukar atau persalinan yang lama yang dapat menyebabkan anoksia oleh karena tali pusat melingkar
kepala, ataupun terjadinya obstruksi dari jalan nafas yang dapat menyebabkan kerusakan dari koklea.
C. Masa Postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis, infeksi otak (meningitis, ensefalitis),
perdarahan pada teliga tengah, trauma temporal juga dapat menyebabkan ketulian.
D. Idiopatik
Meskipun faktor risiko yang disebutkan diatas merupakan suatu indikasi untuk dilakukan
pemeriksaan, tetapi di lapangan ditemukan bahwa 5% neonatus dengan gangguan pendengaran tidak
mempunyai faktor risiko. Oleh karena itu direkomendasikan suatu pemeriksaan gangguan pendengaran
pada seluruh neonatus setelah lahir atau setidaknya usia 3 bulan.
Hal penting yang diperhatikan sebelum dilakukan pemeriksaan adalah liang telinga harus bersih
dan tidak ada gangguan pada telinga tengah. Kendala yang ditemukan adalah sarana ini tidak dimiliki oleh
semua Rumah Sakit Propinsi.
Pemeriksaan lain yang tidak kalah penting adalah BOA (Behavioural Observation Audiometry),
yaitu untuk melihat perilaku anak terhadap stimulus suara yang diberikan. Faktor yang mempengaruhi
pemeriksaan ini antara lain usia, kondisi mental, kemauan melakukan tes, rasa takut, kondisi neurologik
yang berhubungan dengan perkembangan motorik, dan persepsi. Diharapkan pada usia 3 bulan
pemeriksaan sudah selesai dilakukan dan intervensi dapat dimulai pada usia 6 bulan. Pemberian alat
bantu dengar membantu anak dalam proses habilitasi suara dan belajar berbicara. Selanjutnya pada usia
1,5 hingga 2 tahun mulai dilatih di sarana pendidikan (taman latihan khusus). Sebagai pilihan lain di
Jakarta sejak tahun 2002 sudah ada program implantasi koklear dengan persyaratan tertentu.
Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini mungkin. Walaupun
derajat ketulian yang dialami seorang bayi atau anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan
selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Dalam keadaan normal, seorang
bayi telah memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif pada usia 18 bulan, berarti saat tersebut
merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Dibandingkan dengan orang
dewasa pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak jauh lebih sulit, memerlukan ketelitian dan
kesabaran. Selain itu, pemeriksa harus memiliki pengetahuan tentang hubungan antara usia bayi / anak
dengan taraf perkembangan motorik dan auditorik.