Anda di halaman 1dari 3

TUGAS EPIDEMIOLOGI

NAMA : HANIFA ZICO


NIM : 1502101010206
KELAS : 3
ARTIKEL

Impor Daging Kerbau dari India


Lily Rusna Fajriah
Rabu, 21 September 2016 - 16:27 WIB

Kemenko Perekonomian membantah anggapan yang menyatakan bahwa keputusan mengimpor daging
kerbau tergesa-gesa. Foto: Grafis/Istimewa

JAKARTA - Kementerian Koordinator (Kemenko) bidang Perekonomian membantah anggapan


yang menyatakan bahwa keputusan mengimpor daging kerbau tergesa-gesa. Pemerintah
dipastikan telah memperhitungkan dengan matang mengenai keputusan tersebut.

(Baca: Impor Daging Kerbau dari India, Pemerintah Dinilai Tergesa-gesa)

Asisten Deputi Peternakan dan Perikanan Kemenko bidang Perekonomian Jafi Alazagladi
mengatakan, sebelum memutuskan untuk mengimpor daging kerbau dari India, pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemasukan Daging Ternak dan Daging Hewan.

"Pemerintah tidak gegabah (impor daging kerbau). Pemerintah sudah pikirkan sehingga diterbitkan
PP tentang pemasukan daging ternak dan daging hewan," katanya dalam Roundtable Discussion
Koran SINDO di Hotel A One, Jakarta, Rabu (21/9/2016).

Menurutnya, pemerintah memutuskan untuk mengimpor daging kerbau adalah berdasarkan


pertimbangan zona base. Sebelum daging impor tersebut masuk, pihaknya juga telah mengecek
terlebih dahulu aspek keamanan dan kesehatannya.

"Sebelum ternak daging yang diimpor, itu harus dianalisis risiko dengan melihat aspek aman, sehat,
mutu, halal. Aspek itu diperhitungan," tambahnya.

Diberitakan sebelumnya, pemerintah dinilai oleh Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia
(PPSKI) terlalu tergesa-gesa dalam memutuskan mengimpor daging kerbau dari India. Pasalnya,
kerbau dari India belum masuk kategori bebas dari penyakit mulut dan kuku.

Ketua PPSKI Teguh Boediono mengungkapkan, pihaknya telah meminta pemerintah sedikit
bersabar sebelum memutuskan untuk impor kerbau dari Negeri Bollywood tersebut. Sebab, saat ini
pemberian akses masuknya daging dari negara yang belum bebas penyakit kuku dan mulut masih
dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Proses judicial review sudah pada tingkat sidang pemeriksaan. Kami hanya minta pemerintah
menunggu, karena ini menentukan sekali," katanya dalam kesempatan tersebut.
PEMBAHASAN
Dari artikel diatas dapat dilihat bahwa secara umum penyakit dalam kelompok hewan
peternakan dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produk peternakan untuk konsumsi
manusia. Dengan kata lain kemunculan penyakit menyebabkan penurunan kuantitas dari
sumber daya yang ada dibanding dengan jika penyakit tidak terjadi.
Didalam analisa ekonomi, kita harus mempertimbangkan keragaman dalam input
terhadap proses produksi hewan yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas output.
Importasi hewan dan produknya dari negara lain memberi kemungkinan penyakit
untuk masuk ke suatu negara. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan baik hewan maupun
manusia, dan pada gilirannya dapat mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat di negara
tersebut. Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai tindakan Sanitary and
Phytosanitary (SPS agreement) mengakui secara sah penerapan tindakan-tindakan yang
digunakan oleh suatu negara untuk melindungi manusia dan hewan terhadap risiko masuknya
penyakit.
Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar untuk menunjang
kelangsungan hidup, menjaga kesehatan, pertumbuhan tubuh dan kecerdasan. Namun
pangan juga memiliki risiko bahaya terhadap kesehatan konsumen. Untuk menjamin
kesehatan masyarakat, risiko bahaya dalam pangan yang dapat mengganggu kesehatan
manusia harus dikendalikan sampai tingkat yang dapat diterima (acceptable level). WHO/FAO
(WHO 1995) mengembangkan suatu pendekatan untuk menilai risiko terkait keamanan
pangan yang dikenal dengan analisis risiko (risk analysis).
Analisis risiko telah diterapkan dengan baik pada bahaya kimiawi. Selain itu, analisis
risiko juga dikembangkan terhadap bahaya mikrobiologis dan pemasukan komoditi pangan
ke dalam suatu wilayah (impor). Penerapan analisis risiko untuk standar pangan dan
keamanan pangan telah dikembangkan pada pertemuan Joint FAO/WHO Expert Consultation
on the Application of Risk Analysis to Food Standards Issues pada Maret 1995 di kantor pusat
WHO Jenewa Swiss (WHO 1995). Penerapan pendekatan analisis risiko sangat potensial untuk
menilai risiko dan keuntungan (benefits) dalam program higiene pangan dan menjadi dasar
ilmiah pengembangan standar-standar, guidelines dan recommendations tentang keamanan
pangan (Hathaway dan Cook 1997).
Dalam perjanjian sanitary and phytosanitary (SPS), setiap negara anggota World Trade
Organization (WTO) diperkenankan menetapkan sanitary measures untuk melindungi
negaranya dari risiko-risiko masuknya beberapa penyakit dan agen patogen lainnya.
Penetapan sanitary measures di suatu negara dapat mengacu kepada standar-standar,
guidelines, recommendations dari badan-badan internasional seperti Codex Alimentarius
Commission (CAC) untuk masalah keamanan pangan dan Office International des Epizooties
(OIE, World Organization for Animal Health) untuk masalah kesehatan hewan dan keamanan
produk hewan terkait penyakit-penyakit hewan menular dan zoonosis (WHO 1995; OIE 2004).
Suatu negara perlu melaksanakan analisis risiko yang bersifat ilmiah dalam
menetapkan kebijakan atau keputusan apakah komoditi tertentu yang dimasukkan (impor)
ke dalam wilayah negara tersebut memiliki risiko yang signifikan bagi kesehatan hewan dan
manusia, apabila tidak ada standar, guidelines atau recommendations yang relevan dari CAC
dan OIE atau jika negara tersebut memilih menerima tingkat perlindungan (level of
protection) yang lebih tinggi. Namun tingkat perlindungan bagi komoditi impor tersebut tidak
diperkenankan berbeda dari yang diterapkan pada pasar dalam negeri.
Dari aspek keamanan pangan dan kesehatan masyarakat veteriner, produk hewan
memiliki potensi sebagai media pembawa agen patogen bagi kesehatan hewan dan manusia
(zoonosis), serta bahaya-bahaya kimia seperti residu obat hewan, bahan tambahan pangan,
dan cemaran kimia lain. Produk hewan terdiri dari pangan asal hewan, seperti daging, susu,
telur, dan produk olahannya, serta produk non-pangan, seperti kulit, tanduk, tulang, bulu.
Menurut Brown (2004) sekitar 75% penyakit-penyakit baru yang menyerang manusia dalam
20 tahun terakhir disebabkan oleh patogen-patogen yang berasal dari hewan atau produk
hewan.

Anda mungkin juga menyukai