Hubungan Gizi Dan TB PDF
Hubungan Gizi Dan TB PDF
ABSTRACT
ENENG DEWI LESTARI. Analysis of Changes In Nutritional Status Among
Tuberculosis Patients After 6 months of Medication in Lung Hospital West Java
Province.Supervised by CESILIA METI DWIRIANI and NAUFAL MUHARAM
NURDIN.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN
HUBUNGAN ANTARA BIOAVAILABILITAS INTAKE ZAT
BESI DENGAN STATUS ANEMIA REMAJA DI YOGYAKARTA DAN
PADANG
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dari
penelitian adalah Analisis Perubahan Status Gizi pada Pasien Tuberkulosis
Setelah Pengobatan 6 Bulan di RS Paru Provinsi Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc dan
dr Naufal Muharam Nurdin, S.Ked, M.Si selaku dosen pembimbing yang dengan
penuh kesabaran senantiasa meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan
bimbingan, arahan, dorongan, saran dan semangat untuk menyelesaikan skripsi
ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr drh Clara M Kusharto, M.Sc
selaku dosen pemandu seminar dan penguji sidang yang telah memberikan kritik
dan saran demi penyempurnaan skripsi ini. Dan tak lupa pula penulis ucapkan
terima kasih banyak kepada Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa
Barat beserta staf yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dana kepada
penulis untuk mengikuti program tugas belajar di IPB dan Direktur RS Paru
Provinsi Jawa Barat beserta staf yang telah memberikan kesempatan untuk
mengikuti program tugas belajar di IPB.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, anak, orang tua dan
keluarga besar yang selalu mendoakan penulis, memberikan semangat, motivasi
dan dukungan baik moril maupun materil. Di samping itu, terima kasih penulis
sampaikan kepada teman-teman Alih Jenis Departemen Gizi Masyarakat
Angkatan 8 atas semua saran, motivasi, bantuan dan dukungannya selama ini,
serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat.
.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Hipotesis Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Kerangka Pemikiran 3
METODE 5
Desain, Tempat, dan Waktu 5
Jumlah Dan Cara Penarikan Sampel 5
Jenis Dan Cara Pengumpulan Data 6
Pengolahan dan Analisis Data 6
Definisi Operasional 8
HASIL DAN PEMBAHSAN 9
Gambaran Umum Subjek 9
Perubahan BTA Selama Pengobatan 12
Perubahan Berat Badan Selama Pengobatan 12
Perubahan Status Gizi (IMT) selama Pengobatan 13
Hubungan Antara Karakteristik Subjek dan Karakteristik Penyakit 14
dengan Perubahan Status Gizi Setelah Pengobatan
SIMPULAN DAN SARAN 21
Simpulan 21
Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 22
RIWAYAT HIDUP 28
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran 4
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit TB bila tidak diobati setelah 5 tahun berakibat 50% pasien akan
meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang bagus, dan
25% akan menjadi kasus TB kronis yang menular (Kemenkes 2011). Beberapa
penelitian menyatakan bahwa pengaruh pemberian suplemen pada masa
pengobatan selama 6 bulan membawa dampak penambahan berat badan dengan
peningkatan massa lemak bukan massa protein sehingga membantu memulihkan
fungsi fisik sebelumnya, memperpendek masa penyembuhan, dan memungkinkan
kembali bekerja secara produktif (USAID 2008). Selain itu, pengaruh pengobatan
pada TB membawa dampak perubahan status gizi yang lebih baik pada fase
lanjutan dibandingkan dengan keadaan gizi sebelum pengobatan (Dewiyanti et al.
2011). Keadaan status gizi yang baik akan menghindarkan dari kekambuhan
penyakit TB (Sianturi 2014).
Besarnya pengaruh status gizi terhadap keberhasilan pengobatan TB,
membuat perbaikan gizi menjadi salah satu upaya untuk mengurangi penularan
dan pencegahan penyakit TB di Indonesia. Akan tetapi, selama ini belum banyak
dilakukan penelitian mengenai hubungan TB dengan gizi atau sebaliknya. Selain
itu, data penunjang status gizi subjek TB (tinggi badan) belum dilakukan disetiap
fasilitas pelayanan kesehatan (Puskesmas dan Rumah Sakit). Dengan demikian,
perlu dilakukan penelitian mengenai analisis profil status gizi pasien TB selama
pengobatan serta faktor yang berhubungan dengan perubahan status gizi.
Penelitian dilakukan di RS Paru Provinsi Jawa Barat, disebabkan penelitian ini
belum pernah dilakukan di RS tersebut. Selain itu, RS ini sebagai rujukan TB
sewilayah III meliputi daerah Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu
sehingga memiliki beragam kasus penyakit TB.
Perumusan Masalah
Tujuan
Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status gizi
pasien TB selama pengobatan 6 bulan serta hubungan karakteristik subjek dan
karakteristik penyakit TB dengan perubahan status gizi setelah pengobatan 6
bulan di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi gambaran umum subjek di RS Paru Provinsi Jawa Barat
meliputi karakteristik subjek (jenis kelamin, umur,dan pekerjaan),
3
Hipotesis
Manfaat
KERANGKA PEMIKIRAN
Penderita TB
1. Pemeriksaan dahak
BTA
BTA+
Pengobatan 6 Bulan Penderita TB
2. Klasifikasi penyakit
- BTA
TB Paru
TB Ekstra Paru
3. Penyakit Penyerta
Ada
Tidak Ada
Pengobatan 6 Bulan
Status gizi Status Gizi
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Hubungan yang mempengaruhi
: Hubungan yang tidak diteliti
METODE PENELITIAN
Populasi dari penelitian adalah semua pasien TB baru yang telah melakukan
pengobatan minimal 6 bulan pada register books DOTS di RS Paru Provinsi Jawa
Barat periode Mei Desember 2015. Subjek dari penelitian adalah semua pasien
TB baru yang memiliki data lengkap sesuai dengan kriteria populasi. Pemilihan
subjek ditentukan secara survei berdasarkan kriteria populasi yang telah
ditetapkan. Adapun kriteria populasi sebagai berikut:
Kriteria Inklusi
a. Subjek penelitian ini adalah subjek yang sudah melakukan pengobatan
minimal 6 bulan dan dinyatakan sudah melakukan pengobatan lengkap atau
sembuh periode bulan Mei-Desember 2015 pada register book.
b. Subjek bukan pindahan dari puskesmas, rumah sakit dan balai pengobatan
kesehatan lainnya.
c. Subjek memiliki umur 18 tahun pada saat dinyatakan selesai melakukan
pengobatan.
d. Subjek memiliki data berat badan tiap bulan selama pengobatan dan data
tinggi badan minimal 1kali pengukuran selama pengobatan yang dilakukan
oleh petugas kesehatan.
e. Subjek memiliki data gambaran umum pemeriksaan penyakit yang lengkap
meliputi pemeriksaan BTA awal, penyakit penyerta dan diagnosa penyakit.
Kriteria Ekslusi
a. Subjek melakukan pengobatan dilanjutkan di luar Puskesmas.
b. Subjek menderita kelainan kongenital atau sindrom bawaan, tumor yang
besar.
c. Subjek mempunyai penyakit kronis yang mempengaruhi berat badan seperti
asma.
6
Jumlah Subjek yang diambil untuk penelitian ini sebanyak 62 orang dari
total populasi 149 orang yang sudah melakukan pengobatan lengkap pada periode
Mei-Desember 2015 di RS Paru Provinsi Jawa Barat.
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder dan primer.
Data sekunder diperoleh dari medical record dan register books DOTS pasien TB
rumah sakit meliputi data karakteristik subjek ( jenis kelamin, umur, dan status
pekerjaan), berat badan, dan karakteristik penyakit (pemeriksaan BTA awal,
klasifikasi penyakit TB, dan penyakit penyerta), sedangkan data primer adalah
data tinggi badan yang diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung oleh
petugas medis. Data yang dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini melalui 2 tahapan yaitu
analisis deskriptif (univariate) dan analisis bivariate. Variabel dependen dari
penelitian adalah perubahan status gizi setelah pengobatan sedangkan untuk
variabel independen adalah karakteristik subjek (jenis kelamin, umur dan status
pekerjaan) dan karakteristik penyakit (pemeriksaan BTA awal, klasifikasi
penyakit dan penyakit penyerta). Data penunjang status gizi meliputi data tinggi
badan dan berat badan yang diperoleh dari pengukuran selama pengobatan.
Data variabel perubahan berat badan, IMT dan status gizi diperoleh dari
perhitungan selisih perubahan selama pengobatan. Perubahan berat badan terdiri
dari perubahan berat badan bulan ke-2 pengobatan dan bulan ke-6 pengobatan.
Analisis perubahan berat badan dilakukan pada bulan tersebut dikarenakan untuk
melihat efek pengobatan TB pada fase awal atau intensif (bulan ke-2 pengobatan)
dan fase lanjutan (bulan ke-6 pengobatan). Perubahan berat badan pada bulan ke-2
diperoleh dari selisih berat badan bulan ke-2 dengan berat badan sebelum
pengobatan, sedangkan perubahan pada bulan ke-6 pengobatan diperoleh dari
selisih antara berat badan bulan ke-6 dengan berat badan sebelum pengobatan.
Perubahan IMT diperoleh dari selisih IMT pada bulan ke-6 pengobatan dengan
IMT sebelum melakukan pengobatan. Untuk data perubahan status gizi dilihat
berdasarkan perubahan nilai IMT dari selisih IMT pada bulan ke-6 pengobatan
dengan IMT sebelum melakukan pengobatan.
8
Uji normalitas dilakukan pada data berat badan bulan ke-0, bulan ke-2
pengobatan, dan bulan ke-6 pengobatan menggunakan uji Kolmogorov-smirnov.
Hasil uji menunjukkan bahwa data berat badan tidak terdistribusi dengan normal
sehingga dilakukan transformasi dan hasil uji normalitas menunjukkan data berat
badan terdistribusi secara normal. Begitu juga yang dilakukan untuk data IMT
pada bulan ke-0, bulan ke-2, dan bulan ke-6 pengobatan dalam penentuan
perbedaan status gizi. Uji statistik yang digunakan untuk menganalisis perubahan
berat badan dan status gizi menggunakan T-test.
Data bivariate terhadap analisis yang berhubungan dengan perubahan status
gizi dilakukan dengan melihat perubahan nilai IMT menggunakan uji chi-square
dan fisher exact. Fisher exact test digunakan jika dalam analisis tidak memenuhi
uji chi-square dengan nilai expected kurang dari 5 seperti pada variabel klasifikasi
penyakit TB dan penyakit penyerta.
Definisi Operasional
Pasien TB Baru adalah orang atau pasien yang berobat ke RS Paru Provinsi Jawa
Barat, memiliki diagnosa TB olah dokter berdasarkan pemeriksaan dahak
dan rontgen, melakukan pengobatan minimal 6 bulan, disebut pasien baru
berdasarkan register books DOTS dan belum pernah melakukan
pengobatan TB di fasilitas lain atau kurang dari satu bulan.
Pengobatan TB 6 Bulan adalah suatu kegiatan pengobatan terhadap pasien TB
dengan melakukan pematauan atau pemeriksaan selama 6 bulan berturut-
turut tanpa putus serta mengkonsumsi obat yang diberikan setiap hari
selama 6 bulan.
Penyakit penyerta adalah penyakit tambahan atau yang diderita pasien selain TB
paru selama melakukan pengobatan TB yang ditulis pada medical record.
BTA adalah hasil pemeriksaan lab yang menunjukkan hasil pengecekan dahak
pasien yang didiagnosa penyakit TB paru meliputi pengecekan awal
pengobatan dan akhir pengobatan yang ditulis pada data medical record.
Pemeriksaan BTA Awal adalah hasil pemeriksaan BTA yang dilakukan pada
awal pengobatan.
Pemeriksaan BTA Akhir adalah hasil pemeriksaan BTA yang dilakukan pada
akhir pengobatan.
Status Gizi meliputi status gizi awal pengobatan dan akhir pengobatan
berdasarkan IMT yang didapat dari data penimbangan berat badan dan
tinggi badan pada awal pengobatan serta pengobatan terakhir diukur
menggunakan rumus berat badan dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat.
Klasifikasi Penyakit adalah hasil diagnose dokter yang menunjukkan pasien
termasuk kedalam TB paru atau TB ekstra paru.
Perubahan BB adalah hasil pengurangan antara berat badan akhir pengobatan
dengan awal pengobatan baik pada fase intesif (bulan ke-2) ataupun fase
lanjutan (bulan ke-6) bertujuan untuk melihat efek dari pengobatan
terhadap perubahan berat badan selama pengobatan.
Perubahan status gizi adalah hasil pengurangan antara IMT bulan ke-6 dengan
awal pengobatan yang bertujuan melihat tren perubahan IMT selama
pengobatan.
9
Karakteristik Subjek
Subjek merupakan pasien rawat jalan yang melakukan pengobatan TB
minimal 6 bulan di RS Paru Provinsi Jawa Barat. Jumlah subjek yang diteliti
berjumlah 62 orang, terdiri dari 35 orang laki-laki dan 27 orang perempuan.
Sebagian besar dari keseluruhan subjek (64.5%) berada pada kelompok umur
dewasa 18-45 tahun dan tergolong umur produktif yang berasal dari daerah-
daerah di sekitar rumah sakit yaitu Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu,
Bekasi, dan Karawang. Subjek penelitian sebagian besar bekerja (64.5%) dengan
jenis pekerjaan adalah PNS, Polisi/TNI, petani, buruh, pedagang,
pelajar/mahasiswa dan ibu rumah tangga bahkan ada yang tidak bekerja.
Karakteristik subjek dari hasil penelitian disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan jenis kelamin, umur, domisili, dan status
pekerjaan
Karakteristik subjek n %
Jenis kelamin
Laki-laki 35 56.5
Perempuan 27 43.5
Total 62 100.0
Umur (Tahun)
18-25 14 22.6
26-35 16 25.8
36-45 10 16.1
46-55 13 21
56-65 7 11.3
>65 2 3.2
Total 62 100.0
Alamat subjek
Cirebon 40 64.5
Kuningan 5 8.1
Majalengka 11 17.7
Indramayu 4 6.5
Bekasi 1 1.6
Karawang 1 1.6
Total 62 100
Status Pekerjaan
Bekerja 34 54.8
Tidak bekerja 28 45.2
Total 62 100.0
10
Karakteristik Penyakit
Karakteristik penyakit berdasarkan diagnosa yang dilakukan oleh dokter
dan hasil pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan dahak berupa BTA
awal pengobatan, klasifikasi penyakit TB, dan penyakit penyerta. Sebagian besar
subjek yang menderita penyakit TB pada penelitian ini memiliki hasil
pemeriksaan BTA awal negatif (64.5%) dibandingkan dengan BTA positif. Jenis
klasifikasi penyakit TB yang terbanyak adalah TB paru (88.7%) dan sebagian
besar TB tanpa penyakit penyerta lainnya. Penyakit penyerta yang ada pada
subjek diantaranya DM, kolesterol, hipertensi, DIH dan asam urat. Karakteristik
penyakit dari hasil penelitian disajikan pada Tabel 4.
Status gizi
Status gizi adalah gambaran kesehatan sebagai refleksi dari apa yang
dikonsumsi, bersumber dari pangan dan penggunaanya oleh tubuh (Anwar dan
Riyadi 2009). Penilaian status gizi salah satunya bisa dilakukan secara langsung
menggunakan metode antropometri dengan aplikasi indeks massa tubuh (IMT)
atau Body Mass Indeks (BMI). IMT merupakan salah satu metode yang murah,
mudah dan sederhana untuk menilai status gizi individu, tetapi tidak bisa
mengukur lemak tubuh. Pengukuran IMT dilakukan dengan cara membagi berat
badan dalam satuan kilogram dengan tinggi badan dalam satuan meter kuadrat
(Gibson 2005).
Selama ini, fasilitas pelayanan kesehatan yang menjadi tempat penelitian
hanya melakukan pengukuran berat badan untuk semua pasien TB yang dirawat.
Hal tersebut disebabkan data berat badan sangat diperlukan untuk menghitung
dosis penggunaan obat yang diberikan oleh dokter terhadap pasien TB. Selain itu,
data berat badan sebagai salah satu indikator keberhasilan dari pengobatan. walau
demikian, data tinggi badan tetap diperlukan untuk melihat status gizi selama
pengobatan, sehingga peneliti meminta melakukan pengukuran berat badan untuk
melihat tren status gizi pada pasien TB selama pengobatan.
11
Rata-rata berat badan, tinggi badan, dan IMT pada awal pengobatan yaitu
48.17 kg, 159.14 cm dan 18.95 dengan status gizi subjek yang sebagian besar
termasuk dalam kategori status gizi kurang (sangat kurus dan kurus) sebesar
56.5% (Tabel 5). Penelitian lain yang dilakukan Puspita et al. (2016) di RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru menyebutkan bahwa gambaran umum status gizi
subjek TB memiliki status gizi normal sebesar 46.5%, underweight 43.7%,
overweight 5.6% dan obesitas 4.2%. Hal ini menunjukkan bahwa status gizi yang
kurang bukan satu-satunya faktor penyebab penyakit TB melainkan adanya
faktor-faktor yang lain yang bisa memicu terjadinya penyakit TB yaitu faktor
sosial ekonomi dan faktor lingkungan (Manalu 2010), namun umumnya orang
yang memiliki status gizi kurang memiliki resiko yang lebih tinggi terkena
penyakit TB dibandingkan dengan yang memiliki status gizi baik (Gupta et al.
2009).
Dampak status gizi kurang terhadap pengobatan TB diantaranya
berhubungan dengan keterlambatan penyembuhan, peningkatan angka kematian,
resiko kekambuhan dan kejadian hepatitis akibat OAT (Obat Anti TB) (Pratomo
et al. 2012). Sebanyak 10.9% dari subjek yang tergolong gizi buruk meninggal
dalam empat minggu pertama pengobatan TB dari pada subjek yang memiliki
status gizi normal ataupun status gizi tingkat ringan (Cegielski & McMurray
2005). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh sianturi (2014) menyatakan
bahwa subjek TB yang memiliki status gizi kurang pada awal pengobatan
memiliki resiko kegagalan pengobatan 9.5 kali lebih besar dari orang yang
memiliki gizi normal.
(Antonio et al. 2014). Selama masa pengobatan (bulan ke-0, 2 dan 6), rata-rata
berat badan subjek adalah 48.18 kg, 50.19 kg dan 51.37 kg. Selama masa tersebut
terjadi perubahan berat badan, baik yang mengalami kenaikan, penurunan atau
tetap. Data perubahan berat badan selama pengobatan disajikan pada Tabel 7.
kelompok usia dewasa dan termasuk usia produktif dengan status gizi kurang
(Kemenkes 2014). Penderita yang memiliki status gizi kurang memiliki resiko
kematian dua kali lipat dibandingkan dengan orang yang memiliki status gizi baik
(Pratomo et al. 2012). Selama pengobatan, Status gizi pasien TB umumnya akan
membaik meskipun tanpa pemberian suplementasi. Hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya peningkatan asupan makanan dan nafsu makan,
kebutuhan energi tubuh menurun, dan proses metabolik tubuh mulai membaik
(USAID 2008). Gambaran status gizi berdasarkan IMT selama pengobatan
disajikan pada Tabel 8.
ke-6 untuk status gizi normal sebesar 1.441.64 lebih besar dibandingkan pada
bulan ke-2 sebesar 0.611.15 begitupun untuk kategori status gizi yang lainnya.
Karakteristik Subjek
Karakteristik subjek dari pasien TB yang diperoleh dari medical record
rumah sakit dan register book DOTS meliputi jenis kelamin, umur, dan status
pekerjaan.
1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko penyakit TB. Jenis kelamin
laki-laki memiliki resiko penyakit TB lebih besar dibandingkan dengan
perempuan terutama untuk penyakit TB paru (puspita et al 2016). Hal ini
disebabkan laki-laki memiliki mobilitas yang tinggi di luar rumah sehingga
16
kemungkinan terpajan oleh kuman TB lebih tinggi pula. Selain itu, kebiasaan
gaya hidup yang salah seperti merokok yang sering dilakukukan oleh laki-laki
mengakibatkan penurunan sistem imun tubuh sehingga lebih mudah terserang
penyakit TB (Mahfuziah 2014). Menurut WHO (2007) merokok bisa
meningkatkan kejadian penyakit TB 2-3 kali lipat sehingga meningkatkan
prevalensi penyakit TB di dunia. Rao (2009) menyatakan bahwa laki-laki
cenderung memiliki resiko terkena penyakit lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Akan tetapi, perkembangan infeksi menjadi penyakit TB pada
perempuan lebih cepat dibandingkan laki-laki. Tingkat keberhasilan pengobatan
pada pasien TB perempuan lebih rendah dibandingkan pasien TB laki-laki. Hal ini
terlihat dari peningkatan IMT setelah pengobatan pada laki-laki yang lebih besar
dibandingkan pada perempuan (Holmes et al 1998).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum pengobatan, IMT pasien
TB laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (Tabel 10),
karena massa tulang dan ukuran kerangka pada laki-laki lebih besar dibandingkan
perempuan (Nieves et al. 2005). Selain itu, Metcalfe (2005) menyatakan bahwa
pasien TB perempuan mengalami gangguan yang lebih berat dibandingkan
dengan pasien TB laki-laki, yakni kehilangan selera makan, mual, muntah, dan
diare. Sementara pasien TB laki-laki hanya mengalami gangguan kelelahan,
sehingga pasien TB laki-laki cenderung memiliki status gizi yang lebih baik
dibandingkan pasien TB perempuan.
Selama pengobatan TB rata-rata IMT pasien berdasarkan jenis kelamin
mengalami kenaikan, terlihat dari perubahan nilai IMT keduanya di bulan keenam
pengobatan lebih besar dibandingkan dengan bulan sebelum pengobatan (Tabel
9). Jumlah laki-laki yang mengalami peningkatan IMT (74.3%) lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah perempuan yang mengalami peningkatan IMT
(66.7%). Tetapi, rata-rata perubahan IMT pada perempuan sedikit lebih besar
dibandingkan dengan laki-laki. Hasil analisis statistik menggunakan uji chi square
menyebutkan bahwa jenis kelamin pasien TB tidak memiliki hubungan yang
signifikan terhadap perubahan status gizi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Dodor (2008) menyatakan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan
dengan perubahan status gizi.
Wassie et al (2014) dalam penelitiannya menyebutkan, faktor yang
berhubungan dengan kenaikan berat badan pada pasien TB adalah status
pendidikan yang akan mempengaruhi pengetahuan subjek tentang TB. Hal ini
disebabkan subjek yang memiliki pendidikan tinggi akan memiliki kesadaran
yang lebih baik pada pentingnya asupan makanan dan lebih mematuhi obat
sehingga bisa meningkatkan asupan makanan. Selain itu penelitian yang
dilakukan di New Zealand menyebutkan bahwa frekuensi makan yang sering
berhubungan denga kenaikan IMT, jika frekuensi makan lebih dari tiga kali
perhari mengakibatkan asupan makanan lebih banyak sehingga memperbaiki
jaringan lemak dan otot dari kekurangan gizi dan mampu meningkatkan dampak
pengobatan dengan meningkatkan sistem imun tubuh (Jeniffer et al 2008).
2. Umur
Kemenkes (2011) menyebutkan bahwa 75% pasien TB adalah kelompok
umur produktif secara ekonomis dan muda. Umur produktif merupakan umur
seseorang berada pada tahap siap untuk bekerja (15-49 tahun) menghasilkan
17
sesuatu baik untuk dirinya ataupun orang lain (Nurjana M A 2015). Umur
produktif lebih beresiko terkena penyakit TB dikarenakan aktivitas tinggi diluar
rumah sehingga lebih sering berinteraksi dengan orang lain sehingga
meningkatkan resiko untuk tertular penyakit TB lebih besar ( Putri et al 2016).
Pengelompokkan umur subjek berdasarkan umur produktif (18-49 tahun) dan
tidak produktif ( 50 tahun).
Tabel 10 menunjukkan bahwa pada awal pengobatan, subjek dengan umur
50 tahun memiliki IMT sedikit lebih besar dibandingkan dengan subjek dengan
umur 18-49 tahun. Menurut Jackson et al. (2002) pada usia yang lebih tua (tidak
produktif) terjadi penurunan fungsi tubuh dan aktivitas menyebabkan lebih
banyak asupan makanan yang disimpan sebagai lemak sehingga berat badan
meningkat.
Selama pengobatan, jumlah subjek berumur 18-49 tahun lebih banyak yang
mengalami peningkatan IMT (79.1%) dibandingkan jumlah subjek berumur 50
tahun yang mengalami peningkatan IMT (52.6%). Selain itu perubahan IMT
sebelum dan setelah pengobatan pada subjek berumur 18-49 tahun lebih besar
dibandingkan dengan perubahan IMT pada subjek berumur 50 tahun. Menurut
Dodor (2008), pada usia muda (produktif) sistem kekebalan tubuh lebih kuat serta
bervariasinya jenis makanan yang dikonsumsi menyebabkan subjek yang berusia
muda mengalami peningkatan IMT yang lebih tinggi. Selain itu, semakin
meningkatnya umur menyebabkan proses penyembuhan semakin melambat
dikarenakan melemahnya fungsi kognitif dan tingkat kesehatan (Ji, Meng, dan
Dong 2012) serta tingginya kemungkinan terjadinya anorexia sebagai efek
samping pengobatan (Kagansky et al. 2005).
Hasil analisis statistik menggunakan uji chi square menunjukkan bahwa
umur memiliki hubungan yang signifikan terhadap perubahan status gizi. dengan
arah hubungan yang negatif berdasarkan uji pearson sehingga semakin
meningkatnya umur perubahan status gizi semakin rendah. Sebaliknya, semakin
muda umur perubahan status gizi semakin tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh
Dodor (2008) di Ghana-India, menyatakan umur sebagai salah satu variable yang
memiliki hubungan signifikan dengan perubahan status gizi.
3. Status Pekerjaan
Status pekerjaan merupakan salah satu faktor sosial demografi yang
berkaitan erat dengan tingkat paparan dengan penderita TB, peningkatan stres,
ketegangan hidup, dan pendapatan (Kajal et al. 2015). Beberapa jenis pekerjaan
tertentu memiliki resiko penyebaran dan perkembangan penyakit TB yang tinggi.
Lingkungan kerja merupakan tempat yang paling mudah terjadinya transmisi
penyakit TB. Menurut Kajal et al. (2015) status pekerjaan berpengaruh terhadap
resiko menderita penyakit TB, dimana buruh dan ibu rumah tangga memiliki
resiko yang lebih besar menderita penyakit TB dibandingkan dengan wiraswasta,
pelajar, dan pekerja profesional. Akan tetapi, status pekerjaan tidak berpengaruh
terhadap IMT pasien TB baik sebelum maupun sesudah pengobatan.
Hasil penelitian ini menunjukkan subjek yang bekerja memiliki IMT awal
dan perubahan IMT yang lebih besar dibandingkan subjek yang tidak bekerja.
Selain itu, jumlah subjek bekerja yang mengalami penigkatan IMT (73.5%) lebih
banyak dibandingkan jumlah subjek TB yang tidak bekerja (67.9%). Akan tetapi,
hasil analasis statistik menggunakan uji chi square menunjukkan status pekerjaan
18
Karakteristik Penyakit
Karakteristik penyakit meliputi pemeriksaan BTA awal, klasifikasi penyakit
TB, dan penyakit penyerta yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium
dan hasil diagnosa dokter dari gejala ataupun keadaan klinis subjek.
2. Klasifikasi Penyakit TB
Penyakit TB berdasarkan lokasi anatomi dibedakan menjadi dua, yaitu TB
paru dan TB ekstra paru (Kemenkes 2014). Penyakit TB berdasarkan lokasi
anatomi dibedakan menjadi dua, yaitu TB paru dan TB ekstra paru. TB paru
merupakan infeksi yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tetapi tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus (Kemenkes 2014).
Sedangkan TB ektra paru menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
selaput otak, kelenjar limfe, pleura, pericardium, persendian, tulang, kulit, usus,
saluran kemih, ginjal, alat kelamin, dan lain-lain (Lee JY 2015). TB paru lebih
banyak diderita oleh laki-laki dibanding perempuan dan pada pasien DM. akan
tetapi TB ekstra paru biasanya lebih banyak ditemui pada perempuan usia 25
tahun keatas dan pada pasien HIV( Suresh JA et al 2016).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek TB ekstra paru memiliki IMT
awal dan perubahan IMT sedikit lebih besar dibandingkan dengan subjek TB paru
(Tabel 10). Selain itu, jumlah subjek TB ekstra paru yang mengalami peningkatan
IMT (71.4%) tidak terlalu berbeda jauh dibandingkan subjek TB paru yang
mengalami peningkatan IMT (70.9%). Hal ini disebabkan IMT pada subjek TB
paru maupun ekstra paru mengalami perbaikan karena efek dari pengobatan. Akan
tetapi, hasil uji fisher exact test pada penelitian ini menunjukkan tidak ada
hubungan yang signifikan antara klasifikasi penyakit (TB paru dan TB ekstra
paru) dengan status gizi subjek.
Hasil yang sama juga diperol Da Costa et al. (2016) yang menunjukkan
bahwa klasifikasi penyakit TB tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
tingkat keberhasilan pengobatan. Sebaliknya, Ditah et al. (2008) menyatakan
adanya hubungan yang signifikan antara klasifikasi penyakit TB dengan
keberhasilan pengobatan. Namun, hal ini tergantung dari tingkat keparahan
penyakit pada awal pengobatan (Da Costa et al. 2016).
Penelitian yang dilakukan Da Costa et al. (2016), subjek TB ekstra paru
memiliki tingkat kesuksesan yang lebih tinggi dibandingan subjek TB paru BTA
positif dan negatif. Tingkat keberhasilan pengobatan pada pasien TB ekstra paru
yakni sebesar 85.05%, sedangkan pada pasien TB paru BTA negatif dan BTA
20
3. Penyakit Penyerta
Penyakit penyerta pada penyakit TB bisa disebabkan karena efek samping
dari pengobatan seperti penyakit DIH atau karena riwayat penyakit sebelumnya
yang mengakibatkan penyakit TB seperti Diabetes Melitus (DM) (Abe dan Fujita
2013). Adanya penyakit penyerta pada subjek TB menyebabkan waktu
pengobatan menjadi lebih lama dan angka keberhasilan dari pengobatan juga
rendah (Rei-Santos et al. 2014). Wijaya (2015) menyebutkan bahwa pada
penyakit DM terjadi hiperglikemia yang dapat menyebabkan menurunnya
aktivitas sel fagosit untuk membunuh mikroorganisme dalam leukosit sehingga
menurunkan sistem imun dan meningkatkan resiko penyakit TB terutama penakit
TB paru.
Tabel 10 menunjukkan bahwa subjek TB dengan penyakit penyerta
memiliki rata-rata IMT pada awal pengobatan lebih besar dari subjek TB tanpa
penyakit penyerta. hal ini disebabkan oleh kondisi penyakit penyerta yang masih
terkontrol dengan baik sehingga penurunan berat badan jarang terjadi. Siddiqui et
al (2016) menyebutkan gejala TB dengan penyerta seperti DM lebih banyak
21
memiliki gejala dyspnea, nyeri dada dan hemoptisis sedangkan untuk TB tanpa
DM lebih banyak mengalami gejala batuk, anoreksia, penurunan berat badan dan
demam dimalam hari. Selain itu, kemungkinan yang terjadi disebabkan subjek
yang memiliki penyakit penyerta lebih mudah terdeteksi penyakitnya
dibandingkan tanpa penyakit penyerta.
Peningkatan IMT setelah pengobatan, lebih banyak terjadi pada subjek TB
dengan penyakit penyerta (76.9%) dibandingkan dengan subjek TB tanpa
penyerta (69.4%) (Tabel 5). Hal ini disebabkan terjadinya pemulihan gejala yang
lebih baik antara subjek TB dengan penyakit penyerta dan tanpa penyerta akibat
dari pengobatan. Akan tetapi, hasil analisis statistik menggunakan uji chi square
menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan antara penyakit penyerta dengan
peningkatan IMT yang berarti tidak ada hubungan juga dengan perubahan status
gizi. Hasil yang sama diperoleh Raghuraman et al. (2014) yang menunjukkan
bahwa IMT pada subjek dengan penyakit penyerta (khususnya DM) tidak berbeda
nyata dengan IMT subjek tanpa penyakit penyerta.
Simpulan
Saran
gizi kurang diawal pengobatan, memiliki umur 50 tahun dan pasien yang
memiliki pemeriksaan BTA awal negatif. Selain itu, perlu dilakukan pengukuran
tinggi badan pada pasien TB disetiap fasilitas pelayanan kesehatan untuk menilai
status gizi pasien. Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan penelitian dengan
jumlah subjek lebih besar dan penambahan variabel penelitian seperti asupan
makanan subjek selama pengobatan .
23
DAFTAR PUSTAKA
Kurniati I. 2010. Angka konversi penderita tuberkulosis paru yag diobati dengan
obat antituberkulosis (OAT) paket kategori satu di BP4 Garut. MKB. 42(1)
: 32-36.
Lee JY. 2015. Diagnosis and Treatment of Extrapulmonary Tuberculosis. Tuberc
Respir Dis. 78:47-55.
Mahan KL, Escott-Stump S. 2008. Krauses Food & Nutrition Therapy. Ed ke-12.
Canada (US): Elsevier.
Indah Mahfuzhah. 2014. Gambaran faktor risiko penderita TB paru berdasarkan
status gizi dan pendidikan di RSUD Dr.Soedarso [Skripsi]. Pontianak
(ID): Universitas Tanjung Pura.
Manalu HSP. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan
Upaya Penangulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan. 9(4):1340-1346.
Metcalfe N. 2005. A Study of Tuberculosis, Malnutrition and Gender in Sri
Lanka. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and
Hygiene. 99 :115119.
Muoz-Sellart M, Cuevas LE, Tumato M, Merid Y, Yassin MA. 2010. Factors
associated with poor tuberculosis treatment outcome in the Southern
Region of Ethiopia. Int J Tuberc Lung Dis. 14(8):973979.
Notoatmodjo S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka
Cipta.
Nieves JW, Formica C, Ruffing J, Zion M, Garrett P, Lindsay R, Cosman F. 2005.
Males have larger skeletal size and bone mass than females, despite
comparable body Sie. Journal Of Bone And Mineral Research. 20:529-
535.
Nurjama MA. 2015. Faktor Risiko Terjadinya Tuberculosis Paru Usia Produktif
(15-49 Tahun) di Indonesia. Media Litbangkes. 25(3):163-170.
[PDPI] Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis Pedoman
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta (ID): PDPI.
[PPTI] Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. 2010. Buku Saku
PPTI. Jakarta (ID): PPTI.
Pratomo IP, Burhan E dan Tambunan V. 2012. Malnutrisi dan tuberkulosisi. J
Indon Med Assoc. 62:230-236.
Puspita E, Chistianto E, Yovi I. 2016. Gambaran Status Gizi pada Subjek
Tuberkulosis Paru (TB Paru) yang menjalani rawat jalan di RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru. JOM FK. 3(2):1-15.
Pusponegoro HD, Rejeki S, Dody F, Bambang TA, Antonius HP, Sholeh MK,
Rusmil K. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi Ke-1.
Jakarta : IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia ).
Putri WA, Munir SM, Christianto E. 2016. Gambaran Status Gizi pada Pasien
Tuberkulosis Paru (TB Paru) yang Menjalani Rawat Inap di RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru. JOM FK. 3(2):1-16.
Raghuraman S, Kavita VP, Govindarajan S, Chinnakali P, Panigrahi KC. 2014.
Prevalence of diabetes mellitus among tuberculosis patients in Urban
Puducherry. North American Journal of Medical Sciences.6(1):30-34.
Rao S. 2009. Tuberculosis and patient gender: An analysis and its implications in
tuberkulosis control. Lung India. 26(2):46-47.
Reis-Santos B, Gomes T, Locatelli R, de Oliveira ER, Sanchez MN, Horta BL,
Riley LW, Maciel EL. 2014. Treatment outcomes in tuberculosis patients
26
RIWAYAT HIDUP