Anda di halaman 1dari 9

Sinusitis Odontogenik yang disebabkan oleh sebuah Indlamasi dari Kista Dentigerosa

dan Temuan Berikutnya dari Displasia Fibrosa: Sebuah Laporan Kasus

Carmen López-Carriches,*, Inmaculada López-Carriches dan Rafael Baca-Perez Bryan.

Abstrak: Penulis melaporkan kasus dari seorang pria 38 tahun dengan sinusitis yang
disebabkan oleh sebuah kista folikular terinfeksi disebabkan oleh impaksi ektopik dari molar
ketiga pada sinus maksilaris kanan.

Pada hari ke 10 regimen antibioterapi diberikan; kemudian; kista dan molar ketiga
dilepaskan mencapai penyembuhan sempurna.

Displasia fibrosa didiagnosis pada pemeriksaan tindak lanjut (okupasi sinus maksilaris oleh
jaringan tulang diobservasi pada pemeriksaan radiografik) dan dikonfirmasi dengan biopsi.

Pada kasus sinusitis odontogenik, melalui pemeriksaan adalah krusial, sebagaimana bukti
laporan kasus pada studi ini.

Studi literatur dilakukan dalam rangka mengidentifikasi metode diagnosis yang tersedia saat
ini dan temuan klinis, komplikasi dan terapi keduanya, sinusitis maksilaris odontogenik dan
displasia fibrosa.

Kata Kunci: Kista dentigerosa, Displasia Fibrosa, Sinusitis maksilaris odontogenik, Molar
ketiga.

Pendahuluan

Sinusitis odontogenik adalah infeksi unilateral dari sinus maksilaris disebabkan oleh
infeksi gigi.

Dapat ditemukan sebagai campuran dari flora orofaring aerob dan anaerob seperti
streptococci, bacteroides, veillonella, fusobacterium, dan lain-lain.

Infeksi periapikal dapat sewaktu-waktu mencapai sinus maksilaris menyebabkan


sinusitis odontogenik disebabkan proksimitas dari gigi posterior atas. Kausa lain dari
sinusitis odontogenik termasuk periodontitis, perforasi dari membran Schneiderian dari sinus
saat ekstraksi atau pembedahan, atau keberadaan ujung akar atau benda asing lain seperti
material obturasi endodontik dalam sinus. Akar palatum pada molar pertama adalah bagian
yang paling sering terkait dengan sinusitis odontogenik.

Gigi ektopik pada sinus maksilaris dapat menyebabkan sinusitis sebagaimana kista
dentigerosa, tumor odontogenik keratokistik, odontoma dan tumor tulang seperti fibroma
osifikasi.

Terdapat bukti bahwa sinusitis maksilaris dari asal odontogenik menunjukan 10%
dari keseluruhan sinusitis maksilaris. Menurut Maillet, insiden dapat meningkat menjadi
51,8%.

Pada terminologi gejala klinis, banyak pasien dengan sinusitis odontegink tidak
memiliki gejala nyeri gigi atas. Gejala tersering adalah obstruksi hidung, nyeri wajah, saki
kepala, mengorok, perforasi sinus akut dan pembengkakan. Juga, sinusitis odontogenik
dapat bermanifestasi menjadi bentuk kongesti atau sekret, tekanan pada wajah, anosmia,
dan cacosmia. Pasien dapat mengalami infeksi gigi atau telah mengalami pembedahan
mulut sebelumnya.
Diagnosis berdasarkan kombinasi dari gejala klinis dan temuan radiologis. Ketika
sinusitis bersifat unilateral dan tidak berespon dengan pengobatan, kemudian sinusitis
odontogenk harus dipertimbangkan.

Radiografik panoramik memiliki kekurangan yang penting: terdapat superimposisi


anatomis, dan visualisasi dari hubungan topografik antara molar atas dan sinus maksilaris
dapat sulit. Meskipun demikian, ektopik molar pada sinus maksilaris dapat didiagnosis
dengan mudah dengan radiografik panoramik.

Gambaran Waters memberikan visualisasi yang baik pada sinus, tetapi tidak
berguna dalam mendeteksi molar ektopik pada sinus maksilaris.

Sistem gambaran 3 dimensi seksi multipel dari sinus maksilaris (tulang dan jaringan
lunak), dimana computed tomography mengeliminasi struktur yang mengalami
superimposisi.

Cone Beam computed tomography (Scan CBCT) - sebuah sistem pencitraan yang
lebih efektif - menunjukan periodontitis dan penebalan mukosa, sebagaimana patologi pada
gigi terkait dengan sinus maksilaris. Scan CBCT adalah radiografi 3 dimensi yang
memproduksi gambaran resolusi dengan radiasi dosis rendah, sebagaimana dibandingkan
dengan scan computed tomography konvensional. Walaupun resolusi dan dosis radiasi
sangat heterogen antara alat CBCT yang berbeda. Dimana, mukosa pada sinus yang sehat
memiliki ketebalan kurang dari 2 mm, meningkat menjadi rerata 7,4 mm pada sinusitis
kronis. Karakteristik lain sinusitis adalah opasitas radiografik disebabkan oleh akumulasi
cairan.

Radiografik panoramik dapat cukup untuk pemeriksaan tindak lanjut. Walaupun


gambaran MRI menyediakan visualisasi yang lebih baik pada jaringan lunak, alat ini tidak
berguna pada sinusitis odontogenik.

Sinusitis odontogenik dapat membaik dengan hanya memperbaiki kausa dari gigi
(terapi endodontik, kistektomi, dan lain-lain). Akan tetapi, ketika gejala akut, terapi antibiotik
dengan amoksisilin-asam klavulanat atau klindamisin dibutuhkan. Antibiotik berguna lainnya
adalah trimethoprim-sulfamethoxazole atau doxycycline, cefuroxime, ceftriaxone,
cephalexin, cefoxitin, ceftriaxone dan azitromycin.Cuci hidung dengan salin dan
dekongestan dapat diperlukan.

Pembedahan dapat dilakukan dengan endoskopi lebih baik dibandingkan


pendekatan Cadwell-Luc.

Infeksi dapat berlanjut dan menyebabkan komplikasi serius seperti abses otak.
Akhaddar melaporkan abses orbital terkait dengan sinusitis odontogenik.

Displasia fibrosa (FD) adalah tumor jinak tulang yang ditandai dengan penggantian
tulang normal dengan jaringan fibro-oseosa. Hal ini disebabkan mutasi aktivasi somatis
pada subunit protein G stimulasi. Hal ini terjadi pada anak-anak dan berhenti pada pubertas,
walaupun 1/3 pasien mengalami progresi saat dewasa.

FD dapat melibatkan tulang tunggal (monostotik) atau tulang multipel (poliostotik),


dan mempengaruhi tulang panjang, costae, dan tulang kranio-fasial lebih sering. Sebanyak
70% lesi adalah monostotik dan asimtomatik. Diagnosis biasanya merupakan temuan
insidental. Perluasan lesi dapat ditentukan dengan pencitraan computed tomography, tetapi
diagnosis presumtif harus dikonfirmasi dengan studi histopatologi. Temuan radiografik
termasuk radiolusensi, gambaran ground-glass, dan perkabutan asap dan bahkan sidik jari
radiopak.
Antara 10% dan 25% dari lesi FD melibatkan tulang kranio-fasial, dimana maksila
menjadi tulang yang paling sering terpengaruh. akhirnya, hal ini dapat menyebabkan
obliterasi dari sinus paranasal.

Terapi dari FD adalah konservatif. Terapi bifosfonat diindikasikan pada pasien


tertentu dengan nyeri, resiko fraktur dan disfungsi. Pembedahan diindikasikan untuk biopsi,
koreksi deformitas, dan lesi yang nyeri.

FD harus dibedakan dengan diagnosis fibroma osifikasi. Penyakit Paget dan tumor
sel raksasa. Bergantung pada prognosis, displasia fibrosa sering memiliki pertumbuhan
yang lambat. Perubahan keganasan menjadi osteosarkoma sangat jarang.

Laporan Kasus

Laki-laki 38 tahun datang dengan pipi kanan yang bengkak, nyeri dan berair dalam
15 hari ini dan meningkat. Pasien tidak memiliki penyakit sistemik apapun.

Pasien melaporkan telah diperiksa oleh otolaringologi, yang memberikan terapi


antibiotik. Semenjak tidak ditemukan remisi, pasien dirujuk ke klinik penulis untuk mencari
sebab odontogenik.

Pasien kemudian dilakukan ortopantomografi menunjukan molar ketiga atas


mengalami perpindahan ke sinus maksilaris melalui tekanan pada kista yang tidak diketahui
oleh otolaringologist (Gambar 1).

Gambar 1. Ortopantomografi awal.

Sebuah computed tomography (CT) scan diperoleh untuk memperbaiki gambaran


diagnostik, menunjukan lesi kistik dengan keterlibatan tulang (Gambar 2).
Gambar 2. CT Scan awal.

Kista dan molar ketiga ektopik dilakukan diseksi dibawah anestesi lokal (Articain 40 /
0,005 mg /mL). (Gambar 3-6). Amoksisilin 875 mg / asam klavulanat 125 mg, selama 7 hari
dan ibuprofen 600 mg, 3 kali sehari untuk mengontrol nyeri, jika diperlukan, diberikan secara
post operatif.

Gambar 3. Pembedahan molar ketiga


Gambar 4. Penjahitan

Gambar 5. Kista Dentigerosa’


Gambar 6. Gigi molar ketiga atas.

Kapsul kista dikirim untuk pemeriksaan histopatologi; diagnosis adalah kista


dentigerosa dengan tanda inflamasi.

Komplikasi post operatif tidak diobservasi dan pasien tetap asimtomatik selama
periode tindak lanjut selama 7 bulan.

Tindak lanjut gambaran ortopantomografi dilakukan setelah 7 bulan tindak lanjut


setelah pembedahan (Gambar 7). Sinus maksilaris hampir dipenuhi oleh tulang, sehingga
penulis merujuk pasien untuk pemeriksaan scan lainnya. Scan terbaru menunjukan bahwa
sinus maksilaris secara luas dan abnormal diokupasi oleh tulang, apa yang membuat
penulis berpikir bahwa kemungkinan terjadi displasia fibrosa (Gambar 8). Hal ini dikonfirmasi
oleh biopsi dengan pembedahan oleh dokter bedah maksilofasial dan pemeriksaan
histopatologi. Terapi konservatif diberikan dengan pemeriksaan reguler berkala.
Gambar 7. Ortopantomografi lanjutan

Gambar 8. CT Scan Lanjutan

Diskusi

Keberadaan gigi ektopik pada sinus maksilaris sangat jarang. Pada kasus ini, gigi
ektopik molar ketiga menyebabkan nyeri, inflamasi, dan rhinorhea. Perpindahan menuju
sinus maksilaris disebabkan oleh tekanan yang diperberat dengan kista odontogenik.

Penting untuk mendiagnosis asal dari sinusitis maksilaris, semenjak hanya


manajemen dari kausa odontogenik yang dapat memicu reolusi dari infeksi dan menghindari
rekurensi.

Kebanyakan penulis menggunakan gambaran 3D untuk menemukan kausa etiologis


dari sinusitis maksilaris. Pada pembedahan yang dilakukan oleh otolaringologis, CT Scan
lebih disukai sebagai teknik pencitraan untuk diagnosis dari sinusitis odontogenik maksilaris.
Sebelum segala jenis pembedaha sinus dilakukan, penting untuk mempelajari secara
sistematik anatomi radiografi dari sinus maksilaris. Pada keadan ini, CT Scan pasien telah
menunjukan perselubungan tulang disekitar lesi kistik, sehingga kita harus memperkirakan
lesi tulang tetapi tidak membiarkannya tidak diketahui.

Tekanan yang dilakukan oleh kista dentigerosa dapat menggeser molar menjadi
posisi ektopik seperti pada kasus sinus maksilaris ini. Tempat lain dari molar ektopik ketiga
adalah kondulus mandibula, prosesus koronoid dan sudut mandibula.

Kista dentigerosa adalah bentuk tersering kedua dari kista odontogenik setelah kista
radikular dan mereka terjadi pada maksila yang sangat dekat dengan sinus maksilaris.
Diagnosis banding harus dibandingkan dengan kista radikular, tumor odontogenik
keratokistik, ameloblastoma, bahkan plasmasitoma ekstramedular pada maksila.

Kista dentigerosa dapat menetap asimtomatik dalam beberapa tahun. Terapi


termasuk enukleasi kista dan impaksi gigi ketiga molar atas. Pemeriksaan histopatologi
adalah penting. Terapi multidisiplin diberikan oleh dokter gigi dan otolaringologis terkadang
direkomendasikan; pada faktanya, 54% pasien telah dilaporkan pergi ke dokter gigi untuk
menterapi sinusitis maksilaris. Walaupun gejala awalnya dapat membaik dengan pemberian
antibiotik, jika patologi dental tetap tidak ditangani, terapi utamanya akan gagal dan gejala
akan kembali.

Perihal displasia fibrosa, pembedahan adalah kontroversial. Jika lesi stabil dengan
tidak ada pertumbuhan, evaluasi tahunan sudah cukup. Reseksi remodeling harus dilakukan
untuk memperbaiki kualitas hidup pasien dan meminimalisir gejala seperti eksoftalmia,
obstruksi hidung, dan lain-lain. Akan tetapi, remodelling tidak harus dilakukan hingga fase
pertumbuhan tercaoai, dan masih terdapat resiko rekurensi (25%).

Lee menterapi displasia fibrosa dari sinus maksilaris melalui dekortikasi melalui
dinding anterior dari sinus maksilaris dengan menghilangkan seluruh jaringan fibrosa hingga
kavitas sinus menjadi bersih. Menurut Lee, dekortikasi internal dari displasia fibrosa efektif
dalam meminimalisir perluasan eksternal. Pada sisi lain, Yang menyarankan subtotal atau
reseksi total dari lesi dan rekonstruksi dengan graft tulang. Reseksi remodelling dapat
menyebabkan komplikasi seperti oftalmoparesis rekuren yang nyeri disebabkan oleh
keterlibatan dari fisura orbital superior.

Sontakke telah melaporkan 2 kasus dari obliterasi komplit dari sinus maksilaris
sebagai hasil dari displasia fibrosa. Ketika hal tersebut mempengaruhi sinus maksilaris, FD
dapat menggantikan lantai orbital dan kemudian fraktur dapat terjadi pada tulang yang
terlibat. Juga pada kasus kompresi saraf trigeminal telah dilaporkan.

Komunitas dokter gigi bersikap waspada dalam menterapi pasien dengan displasia
fibrosa tetapi Petrocelli pada tahun 2014 melakukan implan rehabilitasi pada mandibula
pada pasien dengan displasia fibrosa. Menurut Bajwa implan gigi dapat dipertimbangkan jika
lesi tidak bergerak. Tidak terdapat banyak kasus yang dipublikasi, mungkin terdapat resiko
tinggi dari kegagalan implan bahkan pembentukan osteomielitis. Tidak didapatkan adanya
komplikasi setelah perbaikan dental, ekstraksi gigi atau terapi orotdontis.

Kesimpulan

Pada kasus sinusitis odontogenik, pemeriksaan menyeluruh adalah penting


sebagaiman bukti dari laporan kasus pada stui ini, dimana sinusitis meyebabkan molar
ektopik ketiga terkait dengan kista dentigerosa diikuti oleh displasia fibrosa yang awalnya
tidak diketahui dan kemudian didiagnosis pada pemeriksaan tindak lanjut beberapa bulan
setelahnya.

Anda mungkin juga menyukai