Anda di halaman 1dari 24

Laporan Kasus

ABLATIO RETINA

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Mata FK Unsyiah/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh:
Novi Rista Ananda
Nisa Winanda
Muammar Kadafi

BAGIAN/SMF ILMU MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH

2015

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Ablasio
Retina. Shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW. yang
telah membawa umat manusia ke masa yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Laporan Kasus ini merupakan salah satu tugas dalam menjalankan kepanitraan
Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Syiah Kuala/RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Firdalena Meutia, Sp. M
yang telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
terhadap referat ini. Semoga referat ini bermanfaat bagi penulis dan orang lain.

Banda Aceh, Juli 2015

Novi Rista Ananda

ii
DAFTAR ISI

halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 2


2.1. Anatomi Retina ...................................................................................... 2
2.2. Fisiologi Retina ...................................................................................... 3
2.3. Ablasio Retina ........................................................................................ 3
2.3.1 Defenisi ...................................................................................... 4
2.3.2 Epidemiologi .............................................................................. 5
2.3.3 Etiologi ....................................................................................... 5
2.3.4 Patofisiologi ............................................................................... 5
2.3.5 Klasifikasi .................................................................................. 6
2.3.6 Diagnosis.................................................................................... 9
2.3.7 Tatalaksana ................................................................................ 12
2.3.8 Komplikasi ................................................................................. 13
2.3.9 Prognosis .................................................................................... 13

BAB III LAPORAN KASUS.............................................................................. 14


3.1. Identitas Pasien ...................................................................................... 14
3.2. Anamnesis .............................................................................................. 14
3.3. Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 15
3.4. Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 16
3.5. Diagnosis Banding ................................................................................. 16
3.6. Diagnosis................................................................................................ 16
3.7. Tatalaksana ............................................................................................ 16
3.8. Prognosis ................................................................................................ 16

BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 19

iii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Gambaran Diagnosis Dari Tiga Tipe Ablasio Retina ........................... 12

iv
DAFTAR GAMBAR

halaman
Gambar 1. Anatomi Retina ................................................................................. 3

Gambar 2. Lapisan Retina ................................................................................... 4

Gambar 3. Gambaran Funduskopi Retina Normal .............................................. 4

Gambar 4. Ablasio Retina ................................................................................... 4

Gambar 5. Ablasio Retina Regmatogenosa ........................................................ 8

Gambar 6. Ablasio Retina Traksi ........................................................................ 9

Gambar 7. Ablasio Retina Eksudat ..................................................................... 9

Gambar 8. Foto Klinis Pasien ............................................................................. 15

Gambar 9. Gambaran Funduskopi Pasien ........................................................... 16

v
BAB I
PENDAHULUAN

Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Retina atau selaput jala
merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsangan
cahaya. Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, yang
terdiri dari lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Untuk melihat, mata
harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan
sebagai suatu transduser yang efektif. Retina adalah lapisan sel-sel saraf di dalam
mata yang berfungsi seperti film pada kamera. Cahaya memasuki mata melalui
kornea dan lensa mata yang kemudian difokuskan pada retina. Retina mengubah
cahaya tersebut menjadi signal-signal penglihatan yang dikirim ke otak melalui saraf
penglihatan.1,2
Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel
kerucut dan sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel
pigmen masih melekat erat dengan membran Brunch. Sesungguhnya antara sel
kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlengketan struktural dengan
koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk
lepas secara embriologis.3
Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel pigmen epitel
akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila
berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi penglihatan yang menetap.3
Adapun faktor-faktor penyebab ablasio retina yang paling umum adalah
miopia 40-50%, operasi katarak dengan implan lensa (afakia, pseudofakia) 30-40%,
dan trauma okuli 10-20%. Diperkirakan 15 % pasien dengan ablasio retina pada
salah satu mata akan mengalami ablasio pada mata lainnya. Risiko ablasio bilateral
meningkat (25-30%) pada pasien yang telah menjalani ekstraksi katarak bilateral.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Retina
Retina merupakan selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan dan terdiri
atas beberapa lapis yang melapisi bagian dalam dua pertiga belakang bola mata.
Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan
berakhir di tepi ora serrata.1

Gambar 1. Anatomi retina


Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi dalamnya adalah sebagai berikut:1
1. Membran limitans interna, merupakan membran hialin antara retina dan
vitreous.
2. Lapisan serabut saraf, merupakan akson-akson sel ganglion menuju saraf ke
arah saraf optic.
3. Lapisan sel ganglion, merupakan badan sel dari neuron kedua.
4. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapisan aseluler tempat sinaps sel
bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.
5. Lapisan inti dalam, merupakan badan sel bipolar, sel horizontal dan sel
Muller.
6. Lapisan pleksiform luar, merupakan tempat sinaps sel fotoresptor dengan sel
bipolar dan sel horizontal.
7. Lapisan inti luar, merupakan lapisan inti sel kerucut dan sel batang.
8. Membran limitans eksterna, merupakan membran ilusi.
9. Lapisan fotoreseptor, terdiri dari sel batang dan kerucut.
10. Lapisan epitel pigmen retina, merupakan batas antara retina dan koroid

2
3

Gambar 2. Lapisan retina


Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri
retina sentral masuk retina melalui papil saraf optic yang akan memberikan nutrisi
dalam retina. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari
koroid.2

Gambar 3. Gambaran retina normal

2.2. Fisiologi Retina


Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah
rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat
saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula
bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan
warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat
hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf
keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Macula terutama
digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan
4

bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan
terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).1,2
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler pada
retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rodopsin, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk
sewaktu molekul protein opsin bergabung dengan 11-sis-retinal. Sewaktu foton
cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami isomerisasi menjadi
bentuk all-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid membran yang separuhnya
terbenam di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor.1,2
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang.
Pada bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa abu-
abu, tetapi warna tidak dapat dibedakan. Penglihatan siang hari terutama diperantarai
oleh fotoreseptor kerucut, jika senja hari diperantarai oleh kombinasi sel kerucut dan
batang, dan penglihatan malam oleh fotoreseptor batang.1,2

2.3 Ablasio Retina

2.3.1 Definisi
Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel batang
retina dengan sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen retina
masih melekat erat dengan membran Bruch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel
batang retina tidak terdapat sautu perlekatan struktural dengan koroid atau pigmen
epitel, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara
embriologis.1,2,3

Gambar 4. Ablasio Retina


5

2.3.2 Epidemiologi
Insiden ablasio retina di Amerika Serikat adalah 1:15.000 populasi dengan
prevalensi 0,3%. Sumber lain menyatakan bahwa insiden ablasio retina di Amerika
Serikat adalah 12,5 dari 100.000 kasus per tahun atau sekitar 28.000 kasus per
tahun.5
Adapun faktor-faktor penyebab ablasio retina yang paling umum adalah
miopia 40-50%, operasi katarak dengan implan lensa (afakia, pseudofakia) 30-40%,
dan trauma okuli 10-20%. Diperkirakan 15 % pasien dengan ablasio retina pada
salah satu mata akan mengalami ablasio pada mata lainnya. Risiko ablasio bilateral
meningkat (25-30%) pada pasien yang telah menjalani ekstraksi katarak bilateral.4,5
Insiden ablasio retina relatif lebih sering pada orang etnis Yahudi dan relatif
rendah pada bangsa kulit hitam. Ablasio retina lebih banyak terjadi pada usia 40-70
tahun, tetapi bisa terjadi pada anak-anak dan remaja dengan penyebab lebih banyak
karena trauma. Pada pasien ablasio retina usia di bawah 45 tahun, 60% laki-laki dan
40% perempuan. 4,5
Ablasio retina regmatogenosa merupakan ablasio retina yang paling sering
terjadi. Sekitar 1 dari 10.000 populasi normal akan mengalami ablasio retina
regmatogenosa. 4

2.3.3 Etiologi
Berikut adalah penyebab ablasio retina :5
a. Robekan Retina
b. Tarikan dari jaringan di badan kaca
c. Desakan tumor, cairan, nanah ataupun darah

2.3.4 Patofisiologi
Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan
rongga vesikel optik embriogenik. Kedua jaringan ini melekat longgar pada mata
yang matur dan dapat terpisah : 6
1. Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami likuifikasi
dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio progresif
(ablasio regmatogenosa).
2. Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina
(misalnya seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus (ablasio
retina traksional)).
6

3. Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruangan subretina


akibat proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada kehamilan
(ablasio retina eksudatif)
Ablasio retina idiopatik (regmatogen) terjadinya selalu karena adanya robekan
retina atau lubang retina. Sering terjadi pada miopia, pada usia lanjut, dan pada mata
afakia. Perubahan yang merupakan faktor prediposisi adalah degenerasi retina perifer
(degenerasi kisi-kisi/lattice degeration), pencairan sebagian badan kaca yang tetap
melekat pada daerah retina tertentu, cedera, dan sebagainya.7
Perubahan degeneratif retina pada miopia dan usia lanjut juga terjadi di koroid.
Sklerosis dan sumbatan pembuluh darah koroid senil akan menyebabkan
berkurangnya perdarahan ke retina. Hal semacam ini juga bisa terjadi pada miopia
karena teregangnya dan menipisnya pembuluh darah retina. Perubahan ini terutama
terjadi di daerah ekuator, yaitu tempat terjadinya 90% robekan retina. Terjadinya
degenerasi retina pada mata miopia 10 sampai 15 tahun lebih awal daripada mata
emetropia. Ablasi retina delapan kali lebih sering terjadi pada mata miopia daripada
mata emetropia atau hiperopia. Ablasi retina terjadi sampai 4% dari semua mata
afakia, yang berarti 100 kali lebih sering daripada mata fakia.5,7
Terjadinya sineresis dan pencairan badan kaca pada mata miopia satu
dasawarsa lebih awal daripada mata normal. Depolimerisasi menyebabkan
penurunan daya ikat air dari asam hialuron sehingga kerangka badan kaca
mengalami disintegrasi. Akan terjadi pencairan sebagian dan ablasi badan kaca
posterior. Oleh karenanya badan kaca kehilangan konsistensi dan struktur yang mirip
agar-agar, sehingga badan kaca tidak menekan retina pada epitel pigmen lagi.
Dengan gerakan mata yang cepat, badan kaca menarik perlekatan vireoretina.
Perlekatan badan kaca yang kuat biasanya terdapat di daerah sekeliling radang atau
daerah sklerosis degeneratif. Sesudah ekstraksi katarak intrakapsular, gerakan badan
kaca pada gerkan mata bahkan akan lebih kuat lagi. Sekali terjadi robekan retina,
cairan akan menyusup di bawah retina sehingga neuroepitel akan terlepas dari epitel
pigmen dan koroid.6

2.3.5 Klasifikasi
Dikenal 3 bentuk ablasio retina :2
a. Ablasio retina regmatogenosa
7

Ablasio terjadi akibat adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk
kebelakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh
badan kaca air (fluid vitreous) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina
ke rongga sub retina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel
pigmen koroid.
Karakteristik ablasio regmatogenosa adalah pemutusan total (full-thickness) di
retina sensorik, traksi korpus vitreum dengan derajat bervariasi, dan mengalirnya
korpus vitreum cair melalui defek retina sensorik ke dalam ruang subretina. Ablasio
retina regmatogenosa spontan biasanya didahului atau disertai oleh pelepasan korpus
vitreum. Miopia, afakia, degenerasi lattice, dan trauma mata biasanya berkaitan
dengan ablasio retina jenis ini.
Ablasio retina akan memberikan gejala terdapatnya gangguan penglihatan
yang kadang-kadang terlihat sebagai tabir yang menutup. Terdapatnya riwayat
adanya pijaran api (fotopsia) pada lapangan penglihatan. Ablasio retina yang
berlokalisasi di daerah supratemporal sangat berbahaya karena dapat mengangkat
makula. Penglihatan akan turun secara akut pada ablasio retina bila dilepasnya retina
mengenai makula lutea.3
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna
pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna
merah. Pemeriksaan yang teliti biasanya memperlihatkan satu atau lebih pemutusan
retina total misalnya robekan berbentuk tapal kuda, lubang atrofik bundar, atau
robekan sirkumferensial anterior (dialisis retina). Letak pemutusan retina bervariasi
sesuai dengan jenis; robekan tapal kuda paling sering terjadi di kuadran
superotemporal, lubang atrofik di kuadran temporal, dan dialisis retina di kuadran
inferotemporal. Apabila terdapat robekan retina multipel, maka defek biasanya
terletak dalam 90 derajat satu sama lain.2,3 Bila bola mata bergerak akan terlihat
retina yang lepas (ablasio) bergoyang. Kadang-kadang terdapat pigmen di dalam
badan kaca. Pada pupil terlihat adanya defek aferen pupil akaibat penglihatan
menurun. Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila telah terjadi
neovaskular glaukoma pada ablasio yang telah lama.3
8

Gambar 5. Ablasio Retina Regmatogenosa


b. Ablasio retina traksi
Ablasio retina akibat traksi adalah jenis tersering kedua dan terutama
disebabkan oleh retinopati diabetes proliferatif, vitreoretinopati proliferatif,
retinopati pada prematuritas, atau trauma mata. Pada ablasio ini lepasnya jaringan
retina terjadi akibat tarikan jaringan parut pada badan kaca yang akan
mengakibatkan ablasio retina dan penglihatan turun tanpa rasa sakit.
Berbeda dengan penampakan konveks pada ablasio regmatogenosa, ablasio
retina akibat traksi yang khas memiliki permukaan yang lebih konkaf dan cenderung
lebih lokal, biasanya tidak meluas ke ora serata. Gaya-gaya traksi yang secara aktif
menarik retina sensorik menjauhi epitel pigmen di bawahnya disebabkan oleh
adanya membran vitreosa, epiretina, atau subretina yang terdiri dari fibroblas dan sel
glia atau sel epitel pigmen retina. Pada ablasio retina akibat traksi pada diabetes,
kontraksi korpus vitreum menarik jaringan fibrovaskular dan retina di bawahnya ke
arah anterior menuju dasar korpus vitreum. Pada awalnya pelepasan mungkin
terbatas di sepanjang arkade-arkade vaskular, tetapi dapat terjadi perkembangan
sehingga kelainan melibatkan retina midperifer dan makula.
Proses patologik dasar pada mata yang mengalami vitreoretinopati proliferatif
adalah pertumbuhan dan kontraksi membran selular di kedua sisi retina dan di
permukaan korpus vitreum posterior. Traksi fokal dari membran selular dapat
menyebabkan robekan retina dan menimbulkan kombinasi ablasio retina
regmatogenosa-traksional.
9

Gambar 6. Ablasio Retina Traksi


c. Ablasio retina eksudat
Ablasio retina eksudatif adalah ablasio yang terjadi akibat tertimbunnya
eksudat di bawah retina dan mengangkat retina. Penimbunan cairan subretina
sebagai akibat keluarnya cairan dari pembuluh darah retina dan koroid
(ekstravasasi). Hal ini disebabkan penyakit koroid. Kelainan ini dapat terjadi pada
skleritis, koroiditis, tumor retrobulbar, radang uvea, idiopati, toksemia gravidarum.
Cairan di bawah retina tidak dipengaruhi oleh posisi kepala. Permukaan retina yang
terangkat terlihat cincin. Pada ablasio tipe ini penglihatan dapat berkurang dari
ringan sampai berat. Ablasio ini dapat hilang atau menetap bertahun-tahun setelah
penyebabnya berkurang atau hilang.

Gambar 7. Ablasio Retina Eksudat


2.3.6 Diagnosis
Diagnosis ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
oftalmologi, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Gejala yang sering dikeluhkan penderita adalah : 2,4,5
Floaters (benda melayang-layang), yang terjadi akibat kekeruhan di vitreus
oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau degenerasi vitreus itu.
10

Kadang-kadang penderita merasa ada tabir atau bayangan yang datang dari
perifer (biasanya dari sisi nasal) meluas dalam lapangan pandang. Tabir ini
bergerak bersama-sama dengan gerakan mata dan menjadi lebih nyata. Pada
stadium awal, penglihatannya membaik di malam hari, dan memburuk di
siang hari, terutama sesudah stres fisik (membungkuk, mengangkat) atau
mengendarai mobil di jalanan yang bergelombang.
Fotopsia/ light flashes (kilatan cahaya) tanpa adanya cahaya di sekitarnya,
yang umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya
atau dalam keadaan gelap. Keadaan ini disebabkan oleh tarikan pada retina
dan bisa terjadi pada orang normal jika terjadi cedera tumpul pada mata.
Penurunan tajam penglihatan. Pasien mengeluh penglihatannya sebagian
seperti tertutup tirai yang semakin lama semakin luas. Pada keadaan yang
telah lanjut dapat terjadi penurunan tajam penglihatan yang lebih berat.
Selain itu dalam anamnesis perlu ditanyakan adanya riwayat trauma,
riwayat pembedahan sebelumnya (seperti : ekstraksi katarak, pengangkatan
benda asing intraokular, dsb), riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis,
perdarahan vireous, ambliopia, glaukoma, dan retinopati diabetik), riwayat
keluarga dengan penyakit mata, serta penyakit sistemik yang berhubungan
dengan ablasio retina (diabetes, tumor, sickle cell disease, leukemia,
eklamsia, dan prematuritas)
2. Pemeriksaan oftalmologi
Pemeriksaan visus, penurunan tajam penglihatan akibat terlibatnya makula
lutea ataupun kekeruhan badan kaca yang menghambat sinar masuk. Tajam
penglihatan akan sangat menurun bila makula lutea ikut terangkat.4
Pemeriksaan lapangan pandang, gambaran tertutup tabir dan dapat terlihat
skotoma relatif sesuai dengan kedudukan ablasio retina, pada lapangan
pandang akan terlihat pijaran api seperti halilintar kecil dan fotopsia.4
Pemeriksaan funduskopi, dengan menggunakan binokuler indirek
oftalmoskopi. Pada pemeriksaan ini retina yang mengalami ablasio retina tampak
sebagai membran abu-abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid.
Jika terdapat akumulasi cairan bermakna pada ruang subretina, didapatkan
pergerakkan undulasi retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah retina yang
terlepas dari dasarnya berwarna gelap, berkelok-kelok, dan membengkok di tepi
ablasio. Pada retina yang mengalami ablasio terlihat lipatan-lipatan halus. Suatu
11

robekan pada retina terlihat agak merah muda karena terdapat pembuluh koroid
dibawahnya. Mungkin didapatkan debris terkait pada vitreous yang terdiri dari darah
dan pigmen atau kelopak lubang retina (operkulum) dapat ditemukan mengambang
bebas.5

Tabel 1. Gambaran Diagnosis Dari Tiga Tipe Ablasio Retina.5


Regmatogenus Traksi Eksudatif
Riwayat Afakia, myopia, trauma Diabetes, Faktor-faktor sistemik
penyakit tumpul, photopsia, premature,trauma seperti hipertensi maligna,
floaters, gangguan tembus, penyakit eklampsia, gagal ginjal.
lapangan pandang yang sel sabit, oklusi
progresif, dengan vena.
keadaan umum baik.
Kerusakan retina Terjadi pada 90-95 % Kerusakan primer Tidak ada
kasus tidak ada
Perluasan ablasi Meluas dari oral ke Tidak meluas Tergantung volume dan
discus, batas dan menuju ora, dapat gravitasi, perluasan
permukaan cembung sentral atau perifer menuju oral bervariasi,
tergantung gravitasi dapat sentral atau perifer
Pergerakan Bergelombang atau Retina tegang, Smoothly elevated bullae,
retina terlipat batas dan biasanya tanpa lipatan
permukaan
cekung, Meningkat
pada titik tarikan
Bukti kronis Terdapat garis Garis pembatas Tidak ada
pembatas, makrosis
intra retinal, atropik
retina
Pigmen pada Terlihat pada 70 % Terlihat pada kasus Tidak ada
vitreous kasus trauma
Perubahan Sineretik, PVD, tarikan Penarikan Tidak ada, kecuali pada
vitreous pada lapisan yang vitreoretinal uveitis
robek
Cairan sub retinal Jernih Jernih atau tidak Dapat keruh dan
ada perpindahan berpindah secara cepat
tergantung pada
perubahan posisi kepala.
Massa koroid Tidak ada Tidak ada Bisa ada
Tekanan Rendah Normal Bervariasi
intraocular
Transluminasi Normal Normal Transluminasi terblok
apabila ditemukan lesi
pigmen koroid
Keaadan yang Robeknya retina Retinopati Uveitis, metastasis tumor,
menyebabkan diabetikum melanoma maligna,
ablasio proliferative, post retinoblastoma,
traumatis vitreous hemangioma koroid,
traction makulopati eksudatif
senilis, ablasi eksudatif
post cryotherapi atau
dyathermi.
12

2.3.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan Pada pembedahan
ablasio retina dapat dilakukan dengan cara:6,7
1. Scleral buckle
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina regmatogenosa
terutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Prosedur meliputi lokalisasi posisi
robekan retina, menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan
scleral buckle (sabuk). Sabuk ini biasanya terbuat dari spons silikon atau silikon
padat. Ukuran dan bentuk sabuk yang digunakan tergantung lokasi dan jumlah
robekan retina. Pertama-tama dilakukan cryoprobe atau laser untuk memperkuat
perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen retina. Sabuk dijahit
mengelilingi sklera sehingga terjadi tekanan pada robekan retina sehingga terjadi
penutupan pada robekan tersebut. Penutupan retina ini akan menyebabkan cairan
subretinal menghilang secara spontan dalam waktu 1-2 hari.
2. Retinopeksi pneumatik
Retinopati pneumatik merupakan metode yang juga sering digunakan pada
ablasio retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada bagian
superior retina. Teknik prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas
ke dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina dan
mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui robekan. Jika robekan dapat ditutupi
oleh gelembung gas, cairan subretinal biasanya akan hilang dalam 1-2 hari.
Robekan retina dapat juga dilekatkan dengan kriopeksi atau laser sebelum
gelembung disuntikkan. Pasien harus mempertahankan posisi kepala tertentu
selama beberapa hari untuk meyakinkan gelembung terus menutupi robekan
retina.
3. Vitrektomi
Vitrektomi merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio
akibat diabetes, dan juga digunakan pada ablasio regmatogenosa yang disertai
traksi vitreus atau perdarahan vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan
membuat insisi kecil pada dinding bola mata kemudian memasukkan instrumen
hingga ke cavum vitreous melalui pars plana. Setelah itu dilakukan vitrektomi
dengan vitreus cutter untuk menghilangkan berkas badan kaca (vitreous strands),
membran, dan perlekatan-perlekatan. Teknik dan instrumen yang digunakan
tergantung tipe dan penyebab ablasio.
13

2.3.8 Komplikasi
Penurunan ketajaman penglihatan dan kebutaan merupakan komplikasi yang
paling umum terjadi pada ablasio retina. Penurunan penglihatan terhadap gerakan
tangan atau persepsi cahaya adalah komplikasi yang sering dari ablasio retina yang
melibatkan makula.4
Jika retina tidak berhasil dilekatkan kembali dan pembedahan mengalami
komplikasi, maka dapat timbul perubahan fibrotik pada vitreous (vitreoretinopati
proliferatif, PVR). PVR dapat menyebabkan traksi pada retina dan ablasio retina
lebih lanjut.6

2.3.9 Prognosis
Prognosis tergantung luasnya robekan retina, jarak waktu terjadinya ablasio,
diagnosisnya dan tindakan bedah yang dilakukan.5 Terapi yang cepat prognosis lebih
baik. Prognosis lebih buruk bila mengenai makula atau jika telah berlangsung lama.
Jika makula melekat dan pembedahan berhasil melekatkan kembali retina perifer,
maka hasil penglihatan sangat baik. Jika makula lepas lebih dari 24 jam sebelum
pembedahan, maka tajam penglihatan sebelumnya mungkin tidak dapat pulih
sepenuhnya.6
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. NC
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Lhokseumawe
No. CM : 1057672
Tanggal pemeriksaan : 6 Juli 2015

3.2. Anamnesis
3.2.1. Keluhan utama
Pandangan kabur

3.2.2. Keluhan tambahan


Mata berair, dan mata perih bila terkena cahaya matahari

3.2.3. Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang dengan keluhan pandangan kabur, terutama mata kiri, yang
dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Pasien menggambarkan pandangannya seperti
terdapat kabut dan bintik hitam yang melayang-layang. Keluhan mata kabur lama
kelamaan dirasakan semakin memberat. Pasien juga mengeluhkan mata berair dan
mata terasa nyeri jika terkena cahaya matahari. Pasien menggambarkan saat terkena
cahaya matahari terdapat kilatan putih, selanjutnya mata terasa perih. Riwayat
trauma dan operasi mata sebelumnya disangkal.

3.2.4. Riwayat penggunaan obat


Pasien menggunakan obat tetes Cendo Xytrol saat berobat di Lhokseumawe.

3.2.5. Riwayat penyakit dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien
mengaku memiliki riwayat penyakit jantung.

3.2.6. Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal yang sama.

14
15

3.2.7. Riwayat kebiasaan sosial


Pasien merupakan seorang Guru SD.

3.3. Pemeriksaan Fisik


2.3.10 Tanda vital
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Laju nadi : 84 x/ menit
Laju pernapasan : 18x/ menit
Suhu : Afebris

2. Status Lokalisata
OD Pemeriksaan OS
5/6 Visus 0,5/60
Tidak dilakukan TIO Tidak dilakukan
Normal Hirschberg Normal
Normal Gerak bola mata Normal
Dalam batas normal Palpebra Dalam batas normal
Injeksi konjungtiva (-), Conjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (-),
injeksi siliar (-), injeksi siliar (-),
chemosis (-) chemosis (-)
Hiperemis (-), edema (-) Conjungtiva tarsal Hiperemis (-), edema (-)
Keruh, infiltrat (-) Kornea Keruh, infiltrat (-)
Cukup COA Cukup
Coklat/ bulat, Iris/ Pupil Coklat/bulat,
ukuran 3 mm ukuran 3 mm
rct(+), rctl (+) rct (+), rctl (+)
Jernih Lensa Jernih

Gambar 8. Foto Klinis Pasien


16

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Funduskopi

Gambar 9. Gambaran Funduskopi Pasien

3.5 Diagnosis Banding


1. Ablasio Retina OS
2. Toksoplasmosis Okular
3. Choroidal Detachment

3.6 Diagnosis
Ablasio Retina OS

3.7 Tatalaksana
Rencana Vitreoktomi

3.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia et bonam
Quo ad functionam : dubia et malam
Quo ad sanactionam : dubia et malam
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien mengeluh pandangan kabur, terutama mata kiri, yang dirasakan sejak 2
bulan yang lalu. Pasien menggambarkan pandangannya seperti terdapat kabut dan
bintik hitam yang melayang-layang. Keluhan mata kabur lama kelamaan dirasakan
semakin memberat. Pasien juga mengeluhkan mata berair dan mata terasa nyeri jika
terkena cahaya matahari. Penurunan tajam penglihatan merupakan gejala yang paling
dikeluhkan oleh pasien dengan ablasio retina. Pasien mengeluh penglihatannya
sebagian seperti tertutup tirai yang semakin lama semakin luas. Pada keadaan yang
telah lanjut dapat terjadi penurunan tajam penglihatan yang lebih berat.
Pasien menggambarkan saat terkena cahaya matahari terdapat kilatan putih,
selanjutnya mata terasa perih. Fotopsia/ light flashes (kilatan cahaya) tanpa adanya
cahaya di sekitarnya, yang umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam
keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap. Keadaan ini disebabkan oleh tarikan
pada retina dan bisa terjadi pada orang normal jika terjadi cedera tumpul pada mata.
Pasien juga menggambarkan pandangannya seperti terdapat kabut dan bintik
hitam yang melayang-layang. Floaters (terlihat benda melayang-layang), terjadi
karena adanya kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau
degenerasi dari vitreus itu sendiri. Kadang-kadang penderita merasa ada tabir atau
bayangan yang datang dari perifer (biasanya dari sisi nasal) meluas dalam lapangan
pandang. Tabir ini bergerak bersama-sama dengan gerakan mata dan menjadi lebih
nyata
Pada pemeriksaan visus, didapatkan tajam penglihatan mata kiri pasien 0,5/60
yang menandakan telah terjadi adanya penurunan tajam penglihatan yang signifikan.
Penurunan tajam penglihatan pada ablasio retina terjadi akibat terlibatnya makula
lutea ataupun terjadi kekeruhan media penglihatan atau badan kaca yang
menghambat sinar masuk. Tajam penglihatan akan sangat menurun bila makula lutea
ikut terangkat.
Pada pemeriksaan funduskopi, retina yang mengalami ablasio retina tampak
sebagai membran abu-abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid.
Jika terdapat akumulasi cairan bermakna pada ruang subretina, didapatkan
pergerakkan undulasi retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah retina yang
terlepas dari dasarnya berwarna gelap, berkelok-kelok, dan membengkok di tepi

17
18

ablasio. Pada retina yang mengalami ablasio terlihat lipatan-lipatan halus. Suatu
robekan pada retina terlihat agak merah muda karena terdapat pembuluh koroid
dibawahnya. Mungkin didapatkan debris terkait pada vitreous yang terdiri dari darah
dan pigmen atau kelopak lubang retina (operkulum) dapat ditemukan mengambang
bebas.
Pada kasus ini, pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan vitreoktomi.
Vitrektomi merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio akibat
diabetes, dan juga digunakan pada ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus
atau perdarahan vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil
pada dinding bola mata kemudian memasukkan instrumen hingga ke cavum vitreous
melalui pars plana. Setelah itu dilakukan vitrektomi dengan vitreus cutter untuk
menghilangkan berkas badan kaca (vitreous strands), membran, dan perlekatan-
perlekatan. Teknik dan instrumen yang digunakan tergantung tipe dan penyebab
ablasio.
Pasien dengan ablasio retina memiliki prognosis yang bergantung pada luasnya
robekan retina, jarak waktu terjadinya ablasio, diagnosisnya dan tindakan bedah
yang dilakukan. Terapi yang cepat prognosis lebih baik. Prognosis lebih buruk bila
mengenai makula atau jika telah berlangsung lama. Jika makula melekat dan
pembedahan berhasil melekatkan kembali retina perifer, maka hasil penglihatan
sangat baik. Jika makula lepas lebih dari 24 jam sebelum pembedahan, maka tajam
penglihatan sebelumnya mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya. Penanganan yang
tepat dan eliminasi penyebab tereksposnya permukaan bola mata akan menghasilkan
prognosis yang baik dan angka kekambuhan yang hampir tidak ada.
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Retina & Tumor Intraokular. In: Oftalmologi
Umum. 14th ed. Widya Medika: Jakarta; 2006:197, 207-9.

2. Ilyas S, dkk. Ablasio Retina. Dalam: Sari Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-4.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004: 9,10,183-6.

3. Kanski JJ. Retinal Detachment. In: Clinical Ophthalmology. 5th ed.


Butterworth Heinemann. Philadelphia; 2003: 349-89.

4. James B.,dkk. Ablasi Retina. Dalam: Oftalmologi. 9th ed. Erlangga: Ciracas
Jakarta; 2003: 117-121

5. Friedman NJ, Kaiser PK, Trattler WB. Posterior Segment. In: Review of
Ophthalmology. Elsevier Saunders. Philadelphia; 2005: 295-342.

6. Langston DP. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. 5th ed. Lippicott
Williams & Wilkins. Philadelphia; 2002: 187-91.

7. Paley DA, Krachmer JH. Retinal Detachment. In: Primary Care Ophtalmology.
Elsevier Mosby. Philadelphia; 2005: 149-187

19

Anda mungkin juga menyukai