Anda di halaman 1dari 9

13

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Tebu
Tebu merupakan tanaman sub-tropis dan tropis yang menyukai banyak sinar
matahari dan air yang melimpah (akar tidak tergenang) untuk pertumbuhan optimal.
Beberapa spesies yang dikembangkan yaitu Saccharum officinarum, S. spontaneum,
S.barberi, dan S.sinense. Tanaman tebu termasuk suku rumput-rumputan yang
tumbuh bergerombol membentuk rumpun. Akarnya berbentuk serabut. Batangnya
bulat panjang dan berbuku-buku. Tingginya dapat mencapai 6 meter. Warna
batangnya beragam,ada yang hijau, kuning, ungu, merah dan lain-lain. Permukaan
batangnya kadang-kadang berlilin. Pada buku-buku batang terdapat mata akar dan
tunas. Helaian daun berbentuk pita. Panjang daun dapat mencapai panjang 1 -2 m
dan lebar 4-8 cm. Pada permukaan daun atas dan bawah terdapat bulu-bulu yang
panjang dan tajam. Bunganya tersusun dalam malai yang tegak berwarna putih
(Dhiyaudzdzikrillah, 2011).
Tebu (Sacharum Officinarum) adalah tanaman rumput – rumputan yang banyak
mengandung gula pada batangnya. Namun untuk sampai menghasilkan gula, terlebih
dahulu tebu hasil panen dari kebun harus segera dikirim ke Pabrik Gula (PG) untuk
selanjutnya diolah. Dari pengolahan tebu ini dihasilkan apa yang dikenal sebagai
Gula Kristal Putih (GKP) dan tetes sebagai produk utama. Disamping itu proses
pengolahan tebu ini juga memproduksi ampas tebu yang kemudian dapat
dimamfaatkan sebagai bahan bakar Boiler, media jamur merang, serta pupuk organik
(Kompos). Sedangkan blotong yang dihasilkan dari proses pemurnian, dapat
dimamfaatkan pula sebagai pupuk organic (Prawiro, 2011).
Komposisi kandungan tebu terdiri dari 11-19% sukrosa, 65-75% air, serta
komponen lainnya. Demi mencapai nilai sukrosa yang tinggi, dalam system
pemanenan tebu, faktor kemasakan tebu menjadi sangat penting. Tebu yang masak
akan memberikan tingkat kandungan gula yang tinggi. Kemasakan tebu secara umum
diukur berdasarkan nilai brix, pol, harkat kemurnian, dan rendemen
(Dhiyaudzdzikrillah, 2011).
14

Proses produksi yang terdapat di Pabrik Gula Kwala Madu yang memproduksi
GKP I (Gula Kristal Produk I) dengan bahan baku utama adalah tebu dan bahan
pembantu proses adalah kapur tohor dan belerang. Tanaman tebu dipanen saat
tanaman memiliki kadar gula dan sukrosa yang tinggi yakni pada umur sekitar 10-12
bulan. Sebelum tebu dipanen, terlebih dahulu diadakan analisis pendahuluan selama
2 bulan. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui tingkat kematangan
optimal berdasarkan perhitungan rendemen, faktor kemasakan, koefisien
peningkatan, dan koefisien daya tahan tebu. Komposisi batang tebu adalah sebagai
berikut:
 Monosakarida : 0,5-1,5%
 Sakarosa : 11-19%
 Serat (selulosa dan pentosa) : 11-19%
 Zat organik : 0,5-1,5%
 Asam organik : 0,15%
 Air : 65-75%
(Hugot, 1986).
Kadar gula yang diperoleh dari batang tebu adalah 7-8% dan kapasitas bahan
baku yang dipergunakan adalah 3.400-3.600 ton/hari (maksimum 4.000 ton/hari).
Jadi, batang tebu pada dasarnya terdiri dari:
1. Zat padat (sabut)
2. Zat cair terdiri dari air, gula, dan bukan gula (kotoran terlarut)
Tebu yang masuk ke gilingan sebaiknya memiliki kualitas yang baik atau
memenuhi kriteria manis, bersih, dan segar (MBS), yaitu:
 Manis artinya tebu dalam kondisi kemasakan optimal sehingga mengandung
banyak sukrosa. Sukrosa dalam nira biasanya dinyatakan dalam % pol. Nilai
pol pada nira berkualitas baik adalah lebih dari 10%.
 Bersih berarti tebu bebas dari trash (daun, sogolan, pucukan), tanah, dan
kotoran lainnya. Kadar trash dan kotoran pada tebu giling harus maksimum
5%.
 Tebu segar menggambarkan bahwa tebu digiling dalam rentang waktu kurang
dari 24 jam setelah ditebang. Tebu yang lambat tergiling biasanya
mengandung pati dan dekstran dalam jumlah banyak sehingga akan
menganggu proses pemurnian dan menurunkan perolehan sukrosa.
Setelah tebu ditebang, fungsi kehidupan batang tebu secara menyeluruh terhenti,
tetapi masing-masing bagian dari batang (seperti sel-sel tebu) masih tetap hidup.
Akibat gangguan fisik dari luar, seperti terkena sinar matahari langsung, maka sel-sel
tersebut dapat mati dan sel itu akan bersifat asam. Cairan dalam sel tebu tidak stabil
15

dalam suasana asam karena akan terjadi hidrolisis. Hal ini dapat digambarkan dengan
reaksi berikut :
C12 H 22 O 11  H 2 O asam
  C 6 H 12 O 6  C 6 H 12 O 6
Sukrosa Air Glukosa Fruktosa

(Tarigan, 2000)
Jumlah sukrosa yang pecah karena proses hidrolisis di atas tergantung dari
keasaman dan lamanya gangguan fisik. Tanaman tebu dari Perkebunan PGKM dapat
dilihat pada Gambar 3.1. Tebu yang layak giling adalah yang telah mencapai fase
kemasakan, dimana rendemen batang tebu bagian pucuk mendekati rendemen batang
tebu bagian bawah. Tebu yang masak, selnya mudah pecah sehingga ekstraksi
(pemerahan) dapat optimal dibandingkan dengan tebu yang belum masak. Tebu yang
layak giling mempunyai kriteria sebagai berikut:
 Pol tebu : 9-11 %
 HK (Harkat Kemurnian) nira mentah : 74-84 %
 Kotoran tebu : maksimum 5 %
 Kadar sabut : 13-16 %
(Tarigan, 2000)

Gambar 3.1 Tanaman Tebu Perkebunan PGKM

1.2 Susu Kapur


Sifat asam dari nira harus dapat segera dinetralkan. Untuk itu, dibutuhkan bahan
yang bersifat basa. Jenis basa yang dapat dipilih haruslah memenuhi persyaratan:
1. Mempunyai pengaruh pembersihan terhadap nira.
2. Mudah didapat dan murah harganya.
16

Dengan memperhatikan persyaratan tersebut maka dipilihlah basa kapur. Basa


kapur ialah suatu basa yang dibuat dengan memberi air kepada kapur tohor (kapur
yang diperoleh dari hasil pembakaran batu gamping). Kapur tohor yang telah diberi
air dan dihilangkan bagian-bagian yang kasar di lingkungan pabrik gula disebut
sebagai susu kapur. Bila susu kapur diberikan ke dalam nira maka akan terjadi :
1. Penetralan nira dari yang semula memiliki pH sekitar 5,5 akan naik pH-nya
sampai pH = 7 (menjadi netral).
2. Sebagai akibat penetralan akan terbentuk ikatan-ikatan yang mengendap
hingga dapat pula menarik partikel-partikel kecil yang berada di dalam nira
dan turut mengendap.
Pembuatan susu kapur dilakukan pada suatu alat pemadam kapur. Densitas susu
kapur harus selalu diamati di dalam proses pabrikasi. Tinggi rendahnya densitas akan
berpengaruh terhadap banyak sedikitnya air yang digunakan serta memengaruhi daya
reaktivitasnya. Reaktivitas susu kapur akan menggambarkan kecepatan reaksi dari
susu kapur, sedangkan susu kapur aktif akan menggambarkan kandungan kapur yang
siap untuk bereaksi. Prosedur pembuatan susu kapur untuk keperluan proses
pemurnian di tangki Marshall dan Tangki Defekasi (Defekator) adalah sebagai
berikut:
a. Batu kapur masak (kapur tohor) dipadamkan dengan air di dalam Lime
Slaker. Cairan ini mengalir ke Grass hopper strainer untuk disaring dari
bagian-bagian kapur yang tidak masak (brangkal) dan kotoran-kotoran
kasar lainnya. Akhirnya turun ke Milk of Lime Tank.
b. Begitu susu kapur telah menutupi kipas pengaduk, maka pompa dihidupkan
untuk sirkulasi.
c. Pembuatan susu kapur sebaiknya lebih tinggi dari densitas (kekentalan)
yang akan dituju sebelum tangki penuh. Hal ini dimaksudkan agar dalam
kontrol yang selalu diadakan masih dapat diencerkan pada kekentalan yang
dituju yaitu 10o Beaume. Jika susu kapur yang dihasilkan terlalu encer,
maka akan sulit untuk membuat susu kapur menjadi lebih kental apalagi
bila tangki telah penuh.
d. Bila dalam giling normal, maka susu kapur akan dipompa ke alat penjatah
kapur dekat Pre Liming Tank. Disini secara otomatis akan diukur
17

keperluannya, sesuai dengan jumlah nira yang masuk pada pH yang


ditetapkan. Kelebihannya akan bersirkulasi ke Milk of Lime Tank.
Susu kapur mudah mengendap dan menutupi pipa dan valve bila aliran berhenti,
karenanya harus diusahakan agar susu kapur jangan sampai diam, harus selalu
diaduk dan dipompa. Membuat materi susu kapur pada ± 2/3 isi peti sedikit lebih
kental dari tujuan. Selanjutnya diencerkan dengan air sampai pada °Beaume yang
dituju. Dalam setiap jam, penambahan/pembuatan susu kapur harus dikontrol
kekentalannya dan diusahakan berada pada kekentalan/densitas yang tetap.

1.3 Gas SO2


Gas sulfur dioksida adalah gas yang diperoleh dari hasil pembakaran belerang
dengan oksigen. SO2 merupakan gas yang tidak bewarna dan berbau merangsang.
Pada proses sulfitasi, SO2 digunakan sebagai pembentuk endapan dengan cara
memberikan kapur berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan untuk penetralan.
Kelebihan susu kapur akan dinetralkan kembali dengan asam yang terbentuk bila gas
SO2 bertemu dengan air. Sebagai hasil dari proses reaksi penetralan akan terbentuklah
suatu endapan yang berwarna putih dan dapat menjerap kotoran-kotoran lembut yang
terdapat di dalam nira. Di PGKM, gas sulfur dioksida dibuat dalam suatu alat yang
disebut dapur belerang atau tobong belerang yang ditunjukkan oleh Gambar 3.2.
Tobong belerang merupakan suatu bejana tertutup dimana belerang dapat
dimasukkan yang telah dinyalakan terlebih dahulu. Mekanisme reaksi dalam
pembuatan gas SO2 ini adalah sebagai berikut.
T 120 °C : S(s)  S(l)
T 444,6 °C : S(l)  S(g)
T 120 °C : S(g) + O2(g)  SO2(g) ΔH = -2.217 kkal/kg S
Pembakaran dilakukan menggunakan tungku atau furnace yang berkapasitas 25
kg S/m2/jam untuk menghasilkan SO2 berkadar 12%. Alat ini juga dilengkapi dengan
cooler untuk menurunkan suhu outlet agar berkisar 260-290 oC sehingga suhu SO2
masuk ke tangki sulfitasi 75 oC. Berikut ini merupakan prosedur pembuatan gas SO2.
18

Kegunaan belerang adalah untuk membantu proses pemurnian nira. Belerang


setelah dibakar di tobong belerang, akan terbentuk gas belerang. Gas belerang
dengan susu kapur membentuk ikatan kimia yang mengendap. Saat ikatan ini
terbentuk terbawa pula kotoran-kotoran dalam nira dan ikut mengendap berupa nira
kotor di clarifier. Belerang setelah pembakaran pertama dalam tobong belerang,
selanjutnya akan terjadi pelelehan belerang cair oleh karena pemberian steam
bertekanan 3 kg/cm2. Prosedur pembuatan gas belerang adalah sebagai berikut:
1. Tobong belerang diisi ± 50 kg belerang.
2. Deksel penutupan lubang inlet talang belerang ditutup dan diperhatikan
packing (dari tali asbes) serta plat tempat pengepresan benar-benar bersih
dari kemungkinan kebocoran.
a. Sebelum menjalankan tobong, aliran udara dialirkan ke peti sulfiter
dengan memutar menutup valve di sulfiter dan dicek. Seluruh valve
yang harus terbuka dan tertutup, dilakukan tes tobong demi tobong
untuk melihat kemungkinan valve yang bocor.
b. Dijaga kontrol air pendingin.
c. Dijaga kontrol stang apakah ada kemungkinan bocor (di luar masa
giling, peralatan ini perlu diperhatikan).
3. Valve-valve yang dilalui SO2 ke sulfiter harus terbuka seluruhnya.
4. Calon belerang leleh dimasukkan dengan stang prap yang telah tertutup,
deksel penutupnya ditutup dan perlu diperhatikan packing dan kebersihan
deksel guna tidak terjadi kebocoran.
5. Besi bara yang mempunyai tangkai dimasukkan. Deksel penutup ditutup
dengan erat untuk mencegah kebocoran.
6. Udara dimasukkan pelan-pelan dengan memutar valve.
7. Pembakaran tobong belerang dimulai 10 menit sebelum giling.
8. Setelah api mulai stabil, air pendingin dialirkan secara perlahan dan dijaga
temperatur air pada 80 oC.
9. Pembuatan lelehan belerang:
Dalam pelaksanaan pemasukan belerang leleh, periodenya tergantung
kapasitas penampungan dan jumlah belerang yang dipakai/jam jadi pada
prinsipnya pemberian belerang leleh untuk pembakaran di-stel sedemikian
19

rupa (perlu pengamatan/pengalaman) tepat pada waktunya pengisian


belerang, belerang leleh habis dalam tepat.
 Dalam pelaksanaan pengetesan ruang pemanas di luar giling diadakan
pengetesan sampai 5 Ato dengan udara (hal ini harus dilaksanakan)
 Pengetesan kondenspot dilaksanakan dalam watku percobaan Stoom.
 Belerang yang akan masuk dipecah-pecahkan terlebih dahulu dan
ditimbang (sesuai dengan instruksi)
 Dalam waktu pengisian perlu diperhatikan :
a. Prop penutup ditutup erat-erat
b. Deksel dibuka perlahan-lahan dirasakan keluar gas. Kalau keluar
gasnya tidak mau mengecil prop penutup belum tertutup rapat
(harus diperkuat). Hal ini sangat penting untuk diperhatikan
dikarenakan kemungkinan – kemungkinan :
 Gas SO2 keluar mengganggu pekerja
 Kemungkinan pemasukan belerang terganggu (kerja tobong
belerang)
 Tidak kontinu lagi
c. Dalam waktu penutupan perlu diperhatikan :
 Keadaan paking kemungkinan bocor
 Tempat penutupan betul-betul bebas dari abu atau benda-
benda lain.
d. Setelah 10 menit pemanasan dengan steam (4 Ato) baru dibuka
perlahan-lahan prop dan distel (diamati) dikaca penglihat volume
yang turun.
Dengan adanya sistem pelelehan belerang ini serta prop penutup maka
tobong belerang harus bekerja kontinu. Perlu dicatat dalam menentukan
telah kotor tidaknya tobong dapat dilihat di kaca penglihat keadaan warna
api/ratanya pembakaran. Warna api dalam tobong yang baik putih agak
kemerahan. Pada waktu pemberhentian tobong perlu diperhatikan, agar
jangan sekali-kali dimatikan begitu saja dengan menutup angin pemasukan
tapi harus dengan cara menghabiskan sisa belerang sehingga api mati dan
lubang pemasukan bara besi dibuka (untuk mencegah vakum atau
20

mencegah sublimasi di pipa-pipa). Belerang cair ini akan terbakar dengan


adanya bibit api pertama tadi. Kekurangan oksigen diatasi dengan
mengalirkan udara kering yang dihasilkan oleh kompresor. Mekanisme
reaksi yang terjadi diproses sulfitasi adalah:
Hidroksida kapur terurai menjadi ion kapur dan hidroksil:
Ca (OH ) 2  Ca 2  2OH 

Gas SO2 bereaksi dengan air membentuk asam sulfit:


SO2  H 2 O 
 H 2 SO3

Asam sulfit terurai dalam 2 tahap:



H 2 SO3  H   HSO3

HSO3   H   SO3 2


Persentasi peruraian tergantung pada pH larutan. Ion kapur dan sulfit
bereaksi membentuk kalsium sulfit:
2
Ca 2  SO 3  CaSO 3
Setelah melewati batas kelarutannya, asam sulfit mulai membentuk
endapan. Pada penambahan gas SO2 selanjutnya, jumlah H2SO3 meningkat
pH menurun, jumlah SO32- menurun. Kemudian terjadi pelarutan endapan
CaSO3, dan disosiasi CaSO3 terlarut.

H 2 SO3  H   HSO3 


CaSO3 larut 
 Ca 2
 SO3 
SO3   H   HSO3 
CaSO3 endapan 
 CaSO3 larut
21

Gambar 3.2 Pembuatan Gas SO2

Anda mungkin juga menyukai