Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Dengue, merupakan penyakit virus yang diperantarai oleh nyamuk, sering

terjadi pada manusia. Gambaran awal gejala mirip dengue pertama sekali

disebutkan dalam Chinese Encyclopedia and Symptoms selama dinasti chin (265-

420 M). Penyakit ini disebut juga dengan racun air dan berhubungan dengan

serangga yang terbang dekat air. Sekarang, dengue diketahui disebabkan oleh

virus RNA strain tunggal dengan nucleocapsid icosahedral dan ditutupi oleh

kapsul lipid.

Dengue merupakan penyakit virus tropis endemik di banyak wilayah di

dunia. Meskipun kasus dapat dideteksi setiap tahun, jumlah kasus jelas

berhubungan dengan perubahan siklik musim, peningkatan jumlah kasus biasanya

terjadi pada musim hujan. Biasanya hal tersebut akan meningkatkan angka

kejadian penyakit tersebut di beberapa wilayah tertentu, termasuk di Kep. Karibia.

Demam dengue / Demam DF dan demam berdarah dengue/DBD (Dengue

Hemorrahagic fever/ DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus

dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang

disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah

suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae,dengan


genusnya adalah flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal

dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai

tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotipe virus Dengue.

Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara Tropis dan Subtropis.

Disetiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda.

Infeksi virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada

banyak negara tropis dan sub tropis. Kejadian penyakit DBD semakin tahun

semakin meningkat dengan manifestasi klinis yang berbeda mulai dari yang

ringan sampai berat. Manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan darurat

yang dikenal dengan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock

Syndrome (DSS).

1.2.Definisi

DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue, sejenis virus yang

tergolong arbovirus dan masuk ke tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes

Aegypti betina. Penyakit ini lebih dikenal dengan sebutan Demam Berdarah

Dengue (DHF). (Aziz Alimul, 2006). DHF adalah infeksi arbovirus (arthropoda-

borne virus) akut, ditularkan oleh nyamuk spesies Aedes (IKA- FKUI, 2005).

Dengue Hemmorhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan

oleh virus dengue dengan tanda dan gejala demam, nyeri otot, nyeri sendi disertai

lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia (Rohim, 2004).


1.3.Etiologi

Penyebab dari Dengue adalah virus dengue, bagian dari kelompok Flavivirus.

Ada empat tipe virus dengue yang dikenal, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN

4. Meskipun keempat tipe memiliki antigen tertentu, antibodi yang melawan

masing-masing antigen tersebut hanya dapat menetralisir tipe antigen yang sama.

Epidemik periodik berhubungan dengan timbulnya serotipe yang berbeda.

Virus dengue termasuk familia Flaviridae, dari genus Flavivirus. Atas dasar

ekologinya Flavivirus disebut Arbovirus atau virus athropoda-borne untuk

menunjukkan bahwa virus ini ditransmisikan oleh serangga. Virus dengue

ditransmisikan oleh nyamuk yang termasuk dalam kelompok Aedes, terutama

nyamuk Aedes aegypthy betina. Semua Flavivirus memiliki kelompok epitop pada

selubung protein yang menimbulkan terjadinya cross reaction (reaksi silang) pada

uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti uji serologis sulit ditegakkan.

Ada 4 serotipe dari virus dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. Infeksi salah

satu serotipe virus Den akan menghasilkan antibodi protektif untuk serotipe

tersebut pada waktu yang lama, tetapi tidak ada cross protection (perlindungan

silang) terhadap serotipe virus Den yang lain.

1.4.Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah asia tenggara, pasifik barat dan

karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah

tanah air. Insiden DBD di indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk
(1989 hingga 1995), dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga

35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung

menurun hingga mencapai 2 % pada tahun 1999.

Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan

kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32 C) dengan kelembaban yang

tinggi nyamuk aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama.

Di indonesia,karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat,

maka pola waktu terjadiya agak berbeda disetiap tempat. Di jawa pada umumnya

infeksi virus dengue terjadi mulai awal januari, meningkat terus sehingga kasus

terbanyak terdapat pada sekitar bulan april-mei setiap tahun.

Gambar 1. Infeksi Dengue di Indonesia


Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes

(terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus). Peningkatan kasus setiap

tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat

perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi,

kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus

dengue yaitu:

1. Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan

vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.

2. Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan / keluarga, mobilisasi dan

paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin.

3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

1.5.Patofisiologi

Manifestasi klinis yang paling penting dalam penyakit DBD adalah kebocoran

plasma. Dan untuk mengetahui tanda-tanda kebocoran plasma bukannya

trombosit yang dipantau tetapi hematokrit. Selain itu, penting juga pemantauan

urine output dan hemostasis. Dari pengalaman dokter, apabila tidak terjadi

pendarahan massive, trombosit 3.000 atau 7.000 juga tidak mengakibatkan

kematian pasien.

Adapun tingkat keparahan sindrom kebocoran kapiler tergantung ukuran celah

endotel dan lokasi atau daerah yang terkena infeksi, komposisi matriks
kompartemen perivaskular, dan perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan

onkotik di intra dan ekstravaskular.

Tekanan hidrostatik dipengaruhi oleh tekanan pompa jantung yang mendorong

plasma keluar dari intravaskular ke ekstravaskular. Tekanan onkotik adalah nilai

tekanan zat-zat yang terkandung dalam darah yang memiliki sifat osmolaritas

untuk menahan plasma tetap berada pada intravaskular. Pada arteri tekanan

hidrostatik lebih besar dari tekanan onkotik maka plasma bisa keluar ke

ekstravaskular memberikan nutrisi dan oksigen pada jaringan tubuh. Sedangkan di

mikrokapiler tekanan hidrostatik lebih kecil dari tekanan onkotik sehingga cairan

tubuh yang telah kehilangan nutrisi dan mengandung CO2 dapat dikembalikan ke

dalam pembuluh darah. Perlu dipahami bahwa apabila kita telah mengetahui kalau

kebocoran plasma dipengaruhi oleh tekanan onkotik, penggunaan koloid untuk

meningkatkan tekanan osmotik dapat dilakukan apabila telah diketahui adanya

tanda-tanda kebocoran plasma. Pelebaran celah endotel dapat juga menyebabkan

leukosit keluar dari intravaskular mengejar makrofag yang mengandung virus

dengue, sehingga dapat dimengerti terjadi leukopenia pada DBD.

Manisfestasi trombositopeni pada infeksi dengue memiliki beberapa hipotesa

penyebab:

1. terjadi destruksi trombosit akibat interaksi antibody-antigen virus dengue di

permukaan trombosit;
2. kerusakan dinding endotel oleh virus dengue sehingga menyebabkan

interaksi trombosit dengan kolagen subendotel sehingga terjadilah agregasi

dan destruksi trombosit;

3. IL-6 menginduksi antibodi IgM antitrombosit sehingga terjadilah destruksi

trombosit;

4. manifestasi pendarahan pada DBD meningkatkan kebutuhan akan

trombosit. Manifestasi (nomor 3) menguatkan bahwa tidak perlu diberikan

infus trombosit pada pederita DBD, karena pada akhirnya trombosit yang di

berikan akan didestruksi dengan adanya antibodi antitrombosit.

Pada kasus dengue, ada masa inkubasi (virus dengue ada dalam tubuh tapi

tidak ada manifestasi klinis penyakit), fase akut (demam hari I-IV), dan fase kritis

(hari V-VII), dan fase konvalesense. Proses plasma leakage hanya terjadi pada

fase kritis, dan hanya terjadi dalam 24-48 jam. Untuk mengidentifikasi fase kritis

perhatikan bahwa pada sekitar hari kelima demam sudah mulai turun, tetapi

kematrokit makin meningkat, leukosit makin anjlok, dan trombosit juga makin

anjlok. Leukopeni rata-rata selalu mendahului trombositopeni, dan trombositopeni

mendahului plasma leakage. Pemeriksaan serologi baru dapat terdeteksi setelah

hari kelima, karena disitu kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup di atas

batas deteksi alat. Sedangkan pemeriksaan antigen NS1 dapat dilakukan dari H-1

sampai dengan hari keempat, kadar optimal NS1 adalah pada hari ketiga.

Pemeriksaan antigen NS1 ada dua, yaitu dengan ELISA dan rapid test.

Pemeriksaan dengan ELISA lebih akurat tetapi membutuhkan waktu yang lama (4
jam). Sedangkan pemeriksaan dengan rapid test hanya mebutuhkan waktu 5

menit.

NS1 merupakan non structure protein yang terdapat pada permukaan virus,

merupakan antigen yang letaknya paling luar sehingga paling mudah terdeteksi

dan merupakan biang kerok utama manifestasi respon imun yang telah

diterangkan sebelumnya.

Menurut penemu alat rapid test untuk NS1 ini, hari ketiga merupakan puncak

kadar NS1 sehingga paling memungkinkan deteksi NS1 pada hari itu. Akan tetapi

setelah hari kelima, jumlah antigen sudah menurun sampai tidak bisa terdeteksi.

Untuk antibodi, dapat dideteksi setelah kelima demam.

Pemeriksaan NS1 tidak bisa menggantikan pemeriksaan antibodi. Akan tetapi

tidak dapat menentukan infeksi yang terjadi primer atau sekunder. Kita juga telah

melupakan uji tourniquet. Padahal uji tourniquet merupakan uji yang paling

sederhana dan spesifik untuk DBD. Perbedaan antara demam dengue dengan

demam berdarah dengue, pada DBD sudah pasti terjadi plasma leakage,

sedangkan pada demam dengue tidak terjadi.

1.6.Manifestasi Klinis

Pada penderita yang simtomatis, gejala klinis infeksi virus dengue timbul pada

4-7 hari (dapat berkisar antara 3-14 hari) setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi.

Perjalanan penyakit dengue meliputi 3 fase, yaitu: fase demam (febrile phase),

fase kritis (critical phase), dan fase perbaikan (recovery phase). Gambar berikut
menunjukan perjalanan penyakit dan karakteristik klinis dan laboratoris pada

masing-masing fase:

Gambar 3. Perjalanan Penyakit Dengue (WHO 2009)

Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa fase kritis dimulai pada hari

ketiga sejak timbulnya gejala awal, atau sering disebut day of defervescence. Oleh

karena itu, pengenalan tanda klinis awal infeksi dengue pada hari ke-1 sampai ke-

3 berperan penting untuk meningkatkan kewaspadaan dalam pemantauan dan

evaluasi penderita.

A. Fase Demam

Fase demam ditandai oleh gejala yang mendadak berupa demam tinggi

antara 39C dan 40C selama 2-7 hari (pada DHF terjadi 3 hari sebelum

memasuki fase kritis). Sebanyak 5-6% penderita menunjukan tipe demam yang
khas yaitu pola bifasik (saddleback fever) yang ditandai oleh demam selama

beberapa hari pada awal sakit, diikuti dengan hilangnya demam selama beberapa

hari, dan diakhiri dengan berulangnya demam selama 12-24 jam. Gejala demam

sering kali disertai dengan gejala lain berupa: nyeri kepala, nyeri retroorbital,

mialgia, artralgia sehingga timbul istilah break bone fever. Namun, gejala ini tidak

seluruhnya didapatkan pada penderita anak dibawah 15 tahun, dengan frekuensi

gejala: demam sebanyak 90% dan nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia,

artralgia sebanyak 63-78%.

B. Fase Kritis

Fase kritis biasanya terjadi pada hari ke-3 sakit dan berlangsung selama

24-48 jam. Fase ini ditandai oleh:

1. Penurunan suhu tubuh menjadi 37,5C-38C atau lebih rendah yang

biasanya berlangsung pada hari ke-3 sampai 7

2. Peningkatan permeabilitas kapiler atau kebocoran plasma diikuti oleh

peningkatan hematokrit, penurunan trombosit, dan peningkatan enzim

aminotransferase.

3. Nyeri abdomen ditemukan pada 60% kasus, yang merupakan petanda awal

terjadinya kebocoran plasma.

Peningkatan permeabilitas kapiler yang mendahului kebocoran plasma

menyebabkan terjadinya efusi pleura dan ascites. Pemeriksaan penunjang dengan

ultrasonografi (USG) thorak dan abdomen dapat mendeteksi adanya kebocoran


plasma lebih cepat, sekitar 2 hari sebelum fase kritis (day of defervescence) atau 3

hari setelah onset demam.

Pada penderita dengan kebocoran plasma, harus diawasi adanya nyeri

abdomen hebat disertai vomiting persisten, perubahan mendadak dari demam ke

hipotermi, letargi atau gelisah karena menunjukan tanda-tanda awal terjadinya

DSS. Manifestasi DSS pada anak terdiri atas:

1. Peningkatan frekuensi dan penurunan amplitudo nadi. Nadi menjadi cepat

dan lembut sampai tidak teraba. Tanda ini sering kali merupakan tanda

paling awal terjadinya syok

2. Kulit (akral) menjadi pucat, dingin, dan lembab akibat insufisiensi

sirkulasi perifer sehingga terjadi aktivasi saraf simpatis

3. Perubahan kesadaran penderita, dimulai dari rewel, cengeng, kemudian

gelisah , dan pada tahap lanjut dapat terjadi sopor dan koma akibat

insufisiensi perfusi serebral.

4. Tekanan nadi menurun di bawah 20 mmHg, diikuti dengan penurunan

tekanan sistolik di bawah 80 mmHg. Perubahan tekanan darah timbul pada

tahap lanjut, sehingga bukan merupakan tanda awal terjadinya syok

5. Oliguria atau anuria karena insufisiensi perfusi ginjal

Keadaan syok ini akan berlangsung selama 24-48 jam sehingga pada

keadaan ini diperlukan resusitasi cepat dan adekuat untuk mencegah syok

berulang.

C. Fase Perbaikan
Jika pasien mampu bertahan dari fase kritis, terjadi reabsorbsi gradual dari

cairan ekstraseluler ke dalam intravaskuler pada 48-72 jam setelah fase kritis.

Secara klinis, didapatkan perbaikan keadaan umum, nafsu makan, gejala

gastrointestinal, keadaan hemodinamik, dan diuresis. Beberapa penderita

menunjukan ruam penyembuhan dengan gambaran ruam kemerahan menyeluruh

di tubuh, terutama dorsum manus dan pedis, dengan gambaran kulit normal di

sekitarnya. Ruam ini sering kali disertai dengan pruritus. Selain itu, pada

umumnya didapatkan bradikardi dan perubahan elektrokardiografi (EKG). Fase

penyembukan ini berlangsung dalam beberapa hari sampai beberapa minggu,

kadang disertai dengan gejala kelemahan atau mudah lelah.

Secara laboratoris, didapatkan kadar hematokrit kembali normal atau

menurun akibat efek dilusi dari reabsobsi cairan ekstravaskular. Jumlah leukosit

dan trombosit kembali meningkat, namun peningkatan trombosit seringkali terjadi

setelah peningkatan leukosit. Pada fade ini perlu diperhatikan kemungkinan

kelemahan cairan (fluid overload) dengan gejala distress napas akibat efusi pleura

dan asites masif, serta akibat edema paru. Keadaan ini sering kali terjadi pada

penderita yang mendapatkan cairan intravena dengan jumlah berlebihan atau

pemakaian berkepanjangan.

Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis

perlu ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakukan. Perbedaan

gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel berikut :

Derajat Gejala & tanda Laboratorium


Demam 2-7 hari Leukopenia

Disertai > 2 tanda: sakit Trombositopenia

kepala,nyeri retro orbita, Kebocoran

mialgia,atralgia plasma (-)

DD Hari ke 3-5 fase

pemulihan (saat suhu

turun), klinis membaik Serologi

dengue

positif

Gejala diatas (+)

DHF I Disertai uji bendung Trombositoenia

positif (<100.000/ml)

Gejala diatas (+) Kebocoran

DHF II Disertai perdarahan plasma (+) :

spontan peningkatan Ht

Gejala diatas (+) > 20%


DHF
III Disertai tanda kegagalan
DSS
sirkulasi

Syok berat nadi tidak


DHF
IV dapat diraba, dan tekanan
DSS
darah tidak terukur
1.7.Klasifikasi

Menurut WHO DHF dibagi dalam 4 derajat yaitu:

a. Derajat I : Demam disertai gejala klinik khas dan satu-satunya manifestasi

perdarahan dalam uji tourniquet positif, trombositopenia, himokonsentrasi.

b. Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan pada kulit atau

tempat lain.

c. Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, ditandai oleh nadi cepat

dan lemah, tekanan darah turun (20 mm Hg) atau hipotensi disertai dengan

kulit dingin dan gelisah.

d. Derajat IV : Kegagalan sirkulasi, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak

terukur.

1.8.Diagnosis

Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO 1997

yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris, yaitu sebagai berikut:

Kriteria klinis :

1) Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus

menerus selama 2-7 hari, anoreksia, muntah, lemah, nyeri kepala,

nyeri otot dan persendian.

2) Terdapat manfestasi perdarahan ditandai dengan uji bendung positif,

ptekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan

gusi, hematemesis, melena

3) Hepatomegali
4) syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak terabba,

penyempitan tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur,

kaki dan tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang

(>2 detik), dan pasien tampak gelisah.

Kriteria Laboratorium :

1) Trombositopenia (100.000/ml atau kurang)

2) Hemokonsentrasi (kadar Ht > 20% dari nilai standar)

Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium ( atau hanya

peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis kera DHF. Kriteria

infeksi virus dengue berdasarkan WHO 2009, yaitu:

1. Hidup atau bepergian pada daerah endemik dengue

2. Demam dengan 2 kriteria tambahan:

a. Anoreksia dan nausea

b. Ruam

c. Nyeri (mialgia, artralgia)

d. Uji torniket positif

e. Leukopenia

f. Terdapat tanda-tanda bahaya (warning sign)

Revisi WHO tahun 2009 dengan memberikan pedoman adanya tanda bahaya

(worning signs) berupa:

1. Nyeri perut

2. Vomiting persisten

3. Akumulasi cairan secara klinis


4. Perdarahan mukosa

5. Hepatomegali > 2 cm

6. Laboratorium: peningkatan hematokrit disertai dengan penurunan

trombosit yang cepat.

Bila didapatkan adanya tanda-tanda bahaya pada penderita, perlu dilakukan

rujukan untuk perawatan rumah sakit.

Gambar 4 Criteria for Dengue and warning sign (WHO, 2009)

1.9.Terapi DHF

Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis.

Pemberian cairan intravena, sebatas cukup untuk mempertahankan sirkulasi

yang efektif selama periode plasma leakage. Disertai pengamatan yang teliti
dan cermat secara periodik, Berikut algoritma pemberian cairan pada

penderita DHF:

Gambar 5 Algoritma Demam Berdarah Dengue Derajat I/II


Gambar 6 Algoritma Demam Berdarah Dengue Derajat III, IV, atau DSS

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan

khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis

cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.

Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang

intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan

salin) maupun koloid (plasma) dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi

kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DHF karena dibandingkan dengan

koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal
yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat

bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak

mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DHF aman dan

efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan

kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan

hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam

pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan

menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang

singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial

(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut

dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular

dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam

aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain

mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi

plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan

reaksi anafilaktik.

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa

keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi

volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih

lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan

oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa

kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko


anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid

terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh:

hetastarch).13,14 Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom

renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi

hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada

kedua jenis cairan.8 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan

penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DHF derajat 1 dan 2 di

Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi. Jumlah cairan yang

diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta

seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DHF derajat

1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk

mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan

pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000

ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari

berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan

pada DHF dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam.

Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai

apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang

diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu

dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada

DHF dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan

secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah

hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi


benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana

terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum

stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk

menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.

Kriteria memulangkan pasien

a. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

b.Nafsu makan membaik

c. Secara klinis tampak perbaikan

d.Hematokrit stabil

e. Tiga hari setelah syok teratasi

f. Jumlah trombosit > 50.000/ml

g.Tidak dijumpai distres pernapasan.

Anda mungkin juga menyukai