PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1
b. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien PPOK.
1.3. Manfaat
1. Bagi Penulis
Sebagai sumber reverensi mengenai asuhan keperawatan PPOK
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat sebagai refrensi di perpustakaan dan sebagai bahan bacaan
bagi mahasiswa/i Bunga Bangsa.
3. Bagi peneliti berikutnya
Sebagai bahan acuan bagi penelitian berikutnya mengenai kasus Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) dengan lebih baik dan optimal.
2
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
2.1. Pengertian
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari gangguan yang
mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan kondisi
ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan
keluar udara paru-paru.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit yang menimbulkan obstruksi
saluran napas, termasuk didalamnya ialah asma, bronkitis kronis.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan
fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya
penyempitan saluran napas dan tidak banyak mengalami perubahan dalam masa observasi
beberapa waktu.
Penyakit paru obtruksi menahun (PPOK) adalah aliran udara mengalami obstruksi
yang kronis dan pasien mengalami kesulitan dalam pernafasan. PPOK sesungguhnya
merupakan kategori penyakit paru-paru yang utama dan bronkitis kronis, dimana keduanya
menyebabkan perubahan pola pernafasan (Reeves, 2001 : 41).
Penyakit Paru Obsruksi Kronik menurut Niluh G. Yasin (2003) adalah kondisi
obstruksi irevisibel progresif aliran udara dan ekspirasi biasanya ditandai dengan kesulitan
bernafas, batuk produktif, serta intolenransi aktifitas.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Penyakit Paru Obstruksi
Kronik merupakan penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis, bronkietaksis dan
emfisema, obstruksi tersebut bersifat progresif disertai hiperaktif aktivitas bronkus.
2.2. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut Arief
Mansjoer (2002) adalah :
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi Udara
3. Paparan Debu, asap
4. Gas-gas kimiawi akibat kerja
5. Riwayat infeki saluran nafas
3
6. Bersifat genetik yakni definisi a-l anti tripsin
Sedangkan penyebab lain Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut David Ovedoff
(2002) yaitu : adanya kebiasaan merokok berat dan terkena polusi udara dari bahan kimiawi
akibat pekerjaan. Mungkin infeksi juga berkaitan dengan virus hemophilus influenza dan
strepto coccus pneumonia.
Faktor penyebab dan faktor resiko yang paling utama menurut Neil F. Gordan
(2002) bagi penderita PPOK atau kondisi yang secara bersama membangkitkan penderita
penyakit PPOK, yaitu :
1. Usia semakin bertambah faktor resiko semakin tinggi.
2. Jenis kelamin pria lebih beresiko dibanding wanita
3. Merokok
4. Berkurangnya fungsi paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
5. Keterbukaan terhadap berbagai polusi, seperti asap rokok dan debu
6. Polusi udara
7. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia dan bronkitus
8. Asma episodik, orang dengan kondisi ini beresiko mendapat penyakit paru obstuksi
kronik.
9. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang normalnya
melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang kekurangan enzim ini
dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda, walau pun tidak merokok.
2.3. Manifestasi Klinis
Selama eksaserbasi akut, gejala yang nampak meliputi :
a. Batuk bertambah berat
b. Produksi sputum bertambah
c. Sputum berubah warna
d. Sesak nafas bertambah berat
e. Bertambahnya keterbatasan aktivitas
f. Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronis
g. Penurunan kesadaran
4
2.4. Patofisiologi
Saluran nafas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil
metabolisme. Proses ini terdiri dari 3 tahap yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi
adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah proses pertukaran
gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang
sudah teroksigenasi.
Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan
paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran nafas. Parameter
yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan
untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa
(VEP1/KVP).
Faktor resiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi
bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukusiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari
saluran nafas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab
infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dikeluarkan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik
pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur
penunjang pada paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus,
maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi
normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan
demikian. Apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap didalam paru dan
saluran udara kolaps.
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran nafas pada PPOK predominan dimediasi oleh
5
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan. Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya
inflamasi jalan nafas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.
2.5. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologis
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar
dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang
menebal.
b. Corak paru yang bertambah
Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
a. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan bula.
Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink puffer
b. Corakan paru yang bertambah.
2. Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah
dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan
KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow
rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan
diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya
pada saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun
karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada
kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja
lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
6
4. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor
pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan
aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari
1 Sering terdapat RBBB inkomplet.
5. Kultur sputum, untuk mengetahui patogen penyebab infeksi.
6. Laboratorium darah lengkap.
2.6. Penatalaksanaan
1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok,
menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak
perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab
infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid
untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih controversial.
5. Pengobatan simtomatik.
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran
lambat 1 – 2 liter/menit.
8. Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
a. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
b. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang
paling efektif.
c. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan
kesegaran jasmani.
d. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali
mengerjakan pekerjaan semula.
e. Pengelolaan psikosial, terutama ditujukan untuk penyesuaian diri penderita dengan
penyakit yang dideritanya.
7
2.7. Komplikasi
1. Inlnsufisiensi pernafasan
Pasien PPOK dapat mengalami gagal nafas kronik secara bertahap ketika struktur paru
mengalami kerusakan secara irreversible.gagal nafas terjadi apabila penurunanan
oksigen terhadap karbondioksida dalam paru menyebabkan ketidakmampuan
memelihara laju kebutuhan oksigen. Hal ini akan mengakibatkan tekananan oksigen
arteri kurang dari 50 mmHg(hipoksia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih
besar dari 45 mmHg (hiperkapnia) (Smelzer & Bare, 2008).
2. Atelektasis
Obstruksi bronchial pleh sekresi merupakan penyebab utama terjadinya kolap pada
alveolus, lobus, atauunit paru yang lebih besar. Sumbatan akan mengganggu alveoli
yang normalnya menerima udara dari bronkus.udara alveolar yang terperangkap
menjadi terserap kedalam pembuluh darah tetapi udara luar tidak dapat menggantikan
udara yang terserap karena obstruksi. Akibatnya paru menjadi terisolasi karena
kekurangan udara dan ukurannya menyusut dan bagian sisa paru lainnya berkembang
secara berlebihan ( Smelzer & Bare 2008).
3. Pneumoni
Pneumoni adalah proses inflamatori parenkim paru yang disesbabkan oleh agen
infeksius. PPOK mendasari terjadinya pnemuni karena flora normal terganggu oleh
turunya daya tahan hospes. Hal ini menyebabkan tubuh menjadi rentan terhadap infeksi
termasuk diantaranya mereka yang mendapatkan terapi kortikosteroid dan agen
imunosupresan lainnya (Smelzer & Bare 2008).
4. Pneumotorak
Pneumotorak spontaneous sering terjadi sebagai komplkasi dari PPOK karena adanya
rupture paru yang berawal dari pneumotorak tertutup (Black & Hawk, 2005).
Pnemuotorak terjadi apabila adanya hubungan antara bronkus dan alveolus dengan
rongga pleura, sehingga udara masuk kedalam rongga pleura melalui kerusakan yang
ada (Price & Wilson, 2006).
8
5. Hipertensi paru
Hipertensi pulmonal ringan atau sedang meskipun lambat akan muncul pada kasus
PPOK karena hipoksia yang menyebabkan vaskonstriksi pembuluh darah kecil paru.
Keadaan ini akan menyebabkan perubahan structural yang meliputi hyperplasia intimal
dan hipertrophi atau hyperplasia otot halus. Pada pembuluh darah saluran udara yang
sama akan mengalami respon inflamasi dan sel endotel mengalami disfungsi.
Hilangnya pembuluh darah kapiler paru pada emfisema memberikan kontribusi
terhadap peningkatan tekanan sirkulasi paru. Hipertensi pulmonal yang progesif akan
menyebabkan hipertrifi ventrikel kanan dan akhirnya menyebabkan gagal jantung
kanan (cor pulmonale) (GOLD , 2006).
6. Masalah sistemik
PPOK dalam perjalanan penyakitnya melibatkan beberapa efek sistemik terutama
pasien dengan penyakit berat. Hal ini akan berdampak besar pada kelangsungan hidup
bagi pasien PPOK. Kakesia sering dijumpai pada PPOK berat, hal ini disebabkan
karena kehilangan massa otot rangka dan kelemahan sebagai akibat dari apoptosis yang
meningkat dan otot yang tidak digunakan. Pasien dengan PPOK juga mengalami
peningkatan terjadinya osteoporiosis, depresi dan anemia kronis. Peningkatan
konsentrasi mediator inflamasi, termasuk TNF-α, IL-6, turunan dari radikal bebas
oksigen lainnya, dapat memediasi beberapa efek sistemik untuk terjadi penyakit
kardiovaskular, yang berhubungan dengan peningkatan Protein C-Reaktif (CRF)
(GOLD, 2006).
9
2.8. Pathway
10
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
1. Biodata
a. Biodata klien
Beberapa komponen yang ada pada identitas meliputi nama, jenis kelamin, umur,
alamat, suku bangsa, agama, No.registrasi, pendidikan, pekerjaan, tinggi badan,
berat badan, tanggal dan jam masuk Rumah Sakit.
b. Identitas penanggung jawab
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status bangsa,
status perkawinan, hubungan dengan klien dan alamat.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien Bronkhitis biasanya mengeluh adanya sesak
nafas.
3. Riwayat perjalanan penyakit
a. Riwayat penyakit sekarang
Pada riwayat sekarang berisi tentang perjalanan penyakit yang dialami pasien dari
rumah sampai dengan masuk ke Rumah Sakit.
b. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien sebelumnya pernah mengalami Bronkhitis atau
penyakit menular yang lain.
c. Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan pada keluarga apakah salah satu anggota keluraga ada yang pernah
mengalami sakit yang sama dengan pasien atau penyakit yang lain yang ada di
dalam keluarga.
4. Keadaan umum
Mengkaji keadaan klien saat datang kerumah sakit sakit dan keluhan utamanya.
5. Pemeriksaan fisik
1. Kepala
a. Kepala : mesosephal
b. Rambut : hitam, tidak mudah dicabut,
11
c. Mata : Bulu mata tidak mudah dicabut, sklera tidak ikterik, konjungtiva
tidak anemis, palpebra dekstra udem dan spasme, oedem pada kornea dekstra.
d. Hidung : tampak terpasang kanul O2 (2L/menit)
e. Telinga : Besih, tidak ada serumen, reflek suara baik.
f. Mulut : Gigi kekuningan, lengkap, tidak ada stomatitis.
g. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan tidak ada
pembengkakan pada trachea.
2. Ektremitas : tidak ada oedem pada kedua ekstremitas atas dan bawah.
Ekstremitas atas tangan kiri terpasang infus RL 7 ttes/menit.
3. Dada
a. Paru
1) Inspeksi
Bentuk dada simetris
Tampak RR 28x/menit
2) Palpasi
Tidak ada pembengkakan pada paru
Tidak ada nyeri tekan
3) Perfusi
Hipersonor
4) Auskultasi
Suara nafas wheezing dan kadang terdengar ronchi.
6. Terapi
a. Terapi infus : RL Dextro 5 % 1:1/24 jam (7 tetes/menit)
b. Terapi injeksi :
Aminiphylin 1 amp/24 jam
Tarbulatin 4x0,025mg
Ciproflaxosin 2x 500 mg
c. Terapi Oksigen
Nebulizer 4x (atroven : agua) = 1:1 ,O2 2L/menit
7. Diet
Diet TKTP
12
3.2. Analisa Data
13
- Batuknya berdahak
- Terdapat retraksi
dinding dada Hypoxemia
- Nampak sesak
nafas Kompensasi frekuensi
- Frekwensi napas nafas
cepat
Ketidakefektifan pola
nafas
Penurunan energy
cadangan
14
Kelemahan
Intoleransi aktivitas
4 DS : Akumulasi sekret pada Gangguan Pola
- Klien mengatakan jalan napas Tidur
batuk berdahak
DO :
- Klien nampak
batuk berdahak Bersihan jalan napas tidak
efektif
15
2.3. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mucus yang berlebihan
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi paru
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan faktor fisiologis (batuk).
4. Intoleransi aktifitas beruhungan dengan penurunan energi cadangan, kelemahan
16
respirasi dan
status O2
7. Berikanbronk
odilator bila
perlu
(amonophilin
1 amp/24
jam)
2 Bersihan jalan Setelah dilakukan 1. Posisikan
nafas tidak tindakan keperawatan pasien untuk
efektif bd 2x24 jam masalah memaksimal
adanya mukus bersihan jalan nafas tidak kan ventilasi
efektif dapat teratasi 2. Lakukan
Kriteria: fisioterapi
1. RR normal dada jika
2. Tidak ada perlu
kecemasan 3. Berikan
3. Mampu minum
membersihkan hangat
secret kepada
4. Tidak ada pasien
hambatan dalam 4. Ajarkan
jalan nafas batuk efektif
5. Tidak ada batuk 5. Auskultasi
suara nafas,
catat adanya
suara
tambahan
17
3 Gangguan Setelah dilakukan 1. Monitor rata-
rata, ritme,
pertukaran gas tindakan keperawtan 2x24
kedalaman,
bd ventilasi jam masalah gangguan dan usaha
pernafasa
perfusi pertukaran gas teratasi
2. Monitor pola
Kriteria : nafas
:bradipnea,
Status pernafasan:
takipnea,
pertukaran gas: 3. Palpasi
kesimetrisan
1. Kemudahan
ekspansi paru
bernafas 4. Perkusi dada
anteriordan
2. tidak ada sesak
posterior dari
nafas dalam apeks sampai
bawah
istirahat
5. Auskultasi
3. tidak ada sesak suara
pernafasan,
nafas saat
catat area
beraktivitas yang
mengalami
4. Tidak ada
penurunan
kelelahan ventilasi dan
adanya suara
5. Tidak ada sianosis
tambahan
6. PaCO2 DBN (35- 6. Monitor
adanya
45)
dispnea dan
7. PaO2 DBN (80- kejadian yang
meningkatkan
104)
dan
memperburuk
keadaan
pasien
7. tidur
menyamping
untuk
mencegah
aspirasi
18
2.5. Implementasi
Implementasi di lakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan pasien.
2.6 Evaluasi
Evaluasi di lakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan pasien.
19
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, S., & Bare. (2008). Brunner & Suddarth’s textbook of medical surgical
nursing. Philadelphia: Lippincott.
Price, S.A & Wilson. (2006). Patofisiologi konsep klinik proses-proses penyakit. Buku 2.
Edisi 6. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Global Strategy For The Diagnosis, Management, And Prevention Of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. (2006). Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease
(GOLD).http://www.acofp.org/education/LV_10/handouts/Fri_3_19_10/11am_Willsie_S
andra_COPD.pdf. Diperoleh tanggal 18 Pebruari 2016
Ignatavicius D., & Workman. (2006). Medical surgical nursing: Critical thinking
forcollaborative care. 5th. St. Louis, Missouri: Elsevier Inc.
Black, J.M., & Hawk,J.H. (2005). Medical surgical nursing clinical management
forcontinuity of care. 7th Edition, St. Louis: Elsevier Saunders
Patrick Davevy. (2005). At a Glance MEDICINE. Alih bahasa Annisa Rahmalia, Cut Novianty.
Jakarta: Erlanga.
20