Anda di halaman 1dari 10

JOURNAL READING BEDAH MULUT

“Odontogenic keratocyst arising in the maxillary sinus: A rare case report”

Oleh :
Daniella Lunetta Sekar Maheswari
220160100111022

Pembimbing :
drg. Ariyati Retno P., M.Kes

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022
INFORMASI JURNAL

Judul : Odontogenic keratocyst arising in the maxillary sinus: A rare


case
report
Penulis : H. S. Sheethal, Kavita Rao, Umadevi H. S, Keerti Chauhan
Penerbit : Journal of Oral and Maxillofacial Pathology
Tahun : 2019
Journal rank : Q2
DOI : 10.4103/jomfp.JOMFP_319_18

I. Pendahuluan
Odontogenic keratocyst (OKC) berada di urutan ketiga sebagai kista
odontogenik yang paling umum terjadi dan memiliki prevalensi sebesar 12% dari
semua kista yang terjadi di daerah maksilofasial. Perubahan paling signifikan
dalam klasifikasi developmental odontogenic cyst tahun 2017 adalah bahwa
istilah "tumor odontogenik keratocystic" dipindahkan dari kategori neoplastik
(2005) ke kategori kista. Istilah odontogenic keratocyst pertama kali digunakan
untuk menggambarkan semua kista odontogenik yang mengandung formasi
keratin pada tahun 1950-an. Istilah keratocyst odontogenik identik dengan kista
primordial dan digunakan dalam klasifikasi tahun 1992. Klasifikasi tahun 2005
mengklasifikasi ulang lesi unik ini sebagai neoplasma dan menamainya sebagai
"tumor odontogenik keratocystic" karena tingkat kekambuhan yang tinggi,
perilaku klinis yang agresif, asosiasi dengan sindrom karsinoma sel basal nevoid
dan mutasi pada patched (PTCH) tumor suppresor gene. Dalam klasifikasi 2017,
OKC dikembalikan ke terminologi OKC yang asli dan diterima dengan baik
karena banyak makalah menunjukkan bahwa mutasi gen PTCH dapat ditemukan
pada lesi non-neoplastik, termasuk kista dentigerous, dan banyak peneliti
menemukan bahwa resolusi kista setelah marsupialisasi tidak kompatibel dengan

1
proses neoplastik. Vered et al., menemukan bahwa profil imun dari sonic
hedgehog (SHH)-related protein dan SHH-induced bcl-2 oncoprotein juga dapat
menentukan fenotipe OKC individu dan perilaku biologisnya.
Keterlibatan sinus maksilaris dalam kasus OKC jarang terjadi, hanya <1%
kasus dilaporkan dalam literatur. Sinus maksilaris adalah bagian dari sinus
paranasal, berdekatan dengan gigi yang berkembang dan apeks akar premolar
dan molar. Sinus maksilaris rentan terhadap infeksi odontogenik, kista dan tumor
yang berasal dari odontogenik. Diagnosis lesi tersebut cukup sulit dilakukan
karena radiografi rahang atas tidak dapat menunjukkan gambaran yang khas
karena adanya tumpang tindih dari berbagai struktur.
Dalam laporan kasus ini, penulis membahas mengenai kasus OKC dalam
kaitannya dengan molar ketiga maksila yang ektopik di sinus maksilaris seorang
wanita berusia 15 tahun.
II. Laporan kasus
Seorang wanita berusia 15 tahun datang dengan keluhan nyeri dan keluarnya
nanah di daerah gigi belakang kiri atas selama 3 bulan. Rasa sakitnya hilang
timbul, tumpul, dengan intensitas sedang dan menjalar hingga ke telinga dan
mata. Keluhannya juga terkait dengan keluarnya nanah pada daerah gigi molar
kedua kiri atas selama 3 bulan. Pasien mengunjungi dokter setempat seminggu
sebelumnya di mana pasien sudah diberi beberapa obat, tetapi rasa sakitnya tidak
berkurang.
Hasil pemeriksaan intraoral menunjukkan pembengkakan difus pada aspek
bukal dengan hilangnya lipatan mukobukal gigi 26 dan 27. Pembengkakan ini
memiliki konsistensi lunak hingga keras, dan teraba lunak saat dilakukan palpasi
sehubungan dengan lipatan mukobukal, mukosa alveolar dalam kaitannya dengan
26, 27 dan distal gigi 27. Pemeriksaan jaringan keras menunjukkan hilangnya
gigi 28 dan nyeri pada perkusi gigi 26 dan 27. Pemeriksaan orthopantomogram
menunjukkan lesi radiolusen dengan batas tidak jelas terkait dengan impaksi
molar ketiga yang terdislokasi ke sinus maksilaris kiri. Cone beam computed

2
tomography menunjukkan kesan lesi destruktif besar tunggal yang melibatkan
dinding lateral dan posterior sinus maksilaris.

Aspirasi dari lesi kistik mengungkapkan adanya skuam dan sel eosinofilik
yang melimpah, yang menunjukkan kondisi keratosis. Oleh karena itu, dilakukan
enukleasi kista bersamaan dengan ekstraksi gigi 28 dan antrostomi di bawah
anestesi umum, kemudian spesimen dikirim untuk pemeriksaan histopatologis.
Pemeriksaan mikroskopis mengungkapkan epitel skuamosa bertingkat
parakeratinisasi dengan ketebalan 6-8 lapisan dengan permukaan bergelombang.
Sel-sel basal menunjukkan nukleus hyperchromatism dan palisading. Epitel
kistik dan antarmuka dinding datar dan menunjukkan pelepasan di area fokus.
Dinding kistik berupa fibrous dengan infiltrasi sel inflamasi yang cukup padat.
Area fokal dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia pseudostratifikasi yang
merupakan karakteristik dari sinus maksilaris. Berdasarkan fitur histopatologis,
pasien di diagnosis sebagai OKC pada sinus maksilaris.

3
III. Pembahasan
OKC adalah developmental odontogenic cyst yang umum terjadi dengan
prevalensi 10%-12% dari semua kista rahang. Toller dan Browne menjelaskan
OKC sebagai kista yang berasal dari dental lamina atau sisa-sisanya dan sel basal
dari epitel di atasnya. Asal usul OKC pada sinus maksilaris masih kontroversial,
mungkin timbul dari terperangkapnya epitel odontogenik di dalam sinus karena
hubungan anatomis yang erat antara lamina gigi dan antrum yang berkembang
atau primordium kaninus dan dasar sinus.
Patologi sinus maksilaris dapat terjadi ketika membran Schneiderian dilewati
oleh karena kondisi seperti patologi odontogenik tulang maksila. Infeksi
odontogenik dan patologi menyumbang 11%-12% dari kasus sinusitis maksilaris.
OKC biasanya terjadi sebagai lesi tunggal, tetapi jika terjadi secara multipel, lesi
dapat dikaitkan dengan sindrom sel basal nevoid (sindrom Gorlin-Goltz).
Insidensi puncak terjadi pada dekade kedua dan ketiga kehidupan dengan
penurunan bertahap setelahnya, dan frekuensinya lebih tinggi pada laki-laki
daripada perempuan.
OKC dapat terjadi pada maksila dan mandibula, namun lebih sering terjadi
pada mandibula. OKC paling umum terjadi pada area gigi premolar mandibula,
area molar, angulus dan ramus mandibula, tetapi di rahang atas, terlihat paling
sering di daerah kaninus, diikuti oleh tuberositas molar ketiga dan rahang atas
sisi anterior. Dalam sebagian besar kasus, OKC muncul sebagai lesi periapikal.
Dalam laporan kasus ini, penulis membahas sebuah kasus yang terjadi pada usia
yang cukup muda, dan lesi di sinus serupa dengan kasus yang dilaporkan oleh
Silva et al.
Erupsi gigi ektopik di daerah selain rongga mulut jarang terjadi, meskipun ada
laporan tentang gigi di lokasi yang tidak biasa, seperti rongga hidung, kondilus
mandibula, proses koronoid, dan palatum. Salah satu tempat nondental di mana
gigi ektopik telah diamati adalah sinus maksilaris. Etiologi erupsi ektopik belum
sepenuhnya diklarifikasi, tetapi banyak kemungkinan etiologi telah

4
dikemukakan, yaitu trauma, infeksi, anomali perkembangan, dan kondisi
patologis, seperti kista odontogenik. Berkaitan dengan kista, diketahui bahwa
ketika pertumbuhan kista odontogenik berlanjut, kista dapat mengganggu ruang
sinus dan menggeser dinding sinus, hal ini dapat menyebabkan pergeseran benih
gigi oleh perluasan kista, dan akhirnya menyebabkan erupsi gigi “ektopik”.
Secara radiografis, OKC tampak sebagai lesi radiolusen dengan batas jelas,
dapat berupa lesi unilokular atau multilokular. Dalam laporan kasus ini,
pemeriksaan radiografi dan computed tomography scan menunjukkan obliterasi
sinus maksilaris kiri dengan molar ketiga ektopik di dalamnya. Eksplorasi bedah
telah mengungkap status patologis yang sebenarnya dengan gambaran
histopatologis klasik OKC.
Gambaran kasus yang menunjukkan impaksi gigi molar ketiga, lokasi dan
sinus yang mengering membuat penulis secara klinis mempertimbangkan kasus
ini sebagai kista dentigerous yang terinfeksi. Oleh karena itu penting bagi klinisi
untuk mempertimbangkan OKC dalam diagnosis diferensial untuk lesi tersebut
ketika terjadi pada pasien yang lebih muda.
IV. Kesimpulan
OKC di sinus maksilaris jarang terjadi, dan biasanya tidak menunjukkan
gambaran klinis dan radiografik yang khas karena bagian sentralnya berada di
dalam tulang rahang. Perbedaan antara OKC dan kista rahang lainnya adalah
potensi perilaku agresif dan kekambuhannya. Untuk menambah literatur, penulis
menunjukkan adanya OKC di sinus maksilaris. Selain itu, tindak lanjut jangka
panjang harus dilakukan untuk mendeteksi kekambuhan yang terkait dengan lesi
ketika terjadi di sinus maksilaris.

5
JURNAL ASLI

1
JURNAL ASLI

2
JURNAL ASLI

3
JURNAL ASLI

Anda mungkin juga menyukai