Anda di halaman 1dari 43

ANALISIS PERUBAHAN STATUS GIZI PADA PASIEN

TUBERKULOSIS SETELAH PENGOBATAN 6 BULAN


DI RS PARU PROVINSI JAWA BARAT

ENENG DEWI LESTARI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Perubahan
Status Gizi pada Pasien Tuberkulosis Setelah Pengobatan 6 Bulan di RS Paru
Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

Eneng Dewi Lestari


NIM I14144011
ABSTRAK

ENENG DEWI LESTARI. Analisis Perubahan Status Gizi pada Pasien


Tuberkulosis Setelah Pengobatan 6 Bulan di RS Paru Provinsi Jawa Barat.
Dibimbing oleh CESILIA METI DIRIANI dan NAUFAL MUHARAM
NURDIN.

Penelitian ini bertujuan menganalisis status gizi pasien tuberkulosis (TB)


selama pengobatan 6 bulan serta menganalisis hubungan karakteristik subjek dan
karakteristik penyakit dengan perubahan status gizi setelah pengobatan. Desain
penelitian adalah studi prospektif melibatkan 62 subjek pasien TB yang memiliki
data lengkap di Rumah sakit Paru Provinsi Jawa Barat-Cirebon. Data yang
dikumpulkan adalah data sekunder meliputi karakteristik subjek (jenis kelamin,
umur, dan status pekerjaan), berat badan, dan karakteristik penyakit (pemeriksaan
awal Bakteri Tahan Asam/BTA, klasifikasi penyakit TB, dan penyakit penyerta)
yang diperoleh dari medical record. Data primer yang dikumpulkan adalah data
tinggi badan dengan pengukuran secara langsung oleh tenaga medis terlatih. Hasil
penelitian menunjukkan, setelah pengobatan TB 6 bulan terjadi peningkatan yang
signifikan rata-rata berat badan sebesar 3.14 kg (p<0.05) dan IMT sebesar 1.25
kg/m2 (p<0.05), konversi BTA positif menjadi negatif sebesar 35.5% serta
penurunan status gizi kurang (19.5%). Uji chi square menunjukkan bahwa umur
(p=0.034) dan pemeriksaan BTA awal (p=0.048) berhubungan dengan perubahan
status gizi. Akan tetapi, jenis kelamin (p=0.512), status pekerjaan (p=0.624),
klasifikasi penyakit TB (p=1.000), dan penyakit penyerta (p=0.739) tidak
berhubungan dengan perubahan status gizi.

Kata kunci: IMT, status gizi, tuberculosis.

ABSTRACT
ENENG DEWI LESTARI. Analysis of Changes In Nutritional Status Among
Tuberculosis Patients After 6 months of Medication in Lung Hospital West Java
Province.Supervised by CESILIA METI DWIRIANI and NAUFAL MUHARAM
NURDIN.

This research aims to analyze the nutritional status of tuberculosis (TB)


patients during medication and to analyze the relationship between
characteristics of subjects and description of the disease with changes of
nutritional status after six months of medication. The research used prospective
design involved 62 TB patients subject that has completed data in Lung Hospital
of West Java-Cirebon. The data used was secondary data included characteristics
of subjects (gender, age, employment status), weight and description of the
disease (first acid fast stain test, the classification of TB disease and
comorbidities of disease) which obtained from medical records. The primary data
was subject height which obtained by direct measurement. The results showed,
after 6 months of medication there was significant increased of body weight and
BMI with average 3.14 kg (p<0.05) and 1.25 kg/m2 (p<0.05), there was positive to
negative conversion of acid fast stain from (35.5%) and decreasing of
undernutrition (19.5%). Chi square test showed that age (p=0.034) and first acid
fast stain test (p=0.048) related to changes of nutritional status. However, gender
(p=0.512), employment status (p=0.624), classification of the disease (p=1.000)
and comorbidities of disease (p=0.739) not related to changes of nutritional
status.

Key words: BMI, nutritional status, tuberculosis.


ANALISIS PERUBAHAN STATUS GIZI PADA PASIEN
TUBERKULOSIS SETELAH PENGOBATAN 6 BULAN
DI RS PARU PROVINSI JAWA BARAT

ENENG DEWI LESTARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN
HUBUNGAN ANTARA BIOAVAILABILITAS INTAKE ZAT
BESI DENGAN STATUS ANEMIA REMAJA DI YOGYAKARTA DAN
PADANG

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dari
penelitian adalah Analisis Perubahan Status Gizi pada Pasien Tuberkulosis
Setelah Pengobatan 6 Bulan di RS Paru Provinsi Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc dan
dr Naufal Muharam Nurdin, S.Ked, M.Si selaku dosen pembimbing yang dengan
penuh kesabaran senantiasa meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan
bimbingan, arahan, dorongan, saran dan semangat untuk menyelesaikan skripsi
ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr drh Clara M Kusharto, M.Sc
selaku dosen pemandu seminar dan penguji sidang yang telah memberikan kritik
dan saran demi penyempurnaan skripsi ini. Dan tak lupa pula penulis ucapkan
terima kasih banyak kepada Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa
Barat beserta staf yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dana kepada
penulis untuk mengikuti program tugas belajar di IPB dan Direktur RS Paru
Provinsi Jawa Barat beserta staf yang telah memberikan kesempatan untuk
mengikuti program tugas belajar di IPB.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, anak, orang tua dan
keluarga besar yang selalu mendoakan penulis, memberikan semangat, motivasi
dan dukungan baik moril maupun materil. Di samping itu, terima kasih penulis
sampaikan kepada teman-teman Alih Jenis Departemen Gizi Masyarakat
Angkatan 8 atas semua saran, motivasi, bantuan dan dukungannya selama ini,
serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016

Eneng Dewi Lestari

.
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Hipotesis Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Kerangka Pemikiran 3
METODE 5
Desain, Tempat, dan Waktu 5
Jumlah Dan Cara Penarikan Sampel 5
Jenis Dan Cara Pengumpulan Data 6
Pengolahan dan Analisis Data 6
Definisi Operasional 8
HASIL DAN PEMBAHSAN 9
Gambaran Umum Subjek 9
Perubahan BTA Selama Pengobatan 12
Perubahan Berat Badan Selama Pengobatan 12
Perubahan Status Gizi (IMT) selama Pengobatan 13
Hubungan Antara Karakteristik Subjek dan Karakteristik Penyakit 14
dengan Perubahan Status Gizi Setelah Pengobatan
SIMPULAN DAN SARAN 21
Simpulan 21
Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 22
RIWAYAT HIDUP 28
DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengambilan data 6


2 Cara pengkategorian dan pengumpulan variabel penelitian 7
3 Sebaran subjek berdasarkan jenis kelamin, umur, domisili, dan status
penyakit 9
4 Sebaran subjek berdasarkan pemeriksaan BTA, Klasifikasi penyakit,
penyakit penyerta 10
5 Sebaran subjek berdasarkan status gizi sebelum pengobatan 11
6 Perubahan hasil pemeriksaan BTA sebelum dan sesudah pengobatan 12
7 Perubahan berat badan subjek selama pengobatan 13
8 Sebaran status gizi (IMT) sebelum pengobatan 14
9 Rata-rata dan Perubahan Status Gizi (IMT) selama pengobatan 15
10 Hubungan antara karakteristik subjek dan karakteristik penyakit dengan
perubahan status gizi setelah pengobatan 21

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 4
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit Tuberculosis (TB) disebabkan oleh kuman dari kelompok


Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA). Umumya menyerang paru dan disebut penyakit TB Paru,
tetapi dapat juga mengenai organ lain selain paru seperti kelenjar getah bening,
selaput otak, kulit, tulang, persendian, usus, ginjal, dan organ tubuh lain yang
disebut penyakit Ekstra Paru (Kemenkes 2014). Penyakit TB pada tahun 2014
mengakibatkan kematian 1.5 juta orang terdiri dari 890 000 laki-laki, 480 000
perempuan dan 140 000 anak-anak. Selain itu, perkembangan insiden penyakit TB
di dunia 10 tahun terakhir (2000-2015) mengalami kenaikan dari 8.4 juta pertahun
meningkat menjadi 10 juta pada tahun 2005 dan mengalami penurunan sedikit
sampai 9.6 juta pertahun pada tahun 2015 (WHO 2015).
Global Tuberculosis Report (2015) menyebutkan bahwa pada tahun 2014,
Indonesia menempati urutan kedua yang memiliki insiden kasus TB terbanyak.
Hasil survey Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan bahwa prevalensi
TB pada semua bentuk kasus pada tahun 2013-2014 terdapat 660 per 100 000
penduduk dan diperkirakan terdapat 1 600 000 orang dengan TB di Indonesia
(Ditjen P2-PL 2015). Jumlah kasus TB tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi
yang memiliki jumlah penduduk terbesar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Prevalensi penduduk Indonesia berdasarkan diagnosis TB paru oleh
tenaga kesehatan sebesar 0.4% dengan 5 wilayah provinsi TB paru tertinggi yaitu
Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten
(0.4%) dan Papua Barat (0.4%) (Riskesdas 2013).
Penyakit TB merupakan penyakit infeksi menular melalui udara yang bisa
membunuh sekitar dua juta orang pertahun (Farmer dan Keshavjee 2012). Sumber
penularan kuman melalui dahak penderita TB yang memiliki Basil Tahan Asam
(BTA) positif pada saat batuk di udara (Mahan dan Escott-stump 2008). Tanda
atau gejala yang sering ada pada penderita TB tergantung dari tempat kuman
berada dan bahkan tidak ada sama sekali keluhan. Keluhan yang paling mendasar
adalah batuk berdahak lebih dari 2 minggu disertai gejala tambahan yang lain
meliputi batuk campur darah, sesak nafas, berkeringat malam hari tanpa aktifitas,
demam lebih dari 1 bulan, berat badan menurun, lemas, dan tidak ada nafsu
makan (PPTI 2010).
Faktor yang menyebabkan penularan infeksi TB secara cepat adalah daya
tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan gizi kurang. Gizi
kurang dan tuberkulosis merupakan masalah yang saling berhubungan satu sama
lain. Status gizi kurang akan mempengaruhi imunitas dan akan menurunkan daya
tahan tubuh sehingga mudah terkena infeksi yang selanjutnya menjadi TB.
Sebaliknya, penyakit TB bisa mempengaruhi asupan makan dan menyebabkan
penurunan berat badan sehingga mempengaruhi status gizi (Cegielski dan Mc
Murray 2005). Keadaan penderita TB dengan status gizi kurang akan
memperlambat masa penyembuhan dan akan meningkatkan angka kematian
dibandingkan penderita TB dengan status gizi normal.
2

Penyakit TB bila tidak diobati setelah 5 tahun berakibat 50% pasien akan
meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang bagus, dan
25% akan menjadi kasus TB kronis yang menular (Kemenkes 2011). Beberapa
penelitian menyatakan bahwa pengaruh pemberian suplemen pada masa
pengobatan selama 6 bulan membawa dampak penambahan berat badan dengan
peningkatan massa lemak bukan massa protein sehingga membantu memulihkan
fungsi fisik sebelumnya, memperpendek masa penyembuhan, dan memungkinkan
kembali bekerja secara produktif (USAID 2008). Selain itu, pengaruh pengobatan
pada TB membawa dampak perubahan status gizi yang lebih baik pada fase
lanjutan dibandingkan dengan keadaan gizi sebelum pengobatan (Dewiyanti et al.
2011). Keadaan status gizi yang baik akan menghindarkan dari kekambuhan
penyakit TB (Sianturi 2014).
Besarnya pengaruh status gizi terhadap keberhasilan pengobatan TB,
membuat perbaikan gizi menjadi salah satu upaya untuk mengurangi penularan
dan pencegahan penyakit TB di Indonesia. Akan tetapi, selama ini belum banyak
dilakukan penelitian mengenai hubungan TB dengan gizi atau sebaliknya. Selain
itu, data penunjang status gizi subjek TB (tinggi badan) belum dilakukan disetiap
fasilitas pelayanan kesehatan (Puskesmas dan Rumah Sakit). Dengan demikian,
perlu dilakukan penelitian mengenai analisis profil status gizi pasien TB selama
pengobatan serta faktor yang berhubungan dengan perubahan status gizi.
Penelitian dilakukan di RS Paru Provinsi Jawa Barat, disebabkan penelitian ini
belum pernah dilakukan di RS tersebut. Selain itu, RS ini sebagai rujukan TB
sewilayah III meliputi daerah Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu
sehingga memiliki beragam kasus penyakit TB.

Perumusan Masalah

Penulis tertarik untuk menganalisis status gizi pasien selama pengobatan 6


bulan dan menganalisis hubungan karakteristik subjek dan karakteristik penyakit
TB dengan perubahan status gizi setelah pengobatan. Rumusan masalah penelitian
ini sebagai berikut:
1. Bagaimana status gizi pasien TB sebelum dan sesudah pengobatan 6
bulan?
2. Apa yang menyebabkan perubahan status gizi setelah pengobatan 6 bulan?

Tujuan

Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status gizi
pasien TB selama pengobatan 6 bulan serta hubungan karakteristik subjek dan
karakteristik penyakit TB dengan perubahan status gizi setelah pengobatan 6
bulan di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat.

Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi gambaran umum subjek di RS Paru Provinsi Jawa Barat
meliputi karakteristik subjek (jenis kelamin, umur,dan pekerjaan),
3

karakteristik penyakit (pemeriksaan BTA, penyakit penyerta, dan


klasifikasi penyakit), dan status gizi.
2. Menganalisis perubahan pemeriksaan BTA sebelum dan sesudah
pengobatan di RS Paru Provinsi Jawa Barat.
3. Menganalisis perubahan berat badan subjek selama pengobatan di RS Paru
Provinsi Jawa Barat.
4. Menganalisis status gizi (IMT) subjek selama pengobatan di RS Paru
Provinsi Jawa Barat.
5. Menganalisis hubungan karakteristik pasien dan karakteristik penyakit
terhadap perubahan status gizi setelah pengobatan di RS Paru Provinsi
Jawa Barat.

Hipotesis

1. Ada perbedaan (perubahan) antara status gizi sebelum dan sesudah


pengobatan selama 6 bulan.
2. Ada hubungan antara karakteristik subjek dan gambaran penyakit dengan
perubahan status gizi setelah pengobatan 6 bulan.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penting terhadap


para peneliti, mengenai gambaran umum status gizi subjek sebelum dan sesudah
pengobatan serta hubungan karakteristik subjek dan penyakit dengan perubahan
status gizi pasien TB paru setelah pengobatan di rumah sakit. Manfaat penelitian
bagi tempat yang dijadikan penelitian adalah untuk memberikan informasi penting
mengenai dampak gizi terhadap pengobatan, meningkatkan pelayanan kesehatan
dibidang pengobatan TB, membantu keberhasilan pengobatan TB yang dilakukan
di rumah sakit dan bisa digunakan sebagai monitoring evaluasi terhadap program
pengobatan TB di rumah sakit.

KERANGKA PEMIKIRAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh


mycobacterium tuberculosis yang bersifat menular (Farmer dan Keshavjee 2012).
Salah satu risiko penyebab penyakit TB adalah keadaan individu dan lingkungan
(Achmadi 2005). Keadaan individu meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan,
status gizi dan ekonomi sedangkan keadaan lingkungan meliputi ventilasi,
kepadatan hunian, dan kelembaban. karakteristik penyakit TB yang diperoleh dari
pemeriksaan dan diagnosis dokter meliputi pemeriksaan dahak (BTA positif dan
BTA negatif) untuk mengetahui jumlah kuman yang terdapat dalam dahak yang
akan mempengaruhi resiko penularan, klasifikasi penyakit TB yang dibedakan
dengan organ yang terinfeksi (organ paru atau organ lain) dan penyakit penyerta
selama pengobatan ataupun sebelum pengobatan yang menyebabkan penyakit TB.
Penyakit TB mengakibatkan asupan makanan menurun, malabsorpsi
nutrien serta perubahan metabolisme tubuh yang akan mengakibatkan status gizi
4

kurang. Keadaan gizi kurang pada pasien TB akan memperberat keadaan


penyakit, memperlambat masa penyembuhan dan meningkatkan resiko kematian.
Program Pengobatan TB yang dilakukan oleh pemerintah minimal 6 bulan akan
membawa dampak kesembuhan kepada penyakit dan perbaikan status gizi
(Manalu 2010). Faktor yang mempengaruhi perubahan status gizi pada pasien TB
setelah pengobatan 6 bulan salah satunya dilihat dari keadaan penyakit. Keadaan
penyakit pada pasien TB bisa dilihat dari karakteristik pasien (umur, jenis
kelamin, dan pekerjaan) dan karakteristik penyakit (pemeriksaan BTA, klasifikasi
penyakit TB dan penyakit penyerta).

Karakteristik Individu: Karakteristik Lingkungan:


Umur Ventilasi
Jenis Kelamin Kepadatan Hunian
Pekerjaan Kelembaban

Penderita TB
1. Pemeriksaan dahak
BTA
BTA+
Pengobatan 6 Bulan Penderita TB
2. Klasifikasi penyakit
- BTA
TB Paru
TB Ekstra Paru
3. Penyakit Penyerta
Ada
Tidak Ada

Pengobatan 6 Bulan
Status gizi Status Gizi

Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Hubungan yang mempengaruhi
: Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran


5

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitiann ini dilakukan menggunakan metode analitik studi prospektif


(prospective study) dengan mengikuti kejadian sampai pada periode tertentu
artinya pengumpulan data dilakukan dengan melihat efek kejadian penyakit dan
ditelesuri variabel yang mempengaruhinya (Notoatmodjo 2012). Lokasi penelitian
bertempat di RS Paru Provinsi Jabar, Cirebon Jawa Barat. Pemilihan tempat
penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan tempat penelitian
sesuai dengan kriteria dan karakteristik penelitian yang merupakan Rumah Sakit
rujukan diwilayah III Cirebon. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2016 dengan
menggunakann data RS periode bulan Mei - Desember 2015.

Jumlah dan Cara Penarikan Sampel

Populasi dari penelitian adalah semua pasien TB baru yang telah melakukan
pengobatan minimal 6 bulan pada register books DOTS di RS Paru Provinsi Jawa
Barat periode Mei Desember 2015. Subjek dari penelitian adalah semua pasien
TB baru yang memiliki data lengkap sesuai dengan kriteria populasi. Pemilihan
subjek ditentukan secara survei berdasarkan kriteria populasi yang telah
ditetapkan. Adapun kriteria populasi sebagai berikut:

Kriteria Inklusi
a. Subjek penelitian ini adalah subjek yang sudah melakukan pengobatan
minimal 6 bulan dan dinyatakan sudah melakukan pengobatan lengkap atau
sembuh periode bulan Mei-Desember 2015 pada register book.
b. Subjek bukan pindahan dari puskesmas, rumah sakit dan balai pengobatan
kesehatan lainnya.
c. Subjek memiliki umur 18 tahun pada saat dinyatakan selesai melakukan
pengobatan.
d. Subjek memiliki data berat badan tiap bulan selama pengobatan dan data
tinggi badan minimal 1kali pengukuran selama pengobatan yang dilakukan
oleh petugas kesehatan.
e. Subjek memiliki data gambaran umum pemeriksaan penyakit yang lengkap
meliputi pemeriksaan BTA awal, penyakit penyerta dan diagnosa penyakit.

Kriteria Ekslusi
a. Subjek melakukan pengobatan dilanjutkan di luar Puskesmas.
b. Subjek menderita kelainan kongenital atau sindrom bawaan, tumor yang
besar.
c. Subjek mempunyai penyakit kronis yang mempengaruhi berat badan seperti
asma.
6

Jumlah Subjek yang diambil untuk penelitian ini sebanyak 62 orang dari
total populasi 149 orang yang sudah melakukan pengobatan lengkap pada periode
Mei-Desember 2015 di RS Paru Provinsi Jawa Barat.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder dan primer.
Data sekunder diperoleh dari medical record dan register books DOTS pasien TB
rumah sakit meliputi data karakteristik subjek ( jenis kelamin, umur, dan status
pekerjaan), berat badan, dan karakteristik penyakit (pemeriksaan BTA awal,
klasifikasi penyakit TB, dan penyakit penyerta), sedangkan data primer adalah
data tinggi badan yang diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung oleh
petugas medis. Data yang dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data


No Variabel Jenis Data Cara Pengumpulan Data
1. Karakteristik Nama, Umur, Jenis Kelamin Data yang ada di medical record
sampel dan pekerjaan meliputi, nama, umur, jenis kelamin
dan pekerjaan.
2. Antropometri Berat Badan Data medical record, hasil
sampel pengukuran tenaga medis setiap
datang berobat.
Tinggi Badan Pengukuran dilakukan oleh petugas
minimal 1x selama pengobatan
dibawah supervisi ahli gizi. Alat
ukur menggunakan Health Scale
SMIC dengan ketelitian 0.5 cm dan
kapasitas maksimal pengukuran
adalah 2 meter.
3 Karakteristik Pemeriksaan BTA awal dan Data medical record subjek hasil
penyakit akhir pengobatan pemeriksaan sputum BTA awal dan
akhir pengobatan dari pemeriksaan
Lab.
Penyakit penyerta Medical record meliputi diagnosa
tambahan dari dokter selain TB
seperti penyakit DM, liver dan
HIV.
Klasifikasi penyakit Medical record meliputi TB paru
atau TB ekstra Paru.

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang digunakan dalam penelitian menggunakan data yang diperoleh


dari medical record, data loog book DOTS atau buku registrasi subjek, dan hasil
pengukuran yang dilakukan oleh petugas kesehatan atas permintaan peneliti. Data
yang telah dikumpulkan, selanjutnya dianalisis menggunakan program komputer
Microsoft Excell 2010 dan Statistical Program Social Science (SPSS) versi 16.0.
Sebelum dilakukan analisis data, variabel dikategorikan. Cara pengkategorian
variabel disajikan pada Tabel 2.
7

Tabel 2 Cara pengkategorian dan pengelompokan variabel penelitian


Variabel Kategori Sumber Acuan
Umur 1. 15 49 tahun
Nurjana M A (2013)
2. 50 tahun
Jenis Kelamin 1. Laki-laki Medical record RS
2. Perempuan Paru Provinsi Jawa
Barat (2015)
Pekerjaan 1. Bekerja
2. Tidak bekerja BPS (2016)
Status gizi 1. Sangat kurus ( IMT< 17)
2. Kurus (IMT 17 - < 18.5)
3. Normal (IMT 18.5 25 Kemenkes (2014)
4. Gemuk (IMT 25.1 27)
5. Obesitas (IMT > 27)
Perubahan berat badan 1. Naik
2. Turun
3. Tetap
Perubahan IMT 1. Naik
2. Tidak Naik (IMT tetap dan
Turun)

Perubahan status gizi 1. Naik


2. Tidak Naik Dodor (2008)
(berdasarkan perubahan IMT)
Pemeriksaan BTA awal dan 1. Negatif
Kemenkes (2014)
akhir pengobatan 2. Positif
Klasifikasi penyakit 1. TB paru
Kemenkes (2014)
2. TB ekstra paru
Penyakit penyerta 1. Ada Medical record Rs
2. Tidak ada Paru Provinsi Jawa
Barat (2015)

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini melalui 2 tahapan yaitu
analisis deskriptif (univariate) dan analisis bivariate. Variabel dependen dari
penelitian adalah perubahan status gizi setelah pengobatan sedangkan untuk
variabel independen adalah karakteristik subjek (jenis kelamin, umur dan status
pekerjaan) dan karakteristik penyakit (pemeriksaan BTA awal, klasifikasi
penyakit dan penyakit penyerta). Data penunjang status gizi meliputi data tinggi
badan dan berat badan yang diperoleh dari pengukuran selama pengobatan.
Data variabel perubahan berat badan, IMT dan status gizi diperoleh dari
perhitungan selisih perubahan selama pengobatan. Perubahan berat badan terdiri
dari perubahan berat badan bulan ke-2 pengobatan dan bulan ke-6 pengobatan.
Analisis perubahan berat badan dilakukan pada bulan tersebut dikarenakan untuk
melihat efek pengobatan TB pada fase awal atau intensif (bulan ke-2 pengobatan)
dan fase lanjutan (bulan ke-6 pengobatan). Perubahan berat badan pada bulan ke-2
diperoleh dari selisih berat badan bulan ke-2 dengan berat badan sebelum
pengobatan, sedangkan perubahan pada bulan ke-6 pengobatan diperoleh dari
selisih antara berat badan bulan ke-6 dengan berat badan sebelum pengobatan.
Perubahan IMT diperoleh dari selisih IMT pada bulan ke-6 pengobatan dengan
IMT sebelum melakukan pengobatan. Untuk data perubahan status gizi dilihat
berdasarkan perubahan nilai IMT dari selisih IMT pada bulan ke-6 pengobatan
dengan IMT sebelum melakukan pengobatan.
8

Uji normalitas dilakukan pada data berat badan bulan ke-0, bulan ke-2
pengobatan, dan bulan ke-6 pengobatan menggunakan uji Kolmogorov-smirnov.
Hasil uji menunjukkan bahwa data berat badan tidak terdistribusi dengan normal
sehingga dilakukan transformasi dan hasil uji normalitas menunjukkan data berat
badan terdistribusi secara normal. Begitu juga yang dilakukan untuk data IMT
pada bulan ke-0, bulan ke-2, dan bulan ke-6 pengobatan dalam penentuan
perbedaan status gizi. Uji statistik yang digunakan untuk menganalisis perubahan
berat badan dan status gizi menggunakan T-test.
Data bivariate terhadap analisis yang berhubungan dengan perubahan status
gizi dilakukan dengan melihat perubahan nilai IMT menggunakan uji chi-square
dan fisher exact. Fisher exact test digunakan jika dalam analisis tidak memenuhi
uji chi-square dengan nilai expected kurang dari 5 seperti pada variabel klasifikasi
penyakit TB dan penyakit penyerta.

Definisi Operasional

Pasien TB Baru adalah orang atau pasien yang berobat ke RS Paru Provinsi Jawa
Barat, memiliki diagnosa TB olah dokter berdasarkan pemeriksaan dahak
dan rontgen, melakukan pengobatan minimal 6 bulan, disebut pasien baru
berdasarkan register books DOTS dan belum pernah melakukan
pengobatan TB di fasilitas lain atau kurang dari satu bulan.
Pengobatan TB 6 Bulan adalah suatu kegiatan pengobatan terhadap pasien TB
dengan melakukan pematauan atau pemeriksaan selama 6 bulan berturut-
turut tanpa putus serta mengkonsumsi obat yang diberikan setiap hari
selama 6 bulan.
Penyakit penyerta adalah penyakit tambahan atau yang diderita pasien selain TB
paru selama melakukan pengobatan TB yang ditulis pada medical record.
BTA adalah hasil pemeriksaan lab yang menunjukkan hasil pengecekan dahak
pasien yang didiagnosa penyakit TB paru meliputi pengecekan awal
pengobatan dan akhir pengobatan yang ditulis pada data medical record.
Pemeriksaan BTA Awal adalah hasil pemeriksaan BTA yang dilakukan pada
awal pengobatan.
Pemeriksaan BTA Akhir adalah hasil pemeriksaan BTA yang dilakukan pada
akhir pengobatan.
Status Gizi meliputi status gizi awal pengobatan dan akhir pengobatan
berdasarkan IMT yang didapat dari data penimbangan berat badan dan
tinggi badan pada awal pengobatan serta pengobatan terakhir diukur
menggunakan rumus berat badan dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat.
Klasifikasi Penyakit adalah hasil diagnose dokter yang menunjukkan pasien
termasuk kedalam TB paru atau TB ekstra paru.
Perubahan BB adalah hasil pengurangan antara berat badan akhir pengobatan
dengan awal pengobatan baik pada fase intesif (bulan ke-2) ataupun fase
lanjutan (bulan ke-6) bertujuan untuk melihat efek dari pengobatan
terhadap perubahan berat badan selama pengobatan.
Perubahan status gizi adalah hasil pengurangan antara IMT bulan ke-6 dengan
awal pengobatan yang bertujuan melihat tren perubahan IMT selama
pengobatan.
9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Subjek

Karakteristik Subjek
Subjek merupakan pasien rawat jalan yang melakukan pengobatan TB
minimal 6 bulan di RS Paru Provinsi Jawa Barat. Jumlah subjek yang diteliti
berjumlah 62 orang, terdiri dari 35 orang laki-laki dan 27 orang perempuan.
Sebagian besar dari keseluruhan subjek (64.5%) berada pada kelompok umur
dewasa 18-45 tahun dan tergolong umur produktif yang berasal dari daerah-
daerah di sekitar rumah sakit yaitu Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu,
Bekasi, dan Karawang. Subjek penelitian sebagian besar bekerja (64.5%) dengan
jenis pekerjaan adalah PNS, Polisi/TNI, petani, buruh, pedagang,
pelajar/mahasiswa dan ibu rumah tangga bahkan ada yang tidak bekerja.
Karakteristik subjek dari hasil penelitian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan jenis kelamin, umur, domisili, dan status
pekerjaan
Karakteristik subjek n %
Jenis kelamin
Laki-laki 35 56.5
Perempuan 27 43.5
Total 62 100.0
Umur (Tahun)
18-25 14 22.6
26-35 16 25.8
36-45 10 16.1
46-55 13 21
56-65 7 11.3
>65 2 3.2
Total 62 100.0
Alamat subjek
Cirebon 40 64.5
Kuningan 5 8.1
Majalengka 11 17.7
Indramayu 4 6.5
Bekasi 1 1.6
Karawang 1 1.6
Total 62 100
Status Pekerjaan
Bekerja 34 54.8
Tidak bekerja 28 45.2
Total 62 100.0
10

Karakteristik Penyakit
Karakteristik penyakit berdasarkan diagnosa yang dilakukan oleh dokter
dan hasil pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan dahak berupa BTA
awal pengobatan, klasifikasi penyakit TB, dan penyakit penyerta. Sebagian besar
subjek yang menderita penyakit TB pada penelitian ini memiliki hasil
pemeriksaan BTA awal negatif (64.5%) dibandingkan dengan BTA positif. Jenis
klasifikasi penyakit TB yang terbanyak adalah TB paru (88.7%) dan sebagian
besar TB tanpa penyakit penyerta lainnya. Penyakit penyerta yang ada pada
subjek diantaranya DM, kolesterol, hipertensi, DIH dan asam urat. Karakteristik
penyakit dari hasil penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran subjek berdasarkan pemeriksaan BTA, klasifikasi penyakit dan


penyakit penyerta.
Karakteristik penyakit n %
Pemeriksaan BTA awal
Negatif 40 64.5
Positif satu 10 16.1
Positif dua 5 8.1
Positif tiga 7 11.3
Total 62 100.0
Klasifikasi penyakit TB
TB Paru 55 88.7
TB ekstra paru 7 11.3
Total 62 100.0
Penyakit Penyerta
Tidak ada 49 79.0
Ada 13 21.0
Total 62 100.0

Status gizi
Status gizi adalah gambaran kesehatan sebagai refleksi dari apa yang
dikonsumsi, bersumber dari pangan dan penggunaanya oleh tubuh (Anwar dan
Riyadi 2009). Penilaian status gizi salah satunya bisa dilakukan secara langsung
menggunakan metode antropometri dengan aplikasi indeks massa tubuh (IMT)
atau Body Mass Indeks (BMI). IMT merupakan salah satu metode yang murah,
mudah dan sederhana untuk menilai status gizi individu, tetapi tidak bisa
mengukur lemak tubuh. Pengukuran IMT dilakukan dengan cara membagi berat
badan dalam satuan kilogram dengan tinggi badan dalam satuan meter kuadrat
(Gibson 2005).
Selama ini, fasilitas pelayanan kesehatan yang menjadi tempat penelitian
hanya melakukan pengukuran berat badan untuk semua pasien TB yang dirawat.
Hal tersebut disebabkan data berat badan sangat diperlukan untuk menghitung
dosis penggunaan obat yang diberikan oleh dokter terhadap pasien TB. Selain itu,
data berat badan sebagai salah satu indikator keberhasilan dari pengobatan. walau
demikian, data tinggi badan tetap diperlukan untuk melihat status gizi selama
pengobatan, sehingga peneliti meminta melakukan pengukuran berat badan untuk
melihat tren status gizi pada pasien TB selama pengobatan.
11

Penilaian status gizi penting dilakukan terhadap subjek penderita penyakit


TB, karena status gizi subjek akan mempengaruhi kesembuhan, penularan bahkan
kekambuhan penyakit. Subjek yang memiliki status gizi kurang akan mengalami
resiko kekambuhan lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang memiliki status
gizi baik atau normal (Sianturi 2013). Selain itu, terjadinya peningkatan status gizi
selama pengobatan dengan parameter peningkatan nilai IMT pada subjek TB,
akan mengurangi penurunan kejadian TB positif (USAID 2008). Penilaian status
gizi berdasarkan IMT sebelum pengobatan pada penelitian ini disajikan pada
Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan status gizi (IMT) sebelum pengobatan


Status Gizi (IMT-kg/m2) n %
Sangat kurus (<17) 22 35.5
Kurus (17-,18.5) 13 21.0
Normal (18.5-25) 23 37.1
Gemuk (25.1-27) 2 3.2
Obese (>27) 2 3.2
Total 62 100.0

Rata-rata berat badan, tinggi badan, dan IMT pada awal pengobatan yaitu
48.17 kg, 159.14 cm dan 18.95 dengan status gizi subjek yang sebagian besar
termasuk dalam kategori status gizi kurang (sangat kurus dan kurus) sebesar
56.5% (Tabel 5). Penelitian lain yang dilakukan Puspita et al. (2016) di RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru menyebutkan bahwa gambaran umum status gizi
subjek TB memiliki status gizi normal sebesar 46.5%, underweight 43.7%,
overweight 5.6% dan obesitas 4.2%. Hal ini menunjukkan bahwa status gizi yang
kurang bukan satu-satunya faktor penyebab penyakit TB melainkan adanya
faktor-faktor yang lain yang bisa memicu terjadinya penyakit TB yaitu faktor
sosial ekonomi dan faktor lingkungan (Manalu 2010), namun umumnya orang
yang memiliki status gizi kurang memiliki resiko yang lebih tinggi terkena
penyakit TB dibandingkan dengan yang memiliki status gizi baik (Gupta et al.
2009).
Dampak status gizi kurang terhadap pengobatan TB diantaranya
berhubungan dengan keterlambatan penyembuhan, peningkatan angka kematian,
resiko kekambuhan dan kejadian hepatitis akibat OAT (Obat Anti TB) (Pratomo
et al. 2012). Sebanyak 10.9% dari subjek yang tergolong gizi buruk meninggal
dalam empat minggu pertama pengobatan TB dari pada subjek yang memiliki
status gizi normal ataupun status gizi tingkat ringan (Cegielski & McMurray
2005). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh sianturi (2014) menyatakan
bahwa subjek TB yang memiliki status gizi kurang pada awal pengobatan
memiliki resiko kegagalan pengobatan 9.5 kali lebih besar dari orang yang
memiliki gizi normal.

Perubahan BTA Selama Pengobatan

Salah satu cara diagnosa penyakit TB adalah pemeriksaan dahak yang


berfungsi menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan, menentukan
12

potensi penularan. Pemeriksaan dahak dilakukan dengan mengumpulkan 3


spesimen dahak sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) (Kemenkes 2014). Hasil
pemeriksaan dahak berupa basil tahan asam (BTA) dengan kategori positif atau
negatif. Positif jika dalam pemeriksaan dahak dijumpai kuman dalam jumlah
tertentu dan negatif apabila tidak terdapat kuman TB dalam pemeriksaan dahak
(PPTI 2010). Semakin tinggi derajat kepositifan BTA menunjukkan semakin
tinggi potensi penularan kepada orang terdekat, baik keluarga maupun lingkungan
sekitar (Bhargava et al. 2013). Tingkat penularan subjek yang memiliki BTA
positif adalah 65%, BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%
sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah
17% (Kemenkes 2014). Konversi BTA terjadi akibat pemberian obat selama
pengobatan dan merupakan prediktor keberhasilan dari pengobatan TB (PPTI
2010). Hasil pemeriksaan BTA pada penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Perubahan hasil pemeriksaan BTA sebelum dan sesudah pengobatan


Sebelum pengobatan Sesudah pengobatan
Kategori BTA
n % n %
Negatif 40 64.5 62 100.0
Positif satu 10 16.1 0 0.0
Positif dua 5 8.1 0 0.0
Positif tiga 7 11.3 0 0.0
Total 62 100.0 62 100.0

Tabel 6 menunjukkan, sebagian besar kategori hasil pemeriksaan dahak


awal sebelum pengobatan adalah negatif (64.5%) dan lainnya positif dengan
tingkat nilai positif dari positif satu, dua dan tiga. Hasil pemeriksaan BTA sesudah
pengobatan mengalami kenaikan sangat signifikan menjadi 100% untuk subjek
dengan kategori BTA negatif disebabkan terjadi konversi BTA. Hal ini
mengindikasikan bahwa pengaruh pengobatan berhasil untuk menurunkan resiko
penularan dan keberhasilan pengobatan.
Kurniati (2010) menyebutkan dalam penelitiannya di BP4 Garut, bahwa
terjadi konversi BTA positif menjadi BTA negatif sebesar 35.5% pada subjek TB
yang menerima pengobatan intensif. Konversi terjadi pada fase awal pengobatan
(intensif) disebabkan adanya pemberian obat yang bersifat bakteriologis setiap
hari, sehingga mencegah penularan penyakit dan jika dilakukan pengobatan secara
tepat sebagian besar subjek mengalami konversi (Uyainah dan Wardani 2014).
Selain itu, menurut Suprijono (2005), faktor yang mempengaruhi keberhasilan
konversi subjek saat pengobatan adalah keteraturan subjek dalam meminum OAT
(obat anti TB) dan gejala efek samping dari obat yang dikonsumsi oleh subjek.

Perubahan Berat Badan Selama Pengobatan

Penyakit TB memberi dampak penurunan berat badan bagi setiap


penderitanya. Hal ini berkaitan dengan adanya gejala anoreksia akibat dari
regulasi hormon leptin dan grelin yang terganggu (Zheng et al. 2013). Perubahan
berat badan masih dijadikan salah satu prediktor dari keberhasilan pengobatan TB
ditandai dengan perubahan berat badan yang termasuk kedalam kategori normal
13

(Antonio et al. 2014). Selama masa pengobatan (bulan ke-0, 2 dan 6), rata-rata
berat badan subjek adalah 48.18 kg, 50.19 kg dan 51.37 kg. Selama masa tersebut
terjadi perubahan berat badan, baik yang mengalami kenaikan, penurunan atau
tetap. Data perubahan berat badan selama pengobatan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Perubahan berat badan subjek selama pengobatan


Masa pengobatan Naik Tetap Turun Total
n % n % n % n %
Bulan ke-2 35 56.5 10 16.1 17 27.4 62 100.0
Bulan ke-6 44 71.0 4 6.5 14 22.5 62 100.0

Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 7 menunjukkan, perubahan berat


badan yang terjadi antara bulan ke-2 pengobatan dengan bulan ke-6 pengobatan
sama-sama lebih banyak mengalami kenaikan berat badan (56.5% dan 71%)
dengan rata-rata kenaikan sebesar 3.05 kg 2.22 dan 3.29 kg 3.78. Akan tetapi
pada bulan ke-2 pengobatan jumlah subjek yang tidak mengalami kenaikan lebih
banyak sebesar 43.5% dengan rata-rata 2.32 kg 1.21 dibandingkan dengan bulan
ke-6 pengobatan sebesar 29% dengan rata-rata 1.60 kg 1.04. Hasil uji statistik
yang dilakukan dengan menggunakan uji T-test terhadap berat badan selama
pengobatan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara berat badan sebelum
pengobatan dengan berat badan setelah pengobatan dengan nilai p<0.0001.
Perubahan berat badan yang terjadi pada bulan kedua pengobatan sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Warmelink et al.(2011),
menunjukkan pada dua bulan pertama pengobatan subjek TB bisa mengalami
penurunan berat badan sampai 2 kg disebabkan adanya pengaruh toksisitas dari
pengobatan atau drug induced hepatotoxicity (DIH) yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu morbiditas, penyakit penyerta, umur, jenis kelamin dan
konsumsi alkohol.
Pusponegoro et al. (2005) juga menyebutkan adanya pemberian obat
Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid pada fase awal pengobatan yang berfungsi
untuk membunuh kuman TB memberikan efek samping seperti mual, muntah,
anoreksia dan nyeri kepala sehingga menyebabkan penurunan nafsu makan dan
berat badan. Adapun perubahan kenaikan berat badan yang banyak terjadi pada
enam bulan pengobatan menggambarkan bebasnya tubuh dari infeksi TB sehingga
kondisi kesehatan subjek membaik dan nafsu makan meningkat (Usman 2008).
Selain itu, adanya asupan makanan yang baik dan supporting drug (suplemen)
juga membantu dalam proses penyembuhan (Abba et al. 2008).

Perubahan Status Gizi (IMT) Selama Pengobatan

IMT merupakan salah satu metode pengukuran secara langsung dengan


menggunakan ukuran berat badan dan tinggi badan untuk menilai status gizi
seseorang. Apabila nilai IMT seseorang diluar kategori normal, maka resiko
terhadap paparan penyakit akan lebih tinggi (Gupta 2009). Pengukuran IMT
umumnya digunakan pada kelompok usia dewasa dan orang tua, sehingga metode
ini dapat digunakan dalam penentuan status gizi pada pasien TB yang umumnya
berada pada kelompok usia tersebut. Penderita TB lebih banyak terjadi pada
14

kelompok usia dewasa dan termasuk usia produktif dengan status gizi kurang
(Kemenkes 2014). Penderita yang memiliki status gizi kurang memiliki resiko
kematian dua kali lipat dibandingkan dengan orang yang memiliki status gizi baik
(Pratomo et al. 2012). Selama pengobatan, Status gizi pasien TB umumnya akan
membaik meskipun tanpa pemberian suplementasi. Hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya peningkatan asupan makanan dan nafsu makan,
kebutuhan energi tubuh menurun, dan proses metabolik tubuh mulai membaik
(USAID 2008). Gambaran status gizi berdasarkan IMT selama pengobatan
disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran status gizi (IMT) selama pengobatan


Pengukuran Bulan ke-0 Bulan ke-2 Bulan ke-6

Status gizi (IMT-Kg/m2) n % n % n %


Sangat kurus (<17) 22 35.5 19 30.7 11 17.7
Kurus (17-,18.5) 13 21.0 11 17.7 12 19.4
Normal (18.5-25) 23 37.1 26 41.9 32 51.6
Gemuk (25.1-27) 2 3.2 3 4.8 3 4.8
Obese (>27) 2 3.2 3 4.8 4 6.5
Total 62 100.0 62 100.0 62 100.0

Tabel 8 menunjukkan terjadi penurunan jumlah subjek yang tergolong status


gizi kurang sebesar 56.5%, terdiri dari status gizi sangat kurus (35.5%) dan status
gizi kurus (21.0%) di awal pengobatan atau bulan ke-0 menjadi 37.1% pada bulan
ke-6 pengobatan. Selanjutnya, terjadi kenaikan jumlah subjek yang tergolong
status gizi normal dari 37.1% menjadi 51.6% setelah masa pengobatan. Hal ini
menunjukkan bahwa selama pengobatan TB 6 bulan membawa dampak
perubahan status gizi sebesar 14.5% untuk subjek yang mengalami peningkatan
status gizi normal dan sebesar 19.4% mengalami penurunan status gizi kurang.
Analisis statistik dengan menggunakan uji T-test menunjukkan ada perbedaan
antara IMT awal dengan IMT sesudah pengobatan ditandai dengan nilai p-value
berturut-turut 0.006 dan p< 0.0001.
Hasil Penelitian Bhargava et al. (2013) pada pasien TB di India
menyebutkan, terjadi kenaikan status gizi setelah pengobatan pada pasien TB
yang memiliki status gizi sangat kurus dari 62.4% menjadi 35%. Menurut
Priyantomo et al. (2014), peningkatan IMT dan penurunan subjek yang memiliki
status gizi kurang merupakan penanda baik terhadap penurunan infeksi yang
terjadi, tetapi jika terjadi kenaikan IMT pada subjek yang memiliki status gizi
lebih akan menjurus kearah penyakit metabolik seperti diabetes.
Status gizi subjek selama pengobatan 6 bulan mengalami perubahan dengan
ditandai peningkatan rata-rata berat badan dan IMT yang ditunjukkan pada tabel
9. Rata-rata peningkatan 3.14 kg dan 1.25 kg/m2. Selain itu, pada table 9
menunjukkan perubahan status gizi selama pengobatan berdasarkan perubahan
rata-rata IMT subjek selama pengobatan dibandingkan dengan IMT subjek
sebelum atau awal pengobatan pada bulan ke-0. Adapun rata-rata perubahan IMT
pada setiap kategori IMT atu status gizi mengalami perubahan positif, yang
artinya IMT subjek mengalami peningkatan. Rata-rata perubahan IMT pada bulan
15

ke-6 untuk status gizi normal sebesar 1.441.64 lebih besar dibandingkan pada
bulan ke-2 sebesar 0.611.15 begitupun untuk kategori status gizi yang lainnya.

Tabel 9 Rata-rata dan perubahan staus gizi (IMT) selama pengobatan


Bulan ke-0 Bulan ke-2 Bulan ke-6

Status gizi (IMT-kg/m2) x IMT x IMT IMT* x IMT IMT**


Sangat kurus (<17) 15.591.01 15.920.83 0.281.00 15.860.93 0.321.04
Kurus (17-,18.5) 17.660.39 17.780.70 0.681.06 17.670.49 1.051.51
Normal (18.5-25) 21.071.83 20.561.47 0.431.28 20.631.56 1.441.64
Gemuk (25.1-27) 26.110.41 25.380.29 0.611.15 26.260.89 2.071.02
Obese (>27) 32.904.43 30.803.05 0.071.90 31.703.87 2.201.72
IMT(kg/m2) 18.954.05 19.373.80 20.234.16
BB (kg) 48.1811.79 50.1911.73 51.3712.23
*selisih rata-rata perubahan IMT bulan ke-2 dengan bulan ke-0.
** selisih rata-rata perubahan IMTbulan ke-6 dengan bulan ke-0.

Hubungan antara Karakterteristik Subjek dan Karakteristik Penyakit


dengan Perubahan Status Gizi setelah Pengobatan

TB merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


mycobacterium tuberculosis, sebagian besar menyerang paru-paru dan bisa juga
menyerang organ selain paru (Kemenkes 2014). Gejala mendasar dari penyakit
ini adalah batuk selama 2-3 minggu dengan disertai gejala tambahan seperti
kelelahan, keringat dimalam hari, nafsu makan kurang serta penurunan berat
badan (Stump 2008). Faktor meningkatnya kejadian penyakit TB dipengerahu
oleh keadaan sosio-demografi dan status gizi. Diantara faktor tersebut status gizi
kurang merupakan faktor utama meningkatnya kejadian penyakit TB (Kajal et al.
2015). Selama pengobatan, status gizi pasien TB akan membaik dengan ditandai
dengan kenaikan berat badan (Gupta et al. 2009).
Perubahan status gizi pasien TB setelah pengobatan bisa dilihat dari
perubahan nilai IMT dari awal pengobatan seperti penelitian yang dilakukan oleh
Dodor 2008. Beberapa faktor yang bisa mempengaruhi perubahan status gizi
seseorang adalah asupan makan dan kedaan penyakit (Weta dan Wiraswadi 2009).
Keadaan penyakit bisa dilihat dari keadaan karakteristik subjek dan keadaan
karakteristik penyakit. Hubungan antara karakteristik subjek dan karakteristik
penyakit dengan perubahan status gizi disajikan pada Tabel 10.

Karakteristik Subjek
Karakteristik subjek dari pasien TB yang diperoleh dari medical record
rumah sakit dan register book DOTS meliputi jenis kelamin, umur, dan status
pekerjaan.

1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko penyakit TB. Jenis kelamin
laki-laki memiliki resiko penyakit TB lebih besar dibandingkan dengan
perempuan terutama untuk penyakit TB paru (puspita et al 2016). Hal ini
disebabkan laki-laki memiliki mobilitas yang tinggi di luar rumah sehingga
16

kemungkinan terpajan oleh kuman TB lebih tinggi pula. Selain itu, kebiasaan
gaya hidup yang salah seperti merokok yang sering dilakukukan oleh laki-laki
mengakibatkan penurunan sistem imun tubuh sehingga lebih mudah terserang
penyakit TB (Mahfuziah 2014). Menurut WHO (2007) merokok bisa
meningkatkan kejadian penyakit TB 2-3 kali lipat sehingga meningkatkan
prevalensi penyakit TB di dunia. Rao (2009) menyatakan bahwa laki-laki
cenderung memiliki resiko terkena penyakit lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Akan tetapi, perkembangan infeksi menjadi penyakit TB pada
perempuan lebih cepat dibandingkan laki-laki. Tingkat keberhasilan pengobatan
pada pasien TB perempuan lebih rendah dibandingkan pasien TB laki-laki. Hal ini
terlihat dari peningkatan IMT setelah pengobatan pada laki-laki yang lebih besar
dibandingkan pada perempuan (Holmes et al 1998).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum pengobatan, IMT pasien
TB laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (Tabel 10),
karena massa tulang dan ukuran kerangka pada laki-laki lebih besar dibandingkan
perempuan (Nieves et al. 2005). Selain itu, Metcalfe (2005) menyatakan bahwa
pasien TB perempuan mengalami gangguan yang lebih berat dibandingkan
dengan pasien TB laki-laki, yakni kehilangan selera makan, mual, muntah, dan
diare. Sementara pasien TB laki-laki hanya mengalami gangguan kelelahan,
sehingga pasien TB laki-laki cenderung memiliki status gizi yang lebih baik
dibandingkan pasien TB perempuan.
Selama pengobatan TB rata-rata IMT pasien berdasarkan jenis kelamin
mengalami kenaikan, terlihat dari perubahan nilai IMT keduanya di bulan keenam
pengobatan lebih besar dibandingkan dengan bulan sebelum pengobatan (Tabel
9). Jumlah laki-laki yang mengalami peningkatan IMT (74.3%) lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah perempuan yang mengalami peningkatan IMT
(66.7%). Tetapi, rata-rata perubahan IMT pada perempuan sedikit lebih besar
dibandingkan dengan laki-laki. Hasil analisis statistik menggunakan uji chi square
menyebutkan bahwa jenis kelamin pasien TB tidak memiliki hubungan yang
signifikan terhadap perubahan status gizi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Dodor (2008) menyatakan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan
dengan perubahan status gizi.
Wassie et al (2014) dalam penelitiannya menyebutkan, faktor yang
berhubungan dengan kenaikan berat badan pada pasien TB adalah status
pendidikan yang akan mempengaruhi pengetahuan subjek tentang TB. Hal ini
disebabkan subjek yang memiliki pendidikan tinggi akan memiliki kesadaran
yang lebih baik pada pentingnya asupan makanan dan lebih mematuhi obat
sehingga bisa meningkatkan asupan makanan. Selain itu penelitian yang
dilakukan di New Zealand menyebutkan bahwa frekuensi makan yang sering
berhubungan denga kenaikan IMT, jika frekuensi makan lebih dari tiga kali
perhari mengakibatkan asupan makanan lebih banyak sehingga memperbaiki
jaringan lemak dan otot dari kekurangan gizi dan mampu meningkatkan dampak
pengobatan dengan meningkatkan sistem imun tubuh (Jeniffer et al 2008).

2. Umur
Kemenkes (2011) menyebutkan bahwa 75% pasien TB adalah kelompok
umur produktif secara ekonomis dan muda. Umur produktif merupakan umur
seseorang berada pada tahap siap untuk bekerja (15-49 tahun) menghasilkan
17

sesuatu baik untuk dirinya ataupun orang lain (Nurjana M A 2015). Umur
produktif lebih beresiko terkena penyakit TB dikarenakan aktivitas tinggi diluar
rumah sehingga lebih sering berinteraksi dengan orang lain sehingga
meningkatkan resiko untuk tertular penyakit TB lebih besar ( Putri et al 2016).
Pengelompokkan umur subjek berdasarkan umur produktif (18-49 tahun) dan
tidak produktif ( 50 tahun).
Tabel 10 menunjukkan bahwa pada awal pengobatan, subjek dengan umur
50 tahun memiliki IMT sedikit lebih besar dibandingkan dengan subjek dengan
umur 18-49 tahun. Menurut Jackson et al. (2002) pada usia yang lebih tua (tidak
produktif) terjadi penurunan fungsi tubuh dan aktivitas menyebabkan lebih
banyak asupan makanan yang disimpan sebagai lemak sehingga berat badan
meningkat.
Selama pengobatan, jumlah subjek berumur 18-49 tahun lebih banyak yang
mengalami peningkatan IMT (79.1%) dibandingkan jumlah subjek berumur 50
tahun yang mengalami peningkatan IMT (52.6%). Selain itu perubahan IMT
sebelum dan setelah pengobatan pada subjek berumur 18-49 tahun lebih besar
dibandingkan dengan perubahan IMT pada subjek berumur 50 tahun. Menurut
Dodor (2008), pada usia muda (produktif) sistem kekebalan tubuh lebih kuat serta
bervariasinya jenis makanan yang dikonsumsi menyebabkan subjek yang berusia
muda mengalami peningkatan IMT yang lebih tinggi. Selain itu, semakin
meningkatnya umur menyebabkan proses penyembuhan semakin melambat
dikarenakan melemahnya fungsi kognitif dan tingkat kesehatan (Ji, Meng, dan
Dong 2012) serta tingginya kemungkinan terjadinya anorexia sebagai efek
samping pengobatan (Kagansky et al. 2005).
Hasil analisis statistik menggunakan uji chi square menunjukkan bahwa
umur memiliki hubungan yang signifikan terhadap perubahan status gizi. dengan
arah hubungan yang negatif berdasarkan uji pearson sehingga semakin
meningkatnya umur perubahan status gizi semakin rendah. Sebaliknya, semakin
muda umur perubahan status gizi semakin tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh
Dodor (2008) di Ghana-India, menyatakan umur sebagai salah satu variable yang
memiliki hubungan signifikan dengan perubahan status gizi.

3. Status Pekerjaan
Status pekerjaan merupakan salah satu faktor sosial demografi yang
berkaitan erat dengan tingkat paparan dengan penderita TB, peningkatan stres,
ketegangan hidup, dan pendapatan (Kajal et al. 2015). Beberapa jenis pekerjaan
tertentu memiliki resiko penyebaran dan perkembangan penyakit TB yang tinggi.
Lingkungan kerja merupakan tempat yang paling mudah terjadinya transmisi
penyakit TB. Menurut Kajal et al. (2015) status pekerjaan berpengaruh terhadap
resiko menderita penyakit TB, dimana buruh dan ibu rumah tangga memiliki
resiko yang lebih besar menderita penyakit TB dibandingkan dengan wiraswasta,
pelajar, dan pekerja profesional. Akan tetapi, status pekerjaan tidak berpengaruh
terhadap IMT pasien TB baik sebelum maupun sesudah pengobatan.
Hasil penelitian ini menunjukkan subjek yang bekerja memiliki IMT awal
dan perubahan IMT yang lebih besar dibandingkan subjek yang tidak bekerja.
Selain itu, jumlah subjek bekerja yang mengalami penigkatan IMT (73.5%) lebih
banyak dibandingkan jumlah subjek TB yang tidak bekerja (67.9%). Akan tetapi,
hasil analasis statistik menggunakan uji chi square menunjukkan status pekerjaan
18

tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap perubahan status gizi TB


selama proses pengobatan. Hal ini kemungkinan disebabkan bukan status
pekerjaan subjek yang mempengaruhi status gizi setelah pengobatan, tetapi
income pendapatan dari subjek yang akan mempengaruhi asupan makanan.
Pada penelitian yang dilakukan Dodor (2008), sebanyak 58% subjek TB
yang bekerja memiliki status gizi normal dan 42% memilki status gizi kurang.
Sedangkan pada subjek yang tidak bekerja sebanyak 43% memilki status gizi
normal dan 57% memiliki status gizi kurang. Akan tetapi, tidak ditemukan adanya
hubungan antara status pekerjaan dengan status gizi. Begitu pula dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kajal et al. (2015) menunjukkan bahwa tidak ada
korelasi antara status pekerjaan dengan perubahan status gizi subjek TB
disebabkan yang berhubungan langsung adalah pendapatan (income) dari
pekerjaan tersebut. menurut Tola et al. (2015) menyebutkan status pekerjaan
dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan dari pengobatan TB.
Adanya perbedaan IMT dan perubahan IMT pada subjek yang bekerja dan
tidak bekerja ini dapat disebabkan oleh tekanan psikologis yang merupakan
penyakit penyerta yang umum diderita oleh subjek TB (Doherty et al. 2013).
Menurut Tola et al. (2015) subjek TB yang tidak bekerja mengalami tekanan
psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek TB yang bekerja.
Tekanan psikologis ini ditandai dengan gejala depresi dan kecemasan yang
berlebihan. Hal ini berdampak pada keberhasilan pengobatan TB sehingga
semakin tinggi tekanan psikologis yang dialami subjek maka semakin rendah
tingkat keberhasilan pengobatan TB.

Karakteristik Penyakit
Karakteristik penyakit meliputi pemeriksaan BTA awal, klasifikasi penyakit
TB, dan penyakit penyerta yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium
dan hasil diagnosa dokter dari gejala ataupun keadaan klinis subjek.

1. Pemeriksaan BTA Awal


Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan bakteriologik, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Pemeriksaan bakteriologi yaitu pemeriksaan BTA dari sputum
pasien TB dengan menggunakan mikroskop (PDPI 2006). Hasil pemeriksaan
dikatakan positif apabila sedikitnya terdapat dua dari tiga spesimen yang diuji
hasilnya positif. Hasil pemeriksaan positif menunjukkan jumlah bakteri lebih
banyak pada lesi paru dan lebih infeksius dibandingkan dengan pasien yang hasil
pemeriksaan sputum BTA negatif (Kemenkes 2014).
Hasil penelitian ini menunjukkan subjek TB dengan pemeriksaan BTA awal
positif memiliki IMT awal dan perubahan IMT setelah pengobatan lebih tinggi
dibandingkan subjek TB dengan pemeriksaan BTA awal negatif (Tabel 10).
Selain itu, jumlah subjek TB dengan BTA awal positif yang mengalami
peningkatan IMT (86.4%) lebih banyak dibandingkan jumlah subjek TB dengan
BTA awal negatif (62.5%). Hasil analisis statistik dengan uji chi square
menunjukkan pemeriksaan BTA awal memiliki hubungan yang signifikan dengan
perubahan status gizi. Hal ini menunjukkan hasil pemeriksaan BTA awal akan
mempengerahi perubahan status gizi subjek selama pengobatan.
19

Menurut Muoz-Sellart et al. (2010) dan WHO (2008) subjek TB dengan


TB negatif memiliki tingkat keberhasilan pengobatan yang lebih rendah
dibandingkan dengan subjek TB dengan BTA positif. Hal ini karena selama
pegobatan sebagian besar subjek TB dengan BTA negatif lebih sulit memperbaiki
sistem imun dibandingkan subjek TB dengan BTA positif serta kurang mampu
mengendalikan infeksi dalam tubuh (Munoz-Sellart et al. 2010). Lebih lanjut,
Alka et al. (2001) menyatakan bahwa tingkat kematian pada subjek TB dengan
BTA negatif lebih tinggi dibanding dengan subjek TB dengan BTA positif
dikarenakan seringnya terjadi kesalahan diagnosis pada subjek dengan BTA
negatif.
Penelitian yang dilakukan Harries et al. (1998) yang menyatakan bahwa
hasil pemeriksaaan BTA memiliki perbedaan secara signifikan terhadap
kesuksesan pengobatan. Sebaliknya, menurut Dodor (2008) hasil pemeriksaan
BTA tidak berhubungan secara signifikan terhadap perubahan status gizi dan hasil
dari pengobatan. Namun pemeriksaan BTA ini harus tetap dilakukan secara rutin
untuk mengukur kesuksesan pengobatan (Ditah et al. 2008).

2. Klasifikasi Penyakit TB
Penyakit TB berdasarkan lokasi anatomi dibedakan menjadi dua, yaitu TB
paru dan TB ekstra paru (Kemenkes 2014). Penyakit TB berdasarkan lokasi
anatomi dibedakan menjadi dua, yaitu TB paru dan TB ekstra paru. TB paru
merupakan infeksi yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tetapi tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus (Kemenkes 2014).
Sedangkan TB ektra paru menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
selaput otak, kelenjar limfe, pleura, pericardium, persendian, tulang, kulit, usus,
saluran kemih, ginjal, alat kelamin, dan lain-lain (Lee JY 2015). TB paru lebih
banyak diderita oleh laki-laki dibanding perempuan dan pada pasien DM. akan
tetapi TB ekstra paru biasanya lebih banyak ditemui pada perempuan usia 25
tahun keatas dan pada pasien HIV( Suresh JA et al 2016).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek TB ekstra paru memiliki IMT
awal dan perubahan IMT sedikit lebih besar dibandingkan dengan subjek TB paru
(Tabel 10). Selain itu, jumlah subjek TB ekstra paru yang mengalami peningkatan
IMT (71.4%) tidak terlalu berbeda jauh dibandingkan subjek TB paru yang
mengalami peningkatan IMT (70.9%). Hal ini disebabkan IMT pada subjek TB
paru maupun ekstra paru mengalami perbaikan karena efek dari pengobatan. Akan
tetapi, hasil uji fisher exact test pada penelitian ini menunjukkan tidak ada
hubungan yang signifikan antara klasifikasi penyakit (TB paru dan TB ekstra
paru) dengan status gizi subjek.
Hasil yang sama juga diperol Da Costa et al. (2016) yang menunjukkan
bahwa klasifikasi penyakit TB tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
tingkat keberhasilan pengobatan. Sebaliknya, Ditah et al. (2008) menyatakan
adanya hubungan yang signifikan antara klasifikasi penyakit TB dengan
keberhasilan pengobatan. Namun, hal ini tergantung dari tingkat keparahan
penyakit pada awal pengobatan (Da Costa et al. 2016).
Penelitian yang dilakukan Da Costa et al. (2016), subjek TB ekstra paru
memiliki tingkat kesuksesan yang lebih tinggi dibandingan subjek TB paru BTA
positif dan negatif. Tingkat keberhasilan pengobatan pada pasien TB ekstra paru
yakni sebesar 85.05%, sedangkan pada pasien TB paru BTA negatif dan BTA
20

positif berturut-turut yaitu 79.48% dan 76.13%. Menurut Sreeramareddy et al.


(2008) jumlah subjek TB ekstra paru jauh lebih sedikit dan resiko penularannya
lebih rendah dibandingkan subjek TB paru. Namun, selama ini pengobatan subjek
TB ekstra paru kurang diprioritaskan dibandingkan pengobatan pada subjek TB
paru.

Tabel 10 Hubungan antara karakteristik subjek dan karakteristik penyakit dengan


perubahan status gizi setelah pengobatan
Perubahan IMT
IMT bulan 0 IMT bulan 6
Variabel Naik Tidak naik* P value
(kg/m2) (kg/m2)
n % n %
Jenis kelamin 0.512
Laki-laki 19.13 4.13 20.39 4.25 26 74.3 9 25.7
Perempuan 18.73 4.01 20.02 4.16 18 66.7 9 33.3
Umur (Tahun) 0.034**
18-49 18.38 3.45 20.01 3.73 34 79.1 9 20.9
50 20.25 4.92 20.72 5.09 10 52.6 9 47.4
Status Pekerjaan 0.624
Bekerja 19.57 4.21 20.97 4.38 25 73.5 9 26.5
Tidak bekerja 18.41 4.05 19.58 4.16 19 67.9 9 32.1
Pemeriksaan BTA awal 0.048**
Negatif 18.88 4.04 19.78 4.19 25 62.5 15 37.5
Positif 19.09 4.17 21.04 4.28 19 86.4 3 13.6
Klasifikasi penyakit 1.000
TB Paru 18.89 4.01 20.24 4.6 39 70.9 16 29.1
TB ekstra paru 19.45 4.09 20.14 4.22 5 71.4 2 28
Penyakit Penyerta 0.739
Tidak ada 18.67 4.01 19.84 4.17 34 69.4 15 38.6
Ada 20.15 4.16 21.56 4.30 10 76.9 3 23.1
*perubahan IMT tidak naik (turun+tetap)
** signifikan (p-value < 0.05)

3. Penyakit Penyerta
Penyakit penyerta pada penyakit TB bisa disebabkan karena efek samping
dari pengobatan seperti penyakit DIH atau karena riwayat penyakit sebelumnya
yang mengakibatkan penyakit TB seperti Diabetes Melitus (DM) (Abe dan Fujita
2013). Adanya penyakit penyerta pada subjek TB menyebabkan waktu
pengobatan menjadi lebih lama dan angka keberhasilan dari pengobatan juga
rendah (Rei-Santos et al. 2014). Wijaya (2015) menyebutkan bahwa pada
penyakit DM terjadi hiperglikemia yang dapat menyebabkan menurunnya
aktivitas sel fagosit untuk membunuh mikroorganisme dalam leukosit sehingga
menurunkan sistem imun dan meningkatkan resiko penyakit TB terutama penakit
TB paru.
Tabel 10 menunjukkan bahwa subjek TB dengan penyakit penyerta
memiliki rata-rata IMT pada awal pengobatan lebih besar dari subjek TB tanpa
penyakit penyerta. hal ini disebabkan oleh kondisi penyakit penyerta yang masih
terkontrol dengan baik sehingga penurunan berat badan jarang terjadi. Siddiqui et
al (2016) menyebutkan gejala TB dengan penyerta seperti DM lebih banyak
21

memiliki gejala dyspnea, nyeri dada dan hemoptisis sedangkan untuk TB tanpa
DM lebih banyak mengalami gejala batuk, anoreksia, penurunan berat badan dan
demam dimalam hari. Selain itu, kemungkinan yang terjadi disebabkan subjek
yang memiliki penyakit penyerta lebih mudah terdeteksi penyakitnya
dibandingkan tanpa penyakit penyerta.
Peningkatan IMT setelah pengobatan, lebih banyak terjadi pada subjek TB
dengan penyakit penyerta (76.9%) dibandingkan dengan subjek TB tanpa
penyerta (69.4%) (Tabel 5). Hal ini disebabkan terjadinya pemulihan gejala yang
lebih baik antara subjek TB dengan penyakit penyerta dan tanpa penyerta akibat
dari pengobatan. Akan tetapi, hasil analisis statistik menggunakan uji chi square
menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan antara penyakit penyerta dengan
peningkatan IMT yang berarti tidak ada hubungan juga dengan perubahan status
gizi. Hasil yang sama diperoleh Raghuraman et al. (2014) yang menunjukkan
bahwa IMT pada subjek dengan penyakit penyerta (khususnya DM) tidak berbeda
nyata dengan IMT subjek tanpa penyakit penyerta.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sekitar separuh subjek penderita TB berjenis kelamin laki-laki, bekerja


dan memiliki status gizi kurang (sangat kurus dan kurus). Selain itu, dua pertiga
subjek berumur 18-49 tahun dan berkategori umur produktif, memiliki
pemeriksaan BTA negatif, memiliki klasifikasi TB Paru dan tanpa penyakit
penyerta. Selama pengobatan TB, terjadi konversi BTA positif menjadi negatif
sebesar 35.5%, peningkatan rata-rata berat badan sebesar 3.14 kg (p<0.05) dan
peningkatan IMT sebesar 1.25 kg/m2 (p<0.05), penurunan status gizi kurang
sebesar 19.4% serta peningkatan jumlah status gizi normal sebesar 14.5%. Tren
perubahan kenaikan berat badan lebih banyak terjadi pada bulan ke-6 pengobatan
atau pada akhir fase lanjutan dibandingkan dengan bulan ke-2 pengobatan atau
akhir fase intensif. Uji hubungan chi square karakteristik subjek dan karakteristik
penyakit dengan perubahan status gizi selama pengobaatan TB 6 bulan
menunjukkan bahwa umur (p=0.034) dan pemeriksaan BTA awal (p=0.048)
berhubungan dengan perubahan status gizi. Akan tetapi, jenis kelamin (p=0.512),
status pekerjaan (p=0.624), klasifikasi penyakit (p=1.000) dan penyakit penyerta
(p=0.739) tidak berhubungan dengan perubahan status gizi.

Saran

Perlu dilakukan konsultasi gizi mengenai asupan makanan pada pasien TB


selama pengobatan untuk mengurangi jumlah pasien yang tidak mengalami
kenaikan berat badan, terutama pada bulan kedua pengobatan sehingga
menghindari kegagalan pengobatan, kekambuhan penyakit dan kematian pada
pasien TB. Penambahan suplementasi dan makanan tambahan khusus selain
pengobatan perlu dilakukan pada pasien TB terutama pasien yang memiliki status
22

gizi kurang diawal pengobatan, memiliki umur 50 tahun dan pasien yang
memiliki pemeriksaan BTA awal negatif. Selain itu, perlu dilakukan pengukuran
tinggi badan pada pasien TB disetiap fasilitas pelayanan kesehatan untuk menilai
status gizi pasien. Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan penelitian dengan
jumlah subjek lebih besar dan penambahan variabel penelitian seperti asupan
makanan subjek selama pengobatan .
23

DAFTAR PUSTAKA

Abba K, Sudarsanam TD, Grobler L, Volmink J. 2008. Nutritional supplements


for people being treated for active tuberculosis (Review). The Cochrane
Collaboration. 1: 1-50.
Abe M, Fujita A. 2013. Treatment of tuberculosis in patients with comorbidities.
Kekkaku. 88(12) :827-841.
Alka M. Kanaya, MD; David V. Glidden, PhD; and Henry F. Chambers, MD.
2001. Identifying Pulmonary Tuberculosis in Patients With Negative
Sputum Smear Results. CHEST. 120 (2):349-355.
Antonio BO, Chung-Delgado K, Revilla-Montag A, Guillen-Bravo S. 2014.
Weight variation over time and its relevance pamong multidrug-resistant
tuberculosis patients. International Journal of Infectious Diseases. 23 :
2024.
Anwar F, Riyadi H. 2009. Status gizi dan status kesehatan suku Baduy. Jurnal
Gizi dan Pangan. 4(2): 72-82.
Bhargava A, Chatterjee M, Jain Y, Chatterjee B, Kataria A, Bhargava M, Kataria
R, DSouza R, Jain R, Benedetti A, Pai M , Menzies D. 2013. Nutritional
status of adult patients with pulmonary tuberculosis in rural Central India
and its association with mortality. Plos One. 8(10) : 1-11.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Konsep/Penjelasan Teknis Tenaga Kerja.
Jakarta (ID): BPS. [diunduh 2016 Oktober 1]. Tersedia pada
https://www.bps.go.id/.
Cegielski JP, McMurray DN. 2005. Tuberculosis (Nutrition and Susceptibility)
dalam Encyclopedia Of Human Nutrition second Edition. Oxford (UK) :
Elsevier Academic Press.
Da Costa AL, Keny SJ, Lawande D. 2016. Treatment outcome of pulmonary and
extra pulmonary tuberculosis patients in TB and Chest Disease Hospital
DOT Centre, Goa, India. Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci. 5(4):437-441.
Dewiyanti L, Prayitami SP dan Rohmani A. 2011. Hubungan antara Fase
Pengobatan dan Status Gizi Tuberkulosis Anak di Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. H.Soewondo Kendal Periode September 2011. Jurnal
Kedokteran Muhammadiyah. 1: 20-24.
Ditah IC, Reacher M, Palmer C, Watson JM, Innes J, Kruijshaar ME, Luma HN,
Abubakar I. 2008. Monitoring tuberculosis treatment outcome: analysis of
national surveillance data from a clinical perspective. Thorax. 63:440446.
[Ditjen P2-PL] Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2015. Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Linkungan Tahun 2015-2019. Jakarta (ID): Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Dodor EA. 2008. Evaluation of nutritional status of new tuberkulosis patients at
the Effia-Nkwanta regional hospital. Ghana Med Journal. 42(1):22-28.
Farmer PE, Keshavjee S. Tuberculosis, Drug Resistance, and The History of
Modern Medicine. N Engl J Med. 367 : 931-36.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutrition Assesment. New York (US): Oxford
University Press.
24

Gupta KB, Gupta R, Atreja A, Verma M, Vishvkarma S. 2009. Tuberculosis and


nutrition. Lung India. 26(1) : 9-16.
Harries AD, Nyirenda TE, Banerjee A, Boeree MJ, Salaniponi FML. 1999.
Treatment outcome of patients with smear-negative and smear-positive
pulmonary tuberculosis in the National Tuberculosis Control
Programme, Malawi. Transactions Of The Royal Society Of Tropical
Medicine And Hygiene. 93:443-446.
Harries AD, Nyangulu DS, Kangombe C, Ndalama D, Glynn JR., Banda H.,
Wirima JJ, Salaniponi FM, Liomba G, Maher D, Nunn P. 1998. Treatment
outcome of an unselected cohort of tuberculosis patients in relation to
human immunodeficiency virus serostatus in Zomba hospital, Malawi.
Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene.
92:343-347.
Holmes CB, Hausler H, Nunn P. 1998. A review of sex differences in the
epidemiology of tuberculosis. International Journal of Tuberculosis and
Lung Disease. 2 : 96104.
Jackson AS, Stanforth PR, Gagnon J, Rankinen T, Leon AS, Rao DC, Skinner JS,
Bouchard C, Wilmore JH. 2002. The effect of sex, age and race on
estimating percentage body fat from body mass index: The Heritage Family
Study. International Journal of Obesity. 26:789796.
Jennifer U,Robert Scragg, David Schaaf, Cliona Ni Mhurchu. 2008. Relationships
between Frequency of Family Meals, BMI and Nutritional Aspects of the
Home Food Environment among New Zealand Adolescents. International
Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity 5:50.
Ji L, Meng H, Dong B. 2012. Factors associated with poor nutritional status
among the oldest-old. Clinical Nutrition. 31:922-926.
Kagansky N, Berner Y, Koren-Morag N, Perelman L, Knobler H, Levy S. 2005.
Poor nutritional habits are predictors of poor outcome in very old
hospitalized patients. Am J Clin Nutr. 82(4)J:784-791.
Kajal NC, Bhushan B, Aggarwal R, Gupta S, Duggal S. 2015. Socio-demographic
profile and basal metabolic index characteristics of patients with pulmonary
tuberculosis and their treatment outcome in Medical College Hospital,
Amritsar, India. J of Evolution of Med and Dent Sci. 4(20):3462-3472.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI .
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Gizi
Seimbang (Pedoman Tekhnis bagi Petugas dalam Memberikan
Penyuluhan Gizi Seimbang). Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Bina Gizi
dan Kesehatan Ibu dan Anak.
25

Kurniati I. 2010. Angka konversi penderita tuberkulosis paru yag diobati dengan
obat antituberkulosis (OAT) paket kategori satu di BP4 Garut. MKB. 42(1)
: 32-36.
Lee JY. 2015. Diagnosis and Treatment of Extrapulmonary Tuberculosis. Tuberc
Respir Dis. 78:47-55.
Mahan KL, Escott-Stump S. 2008. Krauses Food & Nutrition Therapy. Ed ke-12.
Canada (US): Elsevier.
Indah Mahfuzhah. 2014. Gambaran faktor risiko penderita TB paru berdasarkan
status gizi dan pendidikan di RSUD Dr.Soedarso [Skripsi]. Pontianak
(ID): Universitas Tanjung Pura.
Manalu HSP. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan
Upaya Penangulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan. 9(4):1340-1346.
Metcalfe N. 2005. A Study of Tuberculosis, Malnutrition and Gender in Sri
Lanka. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and
Hygiene. 99 :115119.
Muoz-Sellart M, Cuevas LE, Tumato M, Merid Y, Yassin MA. 2010. Factors
associated with poor tuberculosis treatment outcome in the Southern
Region of Ethiopia. Int J Tuberc Lung Dis. 14(8):973979.
Notoatmodjo S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka
Cipta.
Nieves JW, Formica C, Ruffing J, Zion M, Garrett P, Lindsay R, Cosman F. 2005.
Males have larger skeletal size and bone mass than females, despite
comparable body Sie. Journal Of Bone And Mineral Research. 20:529-
535.
Nurjama MA. 2015. Faktor Risiko Terjadinya Tuberculosis Paru Usia Produktif
(15-49 Tahun) di Indonesia. Media Litbangkes. 25(3):163-170.
[PDPI] Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis Pedoman
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta (ID): PDPI.
[PPTI] Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. 2010. Buku Saku
PPTI. Jakarta (ID): PPTI.
Pratomo IP, Burhan E dan Tambunan V. 2012. Malnutrisi dan tuberkulosisi. J
Indon Med Assoc. 62:230-236.
Puspita E, Chistianto E, Yovi I. 2016. Gambaran Status Gizi pada Subjek
Tuberkulosis Paru (TB Paru) yang menjalani rawat jalan di RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru. JOM FK. 3(2):1-15.
Pusponegoro HD, Rejeki S, Dody F, Bambang TA, Antonius HP, Sholeh MK,
Rusmil K. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi Ke-1.
Jakarta : IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia ).
Putri WA, Munir SM, Christianto E. 2016. Gambaran Status Gizi pada Pasien
Tuberkulosis Paru (TB Paru) yang Menjalani Rawat Inap di RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru. JOM FK. 3(2):1-16.
Raghuraman S, Kavita VP, Govindarajan S, Chinnakali P, Panigrahi KC. 2014.
Prevalence of diabetes mellitus among tuberculosis patients in Urban
Puducherry. North American Journal of Medical Sciences.6(1):30-34.
Rao S. 2009. Tuberculosis and patient gender: An analysis and its implications in
tuberkulosis control. Lung India. 26(2):46-47.
Reis-Santos B, Gomes T, Locatelli R, de Oliveira ER, Sanchez MN, Horta BL,
Riley LW, Maciel EL. 2014. Treatment outcomes in tuberculosis patients
26

with diabetes: A polytomous analysis using Brazilian Surveillance System.


Plos One. 9(7) :1-9.
Sianturi R. 2014. Analisis faktor yang berhubungan dengan kekambuhan TB Paru
(studi kasus di BKPM Semarang tahun 2013 [skripsi]. Semarang (ID).
Universitas Negri Semarang.
Siddiqui AN, Khayyam KU, Shrama M. 2016. Effect of Diabetes Mellitus on
Tuberculosis Treatment Outcome and Adverse Reaction in Patients
ReceivingDirectly Observed Treatment Strategy in India : A Prospective
Study. BioMed Research International. 1-11.
Sreeramareddy CT, Panduru KV, Verma SC, Joshi HS, Bates MN. 2008.
Comparison of pulmonary and extrapulmonary tuberculosis in Nepal- a
hospital-based retrospective study. BMC Infectious Diseases. 8(8) :1-7.
Suprijono D. 2005. Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Kejadian Konversi
Dahak setelah Pengobatan Fase Awal pada Penderita Baru Tuberkulosis
Paru Bakteri Tahan Asam (BTA) Positif [Tesis]. Semarang (ID):
Universitas Dipenogoro.
Suresh JA, Vickie H, Jhon DC, Harry G and Richard LR. 2016. Clinical
Differences Between Pulmonary and Extrapulmonary Tuberculosis: A 5-
Year Retrospective Study. Journal of the National Medical Association
87(3):187-192.
Tola HH, Shojaeizadeh D, Garmaroudi G, Tol A, Yekaninejad MS, Ejeta LT,
Kebede A, Karimi M, Kassa D. 2015. Psychological distress and its effect
on tuberculosis treatment outcomes in Ethiopia. Glob Health Action. 8(1)
:1-11.
[USAID] United States Agency for International Development. 2008. Nutrition
and Tuberculosis: A review of the literature and considerations for Tb
control Programs. Washington DC (US) : U.S. Agency for International
Development.
Usman S. 2008. Gambaran status gizi pada subjek tuberkulosis paru (TB Paru)
yang menjalani rawat jalan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru [tesis].
Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.
Uyainah A, Wardhani DP. 2014. Kapita Selekta Kedokteran II. Edisi IV. Jakarta
(ID): Media Aesculapius.
Warmelink I, Hacken NHT , Van der Werf TF, Van Altena R. 2011. Weight loss
during tuberculosis treatment is an important risk factor for drug-induced
hepatotoxicity. British Journal of Nutrition .105 : 400408.
Wassie MM, Worku AG, Shamil F. 2014.Weight Gain and Associated Factors
among Adult Tuberculosis Patients on Treatment in Northwest Ethiopia: A
Longitudinal Study. J Nutr Disorders Thers. 4(2):1-7.
Weta I W, Wirasamadi NL. 2009. Kecukupan Zat Gizi dan Perubahan Status Gizi
Pasien Selama dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
Gizi Indon. 32(2):139-149.
Wijaya I. 2015. Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus. CDK
.42(6):412-417.
[WHO] World Health Organization. 2008. Global Tuberculosis Control 2008:
Surveillance, Planning, Financing. Switzerland :WHO Press.
27

[WHO] World Health Organization. 2015. Global Tuberculosis Report


20thedition. Switzerland :WHO Press.[diunduh 2016 Mei 22]. Tersedia
pada : http://www.who.int/tb/data.
[WHO] World Health Organization. 2007. A WHO/ The Union Monograph on
TB and Tobacco Control. Switzerland : WHO Press.[diunduh 2016
Oktober 20]. Tersedia pada :
http://whqlibdoc.who.int/publications/2007/9789241596220_eng.pdf.
Zheng Y, Ma A, Wang q, Han X, Cai J, Schouten EG, Kok Fj, Li Y. 2013.
Relation of Leptin, Ghrelin and Inflammatory Cytokines with Body Mass
Index in Pulmonary Tuberculosis Patients with and without Type 2
Diabetes Mellitus. PLos One. 8 (11): 1-6.
28

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 22 September 1985 dari


pasangan Bapak Samsurijal dan Ibu Pujiaswati. Penulis adalah putri kedua dari
tiga bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Pandeglang dan
melanjutkan pendidikan Diploma III di Poltekkes Kemenkes Bandung Jurusan
Gizi dan lulus pada tahun 2006. Selama Diploma, penulis aktif mengikuti
kegiatan organisai Himpunan Mahasiswa Gizi Poltekkes Kemenkes Bandung dan
organisasi kemahasiswaan lainnya. Penulis bekerja sebagai Nutrisionis di RS Paru
Provinsi Jawa Barat sejak diangkat CPNSD Provinsi Jawa Barat tahun 2009
sampai sekarang.
Tahun 2011 penulis menikah dengan Irpan Hilmi dan dikaruniai seorang
putra yang bernama Hammas Athaullah Fathi. penulis mendapat kesempatan
melanjutkan pendidikan sarjana pada tahun 2014 melalui seleksi tugas belajar dari
Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Penulis
melanjutkan pendidikan Sarjana di IPB melalui ujian seleksi masuk IPB melalui
jalur Alih Jenis periode 2014 dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat,
Institut Pertanian Bogor. Selama pendidikan di Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti semua
kegiatan baik akademik maupun non akademik serta kegiatan seminar baik dari
program gizi maupun di luar progam gizi.

Anda mungkin juga menyukai