Upaya yang dapat dilakuakan untuk dapat melaksanakan syarat-syarat pokok tersebut, yaitu :
- Peningkatan Efektivitas
Peningkatan efektifitas dilakukan dengan mengubah penyebaran atau alokasi
penggunaan sumber dana. Alokasi dana lebih diutamakan pada upaya kesehatan yang
menghasilkan dampak yang lebih besar, misalnya lebih mengutamakan upaya
pencegahan daripada pengobatan penyakit.
- Peningkatan Efisiensi
Peningkatan efisiensi dilakukan dengan memperkenalkan berbagai mekanisme
pengawasan dan pengendalian. Mekanisme tersebut meliputi :
a. Standar minimal pelayanan yang memiliki tujuan untuk menghindari pemborosan.
Pada dasarnya, terdapat dua macam standar minimal yang sering diterapkan, yaitu
- Standar minimal sarana, misalnya standar minimal rumah sakit dan standar
minimal laboratorium.
- Standar minimal tindakan, misalnya tata cara pengobatan dan perawatan
penderita, serta daftar obat-obat esensial.
Dengan adanya standar minimal pelayanan, diharapkan pemborosan dapat dihindari
dan dengan demikian tingkat efisiensinya dapat lebih ditingkatkan. Selain itu, dengan
adanya standar minimal pelayanan ini dapat pula dipakai sebagai pedoman dalam
menilai mutu pelayanan kesehatan.
b. Kerjasama antar berbagai sarana pelayanan kesehatan merupakan bentuk lain yang
diperkenalkan guna meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan, terdapat dua bentuk
kerjasama yang dapat dilakukan, yaitu :
- Kerjasama institusi, misalnya sepakat secara bersama-sama membeli peralatan
kedokteran yang mahal dan jarang dipergunakan. Dengan demikian, dapat lebih
menghemat dana yang tersedia serta dapat pula digunakan dalam menghindari
penggunaan peralatan yang rendah, sehingga tingkat efisiensinya juga akan
meningkat.
- Kerjasama sistem, misalnya sistem rujukan, yaitu adanya hubungan timbal balik
kerjasama antara satu sarana kesehatan dengan sarana kesehatan yang lain.
Di berbagai negara, terdapat tiga model sistem pembiayaan kesehatan bagi warganya
yang diberlakukan secara nasional yaitu model asuransi kesehatan sosial (Social Health
Insurance , model asuransi kesehatan komersial / privat (Commercial / Private Health
Insurance) dan model terakhir yaitu Pelayanan Kesehatan Nasional (National Health
Services). Model asuransi kesehatan berkembang pertama kali di beberapa negara benua
Eropa pada tahun 1882 dan kemudian menyebar ke benua Asia. Kelebihan model ini
adalah kemungkinan cakupan yang mencapai 100 persen jumlah penduduk dan biaya
yang dikeluarkan relatif rendah dalam pembiayaan kesehatan.
Model asuransi komersial mulai berkembang di Amerika Serikat. Sistem ini tidak
berhasil mencapai cakupan 100 persen penduduk, sehingga Bank Dunia
merekomendasikan pembaruan sistem asuransi kesehatan. Berdasarkan data Bank Dunia,
Amerika Serikat merupakan negara dengan pembiayaan kesehatan paling tinggi di dunia
yang mencapai 13,7% dari GNP pada tahun 1997, sementara negara Jepang yang
pembiayaan kesehatannya hanya 7 % dari GNP tetapi memiliki derajat kesehatan
penduduk yang lebih tinggi yang dibuktikan dengan tingginya usia harapan hidup
penduduk Jepang yang mecapai 77,6 yahun untuk pria dan 84,3 tahun untuk wanita.
( Fatmah Arianty : 2011 ).
Terakhir model National Health Services dirintis pemerintah Inggris sejak usai perang
dunia kedua. Model ini juga membuka peluang cakupan 100% penduduk, namun
pembiayaan kesehatan yang dijamin melalui anggaran pemerintah akan menjadi beban
yang berat.
F. Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia
Perkembangan Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia
Departemen Kesehatan pada tahun 2006 mengeluarkan konsep pembangunan
kesehatan berkelanjutan yang kemudian dikenal sebagai Visi Indonesia Sehat 2010.
Dalam hal ini, pemerintah melakukan berbagai cara guna mencapai visi tersebut
dengan mensosialisasikan hingga ketingkat daerah. Kebijakan desentaralisasi yang
direvisi kembali melalui UU Nomr 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
sedikit menghambat berjalannya kebijakan Indonesia Sehat 2010. Konsepsi visi
Indonesia Sehat 2010 pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigma yang secara nyata
cukup bertentangan dengan prinsip desentarlisasi yang di atur dalam UU
pemerintahan daerah yang mana kewenangan daerah otonom dalam penentuan arah
dan model pembangunan di wilayahnya masing-masing tanpa harus terikat dengan
kebijakan pemerintah pusat.
Kebijakan desentralisasi tersebut berpengaruh terehadap pola lama
pembangunan pada beberapa bidang, tak terkecuali dengan pembangunan bidang
kesehatan. Kekuasaan otonom pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan
pembangunannya membuat konsepsi Visi Indonesia Sehat 2010 menjadi tidak
terlalu bermakna (Astaqauliyah.com : 2011). Hal itu dapat ditunjukkan dengan
masih banyaknya daerah-daerah di Indonesia yang pembangunan di bidang
kesehatannya sangat jauh dari kualitas baik, pada saat yang sama kecenderungan
epidemiologi penyakit tidak banyak mengalami perubahan dan diperparah oleh
lemahnya infrastruktur promoif dan perventif bidang kesehatan.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah pusat membuat suatu kebijakan
dengan menerbitkan dokumen panduan pembangunan kesehatan yang kemudian
dikenal sebagai sistem kesehatan nasional yang terdiri dari upaya kesehatan,
pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sumber daya obat dan
perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan manajemen kesehatan.
Komponen pembiayaan kesehatan merupakan salah satu komponen terpenting dalam
sistem kesehatan nasional.
Kebijakan dalam pembiayaan kesehatan kemudian kembali diterbitkan oleh
pemerintah pada tahun 2004, melalui UU Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem
jaminan sosial nasional (UU SJSN) dengan tujuan memberikan jaminan nasional
yang komprehensif bagi seluruh warga negara Indonesia. Sementara itu, pada tahun
2005 pemerintah melalui Departemen Kesehatan meluncurkan program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) yang disempurnakan bentuk
dan operasionalnya pada tahun 2008 menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas ).
Pemerintah kembali memperkenalkan program baru pada tahun 2010 yaitu
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang dananya disalurkan ke seluruh
puskesmas yang ada di Indonesia. Pengaruh lembaga Internasional seperti PBB yang
Indonesia menjadi anggotanya dengan konsep Millenium Development Goals
(MDGs) menekankan beberapa target pembangunan berkelanjutan yang harus
dicapai oleh negara-negara berkembang di dunia termasuk Indonesia. Salah satu
komponen dalam MDGs adalah bidang kesehatan yaitu target penurunan Angka
Kematian Ibu melahirkan atau AKI pada tahun 2015 yang harus menurun hingga
102/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23/1000
kelahiran hidup. Untuk mempercepat pencapaian target tersebut pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan meluncurkan program baru yang dilaksanakan sejak bulan
Januari 2011 yaitu program Jaminan Persalinan (Jampersal) dengan tujuan
menjamin seluruh pembiayaan persalinan seluruh warga negara.
Pembiayaan kesehatan pada masa ini terus mengalami peningkatan yang diiringi
dengan peningkatan anggaran Kementerian Kesehatan pada tahun 2010 yang
mencapai 27,7 Triliun rupiah yang menjadi 27,8 Triliun Rupiah (naik 172,7 milyar)
pada tahun 2011. Kementerian Kesehatan menganggarkan dana sebesar 6,3 Triliun
Rupiah untuk pembiayaan program jampersal dan Jamkesmas, anggaran BOK untuk
seluruh puskesmas di Indonesia mencapai 904,5 milyar rupiah. Anggaran
Jamkesmas diperuntukkan bagi pembiayaan kesehatan 76,5 juta jiwa warga miskin
di seluruh Indonesia (Kementerian Kesehatan RI ; 2011).
Pada tahun 2011, pemerintah juga memperluas cakupan pelayanan program
Jamkesmas selain bagi masyarakt miskin juga diberikan kepada gelandangan,
pengemis, anak terlantar serta masyarakat miskin yang tidak punya identitas,
masyarakat miskin penghuni panti-panti sosial, korban bencana paska tanggap
darurat dan masyarakat miskin penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah
tahanan. Keterlibatan pemerintah daerah pada masa ini juga ditunjukkan dengan
adanya program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang diperuntukkan bagi
warga suatu daerah yang belum tercakup dalam program Jamkesmas.