Abstrak: Penulis melaporkan kasus dari seorang pria 38 tahun dengan sinusitis yang
disebabkan oleh sebuah kista folikular terinfeksi disebabkan oleh impaksi ektopik dari molar
ketiga pada sinus maksilaris kanan.
Pada hari ke 10 regimen antibioterapi diberikan; kemudian; kista dan molar ketiga
dilepaskan mencapai penyembuhan sempurna.
Displasia fibrosa didiagnosis pada pemeriksaan tindak lanjut (okupasi sinus maksilaris oleh
jaringan tulang diobservasi pada pemeriksaan radiografik) dan dikonfirmasi dengan biopsi.
Pada kasus sinusitis odontogenik, melalui pemeriksaan adalah krusial, sebagaimana bukti
laporan kasus pada studi ini.
Studi literatur dilakukan dalam rangka mengidentifikasi metode diagnosis yang tersedia saat
ini dan temuan klinis, komplikasi dan terapi keduanya, sinusitis maksilaris odontogenik dan
displasia fibrosa.
Kata Kunci: Kista dentigerosa, Displasia Fibrosa, Sinusitis maksilaris odontogenik, Molar
ketiga.
Pendahuluan
Sinusitis odontogenik adalah infeksi unilateral dari sinus maksilaris disebabkan oleh
infeksi gigi.
Dapat ditemukan sebagai campuran dari flora orofaring aerob dan anaerob seperti
streptococci, bacteroides, veillonella, fusobacterium, dan lain-lain.
Gigi ektopik pada sinus maksilaris dapat menyebabkan sinusitis sebagaimana kista
dentigerosa, tumor odontogenik keratokistik, odontoma dan tumor tulang seperti fibroma
osifikasi.
Terdapat bukti bahwa sinusitis maksilaris dari asal odontogenik menunjukan 10%
dari keseluruhan sinusitis maksilaris. Menurut Maillet, insiden dapat meningkat menjadi
51,8%.
Pada terminologi gejala klinis, banyak pasien dengan sinusitis odontegink tidak
memiliki gejala nyeri gigi atas. Gejala tersering adalah obstruksi hidung, nyeri wajah, saki
kepala, mengorok, perforasi sinus akut dan pembengkakan. Juga, sinusitis odontogenik
dapat bermanifestasi menjadi bentuk kongesti atau sekret, tekanan pada wajah, anosmia,
dan cacosmia. Pasien dapat mengalami infeksi gigi atau telah mengalami pembedahan
mulut sebelumnya.
Diagnosis berdasarkan kombinasi dari gejala klinis dan temuan radiologis. Ketika
sinusitis bersifat unilateral dan tidak berespon dengan pengobatan, kemudian sinusitis
odontogenk harus dipertimbangkan.
Gambaran Waters memberikan visualisasi yang baik pada sinus, tetapi tidak
berguna dalam mendeteksi molar ektopik pada sinus maksilaris.
Sistem gambaran 3 dimensi seksi multipel dari sinus maksilaris (tulang dan jaringan
lunak), dimana computed tomography mengeliminasi struktur yang mengalami
superimposisi.
Cone Beam computed tomography (Scan CBCT) - sebuah sistem pencitraan yang
lebih efektif - menunjukan periodontitis dan penebalan mukosa, sebagaimana patologi pada
gigi terkait dengan sinus maksilaris. Scan CBCT adalah radiografi 3 dimensi yang
memproduksi gambaran resolusi dengan radiasi dosis rendah, sebagaimana dibandingkan
dengan scan computed tomography konvensional. Walaupun resolusi dan dosis radiasi
sangat heterogen antara alat CBCT yang berbeda. Dimana, mukosa pada sinus yang sehat
memiliki ketebalan kurang dari 2 mm, meningkat menjadi rerata 7,4 mm pada sinusitis
kronis. Karakteristik lain sinusitis adalah opasitas radiografik disebabkan oleh akumulasi
cairan.
Sinusitis odontogenik dapat membaik dengan hanya memperbaiki kausa dari gigi
(terapi endodontik, kistektomi, dan lain-lain). Akan tetapi, ketika gejala akut, terapi antibiotik
dengan amoksisilin-asam klavulanat atau klindamisin dibutuhkan. Antibiotik berguna lainnya
adalah trimethoprim-sulfamethoxazole atau doxycycline, cefuroxime, ceftriaxone,
cephalexin, cefoxitin, ceftriaxone dan azitromycin.Cuci hidung dengan salin dan
dekongestan dapat diperlukan.
Infeksi dapat berlanjut dan menyebabkan komplikasi serius seperti abses otak.
Akhaddar melaporkan abses orbital terkait dengan sinusitis odontogenik.
Displasia fibrosa (FD) adalah tumor jinak tulang yang ditandai dengan penggantian
tulang normal dengan jaringan fibro-oseosa. Hal ini disebabkan mutasi aktivasi somatis
pada subunit protein G stimulasi. Hal ini terjadi pada anak-anak dan berhenti pada pubertas,
walaupun 1/3 pasien mengalami progresi saat dewasa.
FD harus dibedakan dengan diagnosis fibroma osifikasi. Penyakit Paget dan tumor
sel raksasa. Bergantung pada prognosis, displasia fibrosa sering memiliki pertumbuhan
yang lambat. Perubahan keganasan menjadi osteosarkoma sangat jarang.
Laporan Kasus
Laki-laki 38 tahun datang dengan pipi kanan yang bengkak, nyeri dan berair dalam
15 hari ini dan meningkat. Pasien tidak memiliki penyakit sistemik apapun.
Kista dan molar ketiga ektopik dilakukan diseksi dibawah anestesi lokal (Articain 40 /
0,005 mg /mL). (Gambar 3-6). Amoksisilin 875 mg / asam klavulanat 125 mg, selama 7 hari
dan ibuprofen 600 mg, 3 kali sehari untuk mengontrol nyeri, jika diperlukan, diberikan secara
post operatif.
Komplikasi post operatif tidak diobservasi dan pasien tetap asimtomatik selama
periode tindak lanjut selama 7 bulan.
Diskusi
Keberadaan gigi ektopik pada sinus maksilaris sangat jarang. Pada kasus ini, gigi
ektopik molar ketiga menyebabkan nyeri, inflamasi, dan rhinorhea. Perpindahan menuju
sinus maksilaris disebabkan oleh tekanan yang diperberat dengan kista odontogenik.
Tekanan yang dilakukan oleh kista dentigerosa dapat menggeser molar menjadi
posisi ektopik seperti pada kasus sinus maksilaris ini. Tempat lain dari molar ektopik ketiga
adalah kondulus mandibula, prosesus koronoid dan sudut mandibula.
Kista dentigerosa adalah bentuk tersering kedua dari kista odontogenik setelah kista
radikular dan mereka terjadi pada maksila yang sangat dekat dengan sinus maksilaris.
Diagnosis banding harus dibandingkan dengan kista radikular, tumor odontogenik
keratokistik, ameloblastoma, bahkan plasmasitoma ekstramedular pada maksila.
Perihal displasia fibrosa, pembedahan adalah kontroversial. Jika lesi stabil dengan
tidak ada pertumbuhan, evaluasi tahunan sudah cukup. Reseksi remodeling harus dilakukan
untuk memperbaiki kualitas hidup pasien dan meminimalisir gejala seperti eksoftalmia,
obstruksi hidung, dan lain-lain. Akan tetapi, remodelling tidak harus dilakukan hingga fase
pertumbuhan tercaoai, dan masih terdapat resiko rekurensi (25%).
Lee menterapi displasia fibrosa dari sinus maksilaris melalui dekortikasi melalui
dinding anterior dari sinus maksilaris dengan menghilangkan seluruh jaringan fibrosa hingga
kavitas sinus menjadi bersih. Menurut Lee, dekortikasi internal dari displasia fibrosa efektif
dalam meminimalisir perluasan eksternal. Pada sisi lain, Yang menyarankan subtotal atau
reseksi total dari lesi dan rekonstruksi dengan graft tulang. Reseksi remodelling dapat
menyebabkan komplikasi seperti oftalmoparesis rekuren yang nyeri disebabkan oleh
keterlibatan dari fisura orbital superior.
Sontakke telah melaporkan 2 kasus dari obliterasi komplit dari sinus maksilaris
sebagai hasil dari displasia fibrosa. Ketika hal tersebut mempengaruhi sinus maksilaris, FD
dapat menggantikan lantai orbital dan kemudian fraktur dapat terjadi pada tulang yang
terlibat. Juga pada kasus kompresi saraf trigeminal telah dilaporkan.
Komunitas dokter gigi bersikap waspada dalam menterapi pasien dengan displasia
fibrosa tetapi Petrocelli pada tahun 2014 melakukan implan rehabilitasi pada mandibula
pada pasien dengan displasia fibrosa. Menurut Bajwa implan gigi dapat dipertimbangkan jika
lesi tidak bergerak. Tidak terdapat banyak kasus yang dipublikasi, mungkin terdapat resiko
tinggi dari kegagalan implan bahkan pembentukan osteomielitis. Tidak didapatkan adanya
komplikasi setelah perbaikan dental, ekstraksi gigi atau terapi orotdontis.
Kesimpulan