BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
baru yang memanfaatkan pengetahuan dokter gigi untuk melayani sistem hukum.
Odontologi forensik diulasi oleh berbagai topik yang secara luas dapat
dokter gigi forensik telah diperluas dalam beberapa tahun terakhir untuk
menutupi masalah yang berkaitan dengan pelecehan anak dan kekerasan rumah
tangga beserta kasus kriminal lainnya, perlindungan hak asasi manusia ,dan etika
dan menafsirkan bukti jejak, maka untuk menyampaikan hasilnya kepada otoritas
dalam menangani TKP dan pengetahuan yang cukup dalam hukum. Odontologi
forensik adalah ilmu forensik yang berkaitan dengan bukti gigi (Hani Al-Amad,
2009).
sebagai alat identifikasi forensik, merupakan suatu hal yang tidak asing lagi
dilakukan oleh para ahli forensik. Contoh kasus menggunakan jaringan gigi
5
SKRIPSI APLIKASI METODE EKSTRAKSI ... MICHAEL WIDJAJA
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
6
untuk identifikasi adalah identifikasi perdana menteri dari India, Rajiv Gandhi,
Agrippina, ibunda dari Kaisar Nero dari Romawi, serta pemimpin Nazi Jerman
2010).
a. Gigi geligi sebagaimana fingerprint, adalah sesuatu yang khas pada setiap
individu. (Gadro, 1999; McClanahan, 2003). Oleh karena itu, gigi dapat
memberikan petunjuk tentang banyak hal, seperti asal usul ras atau latar
riwayat gigi-geligi yang lain (Stimson et al, 1997; Pretty et al, 2001)
b. Medium gigi merupakan sebuah medium yang tidak mudah rusak pada
jaringan tubuh lainnya (Pretty et al, 2001). Gigi dapat bertahan dari
keadaan yang buruk, erosi, dan suhu yang tinggi. Gigi harus terkena panas
lebih dari 500ºC atau 932ºF untuk bisa diubah menjadi abu (McClanahan,
2003).
dan protein sebagai alat yang khas dalam identifikasi. Genomic dan mtDNA dari
pulpa, dentin, atau sementum gigi juga deskuamasi sel dalam saliva sangat
Terkait dengan gigi sebagai sumber DNA yang baik bagi analisis DNA
(Stimson et al, 1997), identifikasi manusia juga sangat bergantung pada kualitas
catatan gigi, namun kedokteran gigi forensik masih bisa memberikan kontribusi
yang berhubungan dengan gigi dan sumber utama terjadinya bekas gigitan atau
2.2 Bitemark
Gigi sering kali dipakai sebagai senjata dalam tindak kekerasan, baik
kemarahan, dan kebiasaan yang liar (Sweet et al, 2001) ataupun sebagai reaksi
pertahanan diri korban dari serangan. Bekas gigitan (bitemark) manusia sering
Bitemark adalah luka pada kulit yang membentuk suatu motif atau pola
pada suatu objek yang disebabkan oleh gigitan dari permukaan gigi manusia atau
hewan. ABFO mendefinisikan bitemark sebagai (1) suatu perubahan fisik dalam
medium disebabkan oleh kontak gigi dan (2) pola yang tersisa di suatu obyek atau
jaringan oleh karena struktur gigi hewan atau manusia. ABFO juga menjelaskan
bitemark sebagai "luka berpola melingkar atau oval yang terdiri dari dua bagian
bebas. Tepi lengkungan bitemark diikuti oleh abrasi, memar, dan/atau laserasi
permukaan dari gigi manusia yang kontak". Ada banyak perbincangan apakah
bitemark harus ditulis sebagai satu kata atau dua (bite mark) atau ditulis dgn
tanda penghubung (bite-mark), untuk setiap bentuk makna dimengerti dan tata
bahasa yang benar. Beberapa akan mengatakan satu kata adalah lebih baik
sebagai sidik jari adalah satu kata. Orang lain akan lebih memilih dua kata,
seperti dalam tanda alat. Para penulis berpendapat bahwa ini adalah argumen
yang sia-sia dan memilih untuk menggunakan bentuk kata tunggal kecuali dalam
untuk mengigit dan rasa sakit yang diderita, dan deskripsi fisik gigi pelaku.
dari bukti fisik yang ada bisa dibandingkan dengan gigi tersangka untuk
bukanlah medium cetakan gigit yang baik. Selain itu, analisa fisik bitemark
elastis, dapat terdistorsi, dan dalam keadaan edema (Sweet et al, 2001). Hal ini
juga seringkali bersifat subyektif dan bergantung pada pengalaman dan prosedur
investigator yang mempertimbangkan saliva atau air liur yang terdeposit pada
saat mengigit untuk dijadikan cara alternatif pada analisa bitemark, terutama
karena saliva mengandung DNA (Sweet et al, 1999) dan mempunyai konsentrasi
Bitemark adalah sumber bukti fisik dan biologis (Sweet et al, 2001).
Namun, bitemark yang ditemukan kebanyakan hanya akan menjadi bukti fisik
saja, terutama pada korban hidup yang terlambat mengadukan kasus yang
untuk bukti DNA forensik. DNA saliva yang signifikan pada korban yang sudah
mati masih stabil dan dapat diambil 48-60 jam setelah menempel pada kulit,
pembusukan). Jika luka bitemark pada kulit belum dicuci, DNA pada saliva yang
mengering masih bisa diperoleh hingga batas 72 jam. DNA manusia diekstraksi
dari sel epitel buccal (sebanyak 6-600000) dan sel darah putih (sebanyak 25-
650000) yang ditemukan dalam saliva yang dapat digunakan dalam berbagai
aplikasi termasuk tes diagnostik, studi epidemiologi, dan survei (Silva et al, 2006;
saliva dan DNA pada korban hidup masih sangat jarang dilakukan. Tidak
Segala jejak kasus dan detailnya harus diambil dari korban secara medis dan
sampel saliva telah diambil dari luka gigitan. Seringkali pemeriksa medis atau
personel ruang gawat darurat akan dilatih dalam hal yang berkaitan dengan
bukti biologis bitemark untuk mengambil sampel diperlukan (Senn et al, 2010;
korban telah cukup pulih. Hal ini selalu dilakukan atas dasar sukarela dan tidak
ada penemuan kasus dimana korban yang digigit penyerang menolak pencetakan
gigi. Pengambilan foto luka gigitan beberapa hari atau beberapa minggu setelah
keturunan. DNA yang digunakan sebagai bahan pemeriksaan sidik jari DNA
(DNA fingerprinting) ini ditemukan dalam sel setiap organisme dan mengkodekan
informasi genetik dalam organisme serta bersifat identik di setiap sel dalam satu
individu. Secara kimiawi, molekul DNA merupakan polimer yang sangat stabil
dimana terdiri dari bagian yang dikenal sebagai nukleotida dan membentuk 46
kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom tubuh atau somatik (autosom)
dan sepasang kromosom seks (gonosom) tunggal pada manusia (Kashyap et al,
2004; Snustad et al, 2012). Polimer ini tersusun atas 3 bagian yang spesifik
yakni: phosphate backbone, gula deoxyribose, dan basa nitrogen. Dua komponen
pertama sebagaimana tersebut di atas relatif tetap pada semua individu, yang
membedakan antara individu satu dengan yang lainnya adalah komponen ketiga
atau basa nitrogen. Basa ini terdiri nukleotida yang mempunyai 4 bentuk atau
struktur yang antara lain adalah A, C, G, dan T (Farley et al, 1991; Luftig M.A. et
berikatan dan berbentuk seperti tali berpilin, sehingga molekul DNA dikatakan
sebagai double helix (heliks ganda). Untuk membentuk rangkaian molekul DNA
heliks ganda, basa nitrogen dari setiap nukleotida berikatan pada rangkaian
nukleotida tersebut sangatlah spesifik. Hasil analisa dari komposisi DNA pada
konsentrasi basa T dan jumlah konsentrasi basa C sama dengan basa G. Hal ini
menunjukkan adanya relasi antara basa A dan T, sama halnya dengan basa C
dan G (Snustad et al, 2012) yang kemudian diketemukan bahwa basa A dari satu
dan C terbentuk dengan tiga ikatan hidrogen. Oleh karena itu pasangan G-C
lebih stabil daripada pasangan A-T (Farley et al, 1991; Stimson et al, 1997;
DNA yang terdiri dari untaian nukleotida tersebut, di dalam setiap sel
perubahan tersebut akan berpengaruh pada fungsi DNA (Luftig et al, 2001). Sifat
polimorfisme (bentuk yang banyak / bervariasi) pada lokus DNA ini diduga
terjadi sebagai akibat dari pertukaran yang tidak sama (unequal exchange) pada
mitosis dan meiosis atau akibat slippage DNA selama proses replikasi (Barsh et
al, 1985; Farley et al, 1991; Kruglyak et al, 1998; Aşıcıoğlu et al, 2004). Sifat
Polimorfisme pada lokus DNA itu sendiri adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menunjukkan adanya suatu bentuk yang berbeda dari satu
struktur dasar yang sama. Jika suatu modifikasi terjadi pada suatu lokus spesifik
dalam suatu populasi, maka lokus tersebut dikatakan polimorfik. Suatu lokus baru
dapat dikatakan sebagai polimorfik, jika alel (kemungkinan sifat alternatif pada
gen atau lokus) yang paling sering ditemukan frekuensinya kurang dari 99% pada
2% dari populasi harus heterozigot pada lokus tersebut (Farley et al, 1991).
mulai dari perubahan pada satu basa nukleotida saja, hingga perubahan jumlah
urutan pada basa yang berulang (Farley et al, 1991). Perubahan ini bisa bersifat
nyata (mengubah fenotip), tetapi juga bisa bersifat netral, yang artinya bahwa
Menurut Butler (2010), secara garis besar polimorfisme DNA dapat dibagi dalam
2 kelompok, yakni:
(hal ini dijadikan dasar bagi pemeriksaan SNP dan mtDNA (Børsting et al,
DNA (hal ini yang dijadikan dasar dalam pemeriksaan DNA dengan
2004)).
adalah suatu polimorfisme yang terjadi sebagai akibat adanya mutasi karena
pada suatu urutan basa tertentu (Børsting et al, 2007). Polimorfisme yang terjadi
urutan basa yang ada. Cara lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
dengan sistem dot-blot atau reverse dot-blot, di mana suatu probe yang spesifik
kelompok ini adalah polimorfisme pada lokus HLA-DQ alfa (Farley et al, 1991;
McKusick, 1997).
basa adalah perubahan yang terjadi pada DNA, di mana terdapat bagian DNA
yang biasanya dapat dipotong oleh enzim restriksi endonuklease menjadi tidak
dapat dipotong lagi. Sebagai akibat dari hal ini adalah terjadinya perbedaan
panjang DNA setelah pemotongan dengan enzim restriksi, di mana kondisi ini
dapat diamati pada elektroforesis, yakni berupa pita fragmen yang berbeda
terjadi pada daerah non coding, di mana seperti gen yang lainnya nukleotida
yang mengalami perubahan ini, diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya
kemudian dimanfaatkan oleh ahli biologi molekuler termasuk dalam hal ini ahli
forensik molekuler untuk dijadikan sebagai dasar bagi analisis DNA atau DNA
genotyping, termasuk tes paternitas, yang pertama kalinya dimulai pada tahun
1985, dengan menggunakan teknik RFLP. Teknik atau metode ini menggunakan
fragmen DNA ini kemudian dilacak dengan pelacak DNA atau DNA probe
di bidang forensik dengan metode RFLP pada saat ini mulai "banyak
yang sangat banyak (100 ng - 1 µg) dan berukuran 1000-20000 bp dan DNA
tersebut juga harus tidak mengalami degradasi (Kline et al, 2003; Butler, 2005).
kurang dari ideal. Materi biologis yang menjadi bukti kejahatan mungkin telah
kimia lain. Proses ini terjadi secara perlahan jika sampel secara hati-hati
diawetkan. Akan tetapi, proses ini juga dapat terjadi dengan cepat bila sampel
berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, seperti terkena keadaan panas,
lembab, atau terpapar sinar matahari walaupun hanya dalam jangka waktu yang
keluar dan diletakkan / disembunyikan di tempat yang tetap sampai tubuh mereka
materi biologis dari bahan kimia kaustik (bahan yang dapat membakar kulit)
disinari oleh matahari secara langsung atau di dalam hutan lembab (Sensabaugh
Terlepas dari situasi tersebut, molekul DNA dari TKP berasal dari
lingkungan yang kurang murni, dimana sampel forensik yang didapat seringkali
terkontaminasi dengan bakteri dan jamur, tidak seperti yang biasanya ditemukan
di laboratorium biologi molekuler. Paparan radiasi dan air juga dapat merusak
DNA (Watson et al, 2004). Radiasi dari sinar UV-B (280-315) yang dapat
menimbulkan delesi (hilangnya materi genetik), memicu kehadiran lesi DNA yang
genetik) seperti CPDs dan 6-4PPs yang menghalangi polymerase DNA (Lesser et
al, 2004; Watson et al, 2004; Kumari et al, 2008). Air dapat mengakibatkan
proses depurinasi (ikatan basa purin dengan gula deoxyribose dilepas) melalui
reaksi hidrolisis spontan. Rusaknya DNA juga dapat diakibatkan oleh destruksi
genetik. Selain itu, tingkat keasaman yang tinggi (pH rendah) pun menyebabkan
depurinasi dan kerusakan struktur DNA (Watson et al, 2004; Kumari et al, 2008).
dalam hal kuantitas (Butler, 2010). Selain itu, degradasi juga dapat
merusaknya menjadi potongan yang lebih kecil. Musuh bagi ketahanan molekul
DNA yang utuh (termasuk air dan enzim) disebut nuclease yang mana dapat
bebas. Dengan teknologi yang lebih tua seperti polimorfisme panjang fragmen
restriksi (RFLP), sampel DNA yang rusak parah ini akan sangat sulit untuk
mengganggu deteksi sekuen DNA yang lebih panjang daripada sekuen DNA yang
Gambar 2.4 Faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan kerusakan DNA (Sensabaugh, 1990).
bercak semen, gigi, saliva, dan bekas gigitan (bitemark) mengandung sejumlah
substansi selain DNA. Sasaran utama dari proses isolasi ini adalah memperoleh
produksi maksimum dari berat molekul DNA yang besar tanpa protein lain dan
enzim penghambat lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, molekul DNA harus
dipisahkan dari materi seluler lain sebelum molekul-molekul tersebut dapat diuji.
Protein seluler yang membungkus dan melindungi DNA dalam sel dapat
menghambat analisa DNA. Oleh karena itu, metode-metode ekstraksi DNA dibuat
untuk memisahkan protein-protein dan materi seluler lain dari molekul DNA.
(Budowle et al, 2000). Selain itu, kualitas dan kuantitas DNA juga perlu
diperhatikan sebelum menjalani proses lebih lanjut untuk memastikan hasil yang
optimal. Semua sampel juga harus ditangani dengan hati-hati untuk menghindari
salah satu metode standar dalam bidang forensik. Selain itu, sudah dipakai dalam
waktu yang lama dan dipakai bilamana metode typing RFLP dan PCR dilakukan
tinggi. Metode ekstraksi ini melibatkan penambahan beberapa zat kimia. Pertama,
SDS dan proteinase K ditambahkan untuk merusak dan membuka dinding sel juga
fenol alat denaturasi yang baik untuk memisahkan protein-protein dari molekul
DNA dan kloroform berfungsi untuk memisahkan fenol yang tersisa (Budowle et
Gambar 2.5 Proses ekstraksi DNA yang sering dipakai (Buttler, 2005).
pilihan yang tepat untuk menghasilkan DNA dengan kualitas tinggi dan telah
teruji dengan baik. Meskipun cara ini mengandung zat yang berbahaya serta
memakan waktu dan tenaga, kemurnian DNA yang diekstraksi lebih tinggi
dibandingkan metode lainnya. Tidak hanya itu, metode ini juga dapat
dipergunakan pada berbagai tipe jaringan dan berbagai sistem analisis. Jumlah
protein yang dipisahkan dari molekul DNA lebih banyak daripada metode lainnya
DNA dan mengencerkannya pada jumlah yang telah ditetapkan supaya dapat
Metode yang paling akurat untuk mengukur sampel larutan DNA dan RNA
adalah dengan mengukur absorbansi atau optical density (sebuah ukuran untuk
penyerapan larutan sampel terhadap cahaya, tidak memiliki satuan, dan diukur
2001).
Penemuan PCR oleh Kary Mullis pada tahun 1986 yang dikutip oleh
Butler, memulai suatu babak baru bagi penggunaan DNA sebagai bahan human
DNA genotyping. Hal ini mengingat adanya keiistimewaan sensitivitas dari reaksi
rantai polimerase (PCR) yang memungkinkan analisis DNA dari sampel dengan
jumlah sebanyak satu sel tunggal saja pada zaman sekarang (Butler, 2003).
Tingkat diskriminasi metode PCR forensik tidak setinggi analisis RFLP, tetapi
dengan jumlah DNA yang "sedikit" (rata-rata sekitar satu nanogram DNA atau
1% dari yang dibutuhkan oleh analisis RFLP), PCR mampu menggandakan DNA
berlipat-lipat jumlahnya untuk analisis DNA (Stimson et al, 1997; Butler, 2005).
dengan DNA dalam jumlah sedikit. Karena hal itu, informasi dapat diperoleh dari
bukti sampel seperti folikel rambut, bercak sperma yang tak terlihat, hasil sekaan
dari bitemark, dan sampel biologis kecil lain. Kedua, amplifikasi dapat dilakukan
pada materi yang sangat tua atau DNA tergradasi (Dorion, 2011).
intervening regio. Reaksi terjadi secara eksponensial dan urutan sasaran asli
diamplifikasi dalam jutaan kali atau lebih dalam beberapa jam saja (Butler,
2005).
melakukan hibridisasi terhadap lawan untai DNA sasaran dan secara langsung
Cara reaksi PCR sederhana yaitu sintesis DNA diarahkan oleh primer (primer
directed DNA synthesis) dengan proses secara berulang-ulang dalam 30-40 seri
(siklus). Pada beberapa jam sasaran amplifikasi menghasilkan DNA berlipat juta
termostabil DNA polimerase (Taq DNA polymerase dari Thermus Aquaticus yang
trifosfatase untuk sintesis DNA sasaran (Bartlett et al, 2003; Butler, 2005).
berbagai tingkatan:
b. Tingkat kedua anealling dari satu atau dua untaian (strand) cetakan
(template)
AmFLP lain, yang agak berbeda dan dikenal sebagai VNTR. VNTR ini
merupakan bagian dari DNA yang terdiri dari urutan basa tertentu (core
seseorang dengan orang lain. Daerah (region) dengan core sequences lebih dari
LTR (Kinra, 2006; Butler, 2010). Sedangkan daerah DNA dengan core sequences
disebut dengan STR (Budowle et al, 2000; Butler, 2010). Oleh karena banyaknya
jumlah alel yang ada, maka tiap alel relatif jarang ditemukan dalam populasi.
Tandem Repeat (STR) telah menjadi alat yang ampuh untuk identifikasi manusia,
pemetaan kromosom dan analisis keterkaitan gen, beserta studi evolusi molekuler
dan genetika populasi (Brinkmann et al, 1998; Budowle et al, 2000). Saat ini
Short Tandem Repeat (STR) sangat popular dalam DNA typing untuk tes
paternitas karena tingkat pembedaannya yang tinggi dimana hal tersebut juga
sangat efektif untuk digunakan sebagai alat identifikasi manusia (Butler, 2003;
Atmadja dkk., 2008). Diantara beberapa jenis penanda STR, identifikasi manusia
DNA marker) STR sebagai sebuah sistem identifikasi DNA forensik nasional.
Ketigabelas lokus STR tersebut meliputi: TH01, TPOX, CSF1PO, vWA, FGA,
kelamin korban. Adapun EDNAP dan ENFSI, menetapkan 4 lokus atau loci
TH01, TPOX dan vWA digunakan secara meluas pada awal munculnya sistem
terdiri dari 14 ekson dan 13 intron (Hanaoka et al, 2003). Lokus TH01 terletak
dalam intron 1 dari gen Tyrosine Hydroxylase (TH) dengan kategori “non-
HUMTH01 dimana HUM menandakan genom yang berasal dari manusia. STR
tetranukleotida sederhana ini adalah salah satu dari 13 lokus STR utama (Butler,
Kepanjangan dari vWA adalah “Von Willebrand factor type A”. Sebutan
lain dari vWA adalah HumvWA31 dan HUMvwFA31. Lokus vWA terletak pada
kromosom 12p12-pter (Kimpton et al, 1993) di intron ke-40 (Butler, 2006). Lokus
Terkait dalam pembentukan membran basal, migrasi sel, diferensiasi sel, adhesi,
2.12 Elektroforesis
fragmen yang berbeda ukurannya. Pemisahan ini dilakukan melalui sebuah proses
yang dikenal dengan nama elektroforesis dan juga dikonduksi dalam medium
“slab-gel” atau kapiler (Butler, 2005). Proses elektroforesis ini kemudian diikuti
Elektroforesis berasal dari kata “electron” dan “phore”. Oleh karena itu,
karbohidrat, protein, RNA, dan DNA akan bergerak menjauh dari elektroda
negatif (katoda) dan bergerak menuju elektroda positif (anoda). Semakin tinggi
voltasinya, semakin besar gaya yang dialami oleh molekul DNA, dan semakin
harus dihilangkan atau akan diserap oleh sistem. Panas yang berlebihan dapat
Gambar 2.6 Format dasar dari sistem gel elektroforesis (Butler, 2005).
Slab-gel elektroforesis terdiri dari matriks yang solid dengan susunan pori-
pori dan larutan buffer yang mana akan dilalui oleh molekul DNA selama proses
gel. Setelah gel memadat, “comb” sampel diambil, meninggalkan tempat yang
akan dipakai untuk pengisian sampel DNA (Butler, 2005; Embar-Seddon et al,
2009).
DNA yang lebih kecil akan luput masuk dengan cepat. Jadi, gel berfungsi sebagai
penyaring molekuler dengan pori-pori yang dapat dilalui oleh molekul DNA yang
berdasarkan ukuran tertentu karena molekul yang lebih besar lebih mudah
pori-pori gel: Model Ogston dan “Reptation”. Kedua teori ini dioperasikan dalam
DNA yang lebih kecil dari pori-pori gel, sedangkan “reptation” mendeskripsikan
pergerakan molekul-molekul DNA yang lebih besar dari pori-pori gel (Butler,
2005).
Salah satu kriteria lokus STR untuk identifikasi manusia adalah panjang alel
STR yang mempunyai ukuran berkisar 90-500 bp, yang mana lebih cocok untuk
pemecahan basa tunggal dari fragmen DNA berukuran dibawah 500 bp dapat
Gambar 2.8 Ilustrasi pemisahan DNA dalam gel elektroforesis. (a) Separasi berdasarkan ukuran
molekul DNA (b) Penyaringan Ogston dan “reptation" (Butler, 2005)