MANAJEMEN EPISTAKSIS
Linda Diamond
Disadur Oleh:
Aditha Fitrina Andiani
122011101049
Pembimbing:
dr. Bambang Indra, Sp. THT
PENYEBAB
Epistaksis adalah fenomena yang sering terjadi. Diperkirakan 60% dari
populasi akan mengalami perdarahan hidung dalam masa hidupnya, dan 6% nya
memerlukan intervensi medis.1,2 Insidensi dari epistaksis adalah distribusi bimodal,
memuncak/meninggi pada anak kecil dan pada orang dewasa berusia 45 sampai
65 tahun.2 Epistaksis dapat disebabkan oleh berbagai faktor (Tabel 1).
Antikoagulasi, diakibatkan gangguan hepar underlying liver disorders,, atau
gangguan darah (koagulopati) lainnya dapat berkontribusi pada ketidakmampuan
untuk mengendalikan epistaksis. Epistaksis yang rekuren atau terjadi hanya pada
satu sisi bersamaan dengan kongesti hidung atau sumbatan hidung, terlepas dari
tingkat perdarahan, dapat mengindikasikan neoplasma pada hidung.
Poin kunci :
Diperkirakan 60% populasi akan mengalami epistaksis pada suatu waktu, dan
6% nya akan memerlukan perawatan medis.
Pilihan baru pada tampon hidung dan agen trombogenik merupakan tindakan
dengan trauma minimal untuk pasien dan tenaga medis profesional.
Pasien dengan pengobatan antikoagulan atau antiplatelet harus diinstruksikan
untuk melakukan perawatan hidung untuk mengurangi risiko epistaksis.
Peralatan epistaksis dari instrumen dan persediaan yang diperlukan dapat
membantu penyedia layanan kesehatan merawat pasien secara lebih efektif
dan efisien.
ANATOMI
Rongga hidung, terdiri dari dua ruang terbagi oleh septum hidung-
menghangatkan dan melembabkan saat menghirup udara yang kita hirup. Septum
dilapisi oleh selaput lendir (mucous membrane) yang kaya akan suplai dari
vaskular yang berasal dari cabang arteri karotis internal dan eksternal. Lebih dari
90% kasus epistaksis terjadi pada septum hidung di daerah vaskular yang disebut
pleksus Kiesselbach.1 Daerah ini rentan terhadap trauma digital dan pengeringan
yang berlebihan, dan diperburuk dengan penggunaan oksigen tambahan melalui
nasal kanul. Pleksus Kiesselbach disuplai oleh arteri ethmoid anterior dan
posterior serta cabang dari sphenopalatine dan arteri palatine yang lebih besar
(Gambar 1). Epistaksis di daerah ini didefinisikan sebagai anterior dan umumnya
dapat berhenti sendiri dan mudah dikontrol.
Dinding lateral rongga hidung lebih kompleks, dengan tiga elevasi
bertulang yang disebut turbinata atau konka. Konka ini ditutupi dengan selaput
lendir tebal dan meningkatkan luas permukaan untuk melembabkan udara yang
dihirup. Epistaksis rongga hidung posterior terjadi pada 5% sampai 10%
pendarahan hidung.1 Cabang arteri maksilaris internal (sphenopalatine dan arteri
palatine desenden) dengan sedikit kontribusi dari arteri etmoid posterior
membentuk suplai vaskular ke daerah ini. Epistaksis posterior seringkali lebih
sulit untuk divisualisasikan dan dicapai secara anatomis, oleh karena itu, lebih
sulit dikendalikan.1,2
RIWAYAT PENYAKIT DAN DIAGNOSTIK (HISTORY AND
ASSESSMENT)
Mengetahui waktu terjadinya perdarahan hidung pada pasien itu penting;
durasi perdarahan dapat mengindikasikan apakah pasien membutuhkan perawatan
segera. Rujuk pasien ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) terdekat jika pasien
mengalami perdarahan berulang, sulit untuk dikontrol, dan
pendarahan terjadi selama beberapa hari atau satu kali perdarahan tetapi
berlangsung lebih dari 1 jam.
Tinjaulah riwayat kesehatan pasien, perhatikan kondisi medis kronis yang
dapat menyebabkan pendarahan pasien, seperti hipertensi, penyakit hati,
penyakit jantung, atau kelainan darah. Catat dan dokumentasikan jika pasien
menggunakan obat antikoagulan atau obat antiplatelet seperti aspirin dan obat anti
inflamasi nonsteroid (NSAID).
Pada evaluasi awal pasien dengan epistaksis, fokus pada kompetensi jalan
nafas dan stabilitas kardiovaskular. Pasien dengan perdarahan hebat mungkin
memerlukan resusitasi dan kontrol airway airway control. Pastikan pemeriksa
memiliki pencahayaan yang adekuat saat memeriksa rongga hidung di tempat
kerja. Sumber lampu utama dengan spekulum hidung dianjurkan. Lampu kepala
yang biasanya digunakan untuk berkemah atau rekreasi dapat memberi sorotan
sempit yang dapat fokus, memungkinkan visualisasi lebih baik dan membebaskan
kedua tangan penyedia layanan kesehatan. Pasien harus duduk tegak di kursi atau
meja pemeriksaan untuk membatasi gerakan kepala.
Perlengkapan epistaksis yang berisi semua instrumen yang diperlukan
sangat membantu (Tabel 2). Forcep bayonet atau pinset kokoh yang lurus dengan
ujung yang tumpul (bayonet forceps or straight sturdy blunt-ended tweezers about
8 in long) (gapaham aku maksutnya 8 in long itu wkwkwk) dapat digunakan
untuk menyisipkan pledget atau pengemasan. Frasier suction nomer 10 atau
suction kecil sekali pakai digunakan untuk menghilangkan gumpalan dan darah
dari rongga hidung sebelum perawatan. Yankauer suction dan bengkok dapat
digunakan untuk menampung gumpalan yang dikeluarkan.
Tabel 1. Penyebab Epistaksis
Trauma
Mengorek hidung
Cedera pada wajah
Benda asing
Penempatan nasogastric tube
Barotrauma
Neoplastik
Jinak
Ganas
Hematologi
Trombositopenia
Hemofilia
Penyakit Von Willebrand
Hereditary hemorrhagic telangiectasia
Penyakit hati
Obat antikoagulan atau antiplatelet
Struktural
Hidung kering
Perforasi septum
Prosedur pembedahan
Pengaruh Obat
Semprotan hidung
Zat terhirup
Peradangan
Iritan dari lingkungan
Rinitis alergi
Infeksi
PENANGANAN EPISTAKSIS ANTERIOR
Penanganan epistaksis didasarkan pada lokasi dan derajat
perdarahan. Kegagalan untuk mengendalikan perdarahan anterior mungkin
menandakan adanya pendarahan posterior.
Kompresi dianjurkan sebagai penanganan awal untuk perdarahan anterior
septal yang sederhana. Mintalah pasien melihat jam atau mengatur timer sambil
menahan bagian hidung selama 10 menit tanpa dilepas. Jika metode ini gagal,
pasien akan memerlukan evaluasi medis oleh pelayanan kesehatan primer,
spesialis THT dalam perawatan urgent atau emergency or in an urgent or
emergency care setting.
Periksa adanya perdarahan di pleksus Kiesselbach. Pemberian
vasokonstriktor yang diaplikasikan secara lokal dapat membantu visualisasi dan
kontrol perdarahan. Oxymetazoline merupakan bahan aktif dalam beberapa
dekongestan hidung semprot, tersedia dan mudah digunakan. Lakukan suction
atau mintalah pasien meniup hidung dengan gentle, lalu semprotkan atau
tempatkan kapas yang direndam dengan oxymetazoline di lubang hidung yang
mengeluarkan darah. Sebuah pledget dapat dibuat dengan menggunakan bola
kapas besar dan membuka gulungannya sampai sekitar 4 in long. Pledget
dimasukkan menggunakan foreps bayonet untuk memastikan penempatan yang
tepat di sepanjang septum hidung. Biarkan pledget tetap di tempat dengan
kompresi yang gentle selama 5 sampai 10 menit. Setelah mengeluarkan pledget,
periksa rongga hidung dengan lampu depan dan spekulum hidung.
Kauterisasi secara kimia dapat dipertimbangkan untuk menguap terus
menerus dan terus mengalir (persistent oozing) dari tempat anterior yang dapat
diidentifikasi. Lakukan anestesi pada rongga hidung pasien dengan pledget yang
direndam dengan lidokain 2% (dengan atau tanpa epinefrin) selama sekitar 10
menit. Lepaskan pledget dan tahan aplikator nitrat perak di tempat pendarahan
dan area sekitarnya tidak lebih dari 10 detik. Mukosa akan berubah menjadi abu-
abu keputih-putihan. Pegang stik kauter di daerah tersebut selama lebih dari 10
detik menimbulkan risiko perforasi septum. Hati-hati dalam melakukan
kauterisasi pada kedua sisi septum pada sesi yang sama, karena ini juga dapat
menyebabkan nekrosis jaringan dan kemungkinan perforasi septum.
Lampu kepala
Spekulum hidung
Bayonet forceps
Frasier suction nomer 10
Persiapan suction
Bengkok
Oxymetazoline
Lidokain 2% dengan atau tanpa epinefrin
Pledget (kasa berbentuk bola atau strip)
Tongue spatel
APD untuk mata
Sarung tangan nonsteril
Stik silver nitrat
Salep antibiotik
Jarum suntik (10 ml)
Air steril
Tampon anterior (spon polyvinyl alcohol dengan
balon tekanan rendah)
Tampon posterior (kateter balon ganda atau kasa
dengan minyak)
Agen hemostatik
Tampon hidung tersedia untuk perdarahan anterior dan posterior. Untuk
perdarahan anterior sederhana yang sudah gagal dengan kompresi dan atau
kauterisasi, gunakan tampon hidung, balon, atau agen trombogenik. Sesekali,
kedua sisi hidung mungkin memerlukan tampon karena perdarahan bilateral atau
untuk mencapai kompresi yang cukup untuk mengendalikan perdarahan. Tampon
bilateral diperlukan untuk pasien dengan perforasi septum.
Tampon hidung terbuat dari open-cell polymer sintetis. Meskipun spons
polivinil alkohol ini kaku, tetapi mudah untuk digunakan dan efektif. Pemberian
anestesi pada hidung pasien seperti yang dijelaskan di atas. Lapisi tampon hidung
dengan salep antibiotik yang digunakan sebagai pelumas sekaligus untuk
mencegah infeksi. Masukkan tampon hidung langsung di sepanjang rongga
hidung sampai seluruh tampon berada di rongga hidung. Kemudian perbesar
tampon dengan cara masukkan sekitar 10 mL saline atau air steril dengan
angiocatheter atau jarum ke tampon hidung anterior untuk merendam bahan.
Kateter balon hidung tersedia dalam berbagai jenis, termasuk balon
bertekanan rendah yang terbungkus dalam jaring carboxymethylated cellulose
(CMC). Hal tersebut dapat menyebabkan trombosis apabila kontak dengan darah.
Kateter balon ini dianggap menimbulkan trauma yang minimal pada hidung
daripada tampon hidung tradisional. Panjangnya bervariasi untuk memungkinkan
kompresi dari tempat pendarahan di anterior sampai lebih posterior. Balon CMC
dibasahi dengan air steril sebelum dimasukkan, agar lebih mudah dimasukkan ke
dalam hidung. Lepaskan pembungkusnya, basahi balon kateter CMC dengan air
steril, dan segera geser di sepanjang hidung sampai benar-benar dimasukkan
(jangan ada bagian balon yang keluar dari lubang hidung pasien). Kemudian
masukkan udara sampai balon mengembang. Sisa kateter difiksasi di pipi pasien.
Gauze packing dengan menggunakan ribbon gauze yang diberi petroleum
(Gauze packing with petroleum-impregnated ribbon gauze) dapat digunakan
untuk mengendalikan epistaksis. Gauze packing ditempatkan dengan forcep
bayonet. Pegang kasa dan tempatkan sejauh mungkin di rongga hidung, lalu
pegang segmen selanjutnya dari kain kasa dan kencangkan setiap segmen ke nare.
Tindakan ini memerlukan keahlian khusus dan dapat dilakukan oleh spesialis
THT.
Agen trombogenik adalah pilihan baru untuk mendukung pembentukan
gumpalan dan menstabilkan epistaksis. Bentuknya antara lain kain kasa yang
mudah diserap, gel trombin topikal, dan fibrin glue. Kasa dan aplikasi topikal
sesuai dengan permukaan mukosa yang tidak beraturan dan basah. Kasa dapat
ditempatkan setelah kauterasi pada pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami
perdarahan berulang. Dalam suatu studi menunjukkan bahwa agen trombogenik
memiliki tingkat perdarahan ulang yang lebih rendah dan dapat mengendalikan
epistaksis secara efektif.3,4 Pasien terasa ada sedikit tekanan pada hidung dan
merasakan intervensi ini lebih nyaman daripada tampon hidung tradisional atau
balon. Bentuk pengobatan ini mudah diserap sehingga tidak perlu dilepas. Hal ini
mencegah gumpalan terlepas atau mencegah mukosa hidung teriritasi, seperti
yang terjadi pada saat pengambilan tampon hidung tradisional (This prevents clots
from being dislodged or the nasal mucosa from being further irritated, as can
occur during removal of traditional packing.)
Agen trombogenik perlu diterapkan langsung pada perdarahan dan
kompresi mungkin masih diperlukan pada penanganan awal. Saat mengevaluasi
perdarahan, ingat bahwa agen trombogenik memerlukan waktu beberapa menit
untuk bekerja.
KESIMPULAN
Epistaksis adalah permasalahan medis yang sering terjadi. Pilihan
pengobatan yang lebih baru tersedia dan ramah untuk penyedia layanan kesehatan
dan pasien. Membuat perlengka[an epistaksis dengan semua instrumen dan
perlengkapan yang diperlukan dapat membantu petugas kesehatan yang merawat
pasien dengan cara yang teratur dan bertahap. Berikan pasien instruksi tertulis
tentang cara menangani perdarahan di hidung dan mengurangi kekambuhan.
Berikan edukasi pasien dengan pemberian antikoagulan atau oksigen untuk
melakukan perawatan hidung setiap hari untuk mencegah epistaksis. (Encourage
patients on anticoagulation or oxygen to perform nasal care on a daily basis to
prevent epistaxis.)
REFERENSI
1. Viehweg TL, Roberson JB, Hudson JW. Epistaxis: diagnosis and treatment.
JOral Maxillofac Surg. 2006;64(3):511-518.
2. Pope LE, Hobbs CG. Epistaxis: an update on current management. Postgrad
Med J. 2005;81(955):309-314.
3. Choudhury N, Sharp HR, Mir N, Salama NY. Epistaxis and oral
anticoagulant therapy. Rhinology. 2004;42(2):92-97.
4. Kilty SJ, Al-Hajry M, Al-Mutairi D, et al. Prospective clinical trial of gelatin-
thrombin matrix as fi rst line treatment of posterior epistaxis. Laryngoscope.
2014;124(1):38-42.
5. Mathiasen RA, Cruz RM. Prospective, randomized, controlled clinical trial of
a novel matrix hemostatic sealant in patients with acute anterior epistaxis.
Laryngoscope. 2005;115(5):899-902.
6. Jacobs JR, Levine LA, Davis H, et al. Posterior packs and the nasopulmonary
refl ex. Laryngoscope. 1981;91(2):279-284.
7. Vitek J. Idiopathic intractable epistaxis: endovascular therapy.Radiology.
1991;181(1):113-116.
8. Herkner H, Havel C, Müllner M, et al. Active epistaxis at ED presentation is
associated with arterial hypertension. Am J Emerg Med. 2002;20(2):92-95.
9. Herkner H, Laggner AN, Müllner M, et al. Hypertension in patients
presenting with epistaxis. Ann Emerg Med. 2000;35(2): 126-130.
10. Thong JF, Lo S, Houghton R, Moore-Gillon V. A prospective comparative
study to examine the effects of oral diazepam on blood pressure and anxiety
levels in patients with acute epistaxis. J Laryngol Otol. 2007;121(2):124-129.