Anda di halaman 1dari 13

Laki-laki 38 tahun Sulit Menelan, Demam,

Banyak Air Liur, Leher Kiri Membengkak


Kristali

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Abstrak:

Abses peritonsiler (PTA) banyak ditemukan pada praktek klinik yang merupakan salah satu
kegawatdaruratan di bagian otorhinolaryngologic dan mudah untuk terjadi kekambuhan. Jika
pasien dengan abses peritonsiler diterapi dengan berbagai metode yang berbeda maka hasilnya
juga akan berbeda. Untuk menambah efek terapi untuk abses peritonsiler, tiga metode efektif
telah dilaporkan, yaitu metode operasi pada stadium abses, metode operasi selektif dan terapi
konservatif. Disini akan dibahas mengenai terapi abses peritonsiler lebih lanjut, sehingga kita
dapat memilih metode yang paling tepat.

Peritonsiler abscess (PTA) are common in clinical practice, which is one emergency at the
otorhinolaryngologic and easy to relapse occurs. If patients with peritonsiler abscess treated
with a variety of different methods, the results will also be different. To add to the therapeutic
effect peritonsiler abscesses, three effective methods have been reported, the method of operation
of the abscess stage, selective operation method and conservative therapy. Here we will discuss
further peritonsiler abscess therapy, so we can choose the most appropriate method.

Alamat korespondensi:

Kristali, F-8 (10-2010-358). Mahasiswa fakultas kedokteran UKRIDA jl. Arjuna utara. Email:
hb_13@ymail.com

1
Skenario

Seorang laki-laki berusia 38 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sulit menelan, demam,
banyak air liur, leher kiri membengkak. Pada pemeriksaan suhu 37,50C, N 85x/mnt,
RR100x/mnt. Pemeriksaan uvula terdorong ke sisi sehat, tonsil udem dan bengkak.

Anamnesis

Anamnesis yang terarah diperlukan untuk menggali lebih dalam dan lebih luas keluhan utama
pasien. Dengan melakukan anamnesis terarah kita dapat mengetahui kelainan sesungguhnya
yang diderita pasien. Tidak semua yang dikeluhkan pasien kepada dokter memiliki makna dalam
membentuk diagnosis. Untuk itulah, dengan perlahan kita perlu mendengar keluhan pasien
dengan cermat, dan menggali sumber keluhan pasien yang menjadi penyebab keadaan sakit
pasien tersebut. Untuk mendapatkan kemampuan dan keterampilan ini, pemeriksa perlu latihan
berulang.1

Pada kasus organ faring menimbulkan keluhan utama antara lain:

a. Nyeri tenggorok
Keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah nyeri tenggorok ini disertai
dengan demam, batuk, serak, dan tenggorok terasa kering. Apakah pasien merokok dan
berapa jumlah batang rokok yang dikonsumsi dalam sehari.
b. Nyeri menelan
Nyeri menelan merupakan rasa nyeri ditenggorok waktu gerakan menelan. Apakah rasa
nyeri ini dirasakan sampai ke telinga.
c. Rasa banyak dahak ditenggorokan
Adanya dahak ditenggorok merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya
inflamasi di hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lender saja, nanah atau
bercampur darah. Dahak ini dapat turun dan keluar bila dibatukkan atau terasa turun
ditenggorok.
d. Sulit menelan
Pada pasien dengan keluhan kesulitan menelan perlu ditanyakan sudah berapa lama hal
tersebut terjadi dan jenis makanan cair atau padat. Apakah disertai muntah dan berat
badan menurun dengan cepat.

2
e. Rasa ada yang menyumbat atau mengganjal
Rasa sumbatan ditenggorok dapat ditanyakan sudah berapa lama menderita hal tersebut
dan tempatnya dimana.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik umumnya di dahului dengan melihat keadaan umum pasien ketika
dating. Setelah melihat dan mengetahui keadaan umum pasien, dilakukan pemeriksaan tanda-
tanda vital yaitu frekuensi nadi, frekuensi napas, tekanan darah dan suhu tubuh pasien.

Faring memili fungsi untuk respirasi, menelan makanan, resonansi suara, dan untuk artikulasi.
Faring menghubungkan ruangan nasofaring dan laring yang merupakan jalur pernapasan. Pada
saat berbicara faring mempunyai otot-otot yang saling berkoordinasi untuk menyempurnakan
suara yang dikeluarkan oleh pita suara.1

Alat-alat yang dipersiapkan untuk pemeriksaan faring adalah:

1. Lampu senter / lampu kepala


2. Lampu spiritus
3. Kaca laring
4. Spatula lidah
5. Kain kasa

Pada pemeriksaan faring pasien duduk tegak menghadap pemeriksa, dan kepala tegak lurus
menatap kedepan. Kemudian pasien diminta untuk membuka mulut. Gunakan lampu senter
pemeriksa untuk memperhatikan keadaan lidah, mukosa lidah, dan mulut, serta pergerakan lidah.
Dengan menekan bagian tengah lidah menggunakan spatula lidah maka bagian-bagian rongga
mulut akan terlihat lebih jelas. Pemeriksaan dimulai dengan melihat keadaan dinding belakang
faring serta kelenjar limfe, uvula, arkus faring serta gerakannya saat pasien diminta
mengucapkan huruf “A…”, tonsil, mukosa pipi, serta gigi geligi pasien.

Pemeriksa menilai apakah dinding faring hiperemis, apakah terdapat luka, apakah terdapat secret
tang turun dari nasofaring, apakah kelenjar tonsil membesar, apakah gerakan lidah dan
arkusfaring ada yang tertinggal.1,2

3
Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan :

Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, elektrolit, dan kultur darah. Yang merupakan
“gold standar” untuk mendiagnosa abses peritonsilar adalah dengan mengumpulkan pus dari
abses menggunakan aspirasi jarum.

1. Pemeriksaan radiologi pada posisi anteroposterior hanya menunjukkan “distorsi” dari


jeringan tapi tidak berguna untuk menentuan pasti lokasi abses.3
2. Pada pemeriksaan CT scan pada tonsil dapat terlihat daerah yang hipodens yang
menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat
pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana
operasi.3
3. Ultrasonografi, merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu
dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bisa
menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase secara
pasti.3

Diagnosis banding

a. Tonsillitis akut
Tonsillitis akut sering disebabkan oleh kuman Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus
viridians, dan Streptococcus pyogenes serta dapat juga disebabkan oleh virus. Penularan
terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis
maka jaringan limfoid superficial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit polimorfonuklier.
Manifestasi klinisnya biasanya suhu tubuh naik sampai 400C, rasa gatal/kering
ditenggorokan, lesu, nyeri sendi, odinofagia, anoreksia, dan otalgia. Bila laring terkena maka
suara akan menjadi serak. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, tonsil membengkak,
kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan, terutama pada anak-anak.2
Pada tonsil akut komplikasi yang dapat terjadi adalah otitis media akut, abses peritonsil,
abses parafaring, toksemia, septikemia, bronkhitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis.

4
Kultur dan uji resistensi sangat diperlukan untuk menentukan tindakan penatalaksanaan.
Antibiotic golongan penisilin atau sulfonamide selama 5 hari, antipiretik, dan obat kumur.
Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamisin.
b. Abses retrofaring
Merupakan kumpulan nanah yang terbentuk di ruang retrofaring, biasanya pada anak 3 bulan
-5 tahun. Kuman penyebab infeksi biasanya merupakan campuran kuman aerob dan anaerob.
Sumber infeksi berasal dari infeksi akut saluran napas atas yang secara langsung atau secara
limfogen menyebabkan infeksi kelenjar limfe retrofaring, trauma benda asing, atau
tuberkulosis servikal.
Manifestasi klinis yang terjadi biasanya berupa demam, leher kaku, nyeri dan sukar menelan.
Dapat timbul sesak napas, stridor, dan perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak
benjolan hiperemis yang teraba lunak.2
Pada foto jaringan lunak leher terdapat penebalan jaringan lunak di depan vertebra servikal
atau gambaran udara atau air fluid level pada jaringan lunak retrofaring, serta berkurangnya
lordosis vertebra pada foto biasa. Dengan computer tomografi jelas dibedakan abses dengan
selulitis, letaknya dan perluasan ke sekitar. Untuk menentukan bakteri atau kuman penyebab
diperlukan pewarnaan gram dan pemeriksaan kultur.
Antibiotic dosis tinggi diberikan untuk kuman aerob dan anaerob secara parenteral sebelum
ada hasil kultur. Pada infeksi tuberculosis diberikantuberkulostatik. Pungsi dan insisi abses
digunakan laringoskop langsung pada penonjolan yang paling berfluktuasi dalam posisi
pasien trendelenburg, baik dalam analgesic lokal maupun anastesi umum. Bila terjadi
sumbatan jalan napas dapat dilakukan trakeostomi.
c. Abses parafaring
Abses parafaring merupakan kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang parafaring.
Disebabkan oleh kuman aerob dan anaerob. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi
secara langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tindakan tonsilektomi
dengan analgesia atau proses supurasi kelenjar limfe leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,
hidung, sinus paranasal dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses parafaring. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring dan
submandibula juga dapat menjadi faktor penyebab.

5
Gejala yang timbul pada abses parafaring ialah trismus, indurasi, atau pembengkakan
disekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring,
sehingga menonjol kearah medial. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak AP menunjukan
penebalan jaringan lunak parafaring dan pendorongan trakea kesamping depan. Dengan
tomografi computer terlihat jelas abses dan penjalarannya.2
Pasien dirawat inap di rumah sakit sampai gejala dan tanda infeksi mereda. Antibiotic dosis
tinggi diberikan terhadap kuman aerob dan anaerob secara parenteral sebelum ada hasil
kultur.
d. Angina ludovici
Merupakan infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa
pembengkakan seluruh ruang submandibula, tindak membentuk abses, sehingga keras pada
perabaan submandibula. Kuman penyebab mungkin kuman aerob dan anaerob yang berasal
dari gigi atau dasar mulut tapi dapat juga dari peradangan supuratif kelenjar limfe servikal di
dalam ruang submandibula.
Gejala klinis yang disebabkan adalah demam, nyeri tenggorok dan leher, disertai
pembengkakan didaerah submandibula yang tampak hiperemis, nyeri tekan, dan keras pada
perabaan (seperti kayu). Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah keatas belakang
sehingga menimbulkan sesak napas. Pada penyakit ini biasanya terdapat riwayat sakit gigi
dan mengorek atau mencabut gigi.
Sebagai terapi diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob,
dan diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan
dekompresi dan evakuasi pus atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan digaris tengah secara
horizontal setinggi os hyoid (3-4 jari dibawah mandibula). Perlu dilakukan perawatan pada
sumber infeksi agar mencegah kekambuhan. Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.

Diagnosis kerja

a. Abses peritonsil

Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan terkumpulnya
pus pada jaringan ikat longgar antara m.konstriktor faring dengan tonsil pada fosa tonsil.1
Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses peritonsil merupakan
infeksi pada tenggorok yang seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.3

6
Abses peritonsil merupakan infeksi pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada orang
dewasa. Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan berkembang secara
progresif menjadi tonsilar selulitis. Komplikasi abses peritonsil yang mungkin terjadi antara lain
perluasan infeksi ke parafaring, mediastinitis, dehidrasi, pneumonia, hingga infeksi ke
intrakranial berupa thrombosis sinus kavernosus, meningitis, abses otak dan obstruksi jalan
nafas.2

Gambar 1. Abses peritonsil.


Epidemiologi
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur
20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.
Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan
bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut
merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden
tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir
45.000 kasus setiap tahun.4

Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar
mucus weber di kutub tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsillitis, dapat
ditemukan kuman aerob dan anaerob. Kuman Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus
viridians, dan Streptococcus pyogenes adalah penyebab terbanyak. Dapat juga disebabkan oleh
virus Epstein Barr.2,5

7
Patofisiologi
Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring. Abses
peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan peritonsil yang umumnya
merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada
kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas
tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa
tonsil.
Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Lokasi
infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat menembus kapsul tonsil. Hal ini
kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot konstriktor faring
superior menuju ruang parafaring dan retrofaring terdekat.5
Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar
Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta
tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di
dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna.
Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan
terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak
diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada
kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan
terjadinya abses.
Apapun bakteri/kuman yang menjadi penyebabnya, proses infeksi ini menunjukkan bahwa
mekanisme pertahanan pertama dari orofaring penerima (host) telah ditembus dan sebagai
akibatnya mikroorganisme tersebut masuk menembus jaringan orofaring.5,5
Ketika bakteri menembus jaringan, tubuh secara alami akan menggerakkan beberapa mekanisme
pertahanan. Secara umum bakteri akan mati oleh aktifitas sel-sel fagosit. Antibodi memainkan
peranan penting melawan toksin-toksin bakteri, tetapi bagaimana peranan antibodi dalam
melawan bakteri penyebab inflamasi peritonsil akut masih belum diketahui.5,6

Gejala dan tanda klinis2,5,6


Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa pembengkakan awal hampir selalu
berlokasi pada daerah palatum mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil membesar

8
ke arah medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5 hari sebelum
pemeriksaan dan diagnosis.
Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga keadaan yang memburuk
secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri terlokalisir, demam tinggi, (sampai 40°C),
lemah dan mual. Odinofagi dapat merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan
kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah
sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut
berbau (foetor ex ore), untah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga (otalgi). Trismus akan
muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid.
Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi seperti suara hidung, membesar seperti
mengulum kentang panas (hot potato’s voice) karena penderita berusaha mengurangi rasa nyeri
saat membuka mulut.
Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi
pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak setelah
tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan
obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan
tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal / servikal adenopati. Di
saat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang
terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole yang terkena.
Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup
oleh mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya uvula pada
sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di belakang
tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan pembengkakan supraglotis dan
obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan tampak cemas dan sangat ketakutan.
Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang sama dengan
pada kutub superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah
peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan kemerahan.

9
Terapi
Untuk stadium awal diberikan antibiotik dosis tinggi, penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4x 250-500 mg, metronidazole 3-4 x
250-500 mg.
Juga obat simtomatik berupa analgesik-antipiretik parasetamol 3 x 250-500 mg, anjuran
berkumur dengan antiseptic/air hangat, dan kompres dengan air dingin. Bila abses telah
terbentuk, dilakukan punksi kemudian insisi untuk mengeluarkan nanah dengan anastesi lokal.
Insisi dilakukan pada daerah paling menonjol dan lunak, atau pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Setelah selesai
pasien diminta berkumur dengan antiseptik.
Bila terdapat trismus, diberikan analgesia lokal untuk nyeri dengan menuyuntikan silokain atau
novokain 1% di ganglion sfenopalatinum (bagian belakang atas lateral konka media). Pada anak
kecil dianjurkan anastesi umum. Kemudian dianjurkan untuk tonsilektomi, umumnya sesudah
infeksi tenang yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.2
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris
berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai
kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi
dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu
kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.6

Gambar 2. Tonsilektomi

10
Komplikasi
Pada kasus ini komplikasi yang dapat terjadi adalah pecahnya abses secara spontan sehingga
dapat mnyebabkan perdarahan, aspirasi paru atau piema. Komplikasi lain yaitu penjalaran infeksi
dan abses kedaerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya,
masuk ke mediastinum, sehingga mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke intra kranial, dapat
menyebabkan thrombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.2,5,6

Prognosis
Abses peritonsiler yang tidak berkomplikasi dan mendapat perawatan yang baik akan sembuh
94%. Di Amerika Serikat angka kekambuhan 10%, meski di negara-negara lain bisa mencapai
15% atau lebih.
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi., maka ditunda
sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat
jeringan fibrosa dan granulasi pada saat oprasi.

Kesimpulan
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan
leher akibat dari kolonisasi bakteri aerob dan anaerob di daerah peritonsiler. Abses peritonsil
terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus
Weber di kutub atas tonsil. Abses peritonsiler terbentuk dia area antara tonsil palatine dan
kapsulnya. Jika abses berlanjut maka akan menyebar ke daerah sekitarnya meliputi musculus
masseter dan muskulus pterygoid. Jika berat infeksinya maka akan terjadi penetrasi melalui
pembuluh darah karotis.
Organisme yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes
(Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae.
Penelitian yang dilakukan merekomendasikan penisilin sebagai agen lini pertama. Semua
specimen harus diperiksa untuk kultus sensitifitas terhadap antibiotic. Pada stadium infiltrasi,
diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air
hangat dan kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah
abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera
diantaranya adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher

11
bagian dalam, riwayat abses peritonsilaris sebelumnya, riwayat faringitis eksudatifa yang
berulang.
Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara 0%
sampai 22%. Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler untuk mencegah
kekambuhan, dimana angka kekambuhannya tinggi. Pada individu dengan abses peritonsiler
ulangan atau riwayat faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka enam
minggu kemudian dilakukan tonsilektomi.

Pencegahan
Karena abses peritonsil cenderung untuk berulang – ulang, maka setelah serangan pertama kali
sesudah dua atau tiga minggu dilakukan tonsilektomi. Jika operasi ditunda, maka kemungkinan
perlengketan jaringan tonsil itu sendiri dengan jaringan sekitarnya akan semakin ketat sehingga
tonsilektomi akan semakin sukar dilakukan.
Jika abses berada di belakang tonsil plika anterior sehingga drainage secara yang biasa (melalui
fossa supratonsilais) tidak berhasil, dapat dilakukan dengan melakukan tonsil (Tonsilektomi)
segera dengan diikuti oleh pemberian antibiotika yang tinggi (mencegah septicemia). Tindakan
ini juga dilakukan bilamana keadaan abses pecah kedalam ruang parafaring sudah mengancam.
Kalau terjadi abses pada ruang parafaring akan terjadi komplikasi yang serius.

12
Daftar pustaka
1. Marbun, erna. 2008. Keterampilan pemeriksaan Telinga Hidung Tenggorokan. Dalam:
Buku Panduan Keterampilan Klinik, hal. 5-6. Biro Publikasi Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana.
2. Fachruddin, darnila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan,
Telinga-Hidung-Tenggorokan, hal. 226-27. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
3. Ballenger, John Jacob. M.S, M.D. Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan
Leher. Binarupa Aksara. Jakarta. Hal : 295-97, 318-23, 346-55
4. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan Orofaring dalam Adams GL, Boeis LR,
Hilger PA, (eds). BOEIS Buku ajar Penyakit THT, EGC, Jakarta,1996.320, 327-37
5. www.google.com Image, Search : Peritonsillar Abscess. Accessed at march 2013

Sasaran pembelajaran
1. Mampu melakukan anamnesis dengan baik dan benar.
2. Mampu memahami dan menjelaskan cara pemeriksaan fisik.
3. Mampu memahami dan menjelaskan cara pemeriksaan penunjang.
4. Mampu menegakkan diagnosis banding dan diagnosis kerja
5. Mampu memahami dan menjelaskan etiologi.
6. Mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi.
7. Mampu memahami dan menjelaskan gejala klinis.
8. Mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi.
9. Mampu memahami dan menjelaskan terapi dan prognosis.
10. Mampu memahami dan menjelaskan pencegahan dan komplikasi.

13

Anda mungkin juga menyukai