Anda di halaman 1dari 27

BAB I

1.1 PENDAHULUAN
Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti
balon dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada
kekuatan untuk mempertahankan pengembangannya. Paru-paru dapat
dikembang kempiskan melalui dua cara : (1) dengan gerakan naik
turunnya diafragma untuk memperbesar atau memperkecil rongga
dada, dan (2) dengan depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar
atau memperkecil diameter antero-posterior rongga dada (1).
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam
rongga pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka
akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru
tidak dapat mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya
ketika bernapas. Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun
traumatik.Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan
sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik
dan non iatrogenik(2).

INSIDENS
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak
yang tidak diketahui(7).Namun dari sejumlah penelitian yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada
penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering
daripada wanita, dengan perbandingan 5 : 1 (2).
Di Amerika Serikat, insidens pneumotoraks spontan primer pada
laki-laki adalah 7,4 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya sementara
pada wanita insidensnya adalah 1,2 kasus per 100.000 orang. Sedangkan
insidens pneumotoraks spontan sekunder pada laki-laki adalah 6,3 kasus
per 100.000 orang dan wanita 2,0 per 100.000 orang. Pneumotoraks
traumatik lebih sering terjadi dari pada pneumotoraks spontan dengan
laju yang semakin meningkat (3).

1
Pneumotoraks spontan primer terjadi pada usia 20 – 30 tahun
dengan puncak insidens pada usia awal 20-an sedangkan pneumotoraks
spontan sekunder lebih sering terjadi pada usia 60 – 65 tahun(3).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

Rongga thoraks atau cavitas thoracis berisi organ vital paru dan
jantung.(8)Paru-paru dan pleura mengisi sebagian besar rongga thoraks
dengan jantung di antaranya, sedangkan aorta descendens serta
oeshophagus terletak di belakang jantung. Pleura terbagi atas 2 lapisan,
yaitu:pleura parietalis dan pleura visceralis. Pleura parietalis merupakan
selaput tipis dari membrana serosa yang melapisi rongga pleura. Pada
daerah yang menghadap mediastinum, pleura ini beralih meliputi paru-
paru sehingga disebut pleura visceralis atau pleura pulmonalis. Pleura
visceralis ini membugkus paru-paru dan melekat erat pada permukaannya.
Ruangan potensial antara kedua lapisan pleura ini disebut cavitas pleuralis
yang hanya berisi lapisan tipis cairan untuk lubrikasi. (9)

Volume dan kapasitas paru-paru dapat diukur dengan


menggunakan alat yang disebut spirometer. Dengan menggunakan alat
ini, volume paru diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:

- Volume tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi


setiap kali bernapas normal; besarnya kira-kira 500 mililiter pada
laki-laki dewasa.

- Volume cadangan inspirasi adalah volume udara ekstra yang dapat


diinspirasi setelah dan di atas volume tidal normal bila dilakukan
inspirasi kuat; biasanya mencapai 3000 mililiter.

- Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara ekstar maksimal


yang dapat diekspirasi melalui ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi tidak
normal; jumlah normalnya adalah sekitar 1100 mililiter.

3
- Volume residu yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam
paru setelah ekspirasi paling kuat; volume ini besarnya kira-kira 1200
mililiter.

Pernapasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada.


Inspirasi terjadi karena gerak otot pernapasan yaitu m.intercostalis dan
diafragma yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara
akan terhisap masuk melalui trakea dan bronkus (8).

Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus mengembang dan


mengempis bergantung pada membesar atau mengecilnya rongga dada.
Dinding dada yang membesar akan akan menyebabkan paru-paru
mengembang sehingga udara akan terhisap ke dalam alveolus. Sebaliknya
bila m.intercostalis melemas maka dinding dada akan mengecil sehingga
udara akan terdorong keluar. Sementara itu, karena adanya tekanan
intraabdominal maka diafragma akan terdorong ke atas apabila tidak
berkontraksi. Ketiga faktor ini yaitu lenturnya dinding thoraks,
kekenyalan jaringan paru, dan tekanan intraabdominal menyebabkan
ekspirasi jika m.intercostalis dan diafragma kendur dan tidak
mempertahankan keadaan inspirasi. Dengan demikian ekspirasi
merupakan kegiatan yang pasif.(8).

Adanya lubang di dinding dada atau di pleura viseralis akan


menyebabkan udara masuk ke rongga pleura sehingga pleura viseralis
terlepas dari pleura parietalis dan paru tidak lagi ikut dengan gerak
napas dinding thoraks dan diafragma. Hal ini terjadi pada pneumotoraks.
Jika dipasang penyalir tertutup yang diberikan tekanan negatif maka
udara ini akan terhisap dan paru dapat dikembangkan lagi (8).

2.2.DEFINISI

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di


dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (5).

4
2.3ETIOLOGI
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu (2,3) :
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba.
Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,
yaitu:
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis
(PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.

2. Pneumotoraks traumatik
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua
jenis, yaitu :

5
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun
masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan
medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan
tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan
dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura.
Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan,
misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik,
maupun untuk menilai permukaan paru.
Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka
pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia
luar.Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun
lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru
disekitarnya.Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi,
sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya
sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan
udara di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga
pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat
luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama
dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan

6
intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan
tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.(4)
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
(4)
ekspirasi tekanan menjadi positif .Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking
wound).(2)
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis
yang bersifat ventil .Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea,
bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura
melalui fistel yang terbuka.Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura
tidak dapat keluar(4).Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin
lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer.Udara yang
terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas.(2)
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka
pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian
kecil paru (< 50% volume paru).

2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar


paru (> 50% volume paru).

7
2.4 DIAGNOSIS
1. Gejala Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul
adalah (2,4,5) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali
sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita
bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan
tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih
nyeri pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang
kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

2. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (3,4):
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiperekspansi
dinding dada)

8
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negative

2.5 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan
untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah
sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura
telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut
akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto
(2)
toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari . Tindakan ini
terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka (4).
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan

9
untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara
rongga pleura dengan udara luar dengan cara (2) :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum
tersebut (2), (4).
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi
air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak
gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang
berada di dalam botol (2,4).
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada
posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke
rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal.
Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus
set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak
gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang
berada di dalam botol (2,4).
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjepit.Pemasukan troakar dapat dilakukan
melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di
sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris
posterior.Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis
mid klavikula.

10
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di
rongga pleura.Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di
dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik
lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol
sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya
gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui
perbedaan tekanan tersebut (3), (4).
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan
tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji
coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk
selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura
kembali menjadi positif maka pipa belum bisa
dicabut.Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam
keadaan ekspirasi maksimal (2).

11
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga
toraks dengan alat bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah (4)
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian
dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami
robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.

2.6 Penanganan Trauma Toraks

Prinsip-prinsip

initial assessment dan pengelolaan:7

1.Pengelolaan terdiri dari:

a. Primary survey

b.Resusitasi fungsi vital

c.Secondary survey yang rinci.

d.Perawatan definitif

2.Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada cedera


toraks,intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan
mengoreksinya.

12
3. Cedera yang bersifat meng nyawa secara langsung, dilakukan terapi
secepat dan sesederhana mungkin.

4.Kebanyakan kasus cedera toraks yang mengancam nyawa diterapi


dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang
toraks atau dekompresi toraks dengan jarum.

5.Secondary survey membutuhkan riwayat cedera dan kewaspadaan


yang tinggi terhadap adanya cedera toraks yang bersifat khusus.

Primary survey pada penderita cedera toraks dimulai dengan


Airway. Masalah utama harus dikoreksi begitu teridentifikasi.7

Penatalaksanaan pada setiap pasien trauma tetap tidak melupakan


prinsip penilaian awal (initial assessment). Penilaian keadaan
pasien dan prioritas terapi didasa rkan jenis perlukaan, tanda-tanda
vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien yang terluka parah,
terapi tetap harus diberikan berdasarkan orioritas. Tanda vital
pasien harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan pasien
berupa primary survey yang cepat dan kemudian resusitasi,
secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Proses ini
merupakan ABCDE-nya trauma, dan berusaha untuk mengenali
keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan
berpatokan pada urutan berikut.7

1. Airway

Cedera berat pada airway harus dikenali dan dikoreksi saat


melakukan primary survey. Patensi airway dan ventilasi harus
dinilai dengan mendengarkan gerakan udara pada hidung
penderita mulut dan dada serta inspeksi pada daerah orofaring
untuk sumbatan airway oleh benda asing, dan dengan

13
mengobservasi retraksi otot-otot interkostal dan supraklavikular.7
Cedera laring dapat bersamaan dengan cedera toraks. Walaupun
gejala klinis yang ada kadang tidak jelas, sumbatan airway
karena cedera laring merupakan cedera yang mengancam nyawa.
Beberapa kondisi yang jarang ditemukan mungkin timbul pada
penderita dengan cedera skeletal yang menyebabkan gangguan
bermakna pada airway dan pernapasan penderita. Sebagai contoh
adalah cedera pada dada bagian atas, yang menyebabkan dislokasi
ke arah posterior atau fraktur dislokasi dari sendi sternoklavikular.
Ini dapat menimbulkan sumbatan airway bagian atas yang
menyebabkan dislokasi ke arah posterior bila displacement dari
fragmen proksimal fraktur atau komponen sendi distal menekan
trakea. Hal ini juga dapat menyebabkan cedera pembuluh darah
pada ekstremitas yang homolateral akibat kompresi fragmen
fraktur atau laserasi dari cabang utama arkus aorta
(AmericanCollege of Surgeons, 2004).Cedera ini diketahui bila ada
sumbatan airway atas (stridor),adanya tanda berupa perubahan dari
kualitas suara (jika penderita masihdapat bicara), dan cedera yang
luas pada dasar leher dengan terabanyadefek pada region sendi
strenoklavikular.Penanganan pada cedera ini adalah menstabilkan
patensi dari airway, yang terbaik dengan intubasi endotrakeal,
walalupun hal ini kemungkinan sulit dilakukan jika ada tekanan
yang cukup besar pada trakea. Yang paling penting, reposisi
tertutup dari cedera yang terjadi dengan cara mengekstensikan
bahu, mengangkat klavikula dengan pointed clamp sepertitowel
clip dan melakukan reposisi fraktur secara manual.Cedera seperti
ini bila dilakukan tindakan di atas biasanya akan tetap stabil
walaupun pederita dalam posisi berbaring.

14
2. Breathing

Dada leher penderita harus terbuka selama penilaian breathing dan


vena-vena leher. Pergerakan pernafasan dan kualitas pernafasan
dinilai dengan observasi, palpasi dan didengarkan. Gejala yang
terpenting dari cedera toraks adalah hipoksia termasuk
peningkatan frekuensi dan perubahan pada pola pernafasan,
terutama pernafasan yang denga lambat memburuk. Sianosis
adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita trauma. Tetapi
bila sianosis tidak ditemukan, bukan merupakan indikasi bahwa
oksigenasi jaringan adekuat atau airway adekuat.

3.Circulation

Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan


keteraturannya. Pada penderita hipovolemia, denyut nadi arteri
radialis dan arteri dorsalis pedis mungkin tidak teraba oleh karena
volume yang kecil.Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur
dan sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit
untuk warna dan temperature. Vena leher harus dinilai apakah
distensi atau tidak. Distensi vena leher mungkin tidak tampak
pada penderita hipovolemia walalupun ada tamponade jantung,

tension pneumothorax atau cedera diafragma.7Monitor jantung dan


pulse oximetry harus dipasang pada penderita.Penderita yang
dicurigai cedera toraks terutama pada daerah sternum ataucedera
deselerasi yang hebat harus dicurigai adanya cedera miokard
apabila ada disritmia. Hipoksia ataupun asidosis akan
mempermudah terjadinya. Kontraksi ventrikel premature, disritmia
yang kerap terjadi,mungkin membutuhkan terapi dengan bolus
lidocain segera (1mg/kg)dilanjutkan dengan drip lidocain (2-4
mg/menit).7

15
4.Disability

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap


keadaan neurologis secara cepat yang meliputi tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat
(level) cedera spinal.

5.Exposure/environmental control

Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara


menggunting, guna memeriksa dan mengevaluasi pasien. Setelah
pakaian dibuka, pasien diselimuti agar tidak hipotermia. Selimut
yang digunakan adalah selimut hangat, ruangan cukup hangat dan
diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan.Selama
primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali,
dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga.Tindakan primary
surveyadalah bentuk berurutan (sekuensial) sesuai prioritas namun
dalam praktek nya sering dilakukan secara bersamaan (simultan).

Secondary survey membutuhkan pemeriksaan fisik yang lebih


dalam dan teliti. Foto toraks tegak dibuat jika kondisi penderita
memungkinkan, serta pemeriksaan analisis gas darah, monitoring
pulse oxymetry, dan EKG. Pada foto toraks harus dinilai
pengembangan paru, adanya cairan, ada tidaknya pelebaran
mediastinum. Pada fraktur iga multipel atau fraktur iga I
dan/atauiga II harus dicurigai bahwa cedera yang terjadi pada
toraks dan jaringanlunak di bawahnya sangat berat.7

2.7 PENGOBATAN TAMBAHAN


1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT,

16
terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan
bronkodilator (4).
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (4).

2.8 PROGNOSIS
Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami
kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube
thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks
yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya
cukup baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraks
spontan sekunder tergantung penyakit paru yang mendasarinya, misalkan
pada pasien PSS dengan PPOK harus lebih berhati-hati karena sangat
berbahaya.

17
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Anamnesis

Identitas Pribadi

Nama : Tn.X

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 20 tahun

Agama : Islam

Alamat : Padang, Sumatra Barat

Tanggal Masuk : 10 Desember 2017

3.2. Riwayat Perjalanan Penyakit

Keluhan Utama : Keluhan sesak nafas makin hebat setelah terkena tusuk
pada dada kanan sejak 3 jam yang lalu
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 3 jam yang lalu sebelum
masuk RS Siti Rahma. Os mengalami kecelakaan di
tempat kerja di parik kelapa sawit yaitu terkena pecahan
katrol. Riwayat pingsan (-), kejang (-), muntah (-).

RPT :-

RPO : Tidak jelas

3.3. Pemeriksaan Fisik

18
Status Presens

Sensorium : Compos mentis

TD : 120/80 mmHg

HR : 90x/i

RR : 28 x/i

Temp : 37 ºC

3.4. Status Lokalisata

Kepala : tidak dijumpai kelainan

Mata : RC (+/+), pupil isokor, conj. Palp inferior pucat (-/-)

T/H/M : tidak dijumpai kelainan

Leher : Pembesaran KGB tidak dijumpai

Thorax : Inspeksi : tampak lacerated chest wound (+), sucking chest


wound (+)

Palpasi :kanan = Melemah

Kiri = stem fremitus

Perkusi : kanan = Hipersonor

Kiri = sonor

Auskulutasi : SP: kanan = Melemah

Kiri = Vesikuler

ST: -

Abdomen : Inspeksi : simetris

19
Palpasi : soepel, NT (-), NL (-)

Auskultasi : Peristaltik (+) normal

Perkusi : timpani

Ekstremitas : akral hangat. Oedem (-)

Alat kelamin : ♂, anus (+)

3.4. Pemeriksaan Tambahan

1. Foto Thoraks

2. Laboratorium : Darah lengkap ( Hb, Ht, Leukosit, Trombosit), Faal


Hemostasis ( PT, aPTT, TT )

3.5. Diagnosa sementara : (L) thoracal penetrating injury + (L) open


pneumothorax

3.6. Penatalaksanaan : - IVFD RL 20 gtt/i

- O2 5 L/i

- Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

- Inj. Tetagam 250 IU

3.7. Rencana : - Insersi chest tube + WSD

- Thoracotomy emergency + debridement

20
Follow up pasien

Tanggal Keluhan Keadaan umum Terapi


S: P: IVFD RL 20 gtt/i
O: Ventilator +, modus SMV Inj Ceftriaxone 1
Hemodinamik stabil gr/12 jam
SP: Vesikuler ki > ka Inj Ketorolac 30
ST: - mg/8 jam
A: Post thoracotomy Inj Ranitidine 50
11/12/2017 -
anterolateral (D) + debridement mg/12 jam
+ primary suture d/t (L) Foto toraks AP
thoracal penetrating injury Cek DL, HST,
Elektrolit
Hitung produksi
drain
S: P: IVFD RL 20 gtt/i
O: T piece, kemudian wining Inj Meropenem 1
Hemodinamik stabil gr/8 jam
SP: Vesikuler ki > ka Inj Ketorolac 30
ST: - mg/8 jam
12/12/2017 - Produksi drain 80cc/24jam, Inj Ranitidine 50
undulasi (+) mg/12 jam
A: Post thoracotomy
anterolateral (D) + debridement
+ primary suture d/t (L)
thoracal penetrating injury
S: P: Diet MB
O:Hemodinamik stabil IVFD RL 20 gtt/i
13/12/2017 SP: Vesikuler ki > ka Inj Meropenem 1
ST: - gr/8 jam
Produksi drain 80cc/24jam, Inj Ketorolac 30

21
undulasi (+) mg/8 jam
A: Post thoracotomy Inj Ranitidine 50
anterolateral (D) + debridement mg/12 jam
+ primary suture d/t (L) Mobilisasi duduk
thoracal penetrating injury Lepas kateter
S: P: Diet MB
O:Hemodinamik stabil IVFD RL 20 gtt/i
SP: Vesikuler ki > ka Inj Meropenem 1
ST: - gr/8 jam
Produksi drain 80cc/24jam, Inj Ketorolac 30
Nyeri pada
14/12/2017 undulasi (+) mg/8 jam
LO
A: Post thoracotomy Inj Ranitidine 50
anterolateral (D) + debridement mg/12 jam
+ primary suture d/t (L) Mobilisasi duduk
thoracal penetrating injury Foto toraks kontrol
29/12/2014
S: P: Diet MB
O:Hemodinamik stabil IVFD RL 20 gtt/i
SP: Vesikuler ki > ka Inj Meropenem 1
ST: - gr/8 jam
Nyeri pada Produksi drain 80cc/24jam, Inj Ketorolac 30
15/12/2017
LO undulasi (+) mg/8 jam
A: Post thoracotomy Inj Ranitidine 50
anterolateral (D) + debridement mg/12 jam
+ primary suture d/t (L) Mobilisasi duduk
thoracal penetrating injury
S: P: Diet MB
O:Hemodinamik stabil IVFD RL 20 gtt/i
Nyeri pada SP: Vesikuler ki > ka Inj Meropenem 1
16/12/2017
LO ST: - gr/8 jam
Produksi drain 80cc/24jam, Inj Ketorolac 30
undulasi (+) mg/8 jam

22
A: Post thoracotomy Inj Ranitidine 50
anterolateral (D) + debridement mg/12 jam
+ primary suture d/t (L) Mobilisasi duduk
thoracal penetrating injury Foto toraks AP
kontrol
S: P: Diet MB
O:Hemodinamik stabil IVFD RL 20 gtt/i
SP: Vesikuler ka = ki Inj Meropenem 1
ST: - gr/8 jam
Chest Tube terpasang Inj Ketorolac 30
Nyeri pada
17/12/2014 Produksi drain – mg/8 jam
LO
A: Post thoracotomy Inj Ranitidine 50
anterolateral (D) + debridement mg/12 jam
+ primary suture d/t (L) Menunggu hasil
thoracal penetrating injury Foto toraks
GV
S: P: Diet MB
O:Hemodinamik stabil IVFD RL 20 gtt/i
SP: Vesikuler ka = ki Inj Meropenem 1
ST: - gr/8 jam
Chest Tube terpasang Inj Ketorolac 30
18/12/2017
Produksi drain – mg/8 jam
A: Post thoracotomy Inj Ranitidine 50
anterolateral (D) + debridement mg/12 jam
+ primary suture d/t (L) Konsul Chest
thoracal penetrating injury physiotherapy
S: P: Diet MB
O:Hemodinamik stabil IVFD RL 20 gtt/i
SP: Vesikuler ka = ki Inj Meropenem 1
19/12/2017
ST: - gr/8 jam
Chest Tube terpasang Inj Ketorolac 30
Produksi drain – mg/8 jam

23
A: Post thoracotomy Inj Ranitidine 50
anterolateral (D) + debridement mg/12 jam
+ primary suture d/t (L)
thoracal penetrating injury
S: P: Diet MB
O:Hemodinamik stabil IVFD RL 20 gtt/i
SP: Vesikuler ka = ki Inj Meropenem 1
ST: - gr/8 jam
Chest Tube terpasang Inj Ketorolac 30
20/12/2017
Produksi drain – mg/8 jam
A: Post thoracotomy Inj Ranitidine 50
anterolateral (D) + debridement mg/12 jam
+ primary suture d/t (L)
thoracal penetrating injury
S: P: Diet MB
O:Hemodinamik stabil IVFD RL 20 gtt/i
SP: Vesikuler ka = ki Inj Meropenem 1
ST: - gr/8 jam
Chest Tube terpasang Inj Ketorolac 30
21/12/2017
Produksi drain – mg/8 jam
A: Post thoracotomy Inj Ranitidine 50
anterolateral (D) + debridement mg/12 jam
+ primary suture d/t (L)
thoracal penetrating injury
S: P: Diet MB
O:Hemodinamik stabil IVFD RL 20 gtt/i
SP: Vesikuler ka = ki Inj Meropenem 1
ST: - gr/8 jam
22/12/2017
Chest Tube terpasang Inj Ketorolac 30
Produksi drain – mg/8 jam
A: Post thoracotomy Inj Ranitidine 50
anterolateral (D) + debridement mg/12 jam

24
+ primary suture d/t (L)
thoracal penetrating injury

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Ventilasi paru. Dalam :Buku Ajar


Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC; 2007. P. 495-500.
2. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam :
Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
P. 1063-1068.
3. Bascom, R. Pneumothorax.Cited on ( 7 Desember 2017]. Available
from http://emedicine.medscape.com/article/827551
4. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Pneumotoraks. Dalam : Dasar-
Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.
2009. p. 162-179
5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax
(Collapsed Lung). Cited : [7 Desember 2017]. Available from
:http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
6. Ekayuda, I. Pneumotoraks. Dalam : Radiologi Diagnostik. Edisi
Kedua. Jakarta :Balai Penerbit FKUI. 2005. P.119-122.
7. Alhameed, F.M. Pneumothorax imaging. Cited on [8 Desember
2017]. Available fromwww.emedicine.com
8. Sjamsuhidajat, R. Dinding toraks dan pleura. Dalam :Buku Ajar
Ilmu Bedah. Jakarta :EGC. 1997. P.404-419.
9. Wibowo, Daniel, S. Paryana, Widjaja. Rongga thorax. Dalam :
Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009. P. 209-
220.
10. Reed, James, C. Kelainan-kelainan rongga pleura. Dalam :
Radiologi Thoraks. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.
1995. P. 63-64.

26
11. Ketai, L. H. Pleura and diaphragm. In: Fundamentals of 9
Radiology Second Edition. China. Elsevier Saunders. 2006. P.172-
177.
12. Gaillard, Frank. Loculated pneumothorax. Cited on [6 Desember
2017]. Available from http://www.radiopedia.org/cases/loculated-
pneumothorax
13. Felson, Benjamin. Pneumothorax. In : Chest Roentgenology.
Philadelphia : W. B. Saunders Company. P. 366-372.
14. Sutton, David. Pneumothorax. In :A Textbook of Radiology and
Imaging. Vol. 1. 5th edition. London : Churchill Livingstone. 1992.
P. 371-374.

27

Anda mungkin juga menyukai