Komplikasi kehamilan yang meningkatkan resiko luaran yang buruk dapat merupakan
hasil sekunder dari keadaan-keadaan ibu, janin atau keduanya. Komplikasi mencakup plasenta
previa, solusio plasentam preeklampsi, diabetes, oligohidramnion atau polihidramnion,
kehamilan ganda, sensitisasi golongan darah, kadar abnormal estriol tidak berkonjugasi,
gonadotropin korionik, atau alfa-fetoprotein, USG janin abnormal, hidrops fetalis, trauma atau
bedah maternal, presentasi janin abnormal (sungsang), paparan terhadap obat yang diresepkan
maupun obat terlarang, persalinan lama, disproporsi sefalopelvis prolaps tali pusat, gawat janin,
ketuban pecah lama atau ketuban pecah dini, panjang serviks pendek (25mm) dan adanya
fibronektin janin dalam cairam serviks pada usia gestasi kurang dari 35 minggu (prediktor
kehamilan prematur), infeksi serviks kserta vaginosis, dan infeksi kongenital, termasuk rybella,
sitomegalovirus, herpes simpleks, HIV, toksoplasmosis, sifilis, maupun gonore.
Komplikasi obstetrik sering dihubungkan dengan peningkatan resiko pada janin atau
neonatus. Perdarahan pervaginam pada trimester pertama atau awal trimesrer kedua dapat
disebabkan oleh abortus iminens atau spontan yang berhubungan dengan meningkatnya resiko
kejaidan kelainan bawaan ataupun kromosom. Perdarahan per vaginam tanpa rasa nyeri dan
tidak berhubungan dengan proses persalinan yang terjadi pada akhir trimester kedua atau (lebih
sering) pada trimester ketiga biasanya akibat plasenta previa. Perdarahan terjadi akibat letak
plasenta di atas mulut rahim bagian dalam, keadaan ini dapat menyebabkan syok hemoragik
pada ibu, yang memerlukan transfusi. Perdarahan juga dapat menyebabkan kelahiran prematur.
Perdarahan pervaginam dengan rasa nyeri seringkali akibat perdarahan retroplasental atau
solusio plasenta. Keadaan-keadaan lain yang dapat ditemukan dan berhubungan dengan
kejadian tersebut di atas seperti usia ibu yang tua, multiparitas, jipertensi kronis, penggunaan
kokain, ketuban pecah dini, polihidramnion, kehamilan ganda, dan preeklampsi. Asfiksia janin
terjadi karena hematoma retroplasental yang menyebabkan terlepasnya plasenta sehingga
mengganggu oksigenasi janin. Kedua jenis perdarahan tersebut berkaitan dengan kehilangan
darah pada janin. Anemi neonatal lebih umum terjadi pada plasenta previa.
Tidak normalnya volume cairan amnion, dengan hasil akhir oligohidramnion atau
polihidramnion, berhubungan dengan peningkatan resiko janin dan neonatus. Oligohidramnion
(indeks cairan amnion dengan USG ≤ 2 cm) berhubungan dnegan PJT, kelainan kongenital
mayor (terutama pada ginjal janin), dan dengan sindrom kromosomal. Agenesis ginjal bilateral
berakibat berkurangnya produksi cairan amnion dan sindrom deformasi spesifik (sindrom
potter), yang mencakup culbfeet, wajah yang spesifik akibat kompresi, low set ears, perut
cembung (skafoid) dan berkurangnya ukuran dinding dada yang disertai hipoplasia paru serta
pneumotoraks. Kompresi uterus karena berkurangnya cairan amnion akan menghambat
pertumbuhan paru, dan pasien dengan kondisi seperti ini seringkali meninggal karena gagal
napas dibanding karena insufisiensi renal. Sindrom transfusi fetofetal (donor) dan komplikasi
akibat kebocoran cairan amnion juga berhubungan dengan oligohidramnion. Oligohidramnion
meningkatkan resiko gawat janin selama persalinan (ketuban hijau dengan deselerasi variabel)
yang dapat dikurangi dengan infus cairan amnion dengan salin selama persalinan.
Ketuban pecah dini, yang terjadi tanpa disertao tanda-tanda persalinan, dan ketuban
pecah lama (>24 jam) berhubungan dengan peningkatan resiko infeksi ibu dan janin
(korioamnionitis) dan kelahiran prematur. Streptokokus grup B dan Escherichia coli merupan
dua kuman patogen penyebab sepsis yang paling sering ditemukan pada periode neonatus dini.
Listeria monocytogenes merupakan penyebab yang lebih jarang. Mycoplasma hominis,
ureaplasma urealyticum, chlamydia trachomatis dan bakteri anaerob dari flora vagina juga
dihubungkan dengan infeksi pada cairan amnion. Infeksi yang didapat dari komunitas oleh
staphylococcus aureus resisten meticilin harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada bayi
dengan infeksi kulit atau riawayat terpapar. Resiko infeksi janin serius meningkat sejalan
dengan lamanya periode antara pecahnya ketuban dengan persalinan (periode laten), terutama
bila lebih dari 24 jam. Terapi antibiotik intrapartum daoat menurunkan resiko sepsis neonatal.
Bayi berat lahir rendah (BBLR) diidentifikasikan sebagai bayi dengan berat lahir
kurang dari 2500g, merupakan komponen terbanyak dari angka kematian neonatal dan bayi.
Walaupun BBLR hanya merupakan 6% sampai 7% dari seluruh kelahiran, namun
menyumbang lebih dari 70% kematian neonatal. Pertumbuhan janin terhambat (PJT)
merupakan penyebab utama BBLR di negara berkembang, sementara di negara maju
dikarenakan prematuritas.
Faktor ibu yang berhubungan dengan BBLR akibat prematuritas maupun PJT adalah
riwayat kelahiran BBLR sebelumnya, status sosial ekonomi rendah, rendahnya tingkat
pendidikan ibu dan tidak ada perawatan antenatal.
PENGKAJIAN FETUS
Pertumbuhan janin terhambar terjadi bila pertumbuhan janin terhentu dan menurun
hingga ke bawah presentul lima sesuai usia gestasinya dengan berjalannnya waktu atau ketika
pertumbuhan berjalan lambat secara konstan di bawah presentil lima. Pertumbuhan yang
terhambat dapat terjadi akibat kondisi janin seperti janin yang terinfeksi rubella, sindrom
primordial dwarf, kelainan kromosom. Dan sindrom cacar bawaan, rendahnya produksi insulin
dan insulin like growth factor berhubungan dengan terhambatnya pertumbuhan janin. Kelainan
plasenta yang menyebabkan PJT adalah villitis (infeksi kongenital), tumor plasenta, solusio
plasenta.
HIPERBILIRUBINEMIA
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir merupakan penyebab tersering dari ikterus
neonatorum. Namun banyak juga bayi baru lahir menjadi ikterus tanpa bukti hemolisis
dikarenakan belum sempurnanya mekanisme metabolisme bilirubin.