PENDAHULUAN
Sinus maxillaris biasanya dianggap sebagai daerah tak bertuan oleh para dokter gigi,
dan lubang masuk ke daerah antrum seringkali keliru ditafsirkan sebagai akibat
penanganan yang kurang hati-hati. Namun, pada pembedahan dentoalveolar yang
melibatkan maksilla, peristiwa ini kadang tidak bisa dihindarkan.
Daerah sinus merupakan pertemuan keadaan patologis pada gigi dan paranasal.
Patologis pada rongga mulut dapat meluas ke sinus, dan patologis dalam sinus dapat
mencapai prosesus alveolaris maksilla. Kedekatan anatomis dan keterlibatan patologis
dapat menyebabkan kompleks gejala yang membingungkan, sehingga penderita sering
kali megelirukan symptom yang satu dengan yang lainnya. Untuk mengenali dan
membedakan tanda-tanda klinis yang timbul, dibutuhkan pemahaman tentang
perkembangan dan dan anatomi dari sinus maxillary. Pengetahuan mengenai hubungan
antara pembentukan geligi maupun erupsi geligi dan antrum merupakan persyaratan.
Pemahaman tentang saraf dan suplay vascular yang sama antara sinus dan gigi rahang
atas di dekatnya juga membantu memberikan dasar penjelasan yang logis untuk
keadaan klinis dan symptom-simptom tertentu.
Setiap tindakan dan perawatan yang dilakukan dalam rongga mulut dapat
menyebabkna terjadinya komplikasi, salah satunya adalah terjadinya oroantral fistula.
Oroantral fistula terjadi karena adanya rongga patologis antara rongga mulut dengan
antrum. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas dengan lebih mendetail
mengenai komplikasi setelah pencabutan gigi khususnya mengenai oroantral
komunikasi, sebagai bekal pengetahuan untuk para calon dokter gigi maupun dokter
gigi untuk menangani pasien jika terjadi hal seperti ini di klinik.
1
1.2 Rumusan Masalah
ANAMNESIS
PEMERIKSAAN
OAC
GEJALA ETIOLOGI
KLINIS
PENATALAKSAN
AAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
Skenario 3
Seorang perempuan berusia 40 tahun datang ke RSGM dengan keluhan ingin mencabut gigi
geraham kiri atas karena berlubang besar. Pemeriksaan intra oral gigi 26 nekrosis pulpa.
Pasien dilakukan pencabutan. Setelah gigi dicabut, terlihat di pucuk akar palatal ada tulang
yang ikut terangkat. Dokter gigi curiga terjadi oroantral komunikasi, karena daerah kerja
yang dekat dengan sinus maksilaris. Kecurigaan itu bertambah saat pasien diminta
berkumur ternyata dirasakan airnya mengalir kehidung. Untuk memastikan adanya
oroantral komunikasi dokter gigi melakukan nose blowing test dan dokter gigi tersebut
segera mempersiapkan perawatannya.
Klarifikasi istilah:
1. Oroantral komunikasi
Suatu keadaan patologis terjadinya hubungan antara rongga hidung/antrum dengan
rongga mulut yang terjadi terutama pada gigi premolar 2 dan molar 1 rahang atas.
2. Nose blowing test
Suatu test untuk mengetahui adanya perforasi dari sinus maksilaris. Dengan
menggunakan kapas diletakkan di soket lalu pasien diintruksikan untuk bernafas
melalui hidung.jika ada gelembung dan darah maka itu dikatakan pasien tersebut
mengalami KOA.
3. Sinus maksilaris
suatu rongga yg terdapat pada belakang rongga hidung, sinus maksilaris ini yang terbesar
daripada sinus paranasal dan mengalir ke meatus tengah hidung dan letaknya berada didekat
dengan gigi RA posterior
3
2.1 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan anamnesis dan pemeriksaan
klinis oroantral komunikasi (OAC)
2.1.1 anamnesis
2. nose blowing test yaitu selembar kapas didekatkan pada soket dan pasien
diinstruksikan untuk bernafas dari hidung sambil menutup nostril dan membuka mulut.
Akan tampak gerakan pada selembar kapas tadi atau akan nampak busa pada darah di
soket, selama berkumur, cairan akan keluar lewat hidung. Povidone iodine yang
dicampur air dapat dipakai untuk membedakan antara sekresi nasal dengan cairan
kumur; yaitu ujung suction jika didekatkan dekat fistula akan menghasilkan suara yang
mirip dengan suara botol kosong yang ditiup
1. Radiografi
Evaluasi radiografis dari sinus paling bagus diperoleh dengan Waters View dengan muka
menghadap ke bawah dan waters view dengan modifikasi tegak. Gambaran yang sering didapat
pada sinusitis akut adalah opasifikasi dan batas udara atau cairan. Sinusitis kronis seringkali
4
digambarkan dengan adanya penebalan membrane pelapis. Lesi jinak lainnya, misalnya mucocele
dan kista dentigerus, juga dapat terlihat dengan jelas. Dalam mendiagnosis trauma, penggunaan
foto panoramic, Waters view, oklusal, dan periapikal, dengan CT sangat membantu.
2.Tomografi/ CT
Pada trauma yang relative luas, opasifikasi timbul sebagai akibat perdarahan dalam sinus.
Fraktur terlihat berupa memutus kontinuitas dinding sinus, dasar orbita, atau lingkar orbita inferior.
BIla gigi atau akar gigi bergeser ke daerah antrum, maka keberadaannya dapat dipastikan dan
ditentukan lokasinya dengan film atau foto periapikal, yang didukung dengan foto oklusal.
Tomografi sinus akan sangat membantu dalam mendiagnosis fraktur dinding dasar orbita dan dalam
penggambaran luas lesi ganas/ jinak. Penggambaran dengan tomografi komputerisasi (CT)
memungkinkan penentuan luas kerusakan yang disebabkan oleh trauma secara lebih tepat, atau
perluasan lesi jinak atau keganasan.
Etiologi terjadinya KOA adalah komplikasi pasca ekstraksi gigi posterior rahang
atas atau patahnya akar palatal gigi molar, destruksi dasar sinus akibat kelainan periapikal,
perforasi dasar sinus dan membran sinus akibat pemakaian instrumen yang salah,
mendorong gigi atau akar gigi ke dalam sinus saat peencabutan gigi, derajat pneumatisasi
sinus, proses pembedahan pada sinus maksilaris atau pengambilan lesi kista yang besar,
infeksi kronik sinus maksilaris seperti osteomielitis, serta keganasan.Akar gigi molar
pertama dan kedua rahan g atas diduga memiliki hubungan yang dekat dengan sinus
maksilaris. Sering terj adi, akar tidak dilapisi lamina dura akibat inf eksi periapikal kronis,
sehingga apeks gigi berkontak langsung dengan tepi sinus.Saat pencabutan gigi besar
kemungkinan terdapat sebagian dasar sinus yang terbuka sehingga KOA terjadi. Namun,
5
pada tindakan bedah lainnya seperti odontektomi gigi molar ketiga atas yang terpendam,
apikoektomi, enukleasi suatu kista ata u kuretase radikal suatu tumor dapat pula menyeb
Jika KOA telah terjadi, seorang dokter gigi harus mampu mengevaluasi terjadinya
KOA dan menilai seberapa jauh KOA tersebut terjadi. Pada pasien dengan keadaan umum
yang baik tanpa kelainan sinus, maka jika diameter KOA yang terjadi < 2 mm, maka
tindakan yang perlu dilakukan hanya menekan soket dengan tampon selama 1-2 jam dan
memberikan instruksi pasca ekstraksi gigi dengan perlakuan khusus pada sinus (sinus
precaution), yaitu hindari meniup, menyedot-nyedot ludah, menghisap-hisap soket, minum
melalui sedotan atau merokok selama 24 jam pertama. Namun, jika KOA yang terjadi
berukuran sedang (diameter 2-6 mm), maka perlu tindakan tambahan yaitu meletakkan
sponge gauze serta penjahitan soket gigi secara figure of eight untuk menjaga agar bekuan
darah tetap berada dalam soket. Selain itu ditambah dengan pemberian instruksi sinus
precaution selama 10-14 hari dan pemberian obat-obatan antibiotika seperti penisilin atau
klindamisin selama 5 hari, serta dekongestan oral maupun nasal spray untuk menjaga
ostium tetap paten sehingga tidak terjadi sinusitis maksilaris. Jika ukuran KOA > 6 mm
maka sebaiknya dilakukan tindakan penutupan soket dengan flap.
6
BAB III
KESIMPULAN
Terjadinya KOA segera pasca pencabutan gigi posterior rahang atas sering dijumpai
oleh dokter gigi dalam praktek sehari-hari. Oleh karena itu seorang dokter gigi harus
memiliki pengetahuan tentang anatomi dan morfologi gigi rahang atas serta sinus
maksilaris agar terhindar dari komplikasi yang tidak diinginkan. Selain itu tidak kalah
pentingnya juga pembuatan radiografi periapikal yang adekuat sebelum pencabutan gigi
posterior rahang atas agar mengetahui besarnya pneumatisasi sinus, morfologi akar gigi
sehingga teknik pencabutan gigi dapat dipertimbangkan apakah dapat secara intra alveolar
atau trans alveolar. Setelah diagnosis KOA ditegakkan, maka penatalaksanaan terhadap
7
KOA harus segera dilakukan mulai dari yang sederhana yaitu penekanan dengan tampon,
instruksi sinus precaution, jahitan figure of eight di atas soket, hingga pembuatan flap
sehingga soket tertutup rapat. Apabila KOA tidak ditatalaksana dengan baik maka akan
berakibat timbulnya fistula atau terjadi infeksi pada sinus maksilaris.
8
DAFTAR PUSTAKA