Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

KEJANG DEMAM

dr. Arsy Widyastriastuti, Sp.A

Disusun Oleh :

ERISI SYAFIRIL UMAH

201610401011071

SMF ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT BHAYANGKARA KEDIRI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya penulis

dapat menyelesaikan referat stase Ilmu Kesehatan Anak dengan mengambil topik “Kejang

Demam”.

Laporan ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik bagian Ilmu

Kesehatan Anak di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri. Tidak lupa penulis ucapkan terima

kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan kasus ini,

terutama kepada dr. Arsy Widyastriastuti, Sp.A selaku dokter pembimbing yang telah

memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan dan penyempurnaan laporan kasus

ini. Tidak lupa pula, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr.Nieken Susanti, Sp.A,

M.Biomed dan dr. Taufik Raffendi, Sp.A atas ilmu yang beliau berikan kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna,

untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan

ini dapat memberikan manfaat dalam bidang kedokteran khususnya Bagian Ilmu Kesehatan

Anak.

Kediri, oktober 2017

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................. 2

2
Daftar Isi........................................................................................................... 3

Bab 1. Pendahuluan.......................................................................................... 4

Bab 2. Tinjauan pustaka.................................................................................... 6

2.1 Definisi.................................................................................................. 6

2.2 Etiologi.................................................................................................. 6

2.3 Epidemiologi......................................................................................... 7

2.4 Anatomi dan fisiologi............................................................................ 8

2.5 Faktor Resiko........................................................................................ 13

2.6 Patofisiologi.......................................................................................... 13

2.7 Klasifikasi dan manifestasi klinis......................................................... 17

2.8 Diagnosis............................................................................................... 18

2.9 Diagnsis Banding.................................................................................. 19

2.10 Penatalaksanaan.................................................................................. 21

2.11 Pencegahan`........................................................................................ 26

2.12 Prognosis dan komplikasi..................................................................` 27

Bab 3. Kesimpulan............................................................................................

Daftar Pustaka kejang demam.......................................................................... 29

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Temperatur tubuh normal adalah antara 36,0–37,7°C di axilla. Peningkatan temperatur

tubuh ini diinduksi oleh pusat termoregulator di hipotalamus sebagai respons terhadap

3
perubahan tertentu. Demam didefinisikan sebagai peningkatan suhu tubuh menjadi >38,0°C.

(Arief, 2015)
Kejang demam merupakan salah satu penyakit yang umum terjadi pada anak.

Diagnosis kejang demam harus dibedakan dari epilepsi. (Arief, 2015) Dari definisinya sendiri

kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5

tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38⁰C, dengan metode pengukuran

suhu tubuh apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses interakranial, tanpa adanya infeksi

pada sistem saraf pusat, gangguan elektrolit, atau metabolik lain. (Unit Kerja Koordinasi

Neurologi, 2016). Lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5

tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan

sampai dengan 22 bulan, insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 14-18

bulan.(Fuadi, 2010, Nelson, 2010).

Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan

kejang demam kompleks (Menkes JH,2000). Setelah kejang demam pertama, 33% anak akan

mengalami satu kali rekurensi (kekambuhan), dan 9% anak mengalami rekurensi 3 kali atau

lebih (Berg, 2002). Dalam praktek sehari-hari orang tua sering cemas bila anaknya

mengalami kejang demam, karena setiap kejang demam kemungkinan dapat menimbulkan

epilepsi dan trauma pada otak. Hampir 62,2% kemungkinan kejang demam berulang pada 90

anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun dan 45% pada 100 anak yang

mengalami kejang setelah usia 12 tahun. Kejang demam kompleks dan khususnya kejang

demam fokal merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi. Sebagian besar peneliti

melaporkan angka kejadian epilepsi kemudian hari sekitar 2 – 5 % (Ikatan Dokter Anak

Indonesia. 2009). Prognosis kejang demam baik, namun bangkitan kejang demam masih

membawa kekhawatiran yang sangat bagi orang tua (Knudsen FU, 2000).

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan

sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38⁰C, dengan metode

pengukuran suhu tubuh apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses interakranial, tanpa

adanya infeksi pada sistem saraf pusat. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan

5
karena gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Anak yang pernah mengalami kejang

tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Anak

berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali.

National institute of Healt menggunakan batasan lebih dari 3 bulan, sedangkan Nelson dan

Ellberg, serta ILAE menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan . Bila anak berumur kurang

dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya

infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Bayi berusia kurang dari 1

bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan termasuk dalam kejang neonates

(Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016).

2.2 Etiologi

Penyebab kejang demam adalah demam yang terjadi secara mendadak. Demam dapat

disebabkan infeksi bakteri, virus, maupun parasit, misalnya infeksi saluran napas atas dan

otitis media akut. Tidak diketahui secara pasti mengapa demam dapat menyebabkan kejang

pada satu anak dan tidak pada anak lainnya, namun diduga ada faktor genetik yang berperan.

Setiap anak juga memiliki suhu ambang kejang yang berbeda, ada yang kejang pada suhu

38⁰C, ada pula yang baru mengalami kejang pada suhu 40⁰C (Soebandi,2014).

2.3

Epidemiologi

6
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun (Unit Kerja

Koordinasi Neurologi. 2016). Anak laki-laki lebih sering dari pada perempuan dengan

perbandingan 1,6:1. Lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah

5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan

sampai dengan 22 bulan, insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan

(Fuadi,2010). Hampir 62,2%, kemungkinan kejang demam berulang pada 90 anak yang

mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun, dan 45% pada 100 anak yang mengalami

kejang setelah usia 12 tahun. Kejang demam kompleks dan khususnya kejang demam fokal

merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi. Sebagian besar peneliti melaporkan angka

kejadian epilepsi kemudian hari sekitar 2 – 5 % (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009). Di

Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2%-5%. Di Asia prevalensi

kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Sejumlah

penelitian telah meneliti predictor kejang demam berulang dengan insidensi bervariasi antara

30-50%. Faktor-faktor prediktif tersebut telah dipelajari dibeberapa Negara, namun data di

Indonesia masih terbatas. Beberapa ahli menganggap kejadian dan factor prediktif kejang

demam berulang di Indonesia tidak jauh berbeda dengan populasi lain (Karande, 2007).

2.4 Anatomi dan fisiologi Sistem Syaraf

7
1. Otak

Otak terdiri dari otak besar yaitu disebut cerebrum, otak kecil disebut cerebellum dan

batang otak disebut brainstem.Beberapa karakteristik khas otak orang anak yaitu mempunyai

berat lebih kurang 2 % dari berat badan dan mendapat sirkulasi darah sebanyak 20 % dari

cardiac output dan membutuhkan kalori sebesar 400 kkal setiap hari.

Otak mempunyai jaringan yang paling banyak menggunakan energi yang didukung

oleh metabolisme oksidasi glukosa.Kebutuhan oksigen dan glukosa otak relatif konstan, hal

ini disebabkan oleh 10 metabolisme otak yang merupakan proses yang terus menerus tanpa

periode istirahat yang berarti.Bila kadar oksigen dan glukosa kurang dalam jaringan otak

maka metabolisme menjadi terganggu dan jaringan saraf akan mengalami kerusakan. Secara

struktural,cerebrum terbagi menjadi bagian korteks yang disebut korteks cerebri dan sub

korteks yang disebut struktural subkortikal.Korteks cerebri terdiri atas korteks sensorik yang

berfungsi untuk mengenal,interpretasi inpuls sensorik yang diterima sehingga individu

merasakan,menyadari adanya suatu sensasi rasa/indera tertentu.Korteks sensorik juga

menyimpan sangat banyak data memori sebagai hasil rangsang sensorik selama manusia

hidup.Korteks motorik berfungsi untuk memberi jawaban atas rangsangan yang diterimanya.

Struktur Sub Kortikal :

a. Basal ganglia:melaksanakan fungsi motorik dengan merinci dan mengkoordinasi

gerakan dasar,gerakan halus atau gerakan trampil dan sikap tubuh.

b. Talamus:merupakan pusat rangsang nyeri.

c. Hipotalamus:pusat tertinggi integrasi dan koordinasi sistem syaraf otonom dan

terlibat dalam pengolahan perilaku insting. Seperti makan,minum,seks,dan motivasi.

d. Hipofise:bersama hipotalamus mengatur kegiatan sebagian besar kelenjar endokrin

dalam sintesa dan pelepasan hormon.

8
Cerebrum terdiri dari dua belahan yang disebut hemispherium cerebri dan keduanya

dipisahkan oleh fisura longitudinalis.Hemisperium cerebri terbagi hemisper kanan dan

kiri.Hemisper kanan dan kiri ini dihubungkan oleh bangunan yang disebut corpus

callosum.Hemisper cerebri dibagi menjadi lobus - lobus yang diberi nama sesuai dengan

tulang diatasnya,yaitu:

a. Lobus Frontalis,bagian cerebrum yang berada dibawah tulang frontalis

b. Lonbus Parietalis,bagian cerebrum yang berada dibawah tulang parietalis

c. Lobus Occipitalis,bagian cerebrum yang berada dibawah tulang occipitalis

d. Lobus Temporalis,bagian cerebrum yang berada di bawah tulang temporalis.

Cerebelum (otak kecil) terletak di bagian belakang kranium menempati fosa cerebri posterior

dibawah lapisan durameter tentorium cerebelli.Dibagian depannya terletak batang otak.Berat

cerebellum sekitar 150 gr atau 88 % dari berat batang otak seluruhnya.Cerebellum dapat

dibagi menjadi hemisper cerebelli kanan dan kiri yang dipisahkan oleh Vermis.Fungsi

cerebellum pada umumnya adalah mengkoordinasikan gerakan-gerakan otot sehingga

gerakan dapat terlaksana dengan sempurna

Batang otak atau brainstern terdiri atas diencephalon, mid brain,pons dan medullan

oblongata merupakan tempat berbagai macam pusat vital seperti pusat pernapasan,pusat

vasomotor ,pusat pengatur kegiatan jantung dan pusat muntah.

2. Medula Spinalis

Medula spinalis merupakan perpanjangan modulla oblongata ke arah kaudal di dalam

kanalis vertebralis cervikalis I memanjang hingga setinggi cornu vertebralus lumbalias I-

II.Terdiri dari 31 segmen yang setiap segmenya terdiri dari satu pasang saraf spinal.Dari

medulla spinallis bagian cervical keluar 8 pasang,dari bagian thorakal 12 pasang,dari bagian

lumbal 5 pasang dan dari bagian sakral 5 pasang serta dari coxigeus keluar 1 pasang saraf

9
spinalis.Seperti halnya otak,medula spinalis pun terbungkus oleh selaput meninges yang

berfungsi melindungi saraf spinal dari benturan atau cedera.

Gambaran penampang medula spinalis memperlihatkan bagian-bagian substansi

grissea dan substansia alba.Substansia grissea ini mengelilingi canalis centralis sehingga

membentuk columna dorsalis,columna lateralis dan columna ventralis.Massa grissea

dikelilingi oleh substansia alba atau badan putih yang mengandung serabut-serabut saraf yang

diselubungi oleh myelin.Substansi alba berisi berkas-berkas saraf yang membawa impuls

sensorik dari sistem saraf tepi (SST) menuju sistem saraf 13 pusat (SSP) dan impuls motorik

sistem saraf pusat (SSP) menuju sistem saraf tepi (SST).Substansia grissea berfungsi sebagai

pusat koordinasi yang berpusat di medula spinalis. Di sepanjang medula spinalis terdapat

jaras saraf yang berjalan dari medula spinalis menuju otak yang disebut jaras acenden dan

dari otak menuju medula spinalis yang disebut sebagai jaras desenden.Substansia alba berisi

berkas-berkas saraf yang berfungsi membawa impuls sensorik dari sistem tepi saraf tepi otak

ke otak dan impuls motorik dari otak ke saraf tepi.Substansi grissea berfungsi sebagai pusat

koordinasi reflek yang berpusat di medulla spinalis.

Refleks-refleks yang berpusat di sistem saraf pusat yang bukan medulla spinalis,pusat

koordinasi tidak disubstansi grisea medulla spinalis.Pada umumnya penghantaran impuls

sensorik di substansi alba medula spinalis berjalan menyilang garis tengah.Impuls sensorik

dari tubuh sisi kiri akan dihantarkan ke otak sisi kanan dan sebaliknya.Demikian juga dengan

impuls motorik.Seluruh impuls motorik dari otak yang dihantarkan ke saraf tepi melalui

medula spinalis akan menyilang. Upper Motor Neuron (UMN) adalah neuron-neuron motorik

yang berasal dari korteks serebri atau batang otak yang seluruhnya(dengan serat saraf-

sarafnya ada di dalam sistem saraf pusat.Lower Motor Neuron(LMN) adalah neuron-neuron

motorik yang berasal dari sistem saraf pusat tetapi serat-serat sarafnya 14 keluar dari sistem

saraf pusat dan membentuk sistem saraf tepi dan berakhir di otot rangka.Gangguan fungsi

10
UMN maupun LMN menyebabkan kelumpuhan otot rangka,tetapi sifat kelumpuhan UMN

berbeda sifat dengan kelumpuhan LMN.Kerusakan LMN menimbulkan kelumpuhan otot

yang lemas ketegangan otot (tonus) rendah dan sukar untuk merangsang refleks otot

rangka(hiporefleksia).Pada kerusakan UMN,otot lumpuh (paralisa/paresa) dan

kaku(rigid),ketegangan otot tinggi (hiperrefleksia). Berkas UMN bagian internal tetap

berjalan pada sisi yang sama sampai berkas lateral ini tiba di medulla spinalis.Di segmen

medula spinalis tempat berkas bersinap dengan neuron LMN. Berkas tersebut akan

menyilang,sehingga kerusakan UMN diatas batang otak akan menimbulkan kelumpuhan pada

otot-otot sisi yang berlawanan.

Salah satu fungsi medula spinalis sebagai sistem saraf pusat adalah sebagai pusat

refleks.Fungsi tersebut diselenggarakan oleh substansi grisea medula spinalis.Refleks adalah

jawaban individu terhadap rangsang melindung tubuh terhadap berbagai perubahan yang

terjadi baik di lingkungan eksternal.Kegiatan refleks terjadi melalui suatu jalur tertentu yang

disebut lengkung refleks.

Fungsi medula spinalis:

a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu di kornu motorik atau kornu ventralis.

b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan reflek tungkai

c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum

d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.

Fungsi Lengkung Reflek:

a. Reseptor : penerima rangsang

b. Aferen: sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem saraf pusat(ke

pusat refleks)

11
c. Pusat Refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis : substansia grisea )

tempat terjadinya sinap(hubungan antara neuron dengan neuron dimana terjadi

pemindahan /penerusan impuls)

d. Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel efektor. Bila sel

efektornya berupa otot,maka eferen disebut juga neuron motorik (sel saraf/penggerak)

e. Efektor : sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai jawaban

refleks.Dapat berupa sel otot (otot jantung ,otot polos atau otot rangka),sel kelenjar.

3. Sistem Saraf Tepi

Kumpulan neuron di luar jaringan otak dan medula spinalis membentuk sistem saraf

tepi(SST).Secara anatomik di golongkan 16 ke dalam saraf-saraf otak sebanyak 12 pasang

dan 31 pasang saraf spinal.Secara fungsional,SST di golongkan ke dalam :

a. Saraf sensorik (aferen) somatik : membawa informasi dari kulit,otot rangka dan

sendike sistem saraf pusat

b. Saraf motorik (eferen) somatik : membawa informasi dari sistem saraf pusat ke otot

rangka

c. Saraf sensorik (aferen) viseral : membawa informasi dari dinding visera ke sistem

saraf pusat

d. Saraf motorik (aferen) viseral : membawa informasi dari sistem saraf pusat ke otot

polos,otot jantung dan kelenjar.

e. Saraf eferen viseral di sebut juga sistem saraf otonom.Sistem saraf tepi terdiri atas

saraf otak ( s.kranial) dan saraf spinal. (Pearce, 2006)

2.5 Faktor Resiko

Riwayat keluarga dengan kejang demam adalah salah satu faktor risiko yang

dilaporkan untuk terjadi bangkitan kejang demam. Keluarga dengan riwayat menderita kejang

demam sebagai faktor risiko untuk terjadi kejang demam pertama adalah kedua orang tua

12
ataupun saudara kandung (first degree relative). Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat

genetik terkait dengan kejang demam, apakah autosomal resesif atau autosomal dominan.

Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60%-80%. Bila kedua orangnya tidak

mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam, maka risiko terjadi kejang demam

hanya 9%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang

demam mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam 20%-22%. Apabila ke dua

orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka

risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-64% (Fuadi, 2010,

Menkes, 2000)

2.6 Patofisiologi

Tujuan dari pengaturan suhu adalah mempertahankan suhu inti tubuh sebenarnya pada

set level sekitar 36,5 – 37,5⁰C. Berbeda dengan hipertermia pasif, set level meningkat ketika

demam. Demam terutama terjadi pada infeksi sebagai reaksi fase akut dan terdapat

hubungannya untuk mengatasi infeksi tersebut (Kania,2007). Demam dapat disebabkan

infeksi bakteri, virus, maupun parasit, misalnya infeksi saluran napas atas. Tidak diketahui

secara pasti mengapa demam dapat menyebabkan kejang pada satu anak dan tidak pada anak

lainnya, namun diduga ada faktor genetik yang berperan. Setiap anak juga memiliki suhu

ambang kejang yang berbeda, ada yang kejang pada suhu 38⁰C, ada pula yang baru

mengalami kejang pada suhu 40⁰C (Soebandi, A. 2014)

Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan

eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme

seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius akan

meningkatkan metabolisme karbohidrat 10%-15%, sehingga dengan adanya peningkatan

suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Demam tinggi dapat

mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak (Nelson,2010)

13
Pada keadaan metabolisme di siklus kreb normal, satu molekul glukosa akan

menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolisme berjalan

anaerob, satu molukul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP. Pada keadaan hipoksia akan

terjadi kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+ serta reuptake asam

glutamat oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na + ke dalam sel

meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan

mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin

meningkatkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke dalam sel dipermudah pada keadaan

demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel.

Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan

potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping

itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat mempengaruhi

perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+ influx sehingga menimbulkan

keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat menurunkan kemampuan inhibisi

akibat kerusakan neuron GABA-nergik (Kania, N. 2007)

Pada keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat merupakan reseptor

eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga

pada otak yang belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi (Johnston, M.V.

2007). Corticotropin releasing hormon (CRH) yang merupakan salah satu eksitator

neuropeptid, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di

hipokampus tinggi, sehingga berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh

demam.4 Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih lemah, akan berubah

sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan umur, oleh karena pada otak belum

matang neural Na+/K+ATP ase masih kurang. Pada otak yang belum matang regulasi ion Na+,

14
K+, dan Ca2+ belum sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan repolarisasi pasca

depolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron. Eksitator lebih dominan dibanding

inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Oleh karena itu,

pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak

yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai developmental window sehingga rentan

terhadap bangkitan kejang.( Fuadi, 2010)

Riwayat keluarga dengan kejang demam adalah salah satu faktor risiko yang

dilaporkan untuk terjadi bangkitan kejang demam. Keluarga dengan riwayat pernah

menderita kejang demam sebagai faktor risiko untuk terjadi kejang demam pertama adalah

kedua orang tua ataupun saudara kandung (first degree relative). Belum dapat dipastikan cara

pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam, apakah autosomal resesif atau

autosomal dominan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60%-80%. Bila kedua

orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam, maka risiko terjadi

kejang demam hanya 9%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah

menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam 20%-

22%. Apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita

kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-

64%. Kejang demam diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, 27% berbanding

7% .( Fuadi, 2010, Matondang, 2013)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 interaksi faktor sebagai penyebab

kejang demam, yaitu: 1) imaturitas otak dan termoregulator, 2) demam, dimana kebutuhan

oksigen dan metabolisme meningkat, 3) predisposisi genetic (Unit Kerja Koordinasi

Neurologi, 2016)

2.7 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis


Klasifikasi kejang demam ada dua yaitu: kejang demam sederhana (Simple febrile

seizure) dan kejang demam kompleks (Complex febrile seizure). Kejang demam sederhana

15
adalah kejang demam yang lama kejangnya yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit,

dan tidak berulang pada satu episode demam. Kejang berbentuk umum, tonik, dan atau

klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam

sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. (Unit Kerja Koordinasi

Neurologi, 2016, Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009)


Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lama, lebih dari 15 menit, dapat

bersifat fokal, multipel, atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial,

serta berulang, atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang ini terjadi pada 16% kejang

demam (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009, Fuadi, 2010)


Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang

lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar.kejang lama terjadi pada 8%

kejang demam.kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih ddalam 1 hari dan diantara 2

bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% anak yang mengalami kejang

demam. (baru) (Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016)


Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada permulaan demam akut,

berupa serangan kejang umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi

post iktal. Bentuk kejang umum yang sering dijumpai adalah mata mendelik atau terkadang

berkedip-kedip, kedua tangan dan kaki kaku, terkadang diikuti kelojotan, dan saat kejang

anak tidak sadar tidak memberi respons apabila dipanggil atau diperintah. Setelah kejang

anak sadar kembali (Soebandi, A. 2014).

Kriteria Livingstone

16
dipakai sebagai pedoman membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu: (Livingston S,

1947)
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun
2. Kejang berlangsung tidak lebih 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak

menunjukkan kelainan
7. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
2.8 Diagnosis
2.8.1 Anamnesis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik diperlukan untuk menunjang diagnosis

dalam kejang demam serta memilih pemeriksaan penunjang yang terarah dan tatalaksana

berikutnya. Anamnesis dimulai dari menanyakan identitas pasien, riwayat perjalanan

penyakit sampai terjadinya kejang (riwayat penyakit sekarang), riwayat penyakit sebelumnya,

riwayat penyakit keluarga, ekonomi, psikososial, prenatal, dan perinatal. 6,9 Kejang demam

terjadi pada anak kurang 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38⁰C,

dengan metode pengukuran suhu tubuh apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses

interakranial, tanpa adanya infeksi pada sistem saraf pusat. Kejang disertai demam pada bayi

berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Anak yang pernah

mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam

kejang demam (Unit Kerja Koordinasi Neurologi, 2016)

Selain itu pada anamnesis, frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk

diagnosis serta tata laksana kejang. Ditanyakan kapan kejang pertama kali terjadi, apakah

kejang itu baru pertama kali atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah, berapa kali

dan waktu anak berumur berapa. Sifat kejang juga perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat

tonik, klonik, umum, atau fokal. Ditanyakan pula lama serangan, interval antara dua

serangan, kesadaran saat kejang dan pasca kejang. Suhu sebelum dan saat terjadinya kejang

17
sangat penting ditanyakan untuk membedakan dengan epilepsy. 1 Gejala lain yang menyertai

diteliti, termasuk penyebab kejang yang lain (muntah dan atau tanpa diare yang

mengakibatkan gangguan elektrolit,sesak yang menyebabkan hipoksemia,asupan kurang

yang menyebabkan hipoglikemi), lumpuh, penurunan kesadaran, kemunduran kepandaian,

penyebab demam di luar sistem saraf pusat (gejala infeksi saluran pernafasan akut, infeksi

saluran kemih, otitis media akut, dan sebagainya) (Unit Kerja Koordinasi Neurologi, 2016)

Faktor-faktor lain yang berperan dalam risiko terjadinya kejang demam selain faktor

demam dan usia, adalah riwayat tumbuh kembang, riwayat apakah pernah terjadi kejang

demam dan epilepsi pada keluarga terdekat (first degree relative) yaitu kedua orang tua

ataupun saudara kandung, riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), serta riwayat perinatal

(asfiksia, usia kehamilan, dan bayi berat lahir rendah) (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009)

2.8.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dimulai dari keadaan umum dan tingkat kesadaran apakah terdapat

penurunan kesadaran. Kemudian dilanjutkan dengan tanda-tanda vital seperti suhu tubuh,

tekanan darah (bila dapat dilakukan), jumlah nadi dan pernafasan dalam satu menit. Lihat

pula apakah ada tanda-tanda rangsang meningeal, pemeriksaan nervus kranial, tanda

peningkatan tekanan intra kranial (ubun-ubun besar menonjol, papil edema), tanda-tanda

infeksi di luar sistem saraf pusat (ISPA, ISK, OMA, dan sebagainya), serta pemeriksaan

neurologis (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009)

2.8.3 Pemeriksaan penunjang

Pemeiksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi

dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.pemeriksaan

laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer,elektrolit, dan gula

darah (Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016).

18
Pemeriksaan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan

kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti - bukti terbaru,saat ini pemeriksaan pungsi

lumbal tidak dilakukan scara rutin pada anak berusia <12 bulan yang mengalami kejang

demam sederhana dangan keadaan umum baik. Indikasi pungsi lumbal 1). Terdapat tanda dan

gejala rangsangan meningeal 2). Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan klinis 3). Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai

demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotic dan pemberian antibiotic tersebut dapat

mengaburkan tanda dan ejala meningitis. (Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016).

Pemeriksaan electroenchepalography (EEG) tidak direkomendasikan, namun EEG masih

dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks

pada anak berusia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal. Pemeriksaan neuroimaging

(CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana.

Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang

menetap, misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis. (Unit Kerja Koordinasi

Neurologi. 2016).

2.9 Diagnosis Banding

2.9.1 Meningitis

Meningitis merupakan peradangan dari meningen (selaput otak). Radang dapat

disebabkan oleh infeksi oleh bakteri, virus, atau juga mikroorganisme lain. Peradangan ini

dapat meluas melalui ruang sub arakhnoid, otak, medulla spinalis, dan ventrikel. Penyakit ini

seringkali didahului infeksi pada saluran nafas atas atau saluran cerna seperti demam, batuk,

diare, pilek, dan muntah (Lewis DW. 2011). Gejala umum dari meningitis adalah sakit kepala

yang hebat disertai demam, meningismus dengan atau tanpa penurunan kesadaran, iritabilitas,

letargi, malaise, kejang, dan muntah merupakan hal yang sangat sugestif dari meningitis

tetapi tidak ada satupun gejala yang khas. Banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan

19
usia, misalnya anak kurang dari 3 tahun jarang mengeluh sakit kepala. Pada bayi gejala hanya

berupa demam, iritabel, letargi, malas minum, dan high pitched cry. Pada pemeriksaan fisik

dapat ditemukan ubun-ubun besar yang menonjol, kaku kuduk positif, atau tanda rangsang

meningeal yang lain (Brudzinki dan Kernig), kejang, defisit neurologis yang lain. Tanda

rangsang meningeal mungkin tidak ditemukan pada anak kurang dari satu tahun (Ikatan

Dokter Anak Indonesia. 2009)

2.9.2 Ensefalitis

Ensefalitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan otak setempat (lokal) atau

seluruhnya (difus) yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme (virus, bakteri,

jamur, dan protozoa). Namun penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Ensefalitis

berbeda dengan meningitis (radang selaput otak) dalam hal penyebab dan proses terjadinya

penyakit. Namun, ensefalitis sering disertai oleh peradangan selaput otak sehingga disebut

sebagai meningoensefalitis (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009) Gejala ensefalitis akut

bervariasi. Gejalanya mulai demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia, dapat

terjadi penurunan kesadaran dengan cepat, kejang yang bersifat umum atau fokal, dapat

berupa status konvulsi, dan juga ditemukan gejala peningkatan tekanan intrakranial (muntah

proyektil, rewel, ubun – ubun menonjol, menangis terus – menerus dan lebih buruk jika

digendong, dan sakit kepala hebat yang dapat dirasakan pada anak yang lebih besar),

perubahan perilaku atau kepribadian, nyeri atau kaku leher, nyeri kepala, silau (fotofobia),

penurunan kesadaran, dan kejang (Lewis DW. 2011)

2.10 Penatalaksanaan

Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan nafas

tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi.

Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau

20
berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu

dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan.

Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik

(Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009).

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang

sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk

menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam

intravena adalah 0,3-0,5 mg/kgbb perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam

waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh

orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg

atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk

berat badan lebih dari 12 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah

usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (Unit Kerja Koordinasi

Neurologi. 2016)

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi

dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali

pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit

dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum

berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan

kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis

selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin

kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah

berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang

demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya (Unit Kerja Koordinasi Neurologi.

2016).

21
Tatalaksana kejang demam – status konvulsivus ,IDAI 2010

Indikasi rawat inap apabila ada salah satu kriteria sebagai berikut: 1) saat kejang

demam terjadi pada usia dibawah 6 bulan, 2) terjadi hiperpireksia, 3) merupakan kejang

demam yang pertama kali, 4) merupakan kejang demam kompleks, dam 5) terdapat kelainan

neurologis. (Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016) Saat ini lebih diutamakan pengobatan

profilaksis intermitten pada saat demam berupa:

2.10.1 Pemberian antipiretik


Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya

kejang demam (level I, rekomendasi A), meskipun demikian, dokter neurologi anak di

Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang

digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam, atau Ibuprofen dengan dosis

5-10 mg/kgbb/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat

22
menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga

penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III, rekomendasi E) (Unit Kerja

Koordinasi Neurologi. 2016)


2.10.2 Antikonvulsan

2.10.2.1 Pemberian obat antikonvulsan intermiten

Antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat

demam.Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu factor

resiko di bawah ini:

a) Kelainan neurologi berat, misalnya palsi serebral


b) Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
c) Usia <6 bulan
d) Bila kejang terjadi pada suhu kurang dari 39 derajat Celsius
e) Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan

cepat
Obat yang digunakan adalah diazepam oral dosis 0,3 mg/kgbb/kali diberikan selama 48

jam pertama demam dapat menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60%

kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgbb (5 mg untuk berat badan

<12 kg dan 10 mg untuk beat badan >12 kg) pada suhu tubuh > 38⁰C tiga kali sehari

dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali (level I, rekomendasi A). Perlu di

informasikan pada orang tua bahw dosis tersebut cukup tinggi dan memiliki dapat

menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus (Unit

Kerja Koordinasi Neurologi. 2016). Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama

untuk kejang demam fase akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat.

Diazepam dapat diberikan secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular

absorbsinya lambat (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009)

Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan

dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk

usia lebih dari 1 tahun. Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan

23
efektif untuk mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi

midazolam ke aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik.

Namun efek terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.

( Berkovitch M. 2000)

2.10.2.2 Pemberian obat antikonvulsan rumatan

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan

obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumatan

hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Indikasi pemberian

obat rumatan hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut

(salah satu):

a. Kejang fokal

b. Kejang lama > 15 menit

c. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,

misalnya : Todd paresis , hemiparesis, cerebral palsy, dan hidrosefalus.

Penjelasan:

a. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan

bukan merupakan indikasi pengobatan rumatan.


b. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai

fokus organik.
c. Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk

pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika teidak

berhasil/orang tua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumatan


(Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016).

2.10.2.3 Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumatan

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam

menurunkan risiko berulangnya kejang (level of evidence 1,derajat rekomendasi B).

Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan

24
kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada

sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat

menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2

dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan

selama 1 tahun bebas kejang, penghentian pengobatan rumatan untuk kejang

dematidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan saat anak tidak sedang

demam (Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016).


2.11 Pencegahan
Disarankan edukasi kepada orang tua, jika anak menderita demam jangan sampai

menjadi demam tinggi yang dapat memicu bangkitan kejang demam, dan dapat mengurangi

kecemasan orang tua. Hal ini untuk menurunkan morbiditas, juga untuk menghindarkan

adanya dampak buruk bangkitan kejang demam pada anak (Fuadi, 2010). Kejang selalu

merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang

tua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara

menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik, memberitahukan

cara penanganan kejang, memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali,

pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek

samping. Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang (Unit Kerja Koordinasi

Neurologi. 2016, Fuadi, 2010).

1. Tetap tenang dan tidak panik

2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan

atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan

memasukkan sesuatu kedalam mulut.

4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.

5. Tetap bersama anak selama kejang

25
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.

7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih. Unit

(Kerja Koordinasi Neurologi. 2016)

2.12 Prognosis dan Komplikasi


Prognosis kejang demam umumnya baik, namun demam tinggi yang dapat memicu

bangkitan kejang demam masih dapat menimbulkan morbiditas dan dampak buruk pada

anak.6 Berbagai morbiditas dan dampaknya adalah. (Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016)
a) Kemungkinan berulangnya kejang demam. Kejang demam akan berulang kembali

pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam anatar lain 1) riwayat

kejang demam dalam keluarga, 2) usia kurang dari 12 bulan, 3) temperatur yang

rendah saat kejang, 4) cepatnya kejang setelah demam. Bila seluruh faktor tersebut

ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak

terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%.

Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar adalah pada tahun pertama.
b) Faktor risiko terjadinya epilepsi. Faktor risiko menjadi epilepsy di kemudian hari adalah

1) kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam

pertama, 2) kejang demam kompleks, 3) riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara

kandung dan 4) kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam

satu tahun. Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi

sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan

epilepsi menjadi 10%-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah

dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.


c) Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis. Kejadian kecacatan

sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan

neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian

lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus,

26
dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang

baik umum atau fokal. (Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016)

BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan

sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38⁰C, dengan metode

pengukuran suhu tubuh apapun) yang tidak disebabkan oleh proses interakranial, tanpa

adanya infeksi pada sistem saraf pusat . Penyebab kejang demam adalah demam yang terjadi

secara mendadak. Demam dapat disebabkan infeksi bakteri, virus, maupun parasit, misalnya

infeksi saluran napas atas dan otitis media akut. Kejang demam dikelompokkan menjadi dua,

yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Biasanya kejang demam

berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang

dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam

yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kgbb perlahan-

lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal

20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam

rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak

dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Atau

27
diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk

anak di atas usia 3 tahun (Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016)

3.2 Saran
Diharapkan tenaga medis dapat mendiagnsis kejang demam secara dini sehingga dapat

melakukan tatalaksana dengan cepat dan tepat. Selain itu , diperlkan edukasi kepada keluarga

mengenai kejang demam sehingga keluarga dapat berpartisipasi aktif dalam pengobatan

penderita.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arief R.F. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam, Rumah Sakit Islam Cempaka

Putih, Jakarta

2. Berg AT. 2002. “Febril Seizures”. San Diego: Academic Pres. page.37-49.

3. Berkovitch M. 2000. Comparison Of Intranasal Midazolam With Intravenous

Diazepam For Treating Febrile Seizures In Children: Prospective Randomized Study.

Br Med J. No. 321, page: 83-86.

4. Fuadi, Bahtera T, Wijayahadi N. 2010. “Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam

pada Anak”. Sari Pediatri, vol. 12, no. 3, hal: 142-149.

5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Kejang Demam. Pedoman Pelayanan Medis.

hal: 150-153.

6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Ensefalitis. Pedoman Pelayanan Medis. hal: 67-

69.

7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Meningitis Bakterial. Pedoman Pelayanan

Medis. hal: 189-192.

8. Johnston, M.V. 2007. Seizures In Chilhood. In Kliegman, R.M Dkk (Editor). Nelson

Textbook Of Pediatrics 18th Ed. Elsivier Inc. Philadelphia, United States Of America,

page. 2457-2471.

28
9. Knudsen FU. 2000. “Febrile Seizures: Treatment and Prognosis”. Epilepsia, vol. 41,

page: 2-9.

10. Kania, N. 2007. “Kejang pada Anak”. Disampaikan pada acara Penanganan Kejang

pada Anak di AMC Hospital, Bandung, 12 Februari 2007.

11. Livingston S, Bridge EM, Kajdi L. Febrile convulsions: a clinical study with special

reference to heredity and prognosis. J Pediatr 1947;31:509-12.

12. Lewis DW. 2011. Neurologi: Meningitis. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Essensial

Nelson. Edisi Keenam. Oleh Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE.

Singapore: Elsivier. hal. 736-743.

13. Lewis DW. 2011. Neurologi: Ensefalitis. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Essensial

Nelson. Edisi Keenam. Oleh Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE.

Singapore: Elsivier. hal. 743-746.

14. Menkes JH, Sankar R. 2000. Paroxysmal Disorders in Child Neurology. 6th Ed.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins JR. page. 987-91.

15. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. 2013. Diagnosis Fisik pada anak.

Jakarta: Penerbit Sagung Seto. Hal: 1-17.

16. Murray, R.K., Granner D.K 2003. “Membran: Struktur, Susunan, Dan Fungsinya”,

Dalam Murray R.K., Dkk. Biokimia Harper. 25th. Ed Terjemahan oleh: Hartono,

Andry. Jakarta Indonesia: EGC. Hal: 501-504.

17. Menkes JH, Sankar R. 2000. Paroxysmal Disorders in Child Neurology. 6th Ed.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins JR. page. 987-91.

18. Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016. “Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang

Demam”. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

29
19. Soebandi, A. 2014. “ Kejang Demam Tidak Seseram yang Dibayangkan”. Diunduh

tanggal 20 Juli 2016. http://idai.or.id/public-articles/klinik/keluhan-anak/kejang-

demam-tidak-seseram-yang-dibayangkan.html

30

Anda mungkin juga menyukai