Case 2 Sindroma Nefrotik
Case 2 Sindroma Nefrotik
SINDROMA NEFROTIK
PEMBIMBING:
Dr. ASEP SYAIFUL KARIM, SpPD
PENYUSUN:
AYU ANDINI PUTRI
030.10.045
1
BAB I
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH AKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
CAWANG, JAKARTA TIMUR
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn A
Umur : 18 tahun
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Pisangan Lama I Jakarta Timur
Jenis Kelamin : Laki - laki
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Tanggal Masuk RS : Kamis 11 Februari 2016
A. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis
Tanggal : 12 Februari 2016
Pukul : 13.00 WIB
2
1. Keluhan utama
Bengkak di seluruh tubuh yang semakin memberat sejak 1 minggu SMRS.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke RSUD Budhi Asih dengan keluhan bengkak yang semakin
memberat sejak 1 minggu SMRS. Awalnya bengkak dirasakan muncul sejak 2 bulan
SMRS. Pertama kali bengkak muncul pada pagi hari di kelopak mata dan wajah
kemudian ketika siang bengkak di kelopak mata menghilang tetapi bengkak dirasakan
berpindah di kedua tungkai bawah. Semakin lama bengkak dirasakan semakin memberat
setiap harinya. Kedua lengan bawah dan perut menjadi bengkak 1 minggu SMRS.
Bengkak pada keempat ekstremitas dirasakan tidak merah maupun panas. Perut
dirasakan semakin lama semakin membuncit. Bila pasien berbaring, perut melebar ke
samping dan bila pasien duduk perut terlihat sangat buncit ke depan. Pasien juga
mengeluhkan perut yang menjadi begah sejak 1 minggu SMRS. Perut begah ini juga
terasa sepanjang hari, tidak dipengaruhi oleh makanan.
Selain itu, pasien merasakan adanya sesak nafas sejak 1 minggu SMRS. Sesak nafas
dirasakan terus menerus, semakin lama semakin memberat seiring dengan bertambahnya
bengkak. Sesak juga dirasakan sepanjang hari, tidak dipengaruhi oleh waktu. Sesak tidak
disertai dengan bunyi ngik. Sesak tidak dirasakan bertambah berat ketika pasien berjalan
ataupun beraktivitas, tetapi pasien merasa lebih nyaman bila duduk ataupun tidur dengan
3 - 4 bantal. Pasien juga sering terbangun pada malam hari karena sesaknya. Sesak nafas
tidak disertai adanya nyeri dada, keringat dingin, rasa panas atau terbakar di dada, rasa
ingin pingsan. Pasien juga menyangkal adanya berat badan yang turun, nafsu makan
yang berkurang, batuk, pilek, nyeri tenggorok, nyeri ketika menelan, demam, mual,
muntah, diare ataupun nyeri perut. Pasien juga menyangkal adanya nyeri pada
persendian, sering sariawan, dan silau terhadap cahaya matahari. BAK pasien berwarna
kuning keruh, berbusa, pasien memperkiran jumlah BAK 300cc per hari, tidak terdapat
3
lendir, darah maupun kencing berpasir. Pasien juga menyangkal adanya nyeri ketika
BAK, anyang - anyangan maupun kencing yang sedikit - sedikit. BAB lancar.
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien menyangkal memilki riwayat Diabetes Mellitus, hipertensi, asma, alergi,
gastritis, sakit ginjal, sakit jantung, dan sakit paru.
4. Riwayat Pengobatan
Pasien menyangkal mengkonsumsi obat - obatan kortikosteroid.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan yang sama (-), DM (-), hipertensi (-), sakit jantung (-), sakit ginjal (-), sakit
paru (-).
6. Riwayat Kebiasaan
Merokok (+) 1 hari 1 bungkus, konsumsi alkohol (-), konsumsi minuman extrajos 5x
sehari.
B. PEMERIKSAAN FISIK
12 Februari 2016
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
4
Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda Vital : Tekanan darah : 150/100mmHg
: Nadi : 84x/menit
: Pernapasan : 24x/menit
: Suhu : 36,5◦C
Status Generalis
Kepala : Normocephali, simetris, distribusi rambut merata, berwarna putih.
Muka : Simetris, Ikterik, pucat (-), sianosis (-)
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-), Eksoftalmus (-/-),
Ptosis (-), pupil bulat isokor, reflex cahaya (+/+), oedem palpebra
(+/+)
Telinga : Normotia, Liang lapang, serumen (-/-), cairan (-/-), membran
timpani intak
Hidung : Normal, septum deviasi (-), sekret (-), mukosa hiperemis (-), tidak
ada nafas cuping hidung
Mulut :
a. Bibir : Bentuk normal, tidak ada kelainan, warna bibir merah
b. Lidah : Normoglosia, hiperemis tidak ada, ulkus tidak ada
sianosis tidak ada
c. Bukal : Tidak ada hiperemis, tidak ada sianosis
d. Uvula : Tampak di linea mediana, tidak hiperemis, livid, maupun sianosis
e. Faring : Arkus faring simetris, tidak hiperemis, tidak ada PND, maupun
pseudomembran
f. Tonsil : T2/T2, tenang, tidak ada kelainan seperti kripta dan detritus
g. Gigi : Caries (-), gigi tidak lengkap
h. Trismus : Tidak ada
5
Leher : Jejas (-), hematoma (-), KGB dan tiroid tidak teraba membesar,
JVP 5-2 cmH2O
Thoraks
Bentuk : Datar, tidak cekung
Pembuluh darah : Tidak melebar
Buah dada : Simetris, tidak ada retraksi putting susu
Jantung :
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba pulsasi Ictus Cordis di ICS V, 1 cm
medial midklavikularis kiri
Perkusi : a. Batas atas (ICS III linea parasternalis
kiri dengan suara redup)
b. Batas kiri (ICS V, 1 jari medial linea
midklavikula kiri dengan suara redup)
c. Batas kanan (ICS III linea sternalis
kanan dengan suara redup)
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal regular, gallop
(-),murmur (-)
Paru :
Inspeksi : Bentuk dada simetris dan pergerakan dada
simetris saat inspirasi dan ekspirasi. Tidak
ada bagian yang tertinggal, penggunaan otot
pernafasan (-)
Palpasi : Vocal fremitus simetris pada kedua lapang
paru
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada kedua lapang
paru, ronchi -/-, wheezing -/-
6
Abdomen :
Inspeksi : Buncit, tidak terdapat shagging of the flanks,
warna kulit ikterik, tidak ada spider navy,
tidak tampak efloresensi bermakna, tidak
tampak dilatasi vena, tidak tampak smiling
umbilicus.
Auskultasi : Bising usus 3x/menit
Palpasi : Dinding perut supel, tidak ada defans
muscular, nyeri tekan (+) pada 4 kuadran
abdomen, hepar tidak teraba, Murphy’s sign
negatif, lien tidak teraba, ballottement
negatif, undulasi positif.
Perkusi : Redup, batas bawah hepar setinggi sela iga
VII linea midklavikularis kanan dengan
suara pekak, batas atas hepar setinggi sela iga
V linea midklavikularis kanan dengan suara
redup, shifting dullness positive.
Ekstremitas :
a. Atas : Akral hangat (+/+), Oedema (+/+), Deformitas (-/-)
b. Bawah : Akral hangat (+/+), Oedema (+/+), Deformitas (-/-)
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
28 Januari 2016
Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
7
KIMIA KLINIK
HATI
Albumin 1,9 3,5 – 5,2 g/dL
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah Sewaktu 93 < 110 mg/dL
GINJAL
Ureum 45 13 - 43 mg/dL
Kreatinin 1,18 < 1.1 mg/dL
8
12 Februari 2016 di Ruang Rawat Inap
Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
HEMATOLOGI
Leukosit 9,0 3.6 - 11 ribu/µL
Eritrosit 4,1 3.8 - 5.2 juta/µL
Hemoglobin 13,1 11.7 - 15.5 g/dL
Hematokrit 37 35-47%
Trombosit 310 150-440 ribu/µL
MCV/MCH/MCHC 90,0/31,9/35,5 80-100 fL/ 26-34 pg/32-36
g/dL
RDW 13,3 <14%
KIMIA KLINIK
HATI
Albumin 1,1 3,5 – 5,2 g/dL
LEMAK
Kolesterol Total 590 < 200 mg/dL
Trigliserida 496 < 150 mg/dL
HDL Direk 53 >= 40 mg/dL
LDL Direk 438 < 100 mg/dL
GINJAL
9
pH 6,5 4,6 – 8
Berat Jenis 1.015 1.005 – 1.030
Albumin Urine 3+ Negatif
Urobilinogen 0,2 0,1 – 1 E.U./dL
Nitrit Positif Negatif
Darah 3+ Negatif
Esterase Lekosit Negatif Negatif
Sedimen Urine :
Leukosit 2–3 < 5/LPB
Eritrosit Banyak < 2/LPB
Epitel + Positif/LPB
Silinder Negatif Negatif/LPK
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Positif Negatif
Jamur Negatif Negatif/LPB
D. RINGKASAN
Tn A usia 18 tahun datang ke RSUD Budhi Asih dengan keluhan bengkak yang
semakin memberat sejak 1 minggu SMRS. Bengkak di rasakan seluruh tubuh, perut
terasa begah yang tidak dipengaruhi oleh makanan. sesak nafas (+) yang semakin lama
semakin memberat seiring dengan bertambahnya bengkak, pasien merasa lebih nyaman
bila duduk ataupun tidur dengan 3 - 4 bantal. Pasien juga sering terbangun pada malam
hari karena sesaknya. BAK pasien berwarna kuning keruh, berbusa, pasien
memperkiran jumlah BAK 300cc per hari, tidak terdapat lendir, darah maupun kencing
berpasir, mempunyai kebiasaan merokok (+) 1 hari 1 bungkus, dan konsumsi minuman
extrajos 5x sehari. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan oedem palpebral, perut buncit,
pada palpasi terdapat nyeri tekan pada 4 kuadran abdomen dengan undulasi positif,
pada perkusi terdapat redup dengan shifting dullness positive dan keempat ekstremitas
oedem. Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan hipoalbuminemia (albumin 1,9),
peningkatan ureum (60 mg/dL), kreatinin (1,50 mg/dL), kolesterol total (590 mg/dL) ,
trigliserida (496 mg/dL), LDL Direk (438 mg/dL).
10
E. DAFTAR MASALAH
Sindroma Nefrotik
F. ANALISIS MASALAH
Sindroma Nefrotik
Sindroma Nefrotik ditegakkan berdasarkan pada keluhan oedem seluruh tubuh, perut
begah yang terasa begah yang tidak dipengaruhi oleh makanan. sesak nafas (+) yang
semakin lama semakin memberat seiring dengan bertambahnya bengkak, pasien merasa
lebih nyaman bila duduk ataupun tidur dengan 3 - 4 bantal. Pasien juga sering
terbangun pada malam hari karena sesaknya. BAK pasien berwarna kuning keruh,
berbusa, pasien memperkiran jumlah BAK 300cc per hari, tidak terdapat lendir, darah
maupun kencing berpasir, mempunyai kebiasaan merokok (+) 1 hari 1 bungkus, dan
konsumsi minuman extrajos 5x sehari. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan perut buncit,
pada palpasi terdapat nyeri tekan pada 4 kuadran abdomen dengan undulasi positif,
pada perkusi terdapat redup dengan shifting dullness positive. Pada pemeriksaan
laboratorium di dapatkan hipoalbuminemia (albumin 1,9), peningkatan ureum (60
mg/dL), kreatinin (1,50 mg/dL), kolesterol total (590 mg/dL), trigliserida (496 mg/dL),
LDL Direk (438 mg/dL).
A. Rencana diagnostik :
Urinalisis
Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (Hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
kadar albumin dan kolesterol plasma
kadar ureum, kreatinin
B. Rencana terapi :
11
• Non medikamentosa
- Hentikan mengkonsumsi makanan yang mengandung pengawet
• Medikamentosa
1. Spironolakton 2 x 50 mg
2. Curcuma 3x1
3. B complex 2x1
4. Metil prednisolone 3x16mg
5. Lasix 1x2 ampul
G. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
H. FOLLOW UP KOASS
12 Februari 2016
S Bengkak pada seluruh tubuh, Sesak (+), Mual (+), Muntah (+), Lemas (+)
O KU : Kompos mentis
TD : 130/80mmHg
HR : 75 kali/menit
RR : 20 kali/menit
S : 370C
Status generalis :
Mata : CA -/-, SI -/-, Oedem palpebra (+)
Abdomen : BU (+), NT pada 4 kuadran abdomen
Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (+)(+)/(+)(+)
A Sindroma Nefrotik
P Non medikamentosa (-)
12
Medikamentosa
1. Albumin 20% 100cc
2. Aldacton 2 x 50 mg
3. Curcuma 3x1
4. B complex 2x1
5. Metil prednisolone 3x16mg
6. Lasix 1x2 ampul
13 Februari 2016
S Bengkak masih belum berkurang, Perut buncit, Sesak (+)
O KU : Kompos mentis
TD : 130/80mmHg
HR : 75 kali/menit
RR : 18 kali/menit
S : 37,70C
Status generalis :
Mata : CA -/-, SI -/-, Oedem palpebra (+)
Abdomen : BU (+), NT pada 4 kuadran abdomen
Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (+)(+)/(+)(+)
A Sindroma Nefrotik
P Non medikamentosa : (-)
Medikamentosa
1. Albumin 20% 100 cc
2. Aldacton 2 x 50 mg
3. Curcuma 3x1
4. B complex 2x1
5. Metil prednisolone 3x16mg
6. Lasix 1x2 ampul
15 Februari 2016
S Sesak (-), Bengkak sudah berkurang, Mual (-), Muntah (-)
O KU : Kompos mentis
13
TD : 140/90mmHg
HR : 70 kali/menit
RR : 18 kali/menit
S : 36,80C
Status generalis :
Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (+)(+)/(+)(+)
A Sindroma Nefrotik
P Non medikamentosa : -
Medikamentosa
1. Aldacton 2 x 50 mg
2. Curcuma 3x1
3. B complex 2x1
4. Metil prednisolone 3x16mg
5. Lasix 1x2 ampul
16 Februari 2016
S Tidak Ada Keluhan
O KU : Kompos Mentis
TD : 130/70mmHg
HR : 70 kali/menit
RR : 18 kali/menit
S : 36,60C
A Sindroma Nefrotik
P ACC rawat jalan
Medikamentosa
14
3. Aldacton 2 x 50 mg
4. Curcuma 3x1
5. B complex 2x1
6. Metil prednisolone 3x16mg
7. Cavit D3 2x1
8. Furosemid 1 – 0 – 0
BAB II
SINDROM NEFROTIK
A. Definisi
Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
edema, proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemi. Yang dimaksud
proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar ≥ 40 mg/m2/jam atau
proteinuria +2 atau lebih. Hipoalbuminemia apabila kadar albumin dalam darah ≤ 2,5
gram/dl serta kolesterol dalam darah meningkat ≥ 200 mg/dl. Selain gejala-gejala klinis
di atas, kadang-kadang dijumpai hipertensi, hematuri dan azotemia.
15
B. Etiologi
Sebab yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun, yaitu reaksi antigen-antibodi.
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik bawaan / kongenital, yaitu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan
sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Diturunkan sebagai resesif
autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan.
Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Prognosis buruk dan biasanya
penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik primer/idiopatik, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan
sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi
akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini
paling sering dijumpai pada anak. Klasifikasi sindroma nefrotik berdasarkan
histopatologi, Churg dkk membagi dalam 4 golongan, yaitu:
a. Glomerulonefritis pascastreptokok
b. Glomerulonefritis kelainan minimal
Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan
mikroskop electron tampak foot processus sel epitel berpadu. Dengan cara
imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG atau immunoglobulin beta-IC pada
dinding kapiler glomerulus. Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak
daripada orang dewasa. Prognosis lebih baik dibandingkan dengan golongan lain
c. Glomerulonefritis membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa
proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis kurang baik
d. Glomerulonefritis proliferatif
1. Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus.
16
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltasi sel polimorfonukleus.
Pembengkakkan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi
dengan Streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom
nefrotik.prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan
setelah pengobatan yang lama
2. Dengan penebalan batang lobular
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang
lobular.
3. Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai
(kapsular) dan visceral. Prognosis biasanya buruk.
4. Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrane
basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta-1A rendah. Prognosis
tidak baik.
e. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai dengan
atrofi tubulus. Prognosisnya buruk.
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM) sekitar 80-80%. Pada dewasa prevalensi
sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-
anak. Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal
segmental (GSFS) 7-9%, proliferatif mesangial difus (GNPMD) 6,2% dan nefropati
membranosa (GNM) 1,3%.
17
3. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, timbal, racun
serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schnlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal, tumor
wilms, leukemia
C. Klasifikasi
1. Berdasarkan etiologi
Sindrom nefrotik primer
Sindrom nefrotik kongenital
Sindrom nefrotik sekunder
2. Berdasarkan kelainan histopatologi
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Glomerulosklerosis
- glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
- glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
18
- GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
- GNMP tipe II dengan deposit intramembran
- GNMP tipe III dengan deposit transmembran/ subepitelial
Glomerulonefritis membranosa (GNM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
3. Berdasarkan respon terhadap terapi steroid
Steroid responsif (umumnya SNKM)
Steroid dependen (umumnya juga SNKM)
Steroid non responsif (umumnya GSFS, GSFG, GNMP) atau sindrom neforik
sekunder
Pada saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respon klinik yaitu:
1. Sindrom nefrotik respon steroid (SNSS)
2. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Beberapa batasan yang dipakai pada SN adalah:
1. Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/ jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps: proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/ jam) 3 hari berturut-
turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang: proteinuria +2/> muncul kembali kurang dari dua kali dalam
setahun setelah pengobatan steroid dihentikan.
4. Relaps sering : proteinuria +2/> muncul kembali 2 kali dalam 6 bulan atau 3
kali dalam setahun setelah pengobatan steroid dihentikan.
5. Dependen steroid: relaps terjadi saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14
hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid: remisi tidak terjadi setelah akhir minggu ke delapan
pengobatan steroid alternating.
19
D. Patofisiologi
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori
yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di
sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif
tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar
kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang
hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan
turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma
ke ruang interstitial.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-glikoprotein sebagai
perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan
ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding
kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema.
Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya
retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha
kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal.
Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian
menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi
cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air,
sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis
ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar
20
renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak
semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita
sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan
aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang
disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena
mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer.
Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam
kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang
meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat
hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik
dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada
waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus
mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.
Ekstravasasi cairan
Katabolisme lipoprotein
ke interstisial
LDL Hiperkolesterolemia
Hipovolemia Edema
Trigliserida
Tekanan perfusi
ginjal
Aktivasi RAAS
Reabsorpsi Na di
tubulus distalis
22
Kimia darah : koesterol, albumin/globulin, ureum/kreatinin, asam urat,
Na, K, Ca dan P
Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl),
hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio
albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal
kecuali ada penurunan fungsi ginjal
Klirens kreatinin (rumus Schwart) K x tinggi badan (cm)
Kreatinin serum (mg/dl)
Nilai K pada: BBLR < 1 tahun = 0,33
Aterm < 1 tahun = 0,45
1-12 tahun = 0,55
Perempuan 13-21 tahun = 0,57
Laki-laki 13-21 tahun = 0,70
Tes Mantoux (sebelum terapi steroid dimulai)
23
F. Penatalaksanaan
Aktivitas
Aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien, jika ada: edema anasarka,
dispnea, hipertensi tirah baring
Diet
- protein normal sesuai RDA yaitu 2 gram/kgbb/hari
- rendah garam (1-2 gram /hari) selama edema / mendapat terapi steroid
Diuretik
- restriksi cairan (30 ml/kgbb/hari) selama ada edema berat dan oliguria
- loop diuretic furosemid 1-2 mg/kgbb/hari, bila kadar kalium rendah < 3,5
mEq/L dapat dikombinasi dengan spironolakton 1-2 mg/kgbb/hari diberikan
pada edema berat/ anasarka. Diuretik > 1 minggu periksa ulang natrium dan
kalium plasma.
- Bila disertai hipovolemia (hipoalbuminemia berat kadar albumin ≤1,5
gram/dl, berikan infus albumin rendah garam 20-25% 1gram/kgbb atau
plasma sebanyak 15-20 ml/kgbb dalam 1-2 jam, 15-30 menit setelah infus
albumin/ plasma selesai diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb iv.
Antibiotik/ antiviral
Antibiotik diberikan bila:
- edema anasarka + laserasi kulit amoksisilin, eritromisin atau sefaleksin
- infeksi beri antibiotik yang disesuaikan dengan derajat berat infeksi
- bila terjadi infeksi varicella asiklovir 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis 7-
10 hari, pengobatan kortikosteroid stop sementara
Imunisasi
24
- vaksin virus hidup baru diberikan setelah 6 minggu pengobatan steroid
selesai
- kontak dengan penderita varicella imunoglobulin varicella-zoster dalam
waktu <72 jam
Tuberkulostatika
- tes mantoux (+) beri INH profilaksis
- TBC aktif beri OAT
Kortikosteroid
Pengobatan steroid untuk sementara tidak boleh diberikan bila dijumpai :
- hipertensi
- infeksi berat (viral/bakteri)
- azotemia
o Pengobatan inisial pada pasien baru
Dosis inisial prednison atau prednisolon 60 mg/m2/hari atau 2
mg.kgbb/hari sesuai dengan BB ideal (BB/TB) dibagi 3 dosis (maksimal
80 mg/hari) selama 4 minggu
Remisi (+) pada 4 minggu pertama, dosis alternating 40 mg/m 2/hari (2/3
dosis inisial) selang sehari pada pagi hari sudah makan selama 4 minggu
lalu stop. Bila remisi terjadi antara minggu ke5 sampai dengan akhir
minggu ke8, steroid alternating dilanjutkan 4 minggu lagi.
Remisi (-) sampai akhir minggu ke 8 steroid resisten
o Pengobatan SN relaps
25
Bila dijumpai proteinuria ( +2) setelah pengobatan steroid selesai, perlu
dicari faktor pemicunya (biasanya infeksi) dan diobati dengan AB selama
5-7 hari.
Bila proteinuria jadi negatif tidak perlu diberi prednison, bila proteinuria
masih tetap ( +2) atau tidak ditemukan fokus infeksi mulai dengan
prednison dosis penuh sampai remisi (proteinuria negatif atau trace 3 hari
berturut-turut) maksimal 4 minggu dilanjutkan dosis alternating selama
4 minggu stop
Bila pada full dose selama 4 minggu remisi (-), alternating 4 minggu
remisi (-) resisten steroid
o Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Ada 4 pilihan:
1. pemberian steroid jangka panjang
2. pemberian Levamisol
3. pengobatan CPA
4. pengobatan siklosporin
Cari fokus infeksi seperti TB, infeksi di gigi atau kecacingan.
1. Steroid jangka panjang
o Dimulai dengan prednison atau prednisolon dosis penuh 4 minggu
sampai terjadi remisi.
o Lanjutkan dengan steroid alternating 4 minggu, kemudian dosis
diturunkan perlahan 0,5 mg/kgbb setiap 4 minggu sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgbb
alternating, dapat diteruskan selama 6-12 bulan coba dihentikan.
o Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5
mg/kgbb/alternating, tetapi < 1 mg/kgbb/alternating tanpa efek
samping yang berat dapat dicoba dikombinasi dengan Levamisol
26
selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan atau langsung diberi
CPA
o Bila pasien:
Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb/alternating atau
Meskipun dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
- efek samping steroid yang berat
- pernah relaps dengan gejala yang berat antara lain hipovolemia,
trombosis, sepsis
Diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12
minggu.
2. Sitostatika
o Siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari atau iv 500 mg/m2/hari atau
o Klorambusil 0,2 mg/kgbb/hari selama 8 minggu
Pemantauan dengan pemeriksaan darah tepi : Hb, lekosit, trombosit
1-2 x seminggu. Obat dihentikan bila jumlah lekosit < 3000/uL, Hb<
8 g/dl, atau trombosit < 100.000/uL dan diteruskan kembali setelah
lekosit > 5000/uL
3. Siklosporin (CyA)
Siklosporin dosis 5 mg/kgbb/hari dipakai pada:
- SN idiopatik yang tidak respon dengan pengobatan steroid atau
sitostatika
- SN relaps sering/dependen steroid
27
Skema pengobatan prednison jangka panjang:
Prednisone FD remisi
Prednisone
Remisi 4 minggu AD AD + CPA
Relaps pada prednisone > 0,5 Relaps pada prednisone > 1 mg.kg AD
mg/kg AD atau efek samping steroid
28
Obat-obat yang digunakan bisa siklofosfamid puls 500 mg/m 2/bulan +
metilprednisolon 40 mg/m2/hari ALT selama 6 bulan atau siklofosfamid oral
2-3 mg/kgbb/hari + metilprednisolon 40 mg/m2/hari ALT selama 3-6 bulan
o Pengobatan komplikasi
Tromboemboli
Pencegahan tromboemboli pada SN relaps sering/ dependen steroid/ steroid
resisten : aspirin atau dipiridamol selama pengobatan steroid
Heparin diberikan bila sudah trombosis.
Hipovolemia
Diatasi dengan infus NaCl fisiologis, lalu disusul dengan infus albumin 1
gram/kgbb atau plasma 20 ml.kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit).
Bila hipovolemia telah teratasi, penderita masih oliguria diberikan furosemid
1-2 mg/kgbb iv.
Hipokalsemia
Suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D
Bila terjadi tetani diobati dengan kalsium glukonas 50 mg.kgbb iv.
o Tindak lanjut
Pemeriksaan berat badan, intake output, lingkar perut, tekanan darah setiap
hari
Pemeriksaan darah tepi 1 kali seminggu
Urinalisis dan pemeriksaan protein semikuantitatif 2 kali seminggu (jika
sudah trace, diulangi 3 kali berturut-turut)
Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit selama perawatan sekali 2 minggu
Awasi efek samping obat dan komplikasi yang mungkin terjadi selama
pasien dirawat.
o Indikasi pulang
29
Penderita dipulangkan bila keadaan umum baik, komplikasi teratasi, dalam
keadaan remisi.
Selama mendapat steroid kontrol sekali seminggu secara berobat jalan.
Setelah steroid dihentikan, kontrol sekali sebulan selama 3-5 tahun bebas
gejala.
G. Komplikasi
Tromboemboli
Infeksi
Hiperlipidemia
Hipokalsemia
Hipovolemia
Gagal ginjal akut
Anemia
Pertumbuhan abnormal
H. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnawan Junadi, Atiek. S. Soemasto, Gusna Amelz. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi
Kedua, Penerbit Media Aescullapius, FKUI, 1982.
2. Prof. DR. Dr. A. Halim Mubin, SpPD, MSc, KPTI, Ilmu Penyakit Dalam, Diagnosis dan
Terapi. p : 19 – 23
31
3. M.W. Haznam, Terapi Standard Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUP – RSHS.
4. Rani,azis A, Soegondo,sidartawan, Uyainah Z,Anna. Panduan Pelayanan Medik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.edisi 3. Jakarta : Departemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
32