KEJANG DEMAM
Disusun Oleh :
201610401011071
FAKULTAS KEDOKTERAN
2017
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya penulis
dapat menyelesaikan referat stase Ilmu Kesehatan Anak dengan mengambil topik “Kejang
Demam”.
Laporan ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik bagian Ilmu
Kesehatan Anak di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri. Tidak lupa penulis ucapkan terima
kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan kasus ini,
terutama kepada dr. Arsy Widyastriastuti, Sp.A selaku dokter pembimbing yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan dan penyempurnaan laporan kasus
ini. Tidak lupa pula, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr.Nieken Susanti, Sp.A,
M.Biomed dan dr. Taufik Raffendi, Sp.A atas ilmu yang beliau berikan kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan
ini dapat memberikan manfaat dalam bidang kedokteran khususnya Bagian Ilmu Kesehatan
Anak.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................. 2
2
Daftar Isi........................................................................................................... 3
Bab 1. Pendahuluan.......................................................................................... 4
2.1 Definisi.................................................................................................. 6
2.2 Etiologi.................................................................................................. 6
2.3 Epidemiologi......................................................................................... 7
2.6 Patofisiologi.......................................................................................... 13
2.8 Diagnosis............................................................................................... 18
2.10 Penatalaksanaan.................................................................................. 21
2.11 Pencegahan`........................................................................................ 26
Bab 3. Kesimpulan............................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
tubuh ini diinduksi oleh pusat termoregulator di hipotalamus sebagai respons terhadap
3
perubahan tertentu. Demam didefinisikan sebagai peningkatan suhu tubuh menjadi >38,0°C.
(Arief, 2015)
Kejang demam merupakan salah satu penyakit yang umum terjadi pada anak.
Diagnosis kejang demam harus dibedakan dari epilepsi. (Arief, 2015) Dari definisinya sendiri
kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5
tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38⁰C, dengan metode pengukuran
suhu tubuh apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses interakranial, tanpa adanya infeksi
pada sistem saraf pusat, gangguan elektrolit, atau metabolik lain. (Unit Kerja Koordinasi
Neurologi, 2016). Lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5
tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan
sampai dengan 22 bulan, insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 14-18
Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks (Menkes JH,2000). Setelah kejang demam pertama, 33% anak akan
mengalami satu kali rekurensi (kekambuhan), dan 9% anak mengalami rekurensi 3 kali atau
lebih (Berg, 2002). Dalam praktek sehari-hari orang tua sering cemas bila anaknya
mengalami kejang demam, karena setiap kejang demam kemungkinan dapat menimbulkan
epilepsi dan trauma pada otak. Hampir 62,2% kemungkinan kejang demam berulang pada 90
anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun dan 45% pada 100 anak yang
mengalami kejang setelah usia 12 tahun. Kejang demam kompleks dan khususnya kejang
demam fokal merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi. Sebagian besar peneliti
melaporkan angka kejadian epilepsi kemudian hari sekitar 2 – 5 % (Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2009). Prognosis kejang demam baik, namun bangkitan kejang demam masih
membawa kekhawatiran yang sangat bagi orang tua (Knudsen FU, 2000).
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38⁰C, dengan metode
pengukuran suhu tubuh apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses interakranial, tanpa
adanya infeksi pada sistem saraf pusat. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan
5
karena gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Anak yang pernah mengalami kejang
tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Anak
berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali.
National institute of Healt menggunakan batasan lebih dari 3 bulan, sedangkan Nelson dan
Ellberg, serta ILAE menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan . Bila anak berumur kurang
dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya
infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Bayi berusia kurang dari 1
bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan termasuk dalam kejang neonates
2.2 Etiologi
Penyebab kejang demam adalah demam yang terjadi secara mendadak. Demam dapat
disebabkan infeksi bakteri, virus, maupun parasit, misalnya infeksi saluran napas atas dan
otitis media akut. Tidak diketahui secara pasti mengapa demam dapat menyebabkan kejang
pada satu anak dan tidak pada anak lainnya, namun diduga ada faktor genetik yang berperan.
Setiap anak juga memiliki suhu ambang kejang yang berbeda, ada yang kejang pada suhu
38⁰C, ada pula yang baru mengalami kejang pada suhu 40⁰C (Soebandi,2014).
2.3
Epidemiologi
6
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun (Unit Kerja
Koordinasi Neurologi. 2016). Anak laki-laki lebih sering dari pada perempuan dengan
perbandingan 1,6:1. Lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah
5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan
sampai dengan 22 bulan, insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan
(Fuadi,2010). Hampir 62,2%, kemungkinan kejang demam berulang pada 90 anak yang
mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun, dan 45% pada 100 anak yang mengalami
kejang setelah usia 12 tahun. Kejang demam kompleks dan khususnya kejang demam fokal
merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi. Sebagian besar peneliti melaporkan angka
kejadian epilepsi kemudian hari sekitar 2 – 5 % (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009). Di
Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2%-5%. Di Asia prevalensi
kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Sejumlah
penelitian telah meneliti predictor kejang demam berulang dengan insidensi bervariasi antara
30-50%. Faktor-faktor prediktif tersebut telah dipelajari dibeberapa Negara, namun data di
Indonesia masih terbatas. Beberapa ahli menganggap kejadian dan factor prediktif kejang
demam berulang di Indonesia tidak jauh berbeda dengan populasi lain (Karande, 2007).
7
1. Otak
Otak terdiri dari otak besar yaitu disebut cerebrum, otak kecil disebut cerebellum dan
batang otak disebut brainstem.Beberapa karakteristik khas otak orang anak yaitu mempunyai
berat lebih kurang 2 % dari berat badan dan mendapat sirkulasi darah sebanyak 20 % dari
cardiac output dan membutuhkan kalori sebesar 400 kkal setiap hari.
Otak mempunyai jaringan yang paling banyak menggunakan energi yang didukung
oleh metabolisme oksidasi glukosa.Kebutuhan oksigen dan glukosa otak relatif konstan, hal
ini disebabkan oleh 10 metabolisme otak yang merupakan proses yang terus menerus tanpa
periode istirahat yang berarti.Bila kadar oksigen dan glukosa kurang dalam jaringan otak
maka metabolisme menjadi terganggu dan jaringan saraf akan mengalami kerusakan. Secara
struktural,cerebrum terbagi menjadi bagian korteks yang disebut korteks cerebri dan sub
korteks yang disebut struktural subkortikal.Korteks cerebri terdiri atas korteks sensorik yang
menyimpan sangat banyak data memori sebagai hasil rangsang sensorik selama manusia
hidup.Korteks motorik berfungsi untuk memberi jawaban atas rangsangan yang diterimanya.
8
Cerebrum terdiri dari dua belahan yang disebut hemispherium cerebri dan keduanya
kiri.Hemisper kanan dan kiri ini dihubungkan oleh bangunan yang disebut corpus
callosum.Hemisper cerebri dibagi menjadi lobus - lobus yang diberi nama sesuai dengan
tulang diatasnya,yaitu:
Cerebelum (otak kecil) terletak di bagian belakang kranium menempati fosa cerebri posterior
cerebellum sekitar 150 gr atau 88 % dari berat batang otak seluruhnya.Cerebellum dapat
dibagi menjadi hemisper cerebelli kanan dan kiri yang dipisahkan oleh Vermis.Fungsi
Batang otak atau brainstern terdiri atas diencephalon, mid brain,pons dan medullan
oblongata merupakan tempat berbagai macam pusat vital seperti pusat pernapasan,pusat
2. Medula Spinalis
II.Terdiri dari 31 segmen yang setiap segmenya terdiri dari satu pasang saraf spinal.Dari
medulla spinallis bagian cervical keluar 8 pasang,dari bagian thorakal 12 pasang,dari bagian
lumbal 5 pasang dan dari bagian sakral 5 pasang serta dari coxigeus keluar 1 pasang saraf
9
spinalis.Seperti halnya otak,medula spinalis pun terbungkus oleh selaput meninges yang
grissea dan substansia alba.Substansia grissea ini mengelilingi canalis centralis sehingga
dikelilingi oleh substansia alba atau badan putih yang mengandung serabut-serabut saraf yang
diselubungi oleh myelin.Substansi alba berisi berkas-berkas saraf yang membawa impuls
sensorik dari sistem saraf tepi (SST) menuju sistem saraf 13 pusat (SSP) dan impuls motorik
sistem saraf pusat (SSP) menuju sistem saraf tepi (SST).Substansia grissea berfungsi sebagai
pusat koordinasi yang berpusat di medula spinalis. Di sepanjang medula spinalis terdapat
jaras saraf yang berjalan dari medula spinalis menuju otak yang disebut jaras acenden dan
dari otak menuju medula spinalis yang disebut sebagai jaras desenden.Substansia alba berisi
berkas-berkas saraf yang berfungsi membawa impuls sensorik dari sistem tepi saraf tepi otak
ke otak dan impuls motorik dari otak ke saraf tepi.Substansi grissea berfungsi sebagai pusat
Refleks-refleks yang berpusat di sistem saraf pusat yang bukan medulla spinalis,pusat
sensorik di substansi alba medula spinalis berjalan menyilang garis tengah.Impuls sensorik
dari tubuh sisi kiri akan dihantarkan ke otak sisi kanan dan sebaliknya.Demikian juga dengan
impuls motorik.Seluruh impuls motorik dari otak yang dihantarkan ke saraf tepi melalui
medula spinalis akan menyilang. Upper Motor Neuron (UMN) adalah neuron-neuron motorik
yang berasal dari korteks serebri atau batang otak yang seluruhnya(dengan serat saraf-
sarafnya ada di dalam sistem saraf pusat.Lower Motor Neuron(LMN) adalah neuron-neuron
motorik yang berasal dari sistem saraf pusat tetapi serat-serat sarafnya 14 keluar dari sistem
saraf pusat dan membentuk sistem saraf tepi dan berakhir di otot rangka.Gangguan fungsi
10
UMN maupun LMN menyebabkan kelumpuhan otot rangka,tetapi sifat kelumpuhan UMN
yang lemas ketegangan otot (tonus) rendah dan sukar untuk merangsang refleks otot
berjalan pada sisi yang sama sampai berkas lateral ini tiba di medulla spinalis.Di segmen
medula spinalis tempat berkas bersinap dengan neuron LMN. Berkas tersebut akan
menyilang,sehingga kerusakan UMN diatas batang otak akan menimbulkan kelumpuhan pada
Salah satu fungsi medula spinalis sebagai sistem saraf pusat adalah sebagai pusat
jawaban individu terhadap rangsang melindung tubuh terhadap berbagai perubahan yang
terjadi baik di lingkungan eksternal.Kegiatan refleks terjadi melalui suatu jalur tertentu yang
a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu di kornu motorik atau kornu ventralis.
b. Aferen: sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem saraf pusat(ke
pusat refleks)
11
c. Pusat Refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis : substansia grisea )
d. Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel efektor. Bila sel
efektornya berupa otot,maka eferen disebut juga neuron motorik (sel saraf/penggerak)
refleks.Dapat berupa sel otot (otot jantung ,otot polos atau otot rangka),sel kelenjar.
Kumpulan neuron di luar jaringan otak dan medula spinalis membentuk sistem saraf
a. Saraf sensorik (aferen) somatik : membawa informasi dari kulit,otot rangka dan
b. Saraf motorik (eferen) somatik : membawa informasi dari sistem saraf pusat ke otot
rangka
c. Saraf sensorik (aferen) viseral : membawa informasi dari dinding visera ke sistem
saraf pusat
d. Saraf motorik (aferen) viseral : membawa informasi dari sistem saraf pusat ke otot
e. Saraf eferen viseral di sebut juga sistem saraf otonom.Sistem saraf tepi terdiri atas
Riwayat keluarga dengan kejang demam adalah salah satu faktor risiko yang
dilaporkan untuk terjadi bangkitan kejang demam. Keluarga dengan riwayat menderita kejang
demam sebagai faktor risiko untuk terjadi kejang demam pertama adalah kedua orang tua
12
ataupun saudara kandung (first degree relative). Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat
genetik terkait dengan kejang demam, apakah autosomal resesif atau autosomal dominan.
Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60%-80%. Bila kedua orangnya tidak
mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam, maka risiko terjadi kejang demam
hanya 9%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang
demam mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam 20%-22%. Apabila ke dua
orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka
risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-64% (Fuadi, 2010,
Menkes, 2000)
2.6 Patofisiologi
Tujuan dari pengaturan suhu adalah mempertahankan suhu inti tubuh sebenarnya pada
set level sekitar 36,5 – 37,5⁰C. Berbeda dengan hipertermia pasif, set level meningkat ketika
demam. Demam terutama terjadi pada infeksi sebagai reaksi fase akut dan terdapat
infeksi bakteri, virus, maupun parasit, misalnya infeksi saluran napas atas. Tidak diketahui
secara pasti mengapa demam dapat menyebabkan kejang pada satu anak dan tidak pada anak
lainnya, namun diduga ada faktor genetik yang berperan. Setiap anak juga memiliki suhu
ambang kejang yang berbeda, ada yang kejang pada suhu 38⁰C, ada pula yang baru
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan
eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme
seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius akan
suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Demam tinggi dapat
13
Pada keadaan metabolisme di siklus kreb normal, satu molekul glukosa akan
anaerob, satu molukul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP. Pada keadaan hipoksia akan
terjadi kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+ serta reuptake asam
glutamat oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na + ke dalam sel
meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan
mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin
meningkatkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke dalam sel dipermudah pada keadaan
demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel.
Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan
potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping
itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat mempengaruhi
perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+ influx sehingga menimbulkan
keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat menurunkan kemampuan inhibisi
Pada keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat merupakan reseptor
eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga
pada otak yang belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi (Johnston, M.V.
2007). Corticotropin releasing hormon (CRH) yang merupakan salah satu eksitator
neuropeptid, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di
hipokampus tinggi, sehingga berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh
demam.4 Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih lemah, akan berubah
sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan umur, oleh karena pada otak belum
matang neural Na+/K+ATP ase masih kurang. Pada otak yang belum matang regulasi ion Na+,
14
K+, dan Ca2+ belum sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan repolarisasi pasca
inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Oleh karena itu,
pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak
yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai developmental window sehingga rentan
Riwayat keluarga dengan kejang demam adalah salah satu faktor risiko yang
dilaporkan untuk terjadi bangkitan kejang demam. Keluarga dengan riwayat pernah
menderita kejang demam sebagai faktor risiko untuk terjadi kejang demam pertama adalah
kedua orang tua ataupun saudara kandung (first degree relative). Belum dapat dipastikan cara
pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam, apakah autosomal resesif atau
autosomal dominan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60%-80%. Bila kedua
orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam, maka risiko terjadi
kejang demam hanya 9%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah
menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam 20%-
22%. Apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-
64%. Kejang demam diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, 27% berbanding
kejang demam, yaitu: 1) imaturitas otak dan termoregulator, 2) demam, dimana kebutuhan
Neurologi, 2016)
seizure) dan kejang demam kompleks (Complex febrile seizure). Kejang demam sederhana
15
adalah kejang demam yang lama kejangnya yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit,
dan tidak berulang pada satu episode demam. Kejang berbentuk umum, tonik, dan atau
klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. (Unit Kerja Koordinasi
bersifat fokal, multipel, atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial,
serta berulang, atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang ini terjadi pada 16% kejang
lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar.kejang lama terjadi pada 8%
kejang demam.kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih ddalam 1 hari dan diantara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% anak yang mengalami kejang
berupa serangan kejang umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi
post iktal. Bentuk kejang umum yang sering dijumpai adalah mata mendelik atau terkadang
berkedip-kedip, kedua tangan dan kaki kaku, terkadang diikuti kelojotan, dan saat kejang
anak tidak sadar tidak memberi respons apabila dipanggil atau diperintah. Setelah kejang
Kriteria Livingstone
16
dipakai sebagai pedoman membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu: (Livingston S,
1947)
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun
2. Kejang berlangsung tidak lebih 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan
7. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
2.8 Diagnosis
2.8.1 Anamnesis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik diperlukan untuk menunjang diagnosis
dalam kejang demam serta memilih pemeriksaan penunjang yang terarah dan tatalaksana
penyakit sampai terjadinya kejang (riwayat penyakit sekarang), riwayat penyakit sebelumnya,
riwayat penyakit keluarga, ekonomi, psikososial, prenatal, dan perinatal. 6,9 Kejang demam
terjadi pada anak kurang 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38⁰C,
dengan metode pengukuran suhu tubuh apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
interakranial, tanpa adanya infeksi pada sistem saraf pusat. Kejang disertai demam pada bayi
berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Anak yang pernah
mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam
Selain itu pada anamnesis, frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk
diagnosis serta tata laksana kejang. Ditanyakan kapan kejang pertama kali terjadi, apakah
kejang itu baru pertama kali atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah, berapa kali
dan waktu anak berumur berapa. Sifat kejang juga perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat
tonik, klonik, umum, atau fokal. Ditanyakan pula lama serangan, interval antara dua
serangan, kesadaran saat kejang dan pasca kejang. Suhu sebelum dan saat terjadinya kejang
17
sangat penting ditanyakan untuk membedakan dengan epilepsy. 1 Gejala lain yang menyertai
diteliti, termasuk penyebab kejang yang lain (muntah dan atau tanpa diare yang
penyebab demam di luar sistem saraf pusat (gejala infeksi saluran pernafasan akut, infeksi
saluran kemih, otitis media akut, dan sebagainya) (Unit Kerja Koordinasi Neurologi, 2016)
Faktor-faktor lain yang berperan dalam risiko terjadinya kejang demam selain faktor
demam dan usia, adalah riwayat tumbuh kembang, riwayat apakah pernah terjadi kejang
demam dan epilepsi pada keluarga terdekat (first degree relative) yaitu kedua orang tua
ataupun saudara kandung, riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), serta riwayat perinatal
(asfiksia, usia kehamilan, dan bayi berat lahir rendah) (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009)
Pemeriksaan fisik dimulai dari keadaan umum dan tingkat kesadaran apakah terdapat
penurunan kesadaran. Kemudian dilanjutkan dengan tanda-tanda vital seperti suhu tubuh,
tekanan darah (bila dapat dilakukan), jumlah nadi dan pernafasan dalam satu menit. Lihat
pula apakah ada tanda-tanda rangsang meningeal, pemeriksaan nervus kranial, tanda
peningkatan tekanan intra kranial (ubun-ubun besar menonjol, papil edema), tanda-tanda
infeksi di luar sistem saraf pusat (ISPA, ISK, OMA, dan sebagainya), serta pemeriksaan
Pemeiksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer,elektrolit, dan gula
18
Pemeriksaan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
lumbal tidak dilakukan scara rutin pada anak berusia <12 bulan yang mengalami kejang
demam sederhana dangan keadaan umum baik. Indikasi pungsi lumbal 1). Terdapat tanda dan
gejala rangsangan meningeal 2). Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis 3). Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai
demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotic dan pemberian antibiotic tersebut dapat
mengaburkan tanda dan ejala meningitis. (Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016).
dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks
pada anak berusia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal. Pemeriksaan neuroimaging
(CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana.
Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang
menetap, misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis. (Unit Kerja Koordinasi
Neurologi. 2016).
2.9.1 Meningitis
disebabkan oleh infeksi oleh bakteri, virus, atau juga mikroorganisme lain. Peradangan ini
dapat meluas melalui ruang sub arakhnoid, otak, medulla spinalis, dan ventrikel. Penyakit ini
seringkali didahului infeksi pada saluran nafas atas atau saluran cerna seperti demam, batuk,
diare, pilek, dan muntah (Lewis DW. 2011). Gejala umum dari meningitis adalah sakit kepala
yang hebat disertai demam, meningismus dengan atau tanpa penurunan kesadaran, iritabilitas,
letargi, malaise, kejang, dan muntah merupakan hal yang sangat sugestif dari meningitis
tetapi tidak ada satupun gejala yang khas. Banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan
19
usia, misalnya anak kurang dari 3 tahun jarang mengeluh sakit kepala. Pada bayi gejala hanya
berupa demam, iritabel, letargi, malas minum, dan high pitched cry. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan ubun-ubun besar yang menonjol, kaku kuduk positif, atau tanda rangsang
meningeal yang lain (Brudzinki dan Kernig), kejang, defisit neurologis yang lain. Tanda
rangsang meningeal mungkin tidak ditemukan pada anak kurang dari satu tahun (Ikatan
2.9.2 Ensefalitis
Ensefalitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan otak setempat (lokal) atau
seluruhnya (difus) yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme (virus, bakteri,
jamur, dan protozoa). Namun penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Ensefalitis
berbeda dengan meningitis (radang selaput otak) dalam hal penyebab dan proses terjadinya
penyakit. Namun, ensefalitis sering disertai oleh peradangan selaput otak sehingga disebut
sebagai meningoensefalitis (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009) Gejala ensefalitis akut
bervariasi. Gejalanya mulai demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia, dapat
terjadi penurunan kesadaran dengan cepat, kejang yang bersifat umum atau fokal, dapat
berupa status konvulsi, dan juga ditemukan gejala peningkatan tekanan intrakranial (muntah
proyektil, rewel, ubun – ubun menonjol, menangis terus – menerus dan lebih buruk jika
digendong, dan sakit kepala hebat yang dapat dirasakan pada anak yang lebih besar),
perubahan perilaku atau kepribadian, nyeri atau kaku leher, nyeri kepala, silau (fotofobia),
2.10 Penatalaksanaan
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan nafas
tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi.
Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau
20
berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu
dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan.
Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,3-0,5 mg/kgbb perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam
waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh
orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg
atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk
berat badan lebih dari 12 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah
usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (Unit Kerja Koordinasi
Neurologi. 2016)
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit
dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum
berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan
kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin
kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah
berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang
demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya (Unit Kerja Koordinasi Neurologi.
2016).
21
Tatalaksana kejang demam – status konvulsivus ,IDAI 2010
Indikasi rawat inap apabila ada salah satu kriteria sebagai berikut: 1) saat kejang
demam terjadi pada usia dibawah 6 bulan, 2) terjadi hiperpireksia, 3) merupakan kejang
demam yang pertama kali, 4) merupakan kejang demam kompleks, dam 5) terdapat kelainan
neurologis. (Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016) Saat ini lebih diutamakan pengobatan
kejang demam (level I, rekomendasi A), meskipun demikian, dokter neurologi anak di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang
digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam, atau Ibuprofen dengan dosis
5-10 mg/kgbb/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat
22
menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga
penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III, rekomendasi E) (Unit Kerja
Antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat
demam.Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu factor
cepat
Obat yang digunakan adalah diazepam oral dosis 0,3 mg/kgbb/kali diberikan selama 48
jam pertama demam dapat menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60%
kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgbb (5 mg untuk berat badan
<12 kg dan 10 mg untuk beat badan >12 kg) pada suhu tubuh > 38⁰C tiga kali sehari
dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali (level I, rekomendasi A). Perlu di
informasikan pada orang tua bahw dosis tersebut cukup tinggi dan memiliki dapat
menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus (Unit
Kerja Koordinasi Neurologi. 2016). Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama
untuk kejang demam fase akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat.
Diazepam dapat diberikan secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular
Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan
dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk
usia lebih dari 1 tahun. Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan
23
efektif untuk mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi
midazolam ke aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik.
Namun efek terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.
( Berkovitch M. 2000)
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumatan
hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Indikasi pemberian
obat rumatan hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut
(salah satu):
a. Kejang fokal
Penjelasan:
fokus organik.
c. Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
24
kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada
sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2
dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan
dematidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan saat anak tidak sedang
menjadi demam tinggi yang dapat memicu bangkitan kejang demam, dan dapat mengurangi
kecemasan orang tua. Hal ini untuk menurunkan morbiditas, juga untuk menghindarkan
adanya dampak buruk bangkitan kejang demam pada anak (Fuadi, 2010). Kejang selalu
merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang
tua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara
pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek
samping. Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang (Unit Kerja Koordinasi
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
25
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih. Unit
bangkitan kejang demam masih dapat menimbulkan morbiditas dan dampak buruk pada
anak.6 Berbagai morbiditas dan dampaknya adalah. (Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2016)
a) Kemungkinan berulangnya kejang demam. Kejang demam akan berulang kembali
pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam anatar lain 1) riwayat
kejang demam dalam keluarga, 2) usia kurang dari 12 bulan, 3) temperatur yang
rendah saat kejang, 4) cepatnya kejang setelah demam. Bila seluruh faktor tersebut
ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak
Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar adalah pada tahun pertama.
b) Faktor risiko terjadinya epilepsi. Faktor risiko menjadi epilepsy di kemudian hari adalah
pertama, 2) kejang demam kompleks, 3) riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara
kandung dan 4) kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian
lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus,
26
dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38⁰C, dengan metode
pengukuran suhu tubuh apapun) yang tidak disebabkan oleh proses interakranial, tanpa
adanya infeksi pada sistem saraf pusat . Penyebab kejang demam adalah demam yang terjadi
secara mendadak. Demam dapat disebabkan infeksi bakteri, virus, maupun parasit, misalnya
infeksi saluran napas atas dan otitis media akut. Kejang demam dikelompokkan menjadi dua,
yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Biasanya kejang demam
berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang
dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kgbb perlahan-
lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal
20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak
dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Atau
27
diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk
3.2 Saran
Diharapkan tenaga medis dapat mendiagnsis kejang demam secara dini sehingga dapat
melakukan tatalaksana dengan cepat dan tepat. Selain itu , diperlkan edukasi kepada keluarga
mengenai kejang demam sehingga keluarga dapat berpartisipasi aktif dalam pengobatan
penderita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arief R.F. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam, Rumah Sakit Islam Cempaka
Putih, Jakarta
2. Berg AT. 2002. “Febril Seizures”. San Diego: Academic Pres. page.37-49.
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Kejang Demam. Pedoman Pelayanan Medis.
hal: 150-153.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Ensefalitis. Pedoman Pelayanan Medis. hal: 67-
69.
8. Johnston, M.V. 2007. Seizures In Chilhood. In Kliegman, R.M Dkk (Editor). Nelson
Textbook Of Pediatrics 18th Ed. Elsivier Inc. Philadelphia, United States Of America,
page. 2457-2471.
28
9. Knudsen FU. 2000. “Febrile Seizures: Treatment and Prognosis”. Epilepsia, vol. 41,
page: 2-9.
10. Kania, N. 2007. “Kejang pada Anak”. Disampaikan pada acara Penanganan Kejang
11. Livingston S, Bridge EM, Kajdi L. Febrile convulsions: a clinical study with special
12. Lewis DW. 2011. Neurologi: Meningitis. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Essensial
Nelson. Edisi Keenam. Oleh Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE.
13. Lewis DW. 2011. Neurologi: Ensefalitis. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Essensial
Nelson. Edisi Keenam. Oleh Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE.
14. Menkes JH, Sankar R. 2000. Paroxysmal Disorders in Child Neurology. 6th Ed.
15. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. 2013. Diagnosis Fisik pada anak.
16. Murray, R.K., Granner D.K 2003. “Membran: Struktur, Susunan, Dan Fungsinya”,
Dalam Murray R.K., Dkk. Biokimia Harper. 25th. Ed Terjemahan oleh: Hartono,
17. Menkes JH, Sankar R. 2000. Paroxysmal Disorders in Child Neurology. 6th Ed.
29
19. Soebandi, A. 2014. “ Kejang Demam Tidak Seseram yang Dibayangkan”. Diunduh
demam-tidak-seseram-yang-dibayangkan.html
30