Anda di halaman 1dari 6

TUGAS

PERENCANAAN AGRIBISNIS

IDENTIFIKASI MASALAH KEBUTUHAN PASAR TERHADAP

UBI KAYU

Disusun Oleh :

ARISKAYANTI
10.1.5.17.1273

JURUSAN PENYULUHAN PERTANIAN

SEKOLAH TINGGI PENYULUHAN PERTANIAN

GOWA

2017
BAB I
PENDAHULUAN
Ubi kayu merupakan sumber karbohidrat ketiga setelah padi dan jagung di
negara tropis. Permintaan ubi kayu terus meningkat baik dalam bentuk segar
maupun olahan. Produksi ubi kayu dunia sekitar 250 juta ton per tahun (UNCTAD,
2014). Afrika merupakan produsen ubi kayu terbesar di dunia, lebih dari 50 persen
berasal dari benua ini. Ubi kayu di Afrika sebagian besar digunakan sebagai pangan
pokok.
Hal yang berbeda terjadi di Asia, dimana produksi ubi kayu digunakan
sebagai bahan baku industri dan bahan bakar alternatif. Asia memberikan kontribusi
olahan ubi kayu sekitar sepertiga dari produksi dunia, sebanyak 60 persen
diproduksi oleh Thailand (UNCTAD, 2014). Produk olahan ubi kayu berupa pati
maupun tepung terus meningkat, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan
berkembangnya sektor industri. Olahan pati maupun tepung berasal dari jenis ubi
kayu yang sama, hanya proses produksinya yang berbeda. Beberapa olahan ubi
kayu yakni :
1. Tepung ubi kayu, yang diperoleh dari pengeringan akar yang telah
dipotong-potong, kemudian digiling. Di Brazil, 70-80 persen dari produksi
singkong digunakan untuk membuat tepung.
2. Pati ubi kayu, merupakan zat yang diekstrak dari umbi-umbian. Pati
digunakan dalam banyak sektor industri, seperti industri makanan, farmasi
kimia, pengecoran, tekstil, kertas dan perekat. Menurut FAO, secara
keseluruhan rata-rata 60 juta ton pati diekstrak per tahun dari berbagai
sereal, akar dan umbi-umbian, tetapi hanya 10 persen dari pati ini berasal
dari singkong. Etanol , yang produksinya diprediksi akan meningkat sebesar
50 persen pada tahun 2020. Namun, penggunaan ubi kayu untuk biofuel
masih rendah. Sehingga, peranannya perlu ditingkatkan seperti yang telah
dilakukan oleh Cina, menggunakan ubi kayu sebagai pengganti jagung.
3. Pakan ternak, ubi kayu dapat dijadikan campuran pakan ternak seperti yang
dilakukan di Cina.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebutuhan Ubi Kayu dalam Negeri
Ubi kayu banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, pakan, dan bahan baku
industri (pangan dan kimia). Jumlah penduduk yang terus meningkat dan semakin
berkembangnya industri peternakan serta industri berbahan baku ubi kayu
dipastikan akan mendorong kebutuhan ubi kayu meningkat secara tajam. Menurut
Suryadi (2013) sebagian besar produksi ubi kayu di Indonesia, digunakan untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri (85-90 persen), sedangkan sisanya diekspor
dalam bentuk gaplek, chips dan tepung tapioka. Pemanfaatan terbesar ubi kayu di
Indonesia yaitu untuk bahan pangan sekitar 58 persen, bahan baku industri 28
persen, ekspor dalam bentuk gaplek sekitar 8 persen, pakan sekitar 2 persen,
sedangkan sisanya 4 persen digunakan sebagai limbah pertanian (Suryadi, 2013).
Hal tersebut mendorong pemerintah untuk terus meningkatkan produksi ubi
kayu sebagai bahan pangan alternatif, mendukung ketahanan pangan nasional.
Pada industri pakan, ubi kayu digunakan dalam bentuk pellet maupun limbah
industri ubi kayu (onggok). Meskipun pemanfaatan ubi kayu di sektor pakan hanya
2 persen, tetapi usaha peternakan meningkat dengan laju pertumbuhan 12.9
persen/tahun untuk ternak pedaging dan 18 persen/tahun untuk ternak petelur.
Ubi kayu banyak digunakan sebagai bahan baku industri yang diolah melalui
proses dehidrasi (chip, pellet, tepung tapioka), hidrolisa (dekstrose, maltose,
sukrose, sirup glukose) dan proses fermentasi (alkohol, butanol, aseton,asam
laktat, sorbitol, dan lainnya). Pencanangan bio-ethanol sebagai sumber energi
alternatif terbarukan berupa Gasohol-10 (campuran premium dengan 10 persen
etanol), dimana 8 persen keperluan etanol berasal dari ubi kayu dan peningkatan
kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) sebesar 7 persen/tahun akan lebih memacu
kebutuhan ubi kayu.

B. Perkembangan Ekspor Ubi Kayu Indonesia


Ubi kayu yang termasuk ke dalam tanaman pangan, mempunyai potensi yang
sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia. Hal tersebut didukung oleh
keadaan iklim Indonesia, sehingga tanaman ini dapat tumbuh hampir di seluruh
wilayah Indonesia. Saat ini, permintaan ubi kayu baik dalam bentuk segar maupun
olahan terus meningkat. Perkembangan sektor industri dan pengembangan biofuel
menjadi pemicu hal tersebut.
Indonesia berada dalam peringkat ketiga sebagai pengekspor ubi kayu setelah
Thailand dan Vietnam. Perkembangan ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia
mengalami fluktuasi, bahkan cenderung menurun. Meskipun produksi dalam
negeri terus meningkat.
Perkembangan total ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia dibagi menjadi 3
periode, yaitu periode sebelum krisis moneter (1989-1997), setelah krisis moneter
(1998-2007) dan setelah krisis ekonomi global (2008-2013). Hal tersebut
dilakukan untuk melihat pengaruh dari masing-masing periode terhadap volume
ekspor ubi kayu Indonesia.

C. Faktor Internal Yang Mempengaruhi Permintaan Ubi Kayu


1. Tingkat ketrampilan
Ketrampilan oleh pengusaha terlihat dari lamanya usaha tersebut didirikan.
Tingkat ketrampilan di daerah penelitian cenderung trampil karena para
pengusaha sudah cukup lama menguasahakan usahanya.
2. Ketersediaan lahan industri adalah milik sendiri
Seluruh pengusaha yang mengelolah ubi kayu memiliki lahan sendiri dan
berpotensi untuk dikembangkan. Hal ini akan mengurangi biaya yang tidak
perlu mengeluarkan biaya sewa lahan.
3. Ketersedian jenis/ Var. unggulan
Jenis/ varietas ubi kayu yang digunakan di daerah penelitian adalah jenis
ubi kayu lampung dan ubi kayu malasiya.
4. Akses terhadap sumberdaya atau bahan baku
Akses terhadap sumberdaya di daerah penelitian sangat baik karena bahan
baku diperoleh dari daerah penelitian itu juga. Dan hanya sedikit di peroleh
dari luar daerah penelitian pada saat bahan baku kurang.
5. Pengolahan hasil
Cara pengolahan hasil di daerah penelitian tidaklah rumit. Sehingga dengan
mudah para karyawan untuk mengerjakannya.
6. Jaringan distribusi
Produk olahan ubi kayu yang diolah oleh perusahaan di kabupaten serdang
bedagai sangat dikenal oleh masayarkat dalam maupun luar daerah.
7. Motivasi dalam berusaha
Para pelaku agribisnis ubi kayu memiliki motivasi yang dikategorikan
cenderung cukup baik. Dimana mereka mereka memiliki perencanaan tetapi
tidak berpendidikan.
8. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan para pelaku agribisnis dan karyawan cenderung
berpendidikan rendah yaitu Sekolah Dasar. Akan tetapi para pelaku
agribisnis sudah memiliki pengalaman yang lama dalam mengusahakan
industri ubi kayu.
D. Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi Permintaan Ubi Kayu
1. Iklim
Iklim di daerah sangat baik untuk mendukung proses pengolahan terutama
dalam penjemuran.
2. Geografi
Agroekosistem georgrafi sangat menunjang perkembangan industri ubi
kayu di daerah penelitian.
3. Lokasi bahan baku/ubi kayu
Lokasi bahan baku ubi kayu sangat bagus karena mudah di dapatkan.
Dimana sangat dekat dengan tempat industri ubi kayu tersebut sehingga
tidak mengeluarkan biaya, tenaga dan waktu.
4. Akses pasar
Akses ke pasar juga relatif mudah karena transportasi lancar dan sarana
prasaran juga lancar.
5. Budidaya/ usahatani
Budidaya/ usahatani di daerah penelitian yang sangat sederhana yang tidak
memerlukan biaya yang banyak.
6. Masalah trasportasi
Trasportasi di daerah cenderung jarang di lintasi oleh angkutan umum
meskipun jalan cenderung bagus. Akan tetapi setiap industri sudah
memiliki kendaraan pribadi minimal sepeda motor.
7. Kebutuhan konsumen
Semakin lama kebutuhan konsumen di daerah semakin meningkat.
Terlihat dari permintaan yang semakin meningkat.
8. Pemasaran hasil
Produk yang dihasilkan langsung di pasarkan keberbagai daerah baik dalam
maupun luar daerah. Pemasaran hasil produk industri ubi kayu didaerah
penelitian sangat lancar.
9. Penetapan pajak
Semua sampel industri ubi kayu di daerah penelitian tidak memiliki pajak
usaha. Sehingga dapat menjadi ancaman bagi pengusaha.
10. Perubahan selera konsumen
Perubahan selera di daerah dapat menjadi ancaman kelancaran usaha
industri ubi kayu mereka. Sehingga perlu perhatian yang lebih serius untuk
mengatasi ancaman tersebut.
11. Jumlah produk (daya serap pasar)
Jumlah produk yang di hasilkan oleh para pelaku agribisnis di daerah
penelitian cenderung sedikit sehingga sering tidak tercukupi kebutuhan
konsumen.
E. Upaya Meningkatkan Daya Saing Ubi Kayu Indonesia
Jika dilihat dari potensi alam yang dimiliki, Indonesia masih berpotensi untuk
mengembangkan ubi kayu. Pengembangan ubi kayu yang bermutu tinggi sangat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan permintaan ekspor yang
semakin meningkat. Usaha peningkatan mutu ubi kayu yang akan berdampak pada
peningkatan daya saing, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Penelitian. Kegiatan penelitian masih sangat diperlukan untuk
menghasilkan varietas unggul, metode pemanenan yang efektif dan
pengurangi kerusakan produk, metode penanganan pasca panen untuk
mengurangi susut produksi, penyimpanan ubi kayu segar agar dapat
memperluas daerah distribusi. Penelitian mengenai fermentasi ubi kayu
belum banyak dilakukan. Padahal sangat berpotensi untuk industri pangan
maupun kimia, seperti alkohol, sirup fruktosa, dan lainnya.
2. Penyuluhan. Penyuluhan mengenai penanganan pasca panen lebih
diperlukan untuk saat ini. Penyuluhan tentang bagaimana pemanenan,
penyimpanan, proses pembuatan gaplek, proses menghasilkan pati, serta
tentang mutu produk yang diminati pasar. Dengan demikian, diharapkan
para petani secara sadar berusaha untuk memperbaiki mutu produk yang
dihasilkan untuk dapat meningkatkan pendapatan.
3. Memperbaiki infrastruktur. Infrstruktur sangat berpengaruh terhadap biaya
produksi. Penurunan kinerja infrastruktur berimplikasi pada terhambatnya
distribusi barang dan jasa yang menyebabkan kenaikan biaya angkut,
sehingga biaya produksi meningkat. Hal inilah mengapa perbaikan
infrastruktur akan sangat menekan biaya produksi.
4. Kebijakan pemerintah. Biaya produksi yang rendah bagi industri dalam
negeri dapat diciptakan salah satunya dengan cara menurunkan suku bunga
pinjaman bank. Suku bunga pinjaman yang diterapkan di Indonesia sebesar
13,6 persen. Suku bunga tersebut dianggap terlalu tinggi dan membebani
para pengusaha, terutama pengusaha UKM. Bunga pinjaman tersebut akan
membebani pengusaha dan membuat biaya produksi lebih tinggi. Sehingga,
memaksa harga produk menjadi lebih mahal. Dengan demikian diperlukan
penurunan suku bunga pinjaman agar meringankan beban biaya produksi
dan mendorong pembukaan usaha-usaha baru agar terbuka lapangan kerja
yang lebih luas.

Anda mungkin juga menyukai