Anda di halaman 1dari 16

JURNAL

MANAJEMEN EPISTAKSIS

Linda Diamond

ENT head and neck surgery at Allegheny General Hospital in Pittsburgh


Journal of the American Academy of Physician Assistants (JAAPA)
Dipublikasikan bulan November 2014

Disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik


SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
RSD dr. Soebandi Jember

Disadur Oleh:
Aditha Fitrina Andiani
122011101049

Pembimbing:
dr. Bambang Indra, Sp. THT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB ILMU THT RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2017
ABSTRAK
Diperkirakan 60% dari populasi akan mengalami perdarahan hidung dalam
masa hidup mereka, dan 6% nya memerlukan intervensi medis. Perdarahan
hidung (epistaksis) yang tidak terkontrol dapat menyebabkan hipovolemia dan
gangguan jalan nafas. Oleh karena itu, memahami pencegahan dan penanganan
epistaksis sangat penting bagi dokter yang mengelola pasien dengan antikoagulasi,
terapi oksigen tambahan, atau yang memiliki faktor risiko epistaksis lainnya.
Artikel ini mengulas manajemen bertahap untuk epistaksis dan pilihan terapi yang
lebih baru pada orang dewasa.
Kata kunci: epistaksis, perdarahan nasal, tampon nasal, agen trombogenik, balon
kateter,antikoagulan.
Tujuan Pembelajaran:
 Identifikasi faktor risiko dan penyebab epistaksis.
 Menjelaskan manajemen bertahap dari epistaksis.
 Menyebutkan peralatan dan pengobatan yang dibutuhkan untuk manajemen
epistaksis.
Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan akut dari lubang hidung,
rongga hidung, atau nasofaring. Perdarahan adalah kondisi umum dan sebagian
besar dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, pendarahan hidung yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan hipovolemia dan gangguan jalan nafas. Artikel ini
mengulas faktor risiko, pencegahan, dan manajemen epistaksis, termasuk
penanganan pasien dengan antikoagulan atau suplemen oksigen. Pemilihan terapi
terkini membuat tenaga medis dan pasien dapat menangani epistaksis lebih baik.
(Newer treatment options offer patients and clinicians a better arsenal to treat
epistaxis)

PENYEBAB
Epistaksis adalah fenomena yang sering terjadi. Diperkirakan 60% dari
populasi akan mengalami perdarahan hidung dalam masa hidupnya, dan 6% nya
memerlukan intervensi medis.1,2 Insidensi dari epistaksis adalah distribusi bimodal,
memuncak/meninggi pada anak kecil dan pada orang dewasa berusia 45 sampai
65 tahun.2 Epistaksis dapat disebabkan oleh berbagai faktor (Tabel 1).
Antikoagulasi, diakibatkan gangguan hepar underlying liver disorders,, atau
gangguan darah (koagulopati) lainnya dapat berkontribusi pada ketidakmampuan
untuk mengendalikan epistaksis. Epistaksis yang rekuren atau terjadi hanya pada
satu sisi bersamaan dengan kongesti hidung atau sumbatan hidung, terlepas dari
tingkat perdarahan, dapat mengindikasikan neoplasma pada hidung.
Poin kunci :
 Diperkirakan 60% populasi akan mengalami epistaksis pada suatu waktu, dan
6% nya akan memerlukan perawatan medis.
 Pilihan baru pada tampon hidung dan agen trombogenik merupakan tindakan
dengan trauma minimal untuk pasien dan tenaga medis profesional.
 Pasien dengan pengobatan antikoagulan atau antiplatelet harus diinstruksikan
untuk melakukan perawatan hidung untuk mengurangi risiko epistaksis.
 Peralatan epistaksis dari instrumen dan persediaan yang diperlukan dapat
membantu penyedia layanan kesehatan merawat pasien secara lebih efektif
dan efisien.

ANATOMI
Rongga hidung, terdiri dari dua ruang terbagi oleh septum hidung-
menghangatkan dan melembabkan saat menghirup udara yang kita hirup. Septum
dilapisi oleh selaput lendir (mucous membrane) yang kaya akan suplai dari
vaskular yang berasal dari cabang arteri karotis internal dan eksternal. Lebih dari
90% kasus epistaksis terjadi pada septum hidung di daerah vaskular yang disebut
pleksus Kiesselbach.1 Daerah ini rentan terhadap trauma digital dan pengeringan
yang berlebihan, dan diperburuk dengan penggunaan oksigen tambahan melalui
nasal kanul. Pleksus Kiesselbach disuplai oleh arteri ethmoid anterior dan
posterior serta cabang dari sphenopalatine dan arteri palatine yang lebih besar
(Gambar 1). Epistaksis di daerah ini didefinisikan sebagai anterior dan umumnya
dapat berhenti sendiri dan mudah dikontrol.
Dinding lateral rongga hidung lebih kompleks, dengan tiga elevasi
bertulang yang disebut turbinata atau konka. Konka ini ditutupi dengan selaput
lendir tebal dan meningkatkan luas permukaan untuk melembabkan udara yang
dihirup. Epistaksis rongga hidung posterior terjadi pada 5% sampai 10%
pendarahan hidung.1 Cabang arteri maksilaris internal (sphenopalatine dan arteri
palatine desenden) dengan sedikit kontribusi dari arteri etmoid posterior
membentuk suplai vaskular ke daerah ini. Epistaksis posterior seringkali lebih
sulit untuk divisualisasikan dan dicapai secara anatomis, oleh karena itu, lebih
sulit dikendalikan.1,2
RIWAYAT PENYAKIT DAN DIAGNOSTIK (HISTORY AND
ASSESSMENT)
Mengetahui waktu terjadinya perdarahan hidung pada pasien itu penting;
durasi perdarahan dapat mengindikasikan apakah pasien membutuhkan perawatan
segera. Rujuk pasien ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) terdekat jika pasien
mengalami perdarahan berulang, sulit untuk dikontrol, dan
pendarahan terjadi selama beberapa hari atau satu kali perdarahan tetapi
berlangsung lebih dari 1 jam.
Tinjaulah riwayat kesehatan pasien, perhatikan kondisi medis kronis yang
dapat menyebabkan pendarahan pasien, seperti hipertensi, penyakit hati,
penyakit jantung, atau kelainan darah. Catat dan dokumentasikan jika pasien
menggunakan obat antikoagulan atau obat antiplatelet seperti aspirin dan obat anti
inflamasi nonsteroid (NSAID).
Pada evaluasi awal pasien dengan epistaksis, fokus pada kompetensi jalan
nafas dan stabilitas kardiovaskular. Pasien dengan perdarahan hebat mungkin
memerlukan resusitasi dan kontrol airway airway control. Pastikan pemeriksa
memiliki pencahayaan yang adekuat saat memeriksa rongga hidung di tempat
kerja. Sumber lampu utama dengan spekulum hidung dianjurkan. Lampu kepala
yang biasanya digunakan untuk berkemah atau rekreasi dapat memberi sorotan
sempit yang dapat fokus, memungkinkan visualisasi lebih baik dan membebaskan
kedua tangan penyedia layanan kesehatan. Pasien harus duduk tegak di kursi atau
meja pemeriksaan untuk membatasi gerakan kepala.
Perlengkapan epistaksis yang berisi semua instrumen yang diperlukan
sangat membantu (Tabel 2). Forcep bayonet atau pinset kokoh yang lurus dengan
ujung yang tumpul (bayonet forceps or straight sturdy blunt-ended tweezers about
8 in long) (gapaham aku maksutnya 8 in long itu wkwkwk) dapat digunakan
untuk menyisipkan pledget atau pengemasan. Frasier suction nomer 10 atau
suction kecil sekali pakai digunakan untuk menghilangkan gumpalan dan darah
dari rongga hidung sebelum perawatan. Yankauer suction dan bengkok dapat
digunakan untuk menampung gumpalan yang dikeluarkan.
Tabel 1. Penyebab Epistaksis

Trauma
 Mengorek hidung
 Cedera pada wajah
 Benda asing
 Penempatan nasogastric tube
 Barotrauma
Neoplastik
 Jinak
 Ganas
Hematologi
 Trombositopenia
 Hemofilia
 Penyakit Von Willebrand
 Hereditary hemorrhagic telangiectasia
 Penyakit hati
 Obat antikoagulan atau antiplatelet
Struktural
 Hidung kering
 Perforasi septum
 Prosedur pembedahan
Pengaruh Obat
 Semprotan hidung
 Zat terhirup
Peradangan
 Iritan dari lingkungan
 Rinitis alergi
 Infeksi
PENANGANAN EPISTAKSIS ANTERIOR
Penanganan epistaksis didasarkan pada lokasi dan derajat
perdarahan. Kegagalan untuk mengendalikan perdarahan anterior mungkin
menandakan adanya pendarahan posterior.
Kompresi dianjurkan sebagai penanganan awal untuk perdarahan anterior
septal yang sederhana. Mintalah pasien melihat jam atau mengatur timer sambil
menahan bagian hidung selama 10 menit tanpa dilepas. Jika metode ini gagal,
pasien akan memerlukan evaluasi medis oleh pelayanan kesehatan primer,
spesialis THT dalam perawatan urgent atau emergency or in an urgent or
emergency care setting.
Periksa adanya perdarahan di pleksus Kiesselbach. Pemberian
vasokonstriktor yang diaplikasikan secara lokal dapat membantu visualisasi dan
kontrol perdarahan. Oxymetazoline merupakan bahan aktif dalam beberapa
dekongestan hidung semprot, tersedia dan mudah digunakan. Lakukan suction
atau mintalah pasien meniup hidung dengan gentle, lalu semprotkan atau
tempatkan kapas yang direndam dengan oxymetazoline di lubang hidung yang
mengeluarkan darah. Sebuah pledget dapat dibuat dengan menggunakan bola
kapas besar dan membuka gulungannya sampai sekitar 4 in long. Pledget
dimasukkan menggunakan foreps bayonet untuk memastikan penempatan yang
tepat di sepanjang septum hidung. Biarkan pledget tetap di tempat dengan
kompresi yang gentle selama 5 sampai 10 menit. Setelah mengeluarkan pledget,
periksa rongga hidung dengan lampu depan dan spekulum hidung.
Kauterisasi secara kimia dapat dipertimbangkan untuk menguap terus
menerus dan terus mengalir (persistent oozing) dari tempat anterior yang dapat
diidentifikasi. Lakukan anestesi pada rongga hidung pasien dengan pledget yang
direndam dengan lidokain 2% (dengan atau tanpa epinefrin) selama sekitar 10
menit. Lepaskan pledget dan tahan aplikator nitrat perak di tempat pendarahan
dan area sekitarnya tidak lebih dari 10 detik. Mukosa akan berubah menjadi abu-
abu keputih-putihan. Pegang stik kauter di daerah tersebut selama lebih dari 10
detik menimbulkan risiko perforasi septum. Hati-hati dalam melakukan
kauterisasi pada kedua sisi septum pada sesi yang sama, karena ini juga dapat
menyebabkan nekrosis jaringan dan kemungkinan perforasi septum.

Tabel 2. Perlengkapan epistaksis

 Lampu kepala
 Spekulum hidung
 Bayonet forceps
 Frasier suction nomer 10
 Persiapan suction
 Bengkok
 Oxymetazoline
 Lidokain 2% dengan atau tanpa epinefrin
 Pledget (kasa berbentuk bola atau strip)
 Tongue spatel
 APD untuk mata
 Sarung tangan nonsteril
 Stik silver nitrat
 Salep antibiotik
 Jarum suntik (10 ml)
 Air steril
 Tampon anterior (spon polyvinyl alcohol dengan
balon tekanan rendah)
 Tampon posterior (kateter balon ganda atau kasa
dengan minyak)
 Agen hemostatik
Tampon hidung tersedia untuk perdarahan anterior dan posterior. Untuk
perdarahan anterior sederhana yang sudah gagal dengan kompresi dan atau
kauterisasi, gunakan tampon hidung, balon, atau agen trombogenik. Sesekali,
kedua sisi hidung mungkin memerlukan tampon karena perdarahan bilateral atau
untuk mencapai kompresi yang cukup untuk mengendalikan perdarahan. Tampon
bilateral diperlukan untuk pasien dengan perforasi septum.
Tampon hidung terbuat dari open-cell polymer sintetis. Meskipun spons
polivinil alkohol ini kaku, tetapi mudah untuk digunakan dan efektif. Pemberian
anestesi pada hidung pasien seperti yang dijelaskan di atas. Lapisi tampon hidung
dengan salep antibiotik yang digunakan sebagai pelumas sekaligus untuk
mencegah infeksi. Masukkan tampon hidung langsung di sepanjang rongga
hidung sampai seluruh tampon berada di rongga hidung. Kemudian perbesar
tampon dengan cara masukkan sekitar 10 mL saline atau air steril dengan
angiocatheter atau jarum ke tampon hidung anterior untuk merendam bahan.
Kateter balon hidung tersedia dalam berbagai jenis, termasuk balon
bertekanan rendah yang terbungkus dalam jaring carboxymethylated cellulose
(CMC). Hal tersebut dapat menyebabkan trombosis apabila kontak dengan darah.
Kateter balon ini dianggap menimbulkan trauma yang minimal pada hidung
daripada tampon hidung tradisional. Panjangnya bervariasi untuk memungkinkan
kompresi dari tempat pendarahan di anterior sampai lebih posterior. Balon CMC
dibasahi dengan air steril sebelum dimasukkan, agar lebih mudah dimasukkan ke
dalam hidung. Lepaskan pembungkusnya, basahi balon kateter CMC dengan air
steril, dan segera geser di sepanjang hidung sampai benar-benar dimasukkan
(jangan ada bagian balon yang keluar dari lubang hidung pasien). Kemudian
masukkan udara sampai balon mengembang. Sisa kateter difiksasi di pipi pasien.
Gauze packing dengan menggunakan ribbon gauze yang diberi petroleum
(Gauze packing with petroleum-impregnated ribbon gauze) dapat digunakan
untuk mengendalikan epistaksis. Gauze packing ditempatkan dengan forcep
bayonet. Pegang kasa dan tempatkan sejauh mungkin di rongga hidung, lalu
pegang segmen selanjutnya dari kain kasa dan kencangkan setiap segmen ke nare.
Tindakan ini memerlukan keahlian khusus dan dapat dilakukan oleh spesialis
THT.
Agen trombogenik adalah pilihan baru untuk mendukung pembentukan
gumpalan dan menstabilkan epistaksis. Bentuknya antara lain kain kasa yang
mudah diserap, gel trombin topikal, dan fibrin glue. Kasa dan aplikasi topikal
sesuai dengan permukaan mukosa yang tidak beraturan dan basah. Kasa dapat
ditempatkan setelah kauterasi pada pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami
perdarahan berulang. Dalam suatu studi menunjukkan bahwa agen trombogenik
memiliki tingkat perdarahan ulang yang lebih rendah dan dapat mengendalikan
epistaksis secara efektif.3,4 Pasien terasa ada sedikit tekanan pada hidung dan
merasakan intervensi ini lebih nyaman daripada tampon hidung tradisional atau
balon. Bentuk pengobatan ini mudah diserap sehingga tidak perlu dilepas. Hal ini
mencegah gumpalan terlepas atau mencegah mukosa hidung teriritasi, seperti
yang terjadi pada saat pengambilan tampon hidung tradisional (This prevents clots
from being dislodged or the nasal mucosa from being further irritated, as can
occur during removal of traditional packing.)
Agen trombogenik perlu diterapkan langsung pada perdarahan dan
kompresi mungkin masih diperlukan pada penanganan awal. Saat mengevaluasi
perdarahan, ingat bahwa agen trombogenik memerlukan waktu beberapa menit
untuk bekerja.

PENANGANAN EPISTAKSIS POSTERIOR


Karena visualisasi dan akses ke titik perdarahan sulit dilakukan, epistaksis
posterior menantang untuk menanganinya. Hidung dapat diberi dengan kasa yang
diberi petroleum atau balon posterior dapat ditempatkan. Balon kateter ganda
dimasukkan di sepanjang lantai hidung sampai cincin penahan berada di pintu
masuk hidung. Balon posterior dikembangkan dengan 10 mL air steril dan kateter
ditarik dengan gentle ke depan sampai menempel pada nasofaring. Balon anterior
kemudian dikembangkan sampai 30 mL air steril untuk menahan kateter di tempat.
Fiksasi atau lindungi nares anterior dari tekanan apapun pada balon yang dapat
terjadi dalam penempatannya (Pad or protect the nasal entrance from any pressure
the balloon may create in its placement. )
Kateter urin dapat digunakan dengan baik jika kateter balon tidak tersedia,
meskipun penggunaan ini tidak berlisensi. Masukkan kateter French 10 sampai
14 ke dalam rongga hidung sampai kateter urin terlihat di orofaring. Kemudian
secara perlahan isi balon dengan 10 mL air steril dan dengan perlahan menarik
kateter sampai terjadi kompresi pada nasofaring posterior. Sambil
mempertahankan tekanan pada nasofaring posterior (menarik kateter ke arah
operator), letakkan C klem kecil atau klem umbilikal pada hidung anterior untuk
menahan kateter. Ribbon gauze dapat ditempatkan di sekitar kateter di dalam
hidung untuk menambah kompresi dan kontrol perdarahan. Beri kasa untuk
melindungi hidung bagian eksternal dari klem dan nekrosis tekanan.

Tindakan bedah dapat dilakukan untuk perdarahan berkelanjutan


yang gagal dilakukan intervensi konservatif.

SETELAH PENANGANAN DENGAN TAMPON


Setelah rongga hidung telah dirawat, selalu gunakan sumber cahaya dan
tongue spatel untuk mengevaluasi orofaring untuk memeriksa perdarahan
posterior. Epistaksis yang berlanjut setelah pemberian tampon memerlukan
rujukan langsung ke IGD. Pemberian tampon yang dapat memberikan kontrol
yang baik, harus tetap diberikan selama 3 sampai 5 hari. Meskipun para ahli telah
memperdebatkan apakah akan memberi resep obat antibiotik profilaksis untuk
mencegah sindroma syok toksik dan sinusitis, sebagian besar dokter spesialis
THT lebih memilih memberikan profilaksis.5 Tampon anterior di satu sisi dapat
dberikan sebagai prosedur rawat jalan, dengan rujukan ke spesialis THT untuk
tindak lanjut dalam 3 sampai 5 hari.
Pasien yang membutuhkan tampon bilateral atau tampon posterior
memerlukan pemantauan di rumah sakit. Kemungkinan risiko hipotensi dan
bradikardia yang disebabkan oleh infeksi nasovagal jarang terjadi. Kejadian
"nasopulmonary reflex" diperkirakan terjadi selama tampon posterior atau
instrumentasi namun penelitian menunjukkan tidak ada perubahan fungsi paru
atau jantung sehubungan dengan pemberian tampon posterior.6 Pasien berisiko
terkena sleep apneu jangka pendek karena udara yang masuk ke hidung yang
terpasang tampon menurun.1,4 Risiko dari pelepasan tampon dan kemungkinan
perdarahan berulang, pasien harus dipantau di ICU atau tingkat pemantauan yang
tinggi. Pasien yang dirawat di rumah sakit akan mendapat (humidified face tent
untuk memberi kelembaban dan kenyamanan; Tampon hidung memaksa pasien
untuk bernafas melalui mulut saat tidur.

EPISTAKIS YANG TIDAK TERKONTROL


Angiografi dengan embolisasi pertama kali dilakukan untuk epistaksis
pada tahun 1972.2 Sejak saat itu, hal ini telah menjadi alternatif untuk epistaksis
yang tidak terkontrol di pusat pelayanan kesehatan. Pasien biasanya memerlukan
anestesi dan harus diberikan kontras secara intravena untuk prosedur ini.
Mempelajari pengobatan endovaskular untuk epistaksis yang sulit diobati
pada 30 pasien, Vitek menemukan tingkat keberhasilan sebanyak 87% setelah
embolisasi arteri maksilaris internal dan tingkat keberhasilan sebanyak 97%
setelah embolisasi arteri internal dan wajah, dengan tingkat komplikasi 3% sampai
4%.7 Kegagalan terapi dengan embolisasi pada epistaksis sering dikaitkan dengan
perdarahan lanjutan dari cabang ethmoidal arteri oftalmik. Embolisasi pada
cabang-cabang ini dikontraindikasikan karena embolisasi arteri oftalmik
membawa risiko kebutaan dan stroke yang tinggi.
Penanganan secara bedah dapat dilakukan untuk perdarahan berkelanjutan
yang gagal dilakukan intervensi konservatif. Pembedahan dilakukan di ruang
operasi dengan general anesthesia; endoskopi digunakan untuk mengidentifikasi
lokasi perdarahan. Ligasi atau kauterisasi pada arteri sphenopalatine merupakan
percobaan awal.(is attempted initially). Studi tentang tindakan endoskopi posterior
kauterisasi dilaporkan tingkat keberhasilan 80% sampai 90%.2 Jika lokasi
perdarahan ditemukan dari daerah etmoidal, ligasi arteri ethmoid dapat dilakukan.
Hal ini mungkin memerlukan sayatan eksternal melalui dinding orbital medial di
bawah alis. Tampon hidung yang dapat terserap dapat diberikan di ruang posterior
setelah tindakan pembedahan untuk pencegahan perdarahan berulang.

ANTIKOAGULASI DAN HIPERTENSI


Mengelola epistaksis pada pasien yang memakai antikoagulan sangat
menantang. Banyak perdebatan dan sedikit konsensus mengenai apakah
antikoagulan harus dilanjutkan, ditahan, atau dibalik saat pasien mengalami
epistaksis (held,or reversed when patients develop epistaxis).3 Secara medis,
diperlukan evaluasi pada setiap pasien untuk menentukan risiko bila
menghentikan pengobatan antikoagulan.
Peranan hipertensi pada onset awal terjadinya epistaksis kontroversial.8,9
Studi telah menunjukkan bahwa pasien dengan epistaksis yang datang ke IGD
memiliki tekanan darah lebih tinggi. Pasien ini juga memiliki insidensi yang lebih
tinggi untuk kejadian perdarahan hidung sebelumnya.9 Pasien dengan epistaksis
dan tekanan darah tidak terkontrol dapat mengalami perdarahan yang persisten
dan sulit dikendalikan, sehingga pengelolaan hipertensi sangat penting. Hipotesis
bahwa peningkatan tekanan darah adalah sekunder dari kecemasan yang timbul
saat epistaksis juga dipelajari. Studi prospective comparative ini melihat
pemberian diazepam kepada pasien dengan epistaksis, dapat meningkatkan
tekanan darah, dan kegelisahan. Para peneliti menemukan bahwa diazepam tidak
mengurangi kecemasan atau tekanan darah selama epistaksis akut dan tidak
dianjurkan.10 Oleh karena itu, bukti mendukung bahwa hipertensi itu sendiri harus
dikontrol pada pasien dengan epistaksis akut dan harus dipantau secara ketat.

Kelembaban adalah kunci untuk pencegahan. Pasien dengan hidung


yang kering harus menggunakan saline nasal spray.
FOLLOW-UP DAN PENCEGAHAN
Semua pasien dengan riwayat epistaksis berat atau rekuren harus
dievaluasi oleh dokter spesialis THT. Berikan pasien instruksi tertulis untuk
perawatan hidung setelah mengalami epistaksis:
 Pasien tidak boleh meniup hidung mereka selama 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan. Pasien harus menggunakan saline nasal spray beberapa kali sehari
dan mengendus secara gentle seakan-akan meniup hidung.( sniff gently instead
of blowing the nose.)
 Pasien harus mengoleskan salep petroleum atau antibiotik pada hidung (nares)
dua kali sehari.
 Pasien harus menghindari pembengkokan (bending) dan mengangkat benda
berat.
 Anjurkan pasien untuk membuka mulut saat bersin.
 Pasien harus menggunakan pelembab rumah (home humidifiers) dan vaporizer
disamping tempat tidur.
 Beritahu pasien untuk memotong kuku jari dan hindari mengorek hidung.
 Untuk pasien dengan pemberian oksigen tambahan, tenda atau masker wajah
humidi atau wajah a humidifi ed face tent or mask dianjurkan. Batasi
penggunaan nasal kanul saat makan. Pasien juga harus memotong cabang
selang yang masuk ke hidung agar tidak terjadi kekeringan yang berlebihan di
septum.
Kelembaban adalah kunci dari pencegahan epistaksis. Semua pasien
dengan gangguan antikoagulasi (All patients on anticoagulation) atau obat
antiplatelet (termasuk NSAID) harus selalu merawat hidungnya. Pasien yang
hidungnya kering atau memiliki riwayat perdarahan hidung harus melakukan
perawatan pada hidung dalam keseharian mereka. Sebagian besar perdarahan
hidung bersifat siklik. Seorang pasien mungkin mengalami perdarahan hidung
idiopatik yang berhenti saat bekuan darah terbentuk di tempat perdarahan. Jika
hidung pasien menjadi kering atau tertiup dan bekuan terlalu cepat lepas,
akan terjadi perdarahan hidung lagi. Sampai mukosa yang terdapat bekuan darah
dibiarkan sembuh, pasien mungkin akan terus mengalami perdarahan serial.
Kelembaban dan pelepasan hidung(Moisture and prohibiting nose-blowing)
menghentikan siklus ini dan membiarkan lapisan hidung sembuh. Ajarkan kepada
pasien bagaimana cara yang benar untuk mengontrol perdarahan pada hidung dan
melakukan perawatan hidung yang tepat setelah perdarahan, hal itu dapat
mencegah perjalanan yang tidak perlu ke klinik atau IGD. may prevent an
unnecessary trip to a clinic or ED.

KESIMPULAN
Epistaksis adalah permasalahan medis yang sering terjadi. Pilihan
pengobatan yang lebih baru tersedia dan ramah untuk penyedia layanan kesehatan
dan pasien. Membuat perlengka[an epistaksis dengan semua instrumen dan
perlengkapan yang diperlukan dapat membantu petugas kesehatan yang merawat
pasien dengan cara yang teratur dan bertahap. Berikan pasien instruksi tertulis
tentang cara menangani perdarahan di hidung dan mengurangi kekambuhan.
Berikan edukasi pasien dengan pemberian antikoagulan atau oksigen untuk
melakukan perawatan hidung setiap hari untuk mencegah epistaksis. (Encourage
patients on anticoagulation or oxygen to perform nasal care on a daily basis to
prevent epistaxis.)
REFERENSI

1. Viehweg TL, Roberson JB, Hudson JW. Epistaxis: diagnosis and treatment.
JOral Maxillofac Surg. 2006;64(3):511-518.
2. Pope LE, Hobbs CG. Epistaxis: an update on current management. Postgrad
Med J. 2005;81(955):309-314.
3. Choudhury N, Sharp HR, Mir N, Salama NY. Epistaxis and oral
anticoagulant therapy. Rhinology. 2004;42(2):92-97.
4. Kilty SJ, Al-Hajry M, Al-Mutairi D, et al. Prospective clinical trial of gelatin-
thrombin matrix as fi rst line treatment of posterior epistaxis. Laryngoscope.
2014;124(1):38-42.
5. Mathiasen RA, Cruz RM. Prospective, randomized, controlled clinical trial of
a novel matrix hemostatic sealant in patients with acute anterior epistaxis.
Laryngoscope. 2005;115(5):899-902.
6. Jacobs JR, Levine LA, Davis H, et al. Posterior packs and the nasopulmonary
refl ex. Laryngoscope. 1981;91(2):279-284.
7. Vitek J. Idiopathic intractable epistaxis: endovascular therapy.Radiology.
1991;181(1):113-116.
8. Herkner H, Havel C, Müllner M, et al. Active epistaxis at ED presentation is
associated with arterial hypertension. Am J Emerg Med. 2002;20(2):92-95.
9. Herkner H, Laggner AN, Müllner M, et al. Hypertension in patients
presenting with epistaxis. Ann Emerg Med. 2000;35(2): 126-130.
10. Thong JF, Lo S, Houghton R, Moore-Gillon V. A prospective comparative
study to examine the effects of oral diazepam on blood pressure and anxiety
levels in patients with acute epistaxis. J Laryngol Otol. 2007;121(2):124-129.

Anda mungkin juga menyukai