Anda di halaman 1dari 27

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 7 juta orang meninggal akibat
Sindroma Koroner Akut (SKA) di seluruh dunia pada tahun 2002. Angka ini diperkirakan
meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. Menurut Antman et al,(2004) SKA merupakan
penyakit jantung koroner yang menjadi penyebab utama kematian di dunia, dimana terdapat
lebih dari 4,5 juta penduduk meninggal karena SKA ,yang termasuk kedalam SKA adalah : ST
Elevasi Miocard Infark(STEMI), Non ST Elevasi Miocard Infark ( NSTEMI ) dan Unstable
Angina Pektoris(UAP).Pravelansi penyakit jantung dan pembuluh darah (Cardiovaskuler) di
Indonesia terus meningkat angka kejadian. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
Depertamen Kesehatan 2006 tingkat kematian akibat penyakit kardiovasuler mencapai 25%.
Pada tahun 2008 dari total jumlah pasien yang masuk ke UGD RS Pusat Jantung Nasional
Harapa Kita (PJNHK) didapatkan jumlah pasien yang di diagnosa SKA adalah 26,9%. Dan
setiap 3-4 bulan pasien datang ke unit Gawat Darurat dalam kondisi jantung sudah tidak
berdenyut (death on arrival). Kalaupun selamat setelah upaya resusitasi jantung paru yang
berhasil, pasien sudah mengalami kerusakan pada jantung dan berbagai organ tubuh lainnya.
Kasus-kasus seperti ini tentunya bisa dikurangi, apabila pasien serangan jantung cepat mendapat
pertolongan yang cepat dan tepat sebelum tiba ke RS. dan segera ditriase cepat di RS untuk
penatalaksanaan reperfusi baik dengan fibrinolitik maupun balonisasi Komplikasi yang dapat
terjadi pada SKA adalah henti jantung akibat oleh timbulnya Fibrilasi Ventrikel (VF). Ataupun
VT tanpa nadi. Untuk ini perawat dituntut untuk menambah pengetahuan dan keterampilan
dalam penatalaksanaan pasien dengan SKA baik yang belum mengalami komplikasi maupun
yang telah mengalami komplikasi, Bantuan Hidup Dasar (BHD) /Life Support adalah usaha yang
dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat penderita mengalami keadaan yang
mengancam nyawa. Bila usaha Bantuan Hidup ini dilakukan tanpa memakai cairan intra vena,
obat ataupun kejutan listrik maka dikenal sebagai Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support).
Sebaliknya bila bantuan hidup dilakukan dengan menggunakan obat-obatan dikenal sebagai
2

Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support). American Heart Association menggunakan 4
Akses rantai penyelamatan untuk menggambarkan bahwa waktu merupakan hal yang sangat
penting dalam penyelamatan penderita khususnya pada penderita dengan VF atau SCA. Tiga dari
4 rantai ini juga relevan untuk penderita dengan henti nafas henti jantung. Rantai penyelamatan
atau disebut dengan “Chain of Survival” sebagai berikut : 1).Cepat menghubungi SPGDT,
2).Cepat melakukan RJP. RJP segera dapat memberikan kesempatan dua atau tiga kali lipat
penderita dengan VF atau SCA dapat diselamatkan, 3).Cepat melakukan Defibrilasi : RJP dan
Defibrilasi pada penderita dapat meningkatkan tingkat penyelamatan (45% -75%), dan 4). Cepat
memberikan Bantuan Hidup Lanjut.

1.2 Tujuan
- Mengetahui Kegawatdaruratan Kardiovaskular
- Mengetahui Tindakan Dalam Kegawatdaruratan Kardiovaskular
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gejala Kegawatdaruratan Kardiovaskuler

Gejala kegawatdaruratan pada orang dengan kelainan jantung dapat berupa nyeri dada,
sesak nafas, jantung berdebar (palpitasi) ,sinkop (pingsan), serta henti jantung.

Henti Jantung

Henti jantung merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan irama jantung. dimana
jantung tidak berdenyut seperti biasa sehingga tidak dapat memompa darah secara optimal ke
seluruh tubuh. Henti jantung umumnya disebabkan oleh 2 hal, yaitu fibrilasi dan takikardi. Pada
fibrilasi, jantung bergetar-getar tidak karuan tanpa kontrol (bisa dibayangkan seperti
petinju yang kehilangan arah, tentu pukulannya jadi lemah dan asal-asalan) sedangkan pada
takikardi, jantung memompa dengan sangat cepat sehingga ventrikel jantung tidak sempat terisi
(bagaikan petinju yang terus memukul tanpa pernah mengisi tenaga, pukulannya jadi tanpa
tenaga). Akibat dari keadaan ini adalah syok kardiogenik, suatu keadaan dimana aliran darah ke
perifer termasuk organ-organ penting seperti hati, kemaluan, paru-paru, hingga otak tidak
tercukupi sehingga terjadi kematian sel karena kurangnya oksigen. Apabila aliran darah ke otak
terhenti lebih dari 8-10 menit maka kerusakan menjadi irreversibel. Kalau tidak ditangani dengan
cepat maka dapat menyebabkan kematian. Henti jantung biasanya ditandai dengan hilangnya
pulsasi, respirasi, dan kesadaran. Beberapa keadaan yang dapat mengakibatkan kolaps jantung
adalah sindrom koroner akut, tenggelam, trauma (tamponade), tercekik, stroke, sengatan listrik,
dll.

Apabila kita menemukan suatu kegawatdaruratan jantung atau kardiovaskular, ada yang
disebut cardiac chain of survival. Langkah-langkahnya sebagai berikut :

1. Survey daerah. Liat kondisi daerah, usahakan lokasi aman buat korban dan kita sendiri.
Jangan sampai kita digilas truk saat nyelamatin korban.
4

2. RAP (Respon, activate, position). Respons dengan cek kesadaran korban, memanggil dan
menggoncangkan tubuh korban. Activate dengan menghubungi bantuan tenaga medis.
Bisa rumah sakit terdekat. Position. Kondisikan pasien pada posisi yang nyaman, rata
(flat), dan tidak mudah bergeser-geser. Perhatikan apakah ada trauma kepala/cervical.
3. Cek ABCD (airway, breathing, circulation, Disability/Defibrilator).

Jika korban ditemukan tidak bernafas jangan malu-malu untuk beri bantuan nafas. Jika denyut
nadi tidak terasa, maka lakukan RJP (resususitasi jantung paru) dengan frekuensi 30:2 (30 kali
pompa jantung + 2 kali nafas bantuan) sebanyak 5 siklus dalam 2 menit. Dalamnya tekanan RJP
sebesar 4-5 cm pada orang dewasa dan 1/3 sampai ½ tinggi dada pada anak kecil. Apabila pasien
mengalami kolaps jantung (fibrilasi/takikardi) maka harus menggunakan alat defibrilator.
Apabila sampai 30 menit korban tidak membaik maka diperbolehkan untuk menghentikan RJP.

Syok
Kondisi yang umumnya mengikuti henti jantung adalah syok kardiogenik. Tanda-
tandanya adalah akral dingin, tekanan darah turun, kesadaran menurun, urin sedikit, nadi cepat
atau sangat lambat. Umumnya 85% berujung kematian kecuali bisa ditangani segera. Penyebab
syok bisa karena faktor volume, pompa, dan denyut jantung. Kelainan pompa sering disebabkan
oleh Infark miokard dan tamponade, sedangkan kelainan denyut diakibatkan konduksi impuls di
jantung yang tidak baik (fibrilasi dan takikardi). Penyebab akibat volume biasanya bukan berasal
dari faktor kardiogenik, tetapi karena berkurangnya volume cairan tubuh dalam jumlah besar
seperti perdarahan, terbakar, dsb. (Guyton, Hall., 2008).

Nyeri Dada
Nyeri dada merupakan keluhan yang sangat umum. Namun, penyebab dari gejala ini dapat
berasal dari faktor lain dari luar jantung, seperti pencernaan, otot, bahkan sampai masalah
ekonomi. Oleh karena itu perlu dilakukan penegakan diagnosis terlebih dahulu pada pasien
dengan keluhan nyeri dada. (Sudoyo, A.W., dkk., 2009).
Anamnesis perlu dilakukan untuk bisa memberi penanganan yang tepat. Hal yang perlu
diketahui:
5

• Kualitas, durasi, keparahan, serta penyebaran nyeri. Nyeri dada yang dipengaruhi jantung
umumnya menyebar ke tungkai kiri atas, leher, dan punggung; rasanya seringkali digambarkan
seperti diremas, dibakar, ditimpa, atau bisul yang hampir pecah. Durasi minimal 30 menit pada
infark miokard.
• Riwayat penyakit korban. Apakah pernah terserang sebelumnya, apakah ada keluarga yang
mengalami, sejak kapan mulai nyeri?
• Faktor resiko yang dimiliki. Merokok, hipertensi, DM, dll merupakan faktor resiko terjadinya
sindrom koroner akut.
• Gejala penyerta. Nyeri dada akibat kerusakan pada jantung biasanya disertai dengan sesak
nafas, keringat berlebihan (diaforesis), ataupun pingsan.
Penyebab nyeri dada bisa karena sindrom koroner akut, perikarditis, endokarditis, diseksi aorta,
dsb.

Sindrom Koroner Akut (SKA)


SKA merupakan keadaan dimana terjadi penurunan pasokan darah ke otot jantung yang
menimbulkan rasa tidak nyaman (discomfort) dalam berbagai tingkat spektrum. SKA terdiri dari
UAP, NSTEMI, dan STEMI. Penanganan sindrom koroner akut bertujuan untuk meminimalisasi
terbentuknya trombus pada lesi aterosklerotik, oleh karena itu digunakan trombolitik.
Langkah-langkah penangan SKA adalah sebagai berikut :
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada kemudian lakukan anamnesis, pabila dicurigai SKA,
maka segera lakukan EKG dalam 10 menit (kenapa harus 10 menit sebab otot jantung mati
dalam 20 menit) apabila telah terdiagnosis SKA segera lakukan pemberian terapi
medikamentosa MONACO; morfin (penghilang nyeri), oksigen, nitrat (vasodilator), aspirin
(antiplatelet), Clopidogrel dan segera lakukan pemeriksaan lab untuk lebih memastikan
( troponin, CK, myoglobin,dll). Upaya penyelamatan SKA memiliki periode emas (golden
periode) yaitu selama 60 menit pertama. Dimana dalam periode ini jika berhasil diselamatkan
prognosis akan jauh lebih baik (Sudoyo, A.W., dkk., 2009).
6

Diseksi Aorta Akut (DAA)

Gambar 2.1 Diseksi Aorta Akut

Diseksi aorta berupa penggembungan pada salah satu sisi aorta (lesi eksentrik) yang
diakibatkan robekan pada dinding aorta yang terus terisi oleh darah. Konon sangat sakit. Lesi ini
sering dikaitkan dengan adanya luka penetrasi (penetrating ulcer) di pembuluh darah.
Penggolongannya ada 2 tipe, menurut Stanford dan DeBakey. Menurut Stanford ada tipe A dan
B. Kalo A di aorta bagian asendens aorta dan tipe B dibagian desendes aorta. Apabila DeBakey
membagi jadi 1,2,3. Yang 1-2 sama kayak stanford A, yang 3 sama kayak stanford B. Resiko
terberat dari DAA adalah ruptur. Bayangkan apabila aortanya robek, darah dengan tekanan tinggi
akan keluar ke bagian internal tubuh kita. Hampir seluruh kasus robek aorta berujung dengan
kematian. Penanganan DAA ditujukan untuk mengurangi tekanan darah sehingga resiko
ruptur berkurang.
Terapi yang diberikan adalah:

 Opium untuk mengurangi nyeri dan menenangkan pasien supaya tekanan darah tidak
naik,
 Labetalol untuk menurunkan denyut nadi sampai < 70
 Nipride untuk mengurangi tekanan darah sampai 110/70.
7

Terapi lanjutan diberikan apabila :


• Terjadi ruptur
• Iskemia pada organ maupun perifer
• False aneurysm lokal
• Hipertensi refrakter
• Nyeri berlanjut

Selain obat-obatan, dapat juga diberikan terapi bedah dengan pemasangan thoracic stent-graft
sebagai terowongan pada saluran aorta.

Sesak Nafas
Sesak nafas dapat disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari respirasi (asma), neural, maupun
emosional (seperti ketika melihat dosen serem ato wanita idaman). Oleh karena itu harus dikenali
gejala-gejala penyertanya untuk menegakkan diagnosis penyakit jantung atau tidak.
Gejala sesak nafas yang umumnya berkaitan dengan kelainan jantung antara lain: nyeri dada,
palpitasi, ortopnea (sesak nafas saat berbaring), diaforesis, penurunan berat badan, dahak
berdarah, batuk, dll. Sementara tanda yang dapat dilihat adalah sianosis, peningkatan tekanan
vena jugular, pucat, bunyi murmur, kardiomegali, clubbing finger, serta edema perifer. Apabila
gejala dan tanda atas temukan pada korban, maka kemungkinan korban menderita gagal jantung.
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh.
Penyakit KV sendiri secara epidemiologi merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia. Oleh
karena itu, angka nyata kematian akibat gagal jantung juga sangat tinggi. Gagal jantung dibagi
menjadi 4 tingkat berdasarkan perkembangannya, mulai dari high risk untuk gagal jantung (GJ),
GJ asimtomatik, GJ simtomatik, sampai GJ tahap akhir (end-stage heart failure). Klasifikasi ini
dibuat untuk memudahkan diagnosa dan penanganan korban. Diagnosa gagal jantung ditegakkan
dengan menggunakan kriteria Framingham. Diagnosis dapat ditegakkan apabila terdapat 2
kriteria mayor atau 1 mayor + 2 minor.
8

Kriteria Mayor
• Sesak nafas tiba-tiba di malam hari (PND)
• Peningkatan JVP
• Krepitasi daerah paru
• Kardiomegali
• Edema paru akut
• Ritme gallop
• Refluks hepatojugular (pelebaran vena jugularis ketika dilakukan penekanan pada hati)
• Penurunan berat badan

Kriteria Minor
• Edema engkel bilateral
• Batuk malam
• Sesak nafas pada kegiatan sehari-hari
• hepatomegali
• Efusi pleura
• Takikardi
• Penurunan kapasitas vital.

Gambaran Hemodinamik pada pasien gagal jantung :

1. Warm and wet. perifer hangat disertai bunyi ronki, juga sesak. Penanganannya berikan
diuretik, vasodilator, serta beta bloker dan inotropik kalo perlu. Diuretik untuk
mengeluarkan cairan karena parunya udah edema.
2. Cold and wet. Perifer dingin disertai bunyi ronki. Kasih vasodilator dan diuretik juga
3. Warm and dry. Perifer hangat dan ga ada ronki. Terapinya seperti gagal jantung kronik
beri beta blocker atau ACE Inhibitor.
4. Cold and dry. Perifer dingin dan ga ada ronki. Kondisi gawat tanda syok. Harus bedain
dengan syok hipovolemik, karena tandanya juga sama. Tekanan darah harus dinaikkan,
bisa dengan inotropik (dopamin, dobutamin).
9

Hangat dinginnya akral menunjukkan kualitas perfusi ke perifer, sedangkan kering atau
basah menunjukkan progresi gagal jantung dalam bentuk edema paru (jantung kongestif).
Gagal jantung dipengaruhi oleh fungsi neurohumoral dalam tubuh kita, terutama hormon
yang meregulasi tekanan darah macam angiotensin. Hormon ini mengakibatkan terjadinya
retensi air melalui pelepasan aldosteron yang menyebabkan edema paru dan perifer sehingga
kerja jantung makin berat), vasokonstriksi, dan efek toksik langsung ke otot jantung. Ketiga
mekanisme ini yang memperparah gagal jantung. Gagal jantung dapat diperparah apabila
‘dibantu’ dengan sindrom koroner akut, konsumsi garam berlebihan, konsumsi cairan berlebihan,
aritmia, obat-obatan, kondisi metabolik (kehamilan) dll.
Kematian yang didasari gagal jantung umumnya terjadi karena henti jantung tiba-tiba
(sudden cardiac death), bradi-tachiarrhytmia, serta gagal jantung progresif. Pengobatan gagal
jantung sekarang udah bisa pake biventricular pacing dimana ritme jantung diatur secara elektrik
maupun dengan bedah dan transplantasi.

Kegawatdaruratan Hipertensi
Suatu hipertensi masih ‘hanya’ dianggap kritis meski tekanan sistole lebih dari
200mmHg dan diastole di atas 120mmHg. Hipertensi baru bisa dikategorikan sebagai
kegawatdaruratan hipertensi kalo diikuti oleh kerusakan organ. Penatalaksanaannya dengan
menurunkan tekanan darah secara perlahan. Apabila dilakukan secara tiba-tiba dapat berujung
pada stroke, gagal ginjal, dan infark miokard. Penurunan tekanan darah pertama kali diupayakan
sebesar 25% dalam tempo 1-4 jam. Akan tetapi, pada pasien dengan diseksi aorta dan IM maka
penurunan perlu dilakukan dengan cepat. Beberapa keadaan emergensi hipertensi antara lain bila
disertai : retinopathy, encepalophaty, diseksi aorta, IM, edema pulmonal, kehamilan, gagal gijal,
ataupun sindrom withdrawal akut. Keadaan-keadaan penyerta hipertensi biasanya diakibatkan
oleh inflamasi pada pembuluh darah (vaskulitis) yang mengakibatkan kurangnya kontrol
autoregulasi pembuluh darah. Seringkali hal ini terjadi pada pasien yang tidak melanjutkan
pengobatannya. Tatalaksana kegawatdaruratan hipertensi antara lain dengan nitrat (sodium
nitroprusside, glyceryl trinitrate), labutamol, dan hydralazine. Pada pasien dengan hipertensi
tanpa gangguan organ pengobatan dilakukan dengan Beta blocker, ACE-I, serta Ca channel
blocker.
10

Tamponade Jantung
Tamponade jantung terjadi ketika cairan masuk ke dalam rongga perikardial hingga
mengakibatkan penekanan pada jantung. Akibatnya jantung tidak dapat terisi dan berkontraksi
secara maksimal. Penyebab tertinggi dari tamponade adalah TBC (pleuritis kemudian menyerang
daerah sekitar jantung sehingga terjadi ruptur kemudian tamponade), kecelakaan, IM, serta
diseksi aorta. Tamponade jantung harus dicurigai pada korban dengan gejala hipotensi,
penurunan tekanan vena jugular, penurunan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, serta pulsus
paradoksus (tekanan dan amplitudo gelombang sistole berkurang ketika inspirasi). Tatalaksana
tamponade jantung adalah dengan mengeluarkan kelebihan cairan dengan bedah, pemberian
koloid dan inotropik untuk meningkatkan kekuatan jantung, dialisis urin, dan sitologi.

Gangguan Irama/ Palpitasi


Gangguan irama seringkali digambarkan oleh korban sebagai perasaan berdebar-debar
(palpitasi). Manajemennya mengikuti algoritma takikardi atau bradikardi, sedangkan jika
diindikasian terjadi SKA diperlukan pemeriksaan EKG. Pengobatan irama jantung saat ini satu-
satunya adalah dengan defibrilator /cardioversion. Apabila tekanan darah bagus, Gambaran EKG
teratur dengan qrs sempit dapat diberikan adenosin. Kalau bradikardia ditatalaksana dengan
atropin 1-2 mg IV.

Syncope
Syncope itu nama lainnya pingsan, arti kedokterannya suatu keadaan dimana terjadi kehilangan
kesadaran tiba-tiba yang sembuh sendiri (self-limited) yang selalu dibarengi dengan manuver
jatuh. Pingsan diakibatkan berkurangnya pasokan darah ke otak sehingga terjadi pengurangan
curah jantung atau penurunan resistensi perifer. Ketika resistensi perifer turun, makan darah akan
banyak tertampung di perifer (misalnya di kaki ketika lama berdiri pas upacara), akibatnya
volume darah balik ke jantung sedikit, ikutin hukum frank-starling, curah jantung juga makin
dikit, akibatnya aliran darah tidak mencukupi. Ketika otak tidak memperoleh darah selama 6-8
detik maka pingsan dapat terjadi baik secara tiba-tiba atau dibuka oleh rasa pusing, bergoyang,
atau menurunnya pandangan.
11

Pingsan itu banyak penyebabnya dan dapat dibagi dalam 4 kelompok besar :
• Faktor Neural. Mekanismenya melalui vasovagal, situasi-emosi, atau hipersensitifitas sinus
karotikus (misalnya pemasangan kerah/korset terlalu ketat bisa bikin sinus karotikus terangsang
dan membuat tekanan darah turun dan pingsan)
• Ortostatik (berkaitan dengan berdiri tegak). Misalnya berdiri terlalu lama. Bisa juga diperkuat
oleh efek obat-obatan atau penurunan volume darah.
• Aritmia jantung. Mis. Disfungsi sinus node, blok AV, aritmia tiba-tiba (paroksismal), serta
• Penyebab lainnya. Mis. Diseksi aorta, obstruksi katup, tamponade jantung, emboli, dll.
Korban pingsan perlu memperoleh pemeriksaan seksama, di antaranya, pemeriksaan
tanda vital, bunyi jantung, EKG, ekokardiogram, pemeriksaan gula darah. Selain itu, kita perlu
membuang kemungkinan penyebab lain seperti epilepsi, pingsan psikogenik, hipoglikemia,
intoksifikasi (keracunan). Tatalaksana pingsan adalah dengan membaringkan pasien pada posisi
telentang atau disebut tradelenberg position, pemberian oksigen, cairan, maupun vasopressor bila
diperlukan. Selain itu perlu juga diberikan edukasi untuk pencegahan serta penangan yang lebih
baik, misalnya dengan mempersiapkan obat atau memakai pacemaker.

2.2 Tindakan Dalam Kegawatdaruratan Kardiovaskular

Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar merupakan layanan kesehatan dasar yang
dilakukan terhadap penderita yang menderita penyakit yang mengancam jiwa sampai penderita
tersebut mendapat pelayanan kesehatan secara paripurna. Tindakan Bantuan Hidup Jantung
Dasar umumnya dilakukan oleh paramedis, namun dinegara-negara maju seperti Amerika
Serikat, Kanada serta Inggris dapat dilakukan oleh kaum awam yang telah mendapatkan
pelatihan sebelumnya. Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar secara garis besar dikondisikan
untuk keadaan di luar Rumah Sakit sebelum mendapatkan perawatan lebih lanjut, sehingga
tindakan Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar dapat dilakukan di luar Rumah Sakit tanpa
menggunakan peralatan medis.
Bantuan Hidup Jantung Dasar sebenarnya sudah sering didengar oleh masyarakat awam di
Indonesia dengan nama Resusitasi Jantung Paru (RJP). Umumnya tidak menggunakan obat-
obatan dan dapat dilakukan dengan baik setelah melalui pelatihan singkat. Pedoman Bantuan
Hidup Jantung Dasar yang sekarang dilaksanakan sekarang telah mengalami perbaikan
12

dibandingkan sebelumnya. Bulan Oktober 2010, American Heart Association (AHA)


mengeluarkan pedoman baru Bantuan Hidup Dasar Dewasa. Dalam Bantuan Hidup Dasar ini,
terdapat beberapa perubahan sangat mendasar dan berbeda dengan Bantuan Hidup Dasar yang
telah dikenal sebelumnya, seperti :

1. Pengenalan kondisi henti jantung mendadak segera berdasarkan penilaian respon


penderita dan tidak adanya napas
2. Perintah Look, Feel and Listen dihilangkan dari algoritme Bantuan Hidup Dasar

3. Penekanan bantuan kompresi dada yang berkelanjutan dalam melakukan resusitasi


jantung paru oleh penolong yang tidak terlatih

4. Perubahan urutan pertolongan Bantuan Hidup Dasar dengan mendahulukan kompresi


sebelum melakukan pertolongan bantuan napas (CAB dibandingkan dengan ABC)

5. Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang efektif dilakukan sampai didapatkan kembalinya
sirkulasi spontan atau penghentian upaya resusitasi

6. Peningkatan fokus metode untuk meningkatkan kualitas RJP yang lebih baik

7. Penyederhanaan Algoritme Bantuan Hidup Dasar.

Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar bukan merupakan suatu satu jenis keterampilan
tindakan tunggal semata, melainkan suatu kesinambungan tidak terputus antara pengamatan serta
intervensi yang dilakukan dalam pertolongan. Keberhasilan pertolongan yang dilakukan
ditentukan oleh kecepatan dalam memberikan tindakan awal Bantuan Hidup Jantung Dasar. Para
ahli berpikir bagaimana cara untuk melakukan suatu Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar
yang efektif serta melatih sebanyak mungkin orang awam dan paramedis yang dapat melakukan
tindakan tersebut secara baik dan benar. Secara umum, pengamatan serta intervensi yang
dilakukan dalam Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar merupakan suatu rantai tak terputus,
disebut sebagai rantai kelangsungan hidup (chain of survival) :
13

1. Pengenalan kejadian henti jantung dan aktivasi sistem gawat darurat segera (Early Access)

a. Identifikasi kondisi penderita dan lakukan kontak ke sistem gawat darurat

b. Informasikan segera Kondisi penderita sebelum melakukan RJP pada orang dewasa
atau sekitar 1 menit setelah memberikan pertolongan RJP pada bayi dan anak.

c. Penilaian cepat tanda-tanda potensial henti jantung

d. Identifikasi tanda henti jantung atau henti napas.

2. Resusitasi Jantung Segera (Early CPR)

3. Defibrilasi Segera (Early Defibrillation)

4. Perawatan Kardiovaskular Lanjutan yang Efektif (Effective ACLS)

5. Penanganan terintegrasi pascahenti jantung (Integrated Post Cardiac Arrest Care)

Dalam melakukan pertolongan menggunakan pendekatan sistematis Bantuan Hidup


Jantung Lanjut (ACLS), maka kita harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan secara
sistematis pula. Pengamatan dan pemeriksaan tersebut dimulai dari survei primer Bantuan Hidup
Dasar dilanjutkan dengan survei Bantuan Hidup Jantung Lanjut
Survei Bantuan Hidup Dasar Primer merupakan dasar tindakan penyelamatan jiwa
setelah terjadi keadaan henti jantung. Tindakan ini bisa dilakukan oleh seorang penolong ataupun
secara simultan. Tujuan awal pelaksanaan Survei Bantuan Hidup Dasar Primer adalah
memperbaiki sirkulasi sistemik yang hilang pada penderita henti jantung mendadak dengan
melakukan kompresi dada secara efektif dan benar, diikuti dengan pemberian ventilasi yang
efektif sampai didapatkan kembalinya sirkulasi sistemik secara spontan atau tindakan dihentikan
karena tidak ada respon dari penderita setelah tindakan dilakukan beberapa saat. Jikalau setelah
dilakukan survei Bantuan Hidup Dasar Primer secara efektif didapatkan kembalinya sirkulasi
secara spontan, maka tindakan Survei Bantuan Hidup Dasar Primer langsung dilanjutkan Survei
Bantuan Hidup Jantung Lanjut. Tujuan survei Bantuan Hidup Dasar Primer adalah berusaha
memberikan bantuan sirkulasi sistemik, ventilasi, dan oksigenasi tubuh secara efektif dan
optimal sampai didapatkan kembali sirkulasi sistemik spontan atau telah tiba peralatan yang
lebih lengkap untuk melaksanakan Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
14

Survei Bantuan Hidup Dasar Primer dilakukan baik untuk penderita yang mengalami
henti jantung mendadak atau tidak sadarkan diri yang kita saksikan atau datang ke Rumah Sakit
sudah tidak sadarkan diri. Kita memeriksa respon penderita dengan memanggil dan menepuk-
nepuk pundak atau menggoyangkan badan penderita bertujuan untuk mengetahui respon
kesadaran penderita (Check responsiveness). Setelah yakin bahwa penderita dalam keadaan tidak
sadar, maka kita meminta bantuan orang lain menghubungi ambulans atau sistem gawat darurat
Rumah Sakit terdekat dan meminta bantuan datang dengan tambahan tenaga serta peralatan
medis yang lengkap (Call for Help). Jika saat melakukan pertolongan hanya seorang diri, setelah
melakukan pemeriksaan respon kesadaran, penolong segera menghubungi Rumah sakit terdekat
atau ambulans dan melakukan pertolongan awal kompresi dada dengan dengan cepat dan kuat
dengan frekuensi 30 kali diselingi pemberian bantuan napas 2 kali (1 detik setiap napas bantuan)
sampai bantuan datang.

Sebelum melakukan Survei Bantuan Hidup Dasar Primer , kita harus memastikan bahwa
lingkungan sekitar penderita aman untuk melakukan pertolongan, dilanjutkan dengan
memeriksa kemampuan respon penderita, sambil meminta pertolongan untuk mengaktifkan
sistem gawat darurat dan menyediakan AED

Urutan sistematis yang digunakan saat ini adalah C - A – B. Sebelum melakukan Bantuan
Hidup Dasar harus diperhatikan langkah yang tepat dengan melakukan pemeriksaan terlebih
dahulu. Setelah dilakukan pemeriksaan (kesadaran, sirkulasi, pernapasan, perlu tidaknya
defibrilasi), harus dianalisis secara cepat dan tepat tindakan yang perlu dilakukan. Sebagai
contoh :
Periksa respon penderita untuk memastikan penderita dalam keadaan sadar atau tidak sadar.

Periksa denyut nadi sebelum melakukan kompresi dada atau sebelum melakukan penempelan
sadapan AED.

Pemeriksaan analisis irama jantung sebelum melakukan tindakan kejut lsitrik pada jantung
(defibrilasi).
15

Ketika akan melakukan pertolongan, penolong harus mengetahui dan memahami hak penderita
serta beberapa keadaan yang mengakibatkan RJP tidak perlu dilaksanakan seperti :
Henti jantung terjadi dalam sarana atau fasilitas kesehatan

1) Ada permintaan dari penderita atau keluarga inti yang berhak secara sah dan ditandatangani
oleh penderita atau keluarga penderita

2) Henti jantung terjadi pada penyakit dengan stadium akhir yang telah mendapat pengobatan
secara optimal

3) Pada neonatus atau bayi dengan kelainan yang memiliki angka mortalitas tinggi, misalnya
bayi sangat prematur, anensefali atau kelainan kromosom seperti trisomi 13

Henti jantung terjadi di luar sarana atau fasilitas kesehatan

1) Tanda-tanda klinis kematian yang irreversibel, seperti kaku mayat, lebam mayat, dekapitasi,
atau pembusukan.

2) Upaya RJP dengan resiko membahayakan penolong

3) Penderita dengan trauma yang tidak bisa diselamatkan seperti hangus terbakar, dekapitasi atau
hemikorporektomi.

Kapan Menghentikan RJP


Ada beberapa alasan bagi penolong untuk menghentikan RJP, antara lain :
Penolong sudah melakukan Bantuan Hidup Dasar dan Lanjut secara optimal, antara lain: RJP,
defibrilasi pada penderita VF/VT tanpa nadi, pemberian vassopressin atau epinefrin intravena,
membuka jalan napas, ventilasi dan oksigenasi menggunakan bantuan napas tingkat lanjut serta
sudah melakukan semua pengobatan irama sesuai dengan pedoman yang ada.

Penolong sudah mempertimbangkan apakah penderita terpapar bahan beracun atau mengalami
overdosis obat yang akan menghambat susunan sistem saraf pusat

Kejadian henti jantung tidak disaksikan oleh penolong.

Penolong sudah merekam melalui monitor adanya asistol yang menetap selama 10 menit atau
lebih.
16

Implementasi penghentian usaha resusitasi ;


Asistol yang menetap atau tidak terdapat denyut nadi pada neonatus lebih dari 10 menit
Penderita yang tidak respon setelah dilakukan Bantuan Hidup Jantung Lanjut minimal 20
menit.

Secara etik penolong RJP selalu menerima keputusan klinik yang layak untuk memperpanjang
usaha pertolongan (misalnya oleh karena konsekuensi psikologis dan emosional). Juga menerima
alasan klinis untuk mengakhiri resusitasi dengan segera (karena kemungkinan hidup yang kecil).

Menurunnya kemungkinan keberhasilan resusitasi sebanding dengan makin lamanya waktu


melaksakanan bantuan hidup. Perkiraan kemungkinan keberhasilan resusitasi dan pulang ke
rumah, mulai dari 60-90% dan menurun secara jelas 3-10 % permenit.
Tindakan RJP pada Asistol bisa lebih lama dilakukan pada penderita dengan kondisi sebagai
berikut :
Usia Muda

Asistol menetap karena toksin atau gangguan elektrolit

Hipotermia

Overdosis Obat

Usaha bunuh diri

Permintaan Keluarga

Korban tenggelam di air dingin

Teknik Pelaksanaan Survey Primer Bantuan Hidup Dasar (C-A-B -D) :


1. Kita harus memastikan bahwa lingkungan sekitar penderita aman untuk melakukan
pertolongan. Penderita dibaringkan di tempat datar dan keras posisi telentang.

2. Dilanjutkan dengan memeriksa kemampuan respon penderita, sambil meminta pertolongan


untuk mengaktifkan sistem gawat darurat dan menyediakan AED.
17

Setelah yakin bahwa penderita dalam keadaan tidak sadar, maka kita meminta bantuan
orang lain menghubungi ambulans atau sistem gawat darurat Rumah Sakit terdekat dan meminta
bantuan datang dengan tambahan tenaga serta peralatan medis yang lengkap
Memeriksa respon : dengan memanggil dan menepuk-nepuk pundak atau menggoyangkan badan
penderita (Check responsiveness); “ Pak....Pak.... (sambil menepuk pundak)......pak....anda baik-
baik saja ?”
(Call for Help) : menunjuk orang disekitar ; “ Tolong Telpon 118/ambulan, beritahukan ada
pasien cardiac arrest, mohon bantuan tenaga medis dan AED”

Gambar 2.2 Cek Respon

3. Penilaian denyut nadi


Caranya jika penolong di sebelah kanan penderita, dengan meletakkan jari telunjuk dan jari
tengah pada garis median leher (trachea), kemudian geser ke lateral (ke arah penolong)/tidak
boleh menyeberangi garis tengah, lalu raba pulsasi arteri carotisnya. Periksa teraba nadi atau
tidak. Langkah ini tidak boleh lebih dari 10 detik
18

Gambar 2.3 Head thill, chin lift

Untuk berlatih mahasiswa dapat meraba pulsasi arteri carotisnya sendiri terlebih dahulu,
kemudian meraba pulsasi arteri carotis mahasiswa lain secara berpasangan.
Penelitian yang telah dilakukan mengenai resusitasi menunjukkan baik penolong awam maupun
tenaga kesehatan mengalami kesulitan dalam melakukan pemeriksaan pulsasi arteri carotis.
Sehingga untuk hal tertentu pengecekan pulsasi tidak diperlukan, seperti :
Penolong tidak perlu memeriksa nadi dan langsung mengasumsikan penderita menderita henti
jantung jika penderita mengalami pingsan mendadak, atau tidak berespons tidak bernapas, atau
bernapas tidak normal.

Penilaian pulsasi sebaiknya dilakukan kurang dari 10 detik. Jika dalam 10 detik penolong
belum bisa meraba pulsasi arteri, maka segera lakukan kompresi dada.
Catatan : Jika teraba nadi berikan 1 kali napas tiap 5-6 detik. Cek nadi tiap 2 menit
Jika tidak teraba nadi lanjutkan dengan kompresi.

4. Kompresi Dada
Dilakukan dengan pemberian tekanan secara kuat dan berirama pada setengah bawah
sternum/ Membuat garis bayangan antara kedua papila mammae memotong mid line pada
sternum kemudian meletakkan tangan kiri diatas tangan kanan/ sebaliknya. Yang dipakai adalah
tumit tangan, bukan telapak tangan. Hal ini menciptakan aliran darah melalui peningkatan
19

tekanan intratorakal dan penekanan langsung pada dinding jantung. Komponen yang perlu
diperhatikan saat melakukan kompresi dada :
Frekuensi minimal 100 kali permenit

Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inch)

Pada bayi dan anak, kedalaman minimal sepertiga diameter diding anterposterior dada, atau 4
cm (1,5 inch) pada bayi dan sekitar 5 cm (2 inch) pada anak.

Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali sevara sempurna setelah setiap
kompresi.

Seminimal mungkin melakukan interupsi

Hindari pemberian napas bantuan yang berlebihan.

Gambar 2.4 RJPO (resusitasi Jantung paru otak)

Melakukan kompresi dada: tekan dengan cepat dan keras, interupsi minimal, dan biarkan dada
recoil. Siku lengan harus lurus dengan sumbu gerakan menekan adalah pinggul bukan bahu.
Tekan dada dengan kedalaman minimal 5 cm.
20

Gambar 2.5 Penekanan pada Teknik RJPO


Beri kesempatan dada recoil sebelum menekan kembali untuk memberi kesempatan venous
return mengisi jantung.
Catatan : untuk membantu penghitungan kompresi :
“ satu, dua................sepuluh”.... satu, dua, ...... duapuluh, ....satu...dua.... tigapuluh”

5. Airway (pembukaaan jalan napas)


Dalam teknik ini diajarkan bagaimana cara membuka dan mempertahankan jalan napas
untuk membantu ventilasi dan memperbaiki oksigenasi tubuh. Tindakan ini sebaiknya dilakukan
oleh orang yang sudah menerima pelatihan Bantuan Hidup Dasar atau tenaga kesehatan
profesional dengan menggunakan teknik angkat kepala –angkat dagu (head Tilt-Chin Lift) pada
penderita yang diketahui tidak mengalami cedera leher. Pada penderita yang dicurigai menderita
trauma servikal, teknik head tilt chin lift tidak bisa dilakukan. Teknik yang digunakan pada
keadaan tersebut adalah menarik rahang tanpa melakukan ekstensi kepala (Jaw Thrust). Pada
penolong yang hanya mampu melakukan kompresi dada saja, belum didapatkan bukti ilmiah
yang cukup untuk melakukan teknik mempertahankan jalan napas secara pasif, seperti
hiperekstensi leher.
21

2.6 Head Tilt Chin Lift

2.7 Jaw Thrust

6. Breathing (pemberian napas bantuan)


Pemberian napas bantuan dilakukan setelah jalan napas terlihat aman. Tujuan Primer
pemberian napas bantuan adalah untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan tujuan
sekunder untuk membuang CO2. Sesuai dengan revisi panduan yang dikeluarkan American
Hearth Association mengenai Bantuan Hidup Jantung Dasar, penolong tidak perlu melakukan
observasi napas spontan dengan Look, Listen, Feel, karena langkah pelaksanaan tidak konsisten
22

dan menghabiskan banyak waktu. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan bantuan napas
antara lain :
Mahasiswa memasang mouth barrier untuk proteksi diri

Berikan napas bantuan dalam waktu 1 detik.

Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada

Diberikan 2 kali napas bantuan setelah 30 kompresi

Pada kondisi terdapat dua orang penolong atau lebih, dan telah berhasil memasukkan alat
untuk mempertahankan jalan napas (seperti pipa endotrakheal, combitube, atau sungkup laring),
maka napas bantuan diberikan setiap 6-8 detik, sehingga menghasilkan pernapasan dengan
frekuensi 8-6 kali permenit. Tidak sinkron dengan kompresi : memberikan bantuan napas tiap 6-
8 detik selama kompresi berlangsung, Ingat Interupsi minimal saat kompresi.

Penderita dengan hambatan jalan napas atau komplians paru yang buruk memerlukan bantuan
napas dengan tekanan lebih tinggi sampai memperlihatkan dinding dada terangkat.

Pemberian bantuan napas yang berlebihan tidak diperlukan dan dapat menimbulkan distensi
lambung serta komplikasinya, seperti regurgitasi dan aspirasi.

Cara pemberian napas bantuan :


a. Mulut ke mulut

b. Mulut ke hidung

c. Mulut ke sungkup

d. Dengan Kantung Pernafasan


23

Gambar 2.8 Teknik Bantuan Pernapasan

7. Setelah 5 siklus/ 2 menit, periksa pulsasi arteri carotis, jika pulsasi tidak ada dan bantuan
belum tiba teruskan RJP. Jika bantuan datang dan membawa peralatan (AED/Defibrilator) segera
pasang alat cek irama jantung dengan menggunakan AED atau monitor defibrilator. Apabila
irama jantung shockable lakukan defibrilasi, apabila not shockable teruskan RJP. Ikuti algoritme.

8. Defibrilasi
Tindakan defibrilasi sesegera mungkin memegang peranan penting untuk keberhasilan
pertolongan penderita henti jantung mendadak berdasarkan alasan berikut :
Irama jantung yang paling sering didapat pada kasus henti jantung mendadak yang disaksikan
di luar rumah sakit adalah Fibrilasi ventrikel

Terapi untuk fibrilasi ventrikel adalah defibrilasi


24

Kemungkinan keberhasilan tindakan defibrilasi berkurang seiring dengan bertambahnya


waktu

Perubahan irama dari fibrilasi ventrikel menjadi asistol seiring dengan berjalannya waktu.
Pelaksanaan defibrilasi bisa dilakukan dengan menggunakan defibrilator manual atau
menggunakan Automated External Defibrilator (AED). Penderita dewasa yang mengalami
fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi tanpa nadi diberikan energi kejutan 360 J pada
defibrilator monofasik atau 200 J pada bifasik. Pada anak, walaupun kejadian henti jantung
mendadak sangat jarang, energi kejutan listrik diberikan dengan dosis 2-4 J/Kg, dapat diulang
dengan dosis 4-10 J/Kg dan tidak melebihi energi yang diberikan kepada penderita dewasa. Pada
neonatus, penggunaan defibrilator manual lebih dianjurkan. Penggunaan defibrilator untuk
tindakan kejut listrik tidak diindikasikan pada penderita dengan asistol atau pulseless electrical
activity (PEA).
25

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 7 juta orang meninggal akibat
Sindroma Koroner Akut (SKA) di seluruh dunia pada tahun 2002. Angka ini diperkirakan
meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. Menurut Antman et al,(2004) SKA merupakan
penyakit jantung koroner yang menjadi penyebab utama kematian di dunia, dimana terdapat
lebih dari 4,5 juta penduduk meninggal karena SKA ,yang termasuk kedalam SKA adalah : ST
Elevasi Miocard Infark(STEMI), Non ST Elevasi Miocard Infark ( NSTEMI ) dan Unstable
Angina Pektoris(UAP).Pravelansi penyakit jantung dan pembuluh darah (Cardiovaskuler) di
Indonesia terus meningkat angka kejadian. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
Depertamen Kesehatan 2006 tingkat kematian akibat penyakit kardiovasuler mencapai 25%.

Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar merupakan layanan kesehatan dasar yang dilakukan
terhadap penderita yang menderita penyakit yang mengancam jiwa sampai penderita tersebut
mendapat pelayanan kesehatan secara paripurna. Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar
umumnya dilakukan oleh paramedis, namun dinegara-negara maju seperti Amerika Serikat,
Kanada serta Inggris dapat dilakukan oleh kaum awam yang telah mendapatkan pelatihan
sebelumnya. Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar secara garis besar dikondisikan untuk
keadaan di luar Rumah Sakit sebelum mendapatkan perawatan lebih lanjut, sehingga tindakan
Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar dapat dilakukan di luar Rumah Sakit tanpa
menggunakan peralatan medis. Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar bukan merupakan suatu
satu jenis keterampilan tindakan tunggal semata, melainkan suatu kesinambungan tidak terputus
antara pengamatan serta intervensi yang dilakukan dalam pertolongan. Keberhasilan pertolongan
yang dilakukan ditentukan oleh kecepatan dalam memberikan tindakan awal Bantuan Hidup
Jantung Dasar. Para ahli berpikir bagaimana cara untuk melakukan suatu Tindakan Bantuan
Hidup Jantung Dasar yang efektif serta melatih sebanyak mungkin orang awam dan paramedis
26

yang dapat melakukan tindakan tersebut secara baik dan benar. Bantuan Hidup Jantung Dasar
sebenarnya sudah sering didengar oleh masyarakat awam di Indonesia dengan nama Resusitasi
Jantung Paru (RJP). Umumnya tidak menggunakan obat-obatan dan dapat dilakukan dengan baik
setelah melalui pelatihan singkat. Pedoman Bantuan Hidup Jantung Dasar yang sekarang
dilaksanakan sekarang telah mengalami perbaikan dibandingkan sebelumnya. Bulan Oktober
2010, American Heart Association (AHA).
27

DAFTAR PUSTAKA

Antman et al, (2004). HFSA 2010 Comprehensive Heart Failure Practice Guideline.
Journal of Cardiac Failure Vol. 16 No. 6. Available From:
http://www.heartfailureguideline.org/_assets/document/2010_heart_failure_guideline_e
ec_summary.pdf. {Accessed 02 Maret 2014}.

Depkes, R.I., 2006. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
AvailableFrom:
http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20Kesehatan%20Indonesia%20pd
.{Accessed 01 Maret 2014}.

Depkes, R.I., 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
AvailableFrom:
http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20Kesehatan%20Indonesia%20pd
.{Accessed 03 Maret 2014}.

Guyton, Hall., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta : EGC.

Sudoyo, A.W., dkk., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V jilid II. Jakarta : Interna
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai