Anda di halaman 1dari 25

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kedokteran Gigi Forensik

Kedokteran gigi forensik atau odontologi forensik tergolong dalam ilmu

baru yang memanfaatkan pengetahuan dokter gigi untuk melayani sistem hukum.

Di seluruh dunia, dokter gigi berkualifikasi dalam ilmu forensik memberikan

pendapat dalam kasus yang berkaitan dengan identifikasi manusia, analisis

bitemark, trauma kraniofasial dan malpraktik (Hani Al-Amad, 2009).

Odontologi forensik diulasi oleh berbagai topik yang secara luas dapat

diklasifikasikan menjadi identifikasi manusia dan analisis trauma. Namun, tugas

dokter gigi forensik telah diperluas dalam beberapa tahun terakhir untuk

menutupi masalah yang berkaitan dengan pelecehan anak dan kekerasan rumah

tangga beserta kasus kriminal lainnya, perlindungan hak asasi manusia ,dan etika

profesional (Hani Al-Amad, 2009; Taylor, 2009).

Peran setiap ilmuwan forensik adalah untuk mengumpulkan, melestarikan

dan menafsirkan bukti jejak, maka untuk menyampaikan hasilnya kepada otoritas

hukum dalam bentuk laporan. Fungsi-fungsi tersebut memerlukan pengetahuan

dalam menangani TKP dan pengetahuan yang cukup dalam hukum. Odontologi

forensik adalah ilmu forensik yang berkaitan dengan bukti gigi (Hani Al-Amad,

2009).

Identifikasi forensik dengan menggunakan jaringan gigi itu sendiri

sebagai alat identifikasi forensik, merupakan suatu hal yang tidak asing lagi

dilakukan oleh para ahli forensik. Contoh kasus menggunakan jaringan gigi

5
SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
6

untuk identifikasi adalah identifikasi perdana menteri dari India, Rajiv Gandhi,

Agrippina, ibunda dari Kaisar Nero dari Romawi, serta pemimpin Nazi Jerman

Adolf Hitler, yakni dapat diidentifikasi berdasarkan catatan giginya (Mubeen,

2010).

Hal ini mengingat jika dibandingkan dengan jaringan lainnya, gigi

mempunyai keunggulan-keunggulan sebagai berikut:

a. Gigi geligi sebagaimana fingerprint, adalah sesuatu yang khas pada setiap

individu. (Gadro, 1999; McClanahan, 2003). Oleh karena itu, gigi dapat

memberikan petunjuk tentang banyak hal, seperti asal usul ras atau latar

belakang keturunan, umur, jenis kelamin, kehidupan sosial ekonomi atau

riwayat gigi-geligi yang lain (Stimson et al, 1997; Pretty et al, 2001)

b. Medium gigi merupakan sebuah medium yang tidak mudah rusak pada

kebanyakan kasus kematian yang mana akan merusak atau mengubah

jaringan tubuh lainnya (Pretty et al, 2001). Gigi dapat bertahan dari

keadaan yang buruk, erosi, dan suhu yang tinggi. Gigi harus terkena panas

lebih dari 500ºC atau 932ºF untuk bisa diubah menjadi abu (McClanahan,

2003).

Pada era genomic dan proteomic, odontologi forensik menggunakan DNA

dan protein sebagai alat yang khas dalam identifikasi. Genomic dan mtDNA dari

pulpa, dentin, atau sementum gigi juga deskuamasi sel dalam saliva sangat

penting dalam identifikasi forensik (Saxena et al, 2010).

Terkait dengan gigi sebagai sumber DNA yang baik bagi analisis DNA

(Stimson et al, 1997), identifikasi manusia juga sangat bergantung pada kualitas

catatan gigi, namun kedokteran gigi forensik masih bisa memberikan kontribusi

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
7

pada penyelidikan identitas meskipun catatan gigi tidak diketemukan.

Penyelidikan dapat dilakukan melalui profil orang dengan menggunakan fitur

yang berhubungan dengan gigi dan sumber utama terjadinya bekas gigitan atau

bitemark (Hani Al-Amad, 2009).

Demikian, odontologi forensik modern meliputi 5 aspek utama (Ferguson

et al, 2008), yaitu:

1) Identifikasi personal dengan catatan gigi (dental records)

2) DVI pada insiden masal

3) Analisa bitemark manusia

4) Pengidentifikasian dan analisa luka yang berhubungan dengan

kekerasan dalam keluarga

5) Kelalaian profesional dan masalah standar perawatan gigi.

2.2 Bitemark

Gigi sering kali dipakai sebagai senjata dalam tindak kekerasan, baik

digunakan oleh pelaku untuk menyerang sebagai ekspresi rasa dominan,

kemarahan, dan kebiasaan yang liar (Sweet et al, 2001) ataupun sebagai reaksi

pertahanan diri korban dari serangan. Bekas gigitan (bitemark) manusia sering

ditemukan pada kasus pembunuhan, kekerasan seksual, dan kekerasan rumah

tangga (Sweet et al, 1997).

Bitemark adalah luka pada kulit yang membentuk suatu motif atau pola

pada suatu objek yang disebabkan oleh gigitan dari permukaan gigi manusia atau

hewan. ABFO mendefinisikan bitemark sebagai (1) suatu perubahan fisik dalam

medium disebabkan oleh kontak gigi dan (2) pola yang tersisa di suatu obyek atau

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8

jaringan oleh karena struktur gigi hewan atau manusia. ABFO juga menjelaskan

bitemark sebagai "luka berpola melingkar atau oval yang terdiri dari dua bagian

simetris yang berlawanan, berbentuk lengkungan U yang dipisahkan oleh jarak

bebas. Tepi lengkungan bitemark diikuti oleh abrasi, memar, dan/atau laserasi

yang menggambarkan ukuran, bentuk, susunan, dan distribusi karakteristik

permukaan dari gigi manusia yang kontak". Ada banyak perbincangan apakah

bitemark harus ditulis sebagai satu kata atau dua (bite mark) atau ditulis dgn

tanda penghubung (bite-mark), untuk setiap bentuk makna dimengerti dan tata

bahasa yang benar. Beberapa akan mengatakan satu kata adalah lebih baik

sebagai sidik jari adalah satu kata. Orang lain akan lebih memilih dua kata,

seperti dalam tanda alat. Para penulis berpendapat bahwa ini adalah argumen

yang sia-sia dan memilih untuk menggunakan bentuk kata tunggal kecuali dalam

kutipan materi yang menggunakan bentuk lain (Senn et al, 2010).

Sebuah bitemark dapat mengkonfirmasi identifikasi pelaku, waktu dan

umur bitemark, hubungan temporal untuk kejadian tersebut (penculikan,

pembunuhan bayi, pembunuhan, dll), perkiraan jumlah tenaga yang dikerahkan

untuk mengigit dan rasa sakit yang diderita, dan deskripsi fisik gigi pelaku.

Bitemark sangat penting, baik dalam kasus pembunuhan (homicide) ataupun

kasus pembunuhan bayi (infanticide). Pentingnya bitemark tidak boleh

diremehkan (Dorion, 2011).

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
9

Gambar 2.1 Bitemark (Senn et al, 2010)

Gambar 2.2 Bitemark dalam jumlah banyak (Dorion, 2011)

Bergantung pada kekhasan dan karakteristik bentukan gigi pada bitemark,

dari bukti fisik yang ada bisa dibandingkan dengan gigi tersangka untuk

mengetahui orang yang meninggalkan jejak bitemark. Banyak penulis yang

melaporkan adanya problem dalam analisa bitemark karena kulit manusia

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
10

bukanlah medium cetakan gigit yang baik. Selain itu, analisa fisik bitemark

biasanya susah dipecahkan, terutama karena kulit manusia bergelombang,

elastis, dapat terdistorsi, dan dalam keadaan edema (Sweet et al, 2001). Hal ini

juga seringkali bersifat subyektif dan bergantung pada pengalaman dan prosedur

yang digunakan odontologist (Stavrianos et al, 2010) serta tidak sehandal

teknologi identifikasi DNA (Bowers, 2011). Untuk itu, sekarang banyak

investigator yang mempertimbangkan saliva atau air liur yang terdeposit pada

saat mengigit untuk dijadikan cara alternatif pada analisa bitemark, terutama

karena saliva mengandung DNA (Sweet et al, 1999) dan mempunyai konsentrasi

yang cukup untuk DNA typing (Anzai-Kanto et al, 2005).

Bitemark adalah sumber bukti fisik dan biologis (Sweet et al, 2001).

Namun, bitemark yang ditemukan kebanyakan hanya akan menjadi bukti fisik

saja, terutama pada korban hidup yang terlambat mengadukan kasus yang

bersangkutan (Pretty, 2008). Korban hidup mungkin bisa mengidentifikasi pelaku

dan saliva yang terdeposit di lokasi gigitan berpotensi untuk mengkonfirmasi

identitas penggigit melalui identifikasi DNA. Dalam beberapa tahun terakhir

perhatian telah beralih ke penggunaan sampel non-invasif untuk analisis genetik

dan diagnostik, termasuk penggunaan saliva. Saliva manusia sangat berguna

untuk bukti DNA forensik. DNA saliva yang signifikan pada korban yang sudah

mati masih stabil dan dapat diambil 48-60 jam setelah menempel pada kulit,

bergantung pada pengaruh lingkungan (kontaminasi, degradasi, dan proses

pembusukan). Jika luka bitemark pada kulit belum dicuci, DNA pada saliva yang

mengering masih bisa diperoleh hingga batas 72 jam. DNA manusia diekstraksi

dari sel epitel buccal (sebanyak 6-600000) dan sel darah putih (sebanyak 25-

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
11

650000) yang ditemukan dalam saliva yang dapat digunakan dalam berbagai

aplikasi termasuk tes diagnostik, studi epidemiologi, dan survei (Silva et al, 2006;

El-Mogy et al, 2010). Dalam beberapa negara yurisdiksi, pengambilan sampel

saliva dan DNA pada korban hidup masih sangat jarang dilakukan. Tidak

menutup kemungkinan, terkadang korban juga dapat menggigit penyerang.

Segala jejak kasus dan detailnya harus diambil dari korban secara medis dan

secepat mungkin. Odontologist harus memastikan bahwa sampel DNA atau

sampel saliva telah diambil dari luka gigitan. Seringkali pemeriksa medis atau

personel ruang gawat darurat akan dilatih dalam hal yang berkaitan dengan

bukti biologis bitemark untuk mengambil sampel diperlukan (Senn et al, 2010;

Stavrianos et al, 2010; Dorion, 2011).

Cetakan gigi (dental impression) dari korban dapat diambil setelah

korban telah cukup pulih. Hal ini selalu dilakukan atas dasar sukarela dan tidak

ada penemuan kasus dimana korban yang digigit penyerang menolak pencetakan

gigi. Pengambilan foto luka gigitan beberapa hari atau beberapa minggu setelah

kejadian perkara dapat memberikan informasi tambahan (Senn et al, 2010).

2.3 DNA sebagai materi genetik

DNA merupakan pembawa sifat genetik yang akan diwariskan pada

keturunan. DNA yang digunakan sebagai bahan pemeriksaan sidik jari DNA

(DNA fingerprinting) ini ditemukan dalam sel setiap organisme dan mengkodekan

informasi genetik dalam organisme serta bersifat identik di setiap sel dalam satu

individu. Secara kimiawi, molekul DNA merupakan polimer yang sangat stabil

dimana terdiri dari bagian yang dikenal sebagai nukleotida dan membentuk 46

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12

kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom tubuh atau somatik (autosom)

dan sepasang kromosom seks (gonosom) tunggal pada manusia (Kashyap et al,

2004; Snustad et al, 2012). Polimer ini tersusun atas 3 bagian yang spesifik

yakni: phosphate backbone, gula deoxyribose, dan basa nitrogen. Dua komponen

pertama sebagaimana tersebut di atas relatif tetap pada semua individu, yang

membedakan antara individu satu dengan yang lainnya adalah komponen ketiga

atau basa nitrogen. Basa ini terdiri nukleotida yang mempunyai 4 bentuk atau

struktur yang antara lain adalah A, C, G, dan T (Farley et al, 1991; Luftig M.A. et

al, 2001; Stimson et al, 1997; Watson et al, 2004).

Struktur molekul DNA terdiri atas dua rangkaian nukleotida yang

tersusun secara linier, di mana kedua rangkaian nukleotida tersebut saling

berikatan dan berbentuk seperti tali berpilin, sehingga molekul DNA dikatakan

sebagai double helix (heliks ganda). Untuk membentuk rangkaian molekul DNA

heliks ganda, basa nitrogen dari setiap nukleotida berikatan pada rangkaian

lainnya melalui ikatan hidrogen. Pengikatan basa nitrogen dari masing-masing

nukleotida tersebut sangatlah spesifik. Hasil analisa dari komposisi DNA pada

berbagai organisme menunjukkan bahwa jumlah konsentrasi basa A sama dengan

konsentrasi basa T dan jumlah konsentrasi basa C sama dengan basa G. Hal ini

menunjukkan adanya relasi antara basa A dan T, sama halnya dengan basa C

dan G (Snustad et al, 2012) yang kemudian diketemukan bahwa basa A dari satu

nukleotida selalu berikatan dengan basa T dari nukleotida lainnya, sedangkan

basa G selalu berpasangan dengan basa C.

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13

Gambar 2.3 Struktur DNA. A: adenine; C: Cytosine; G: guanine; P: phosphoric acid;


S: sugar (Lijnen, 2001)

Pasangan A dan T terbentuk dengan dua ikatan hidrogen, sedangkan pasangan G

dan C terbentuk dengan tiga ikatan hidrogen. Oleh karena itu pasangan G-C

lebih stabil daripada pasangan A-T (Farley et al, 1991; Stimson et al, 1997;

Lijnen et al, 2001; Watson et al, 2004; Butler, 2005).

DNA yang terdiri dari untaian nukleotida tersebut, di dalam setiap sel

manusia memiliki panjang hampir 3 milyar pasang basa. Sebagai konsekuensi

dari panjangnya untaian tersebut adalah adanya kemungkinan munculnya variasi

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
14

dan perubahan-perubahan kecil pada untaian DNA, di mana variasi dan

perubahan tersebut akan berpengaruh pada fungsi DNA (Luftig et al, 2001). Sifat

polimorfisme (bentuk yang banyak / bervariasi) pada lokus DNA ini diduga

terjadi sebagai akibat dari pertukaran yang tidak sama (unequal exchange) pada

mitosis dan meiosis atau akibat slippage DNA selama proses replikasi (Barsh et

al, 1985; Farley et al, 1991; Kruglyak et al, 1998; Aşıcıoğlu et al, 2004). Sifat

polimorfisme inilah yang digunakan untuk identifikasi manusia, pengujian

paternitas dan diagnosis penyakit genetik (Kashyap et al, 2004).

Polimorfisme pada lokus DNA itu sendiri adalah suatu istilah yang

digunakan untuk menunjukkan adanya suatu bentuk yang berbeda dari satu

struktur dasar yang sama. Jika suatu modifikasi terjadi pada suatu lokus spesifik

dalam suatu populasi, maka lokus tersebut dikatakan polimorfik. Suatu lokus baru

dapat dikatakan sebagai polimorfik, jika alel (kemungkinan sifat alternatif pada

gen atau lokus) yang paling sering ditemukan frekuensinya kurang dari 99% pada

lokus yang bersangkutan, di mana menurut hukum Hardy Weinberg, sekurangnya

2% dari populasi harus heterozigot pada lokus tersebut (Farley et al, 1991).

Perubahan DNA yang terjadi pada dasarnya sangatlah bervariasi, yakni

mulai dari perubahan pada satu basa nukleotida saja, hingga perubahan jumlah

urutan pada basa yang berulang (Farley et al, 1991). Perubahan ini bisa bersifat

nyata (mengubah fenotip), tetapi juga bisa bersifat netral, yang artinya bahwa

perubahan tersebut hanya mengubah genotip saja (tidak mengubah fenotip).

Menurut Butler (2010), secara garis besar polimorfisme DNA dapat dibagi dalam

2 kelompok, yakni:

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15

a. Polimorfisme yang terjadi akibat perubahan urutan basa nukleotidanya

(hal ini dijadikan dasar bagi pemeriksaan SNP dan mtDNA (Børsting et al,

2007) sebagai bagian yang memiliki tingkat polimorfisme tinggi).

b. Polimorfisme yang terjadi karena adanya perbedaan panjang fragmen

DNA (hal ini yang dijadikan dasar dalam pemeriksaan DNA dengan

metode RFLP maupun pemeriksaan dengan teknik STR (Kahsyap et al,

2004)).

Yang dimaksud dengan polimorfisme akibat perubahan urutan basa

adalah suatu polimorfisme yang terjadi sebagai akibat adanya mutasi karena

pengaruh lingkungan, yang menyebabkan terjadinya substitusi atau perubahan

pada suatu urutan basa tertentu (Børsting et al, 2007). Polimorfisme yang terjadi

pada keadaan ini, dapat dideteksi dengan pemeriksaan sequencing langsung

urutan basa yang ada. Cara lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan

dengan sistem dot-blot atau reverse dot-blot, di mana suatu probe yang spesifik

(SSO) digunakan untuk melacak polimorfisme tersebut. Adapun yang termasuk

kelompok ini adalah polimorfisme pada lokus HLA-DQ alfa (Farley et al, 1991;

McKusick, 1997).

Sedang yang dimaksud dengan polimorfisme akibat perbedaan panjang

basa adalah perubahan yang terjadi pada DNA, di mana terdapat bagian DNA

yang biasanya dapat dipotong oleh enzim restriksi endonuklease menjadi tidak

dapat dipotong lagi. Sebagai akibat dari hal ini adalah terjadinya perbedaan

panjang DNA setelah pemotongan dengan enzim restriksi, di mana kondisi ini

dapat diamati pada elektroforesis, yakni berupa pita fragmen yang berbeda

lokasinya. Kebanyakan mutasi ini tidak menimbulkan perubahan fenotip, karena

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16

terjadi pada daerah non coding, di mana seperti gen yang lainnya nukleotida

yang mengalami perubahan ini, diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya

menurut hukum Mendel. Sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk

menganalisis keturunan, termasuk dalam hal ini adalah pemeriksaan DNA

paternitas (Atmadja dkk., 2008).

Pengamatan adanya variasi dan perubahan urutan untai DNA inilah

kemudian dimanfaatkan oleh ahli biologi molekuler termasuk dalam hal ini ahli

forensik molekuler untuk dijadikan sebagai dasar bagi analisis DNA atau DNA

genotyping, termasuk tes paternitas, yang pertama kalinya dimulai pada tahun

1985, dengan menggunakan teknik RFLP. Teknik atau metode ini menggunakan

sebuah enzim restriksi tertentu, yang berfungsi memotong DNA menjadi

potongan-potongan kecil pada sequence tertentu. Potongan-potongan atau

fragmen DNA ini kemudian dilacak dengan pelacak DNA atau DNA probe

(Budowle et al, 1990; Farley et al, 1991; Butler, 2005).

Teknik RFLP ini kemudian populer dalam tahun 1980-an, digunakan

sebagai standar bagi analisis DNA termasuk di bidang forensik, karena

menawarkan tingkat diskriminasi yang tinggi. Meski demikian, pemeriksaan DNA

di bidang forensik dengan metode RFLP pada saat ini mulai "banyak

ditinggalkan". Mengingat metode ini mempersyaratkan DNA dengan jumlah

yang sangat banyak (100 ng - 1 µg) dan berukuran 1000-20000 bp dan DNA

tersebut juga harus tidak mengalami degradasi (Kline et al, 2003; Butler, 2005).

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17

2.4 DNA yang terdegradasi

Laboratorium DNA forensik sering berurusan dengan sampel DNA yang

kurang dari ideal. Materi biologis yang menjadi bukti kejahatan mungkin telah

terpapar lingkungan yang buruk selama berhari-hari, bulan, atau bahkan

bertahun-tahun, contohnya seperti kasus penyelidikan orang yang hilang. Dengan

bertambahnya usia sampel, DNA mulai rusak (terdegradasi) layaknya bahan

kimia lain. Proses ini terjadi secara perlahan jika sampel secara hati-hati

diawetkan. Akan tetapi, proses ini juga dapat terjadi dengan cepat bila sampel

berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, seperti terkena keadaan panas,

lembab, atau terpapar sinar matahari walaupun hanya dalam jangka waktu yang

singkat (Thompson et al, 2003). Para korban pembunuhan biasanya dibawa

keluar dan diletakkan / disembunyikan di tempat yang tetap sampai tubuh mereka

ditemukan. Bukannya diawetkan dalam freezer yang mana dapat menjauhkan

materi biologis dari bahan kimia kaustik (bahan yang dapat membakar kulit)

yang dapat merusaknya, molekul DNA mungkin telah dibiarkan tertinggal

disinari oleh matahari secara langsung atau di dalam hutan lembab (Sensabaugh

et al, 1990; Butler, 2010).

Terlepas dari situasi tersebut, molekul DNA dari TKP berasal dari

lingkungan yang kurang murni, dimana sampel forensik yang didapat seringkali

terkontaminasi dengan bakteri dan jamur, tidak seperti yang biasanya ditemukan

di laboratorium biologi molekuler. Paparan radiasi dan air juga dapat merusak

DNA (Watson et al, 2004). Radiasi dari sinar UV-B (280-315) yang dapat

menimbulkan delesi (hilangnya materi genetik), memicu kehadiran lesi DNA yang

bersifat sitotoksik (merusak sel) dan mutagenik (dapat mengakibatkan mutasi

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
18

genetik) seperti CPDs dan 6-4PPs yang menghalangi polymerase DNA (Lesser et

al, 2004; Watson et al, 2004; Kumari et al, 2008). Air dapat mengakibatkan

proses depurinasi (ikatan basa purin dengan gula deoxyribose dilepas) melalui

reaksi hidrolisis spontan. Rusaknya DNA juga dapat diakibatkan oleh destruksi

oksidatif yang mana dapat mengakibatkan deaminasi (rusaknya asam amino).

Putusnya rantai “double helix” DNA dapat menyebabkan hilangnya informasi

genetik. Selain itu, tingkat keasaman yang tinggi (pH rendah) pun menyebabkan

depurinasi dan kerusakan struktur DNA (Watson et al, 2004; Kumari et al, 2008).

Berkaitan dengan hal tersebut, penemuan sampel biologis mungkin terbatas

dalam hal kuantitas (Butler, 2010). Selain itu, degradasi juga dapat

mengakibatkan reduksi atau hilangnya keutuhan struktur sel beserta kuantitas

dan kualitas DNA genomik (Lee et al, 2010).

Demikian, paparan lingkungan mendegradasi molekul DNA secara acak,

merusaknya menjadi potongan yang lebih kecil. Musuh bagi ketahanan molekul

DNA yang utuh (termasuk air dan enzim) disebut nuclease yang mana dapat

menghancurkan DNA. Nuclease tersebut tersebar dimana-mana dalam alam

bebas. Dengan teknologi yang lebih tua seperti polimorfisme panjang fragmen

restriksi (RFLP), sampel DNA yang rusak parah ini akan sangat sulit untuk

dianalisis dimana pada umumnya, sifat degradasi ini cenderung untuk

mengganggu deteksi sekuen DNA yang lebih panjang daripada sekuen DNA yang

lebih pendek. (Butler, 2010; Thompson et al, 2003).

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
19

Gambar 2.4 Faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan kerusakan DNA (Sensabaugh, 1990).

2.5 Ekstraksi DNA

Sampel biologis yang ditemukan seperti darah, bercak darah, semen,

bercak semen, gigi, saliva, dan bekas gigitan (bitemark) mengandung sejumlah

substansi selain DNA. Sasaran utama dari proses isolasi ini adalah memperoleh

produksi maksimum dari berat molekul DNA yang besar tanpa protein lain dan

enzim penghambat lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, molekul DNA harus

dipisahkan dari materi seluler lain sebelum molekul-molekul tersebut dapat diuji.

Protein seluler yang membungkus dan melindungi DNA dalam sel dapat

menghambat analisa DNA. Oleh karena itu, metode-metode ekstraksi DNA dibuat

untuk memisahkan protein-protein dan materi seluler lain dari molekul DNA.

Idealnya, metode ekstraksi haruslah sedeharna dan murah untuk dipraktekkan

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
20

(Budowle et al, 2000). Selain itu, kualitas dan kuantitas DNA juga perlu

diperhatikan sebelum menjalani proses lebih lanjut untuk memastikan hasil yang

optimal. Semua sampel juga harus ditangani dengan hati-hati untuk menghindari

kontaminasi antar sampel. (Butler, 2005; Farley et al, 1991)

2.6 Metode Ekstraksi DNA di bidang forensik

Ada tiga teknik utama ekstraksi DNA yang digunakan di laboraturium-

laboraturium DNA forensik. Ketiga teknik utama tersebut adalah: ekstraksi

organik, ekstraksi chelex, dan “FTA paper” (Butler, 2005).

Metode yang tergolong murah dibandingkan dengan metode lainnya

adalah ekstraksi organik (Mülhardt, 2007). Ekstraksi organik terkadang juga

disebut “phenol chloroform extraction”. Metode ekstraksi DNA ini merupakan

salah satu metode standar dalam bidang forensik. Selain itu, sudah dipakai dalam

waktu yang lama dan dipakai bilamana metode typing RFLP dan PCR dilakukan

sehubungan dengan adanya kecocokan metode ini dengan berbagai prosedur

typing (Budowle et al, 2000; Butler, 2005).

Metode ekstraksi organik menghasilkan DNA dengan kemurnian yang

tinggi. Metode ekstraksi ini melibatkan penambahan beberapa zat kimia. Pertama,

SDS dan proteinase K ditambahkan untuk merusak dan membuka dinding sel juga

untuk merusak protein-protein yang melindungi molekul DNA saat berada di

dalam kromosom. Selanjutnya, campuran fenol-kloroform ditambahkan, dimana

fenol alat denaturasi yang baik untuk memisahkan protein-protein dari molekul

DNA dan kloroform berfungsi untuk memisahkan fenol yang tersisa (Budowle et

al, 2000; Moore et al, 2004; Butler, 2005).

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
21

Gambar 2.5 Proses ekstraksi DNA yang sering dipakai (Buttler, 2005).

Seperti yang telah disinggung di atas, metode ekstraksi organik adalah

pilihan yang tepat untuk menghasilkan DNA dengan kualitas tinggi dan telah

teruji dengan baik. Meskipun cara ini mengandung zat yang berbahaya serta

memakan waktu dan tenaga, kemurnian DNA yang diekstraksi lebih tinggi

dibandingkan metode lainnya. Tidak hanya itu, metode ini juga dapat

dipergunakan pada berbagai tipe jaringan dan berbagai sistem analisis. Jumlah

protein yang dipisahkan dari molekul DNA lebih banyak daripada metode lainnya

(Budowle et al, 2000; Mülhardt, 2007; Embar-Seddon et al, 2009).

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
22

2.7 Kuantifikasi DNA

Setelah DNA telah diisolasi, penganalisa harus mengukur (kuantifikasi)

DNA dan mengencerkannya pada jumlah yang telah ditetapkan supaya dapat

diamplifikasi. Penganalisa dapat memperkirakan konsentrasi DNA menggunakan

gel agarose, fluorometry, atau spectrophotometry (Embar-Seddon et al, 2009).

Metode yang paling akurat untuk mengukur sampel larutan DNA dan RNA

adalah dengan mengukur absorbansi atau optical density (sebuah ukuran untuk

penyerapan larutan sampel terhadap cahaya, tidak memiliki satuan, dan diukur

menggunakan spectrophotometer) dengan UV-spectrophotometry (Gerstein,

2001).

2.8 Polymerase Chain Reaction

Penemuan PCR oleh Kary Mullis pada tahun 1986 yang dikutip oleh

Butler, memulai suatu babak baru bagi penggunaan DNA sebagai bahan human

DNA genotyping. Hal ini mengingat adanya keiistimewaan sensitivitas dari reaksi

rantai polimerase (PCR) yang memungkinkan analisis DNA dari sampel dengan

jumlah sebanyak satu sel tunggal saja pada zaman sekarang (Butler, 2003).

Tingkat diskriminasi metode PCR forensik tidak setinggi analisis RFLP, tetapi

dengan jumlah DNA yang "sedikit" (rata-rata sekitar satu nanogram DNA atau

1% dari yang dibutuhkan oleh analisis RFLP), PCR mampu menggandakan DNA

berlipat-lipat jumlahnya untuk analisis DNA (Stimson et al, 1997; Butler, 2005).

Teknik PCR memiliki 2 keuntungan. Pertama, analisa dapat dilakukan

dengan DNA dalam jumlah sedikit. Karena hal itu, informasi dapat diperoleh dari

bukti sampel seperti folikel rambut, bercak sperma yang tak terlihat, hasil sekaan

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
23

dari bitemark, dan sampel biologis kecil lain. Kedua, amplifikasi dapat dilakukan

pada materi yang sangat tua atau DNA tergradasi (Dorion, 2011).

Prinsip dasar PCR adalah amplifikasi eksponensial yang selektif terhadap

fragmen DNA tertentu. Amplifikasi dilakukan dengan enzim polimerase DNA

termostabil, sepasang primer oligonukleotida dan dNTP baku (standar) yang

tergabung (incorporated) dalam DNA yang baru disintesis. Reaksi spesifik

dikontrol oleh untai oligonukleotida DNA dan direplikasi langsung dari

intervening regio. Reaksi terjadi secara eksponensial dan urutan sasaran asli

diamplifikasi dalam jutaan kali atau lebih dalam beberapa jam saja (Butler,

2005).

Kekhasan reaksi PCR ditentukan oleh primer oligonukleotida yang

melakukan hibridisasi terhadap lawan untai DNA sasaran dan secara langsung

menghasilkan replikasi dari daerah yang bersangkutan (intervening region).

Cara reaksi PCR sederhana yaitu sintesis DNA diarahkan oleh primer (primer

directed DNA synthesis) dengan proses secara berulang-ulang dalam 30-40 seri

(siklus). Pada beberapa jam sasaran amplifikasi menghasilkan DNA berlipat juta

atau lebih. Proses amplifikasi ini memerlukan primer oligonukleotida, enzim

termostabil DNA polimerase (Taq DNA polymerase dari Thermus Aquaticus yang

mana dapat bertahan pada temperature yang tinggi) dan 4 deoksi-ribo-nukleotida

trifosfatase untuk sintesis DNA sasaran (Bartlett et al, 2003; Butler, 2005).

Reaksi PCR ini dilakukan berdasarkan pengulangan siklus dengan

berbagai tingkatan:

a. Tingkat pertama denaturasi DNA dengan pemanasan

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
24

b. Tingkat kedua anealling dari satu atau dua untaian (strand) cetakan

(template)

c. Tingkat ketiga adalah pemanjangan (extension) pada ujung urutan ke

3' (sequence 3‘) dari DNA polymerase.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, telah ditemukan adanya jenis

AmFLP lain, yang agak berbeda dan dikenal sebagai VNTR. VNTR ini

merupakan bagian dari DNA yang terdiri dari urutan basa tertentu (core

sequences), yang berulang dengan jumlah perulangan yang berbeda-beda antara

seseorang dengan orang lain. Daerah (region) dengan core sequences lebih dari

7 bp atau 8-100 bp dikenal dengan istilah "minisatellite" atau disebut dengan

LTR (Kinra, 2006; Butler, 2010). Sedangkan daerah DNA dengan core sequences

antara 2 sampai 7 bp (basepair), dikenal dengan istilah "microsatellite" atau

disebut dengan STR (Budowle et al, 2000; Butler, 2010). Oleh karena banyaknya

jumlah alel yang ada, maka tiap alel relatif jarang ditemukan dalam populasi.

Sehingga polimorfisme ini amat informatif digunakan sebagai pembeda genetik

antar individu (Stimson et al, 1997).

2.9 Short Tandem Repeat

Seperti telah disinggung di atas bahwa genom eukariotik penuh dengan

rangkaian pengulangan DNA. Unit-unit perulangan panjang bisa mengandung

beberapa ratus, hingga beberapa ribu dalam pengulangan inti. Jumlah

pengulangan dalam marker (penanda) STR (Short Tandem Repeat) atau

“microsatellite” sangatlah beragam diantara individu. Polimorfisme Short

Tandem Repeat (STR) telah menjadi alat yang ampuh untuk identifikasi manusia,

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
25

pemetaan kromosom dan analisis keterkaitan gen, beserta studi evolusi molekuler

dan genetika populasi (Brinkmann et al, 1998; Budowle et al, 2000). Saat ini

Short Tandem Repeat (STR) sangat popular dalam DNA typing untuk tes

paternitas karena tingkat pembedaannya yang tinggi dimana hal tersebut juga

sangat efektif untuk digunakan sebagai alat identifikasi manusia (Butler, 2003;

Atmadja dkk., 2008). Diantara beberapa jenis penanda STR, identifikasi manusia

menggunakan perulangan tetranukleotida (core sequencenya 4 bp) menjadi lebih

populer daripada dinukleotida atau trinukleotida (Butler, 2003).

FBI sendiri telah menetapkan 13 lokus (posisi kromosom / lokasi gen /

DNA marker) STR sebagai sebuah sistem identifikasi DNA forensik nasional.

Ketigabelas lokus STR tersebut meliputi: TH01, TPOX, CSF1PO, vWA, FGA,

D3S1358, D5S818, D13S317, D16S539, D8S1179, D18S51 dan D21S11,

ditambah dengan marker amelogenin, yang digunakan untuk penentuan jenis

kelamin korban. Adapun EDNAP dan ENFSI, menetapkan 4 lokus atau loci

standar yang digunakan, yakni HUMTH01, HUMVWFA31, D21S11 dan

HUMFIBRA/FGA dan D3S1358, D8S117, D18S51 (Butler, 2005). CSF1PO,

TH01, TPOX dan vWA digunakan secara meluas pada awal munculnya sistem

STR. (Kashyap et al, 2004; Butler, 2005).

2.10 Lokus TH01

Gen Tyrosine Hydroxylase dikodekan TH, merupakan enzim pengatur

jumlah sintesis molekul katekolamin yang diproduksi melalui sistem saraf

simpatetik sebagai respon terhadap stress (Tan et al, 2002).

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
26

Gen Tyrosine Hydroxylase manusia terdapat pada kromosom 11p15 dan

terdiri dari 14 ekson dan 13 intron (Hanaoka et al, 2003). Lokus TH01 terletak

dalam intron 1 dari gen Tyrosine Hydroxylase (TH) dengan kategori “non-

consensus repeats” (Butler, 2005). TH01 mempunyai sebutan lain, yaitu

HUMTH01 dimana HUM menandakan genom yang berasal dari manusia. STR

tetranukleotida sederhana ini adalah salah satu dari 13 lokus STR utama (Butler,

2005). Lokus ini memiliki 179-203 bp (Butler, 2010).

2.11 Lokus vWA

Kepanjangan dari vWA adalah “Von Willebrand factor type A”. Sebutan

lain dari vWA adalah HumvWA31 dan HUMvwFA31. Lokus vWA terletak pada

kromosom 12p12-pter (Kimpton et al, 1993) di intron ke-40 (Butler, 2006). Lokus

ini memiliki 131-171 bp (Butler, 2010).

vWA semula ditemukan pada protein koagulasi darah “von Willebrand

factor” (vWF). Penemuan itu memunculkan minat yang besar karena

penyebarannya luas dan keterlibatannya dalam berbagai fungsi seluler penting.

Terkait dalam pembentukan membran basal, migrasi sel, diferensiasi sel, adhesi,

hemostasis, sinyal, stabilitas kromosom, transformasi maligna dan dalam

pertahanan imun (NCBI, 2008).

2.12 Elektroforesis

Reaksi PCR yang mana mengamplifikasi alel STR, memproduksi campuran

molekul DNA yang harus dipisahkan. Dalam membedakan molekul-molekul antar

satu sama lain, prosedur pemisahan diperlukan untuk memisahkan fragmen-

fragmen yang berbeda ukurannya. Pemisahan ini dilakukan melalui sebuah proses

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
27

yang dikenal dengan nama elektroforesis dan juga dikonduksi dalam medium

“slab-gel” atau kapiler (Butler, 2005). Proses elektroforesis ini kemudian diikuti

oleh deteksi molekul DNA dengan menggunakan sebuah metode pengecatan

seperti teknik fluorescence dan silver staining (Budowle et al, 2000).

Elektroforesis berasal dari kata “electron” dan “phore”. Oleh karena itu,

elektroforesis berkenaan dengan muatan elektrik yang dibawa oleh molekul.

Prosedur pemisahan ini menggunakan medan elektrik untuk memisahkan dan

menganalisa molekul-molekul yang bermuatan elektrik berdasarkan ukuran,

bentuk. Dalam pengaruh medan elektrik, molekul-molekul biologis seperti

karbohidrat, protein, RNA, dan DNA akan bergerak menjauh dari elektroda

negatif (katoda) dan bergerak menuju elektroda positif (anoda). Semakin tinggi

voltasinya, semakin besar gaya yang dialami oleh molekul DNA, dan semakin

cepat molekul DNA bergerak (Butler, 2005; Embar-Seddon et al, 2009).

Pergerakan ion dalam medan elektrik menimbulkan panas. Panas tersebut

harus dihilangkan atau akan diserap oleh sistem. Panas yang berlebihan dapat

mengakibatkan gel pecah dan meleleh (Butler, 2005).

Gambar 2.6 Format dasar dari sistem gel elektroforesis (Butler, 2005).

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
28

Slab-gel elektroforesis terdiri dari matriks yang solid dengan susunan pori-

pori dan larutan buffer yang mana akan dilalui oleh molekul DNA selama proses

elektroforesis. Material gel dicampur dan dituang ke dalam cetakan untuk

menetapkan struktur dari slab-gel. Sebuah “comb” sampel diletakkan ke dalam

gel. Setelah gel memadat, “comb” sampel diambil, meninggalkan tempat yang

akan dipakai untuk pengisian sampel DNA (Butler, 2005; Embar-Seddon et al,

2009).

Gambar 2.7 Gel yang sedang dioperasikan (Pudji Rahayu, 2011).

Gel atau larutan polimer akan menghambat molekul-molekul DNA yang

berukuran lebih besar ketika melewati medium pemisah tersebut. Molekul-molekul

DNA yang lebih kecil akan luput masuk dengan cepat. Jadi, gel berfungsi sebagai

penyaring molekuler dengan pori-pori yang dapat dilalui oleh molekul DNA yang

berdasarkan ukuran tertentu karena molekul yang lebih besar lebih mudah

dihambat daripada molekul yang kecil (Butler, 2005).

Terdapat 2 mekanisme utama untuk separasi DNA yang menggunakan

pori-pori gel: Model Ogston dan “Reptation”. Kedua teori ini dioperasikan dalam

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA


ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
29

rezim perbedaan ukuran. Model Ogston mendeskripsikan sifat molekul-molekul

DNA yang lebih kecil dari pori-pori gel, sedangkan “reptation” mendeskripsikan

pergerakan molekul-molekul DNA yang lebih besar dari pori-pori gel (Butler,

2005).

Salah satu kriteria lokus STR untuk identifikasi manusia adalah panjang alel

STR yang mempunyai ukuran berkisar 90-500 bp, yang mana lebih cocok untuk

analisis sampel DNA yang terdegradasi. Berkenaan dengan hal tersebut,

pemecahan basa tunggal dari fragmen DNA berukuran dibawah 500 bp dapat

dilaksanakan lebih mudah dengan menggunakan elektroforesis “polyacrylamide

gel” (Butler, 2005).

Gambar 2.8 Ilustrasi pemisahan DNA dalam gel elektroforesis. (a) Separasi berdasarkan ukuran
molekul DNA (b) Penyaringan Ogston dan “reptation" (Butler, 2005)

SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA

Anda mungkin juga menyukai