Anda di halaman 1dari 12

Skleritis Okuli Dextra dan Penatalaksanaannya

Sumarni
102012444
E5
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Email : Sumarni@gmail.com
Koresponden: Jalan Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk Jakarta Barat

Pendahuluan

Mata merupakan sebuah salah satu indera terpenting bagi manusia karena dengan mata yang sehat akan
menunjang dalam hal beraktifitas,mengenal lingkungannya,menikmati indahnya pemandangan dan
sebagainya.Penyakit mata dapat menimpa siapa saja baik muda maupun tua, penyebab dari penyakit mata
beranekaragam baik karena alergi terhadap sesuatu, virus, maupun pola hidup seseorang yang buruk seperti
membaca sambil tiduran, menonton televisi terlalu dekat dan sebagainnya. Penyakit mata sangat beragam dan
tidak semuanya dapat menular. Jika penyakit mata disebabkan virus atau bakteri maka bisa menular, sedangkan
jika penyebabnya alergi tidak akan menular. Cara penanganan dan pencegahan macam-macam penyakit mata
ini pun berbeda, tergantung penyebabnya. Jenis penyakit mata banyak ragamnya dan penyebabnya namun
dengan penangannya yang baik akan mempercepat proses penyembuhan. Makalah ini disusun dengan tujuan
untuk memberikan suatu gambaran, penjelasan yang lebih mendalam mengenai penyakit pada mata.

Skenario

Pasien wanita umur 45 tahun, datang ke poli umum Ukrida, dengan keluhan mata kanan sakit dan
sedikit merah. Pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya penurunan ketajaman penglihatan. Pada konjungtiva
bulbi didapatkan benjolan putih dekat limbus. Lensa dan posterior segmen dalam batas normal

Pembahasan

Anamnesis

Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit, riwayat penyakit
dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua
sistem pada tubuh. Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan
ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala yang paling sering dan
merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif.. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan
ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam
menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. 1Nyeri
dapat hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa
disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke
struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang
abnormal.2

Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi

 Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan tajam penglihatan.3
o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.
o Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.
 Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat dilakukan apabila dicurigai adanya
penyakit sistemik.
 Pemeriksaan Sklera4
o Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa peradangan, akan terlihat
daerah penipisan sklera dan menimbulkan uvea gelap.
o Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan aktif
menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka area tersebut akan menjadi
avaskular dan menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi oleh
lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.
 Pemeriksaan slit – lamp4,3
o Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau segmental. Injeksi yang meluas
adalah ciri khas dari diffuse anterior scleritis.
o Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan episkleral bagian dalam dan
beberapa pada jaringan episkleral superfisial. Sudut posterior dan anterior dari sinar slit lamp
terdorong maju karena adanya edema pada sklera dan episklera.
o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai jaringan episklera
superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan episklera.
o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area avaskular pada sklera.
Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus.
o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau konjungtivitis juga dapat
dilakukan.
 Pemeriksaan skleritis posterior3
o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan proptosis.
o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior. Skleritis posterior dapat
menimbulkan amelanotik koroidal.
o Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan koroid, dan perdarahan atau
ablasio retina.5

5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis. Beberapa pemeriksaan
laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:1

1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah


2. Faktor rheumatoid dalam serum
3. Antibodi antinuklear serum (ANA)
4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks
6. Serum FTA-ABS, VDRL
7. Serum asam urat
8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis posterior.5

Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya akumulasi cairan pada kapsul
tenon

(Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview#a

Working Diagnosis

Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh destruksi kolagen,
sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.1 Disebabkan kelainan atau
penyakit sistemik, disertai dengan peradangan disekitarnya seperti, uveitis atau keratitis sklerotikan. Sering
disebabkan oleh penyakit jaringan ikat, pasca herpes, sifilis, dan gout. Kadang dapat juga disebabkan oleh
penyakit tuberkulosis,bakteri (pseudomonas), sarkoidosis, hipertensi, benda asing, dan pasca bedah.
Skleritis biasanya terlihat bilateral, pada perempuan usia 50 - 60 tahun.

Epidemiologi

Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi kejadian diperkirakan 6
kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior,
sedangkan 6%nya adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit
ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung sekali
atau kambuh-kambuhan.2Peningkatan insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih
banyak terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun,
dengan usia rata-rata 52 tahun.2

Etiologi

Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses imunologi yakni terjadi
reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada
beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya
tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak.1

Patofisiologi

Gambar 3. Skleritis

(Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/sect2g.htm)

Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50 persen kasus) berhubungan
dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid
arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis,
herpes zoster virus, gout dan sifilis.6

Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala utama dari gangguan
vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi
genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular, bahan
endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan
vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV). 4

Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody IgG dengan antigen.
Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat
diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang
signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas
aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama
dibandingkan dengan tipe I, secara umum memakan waktu maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh.
Reaksi sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan kompleks
antigen – antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan deposisi kompleks yang
ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel mast
melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil mengeluarkan isi granul dan
membuat kerusakan pada endotelium dan membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi
pada bermacam – macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe
III adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.7

Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh sel T
spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe
lambat terjadi saat sel jaringan dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan
pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian mengalami kontak dengan sell T H1
yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T tersebut, membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin
untuk makrofag, sel T lainnya, dan juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler
yang mana sel mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan waktu
48 – 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering
adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu dengan garam metal atau
bahan kimia reaktif.7

Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu deposisi kompleks imun di
kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis,
peradangan pada skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau bagian posterior mata.
Klasifikasi

Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe dari skleritis anterior adalah:3

1. Diffuse anterior scleritis. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh permukaan sklera.
Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.
2. Nodular anterior scleritis. Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak
dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis
nekrosis.
3. Necrotizing anterior scleritis with inflammation. Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti
rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera terlihat jelas. Apabila disertai
dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai sklerokeratitis.
4. Necrotizing anterior scleritis without inflammation. Biasa terjadi pada pasien yang sudah lama
menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan nodul rematoid dan absennya gejala.
Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.

Di samping skleritis anterior, ada pula skleritis posterior. Skleritis posterior ini jarang terjadi dan
ditandai dengan adanya nyeri tekan bulbus okuli dan proptosis.2 Terdapat perataan dari bagian posterior
bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis
posterior dapat dijumpai penglepasan retina eksudatif, edema makular, dan papiledema.3

Diferential Diagnosis

Episkleritis pinguekula Pterigium


Reaksi radang jaringan patch kekuningan atau benjolan Penebalan konjungtiva
ikat vaskular yang terletak pada konjungtiva, biasanya pada bulbi berbentuk segitiga,
antara konjungtiva dan sisi mata yang paling dekat dengan mirip daging yang menjalar
permukaan sklera. hidung. ke kornea.
Dalam beberapa kasus, pinguekula
Keluhan pasien episkleritis Suatu pertumbuhan
menjadi bengkak dan meradang.
berupa mata kering, rasa fibrovaskular konjungtiva
Iritasi dan mata merah dapat terjadi,
nyeri ringan, dan rasa yang bersifat degeneratif
terutama jika terkena sinar
mengganjal. Terdapat pula dan invasif.
matahari, angin, debu atau
konjungtiva yang kemotik. Biasanya terletak pada
lingkungan yang sangat kering.
Bentuk radang pada celah kelopak bagian nasal
maupun temporal
episkleritis mempunyai
konjungtiva yang meluas ke
gambaran benjolan
kornea.
setempat dengan batas
tegas dan warna merah
ungu di bawah
konjungtiva. Bila benjolan
ini ditekan dengan kapas
atau ditekan pada kelopak
di atas benjolan, maka
akan timbul rasa sakit
yang dapat menjalar ke
sekitar mata.

Terlihat mata merah satu


sektor yang disebabkan
melebarnya pembuluh
darah di bawah
konjungtiva

Disebabkan Disebabkan oleh iritasi


hipersensitivitas terhadap kronis akibat debu, cahaya
penyakit sistemik seperti sinar matahari, dan udara
tuberkulosis, reumatoid yang panas.
artritis, SLE, dan lainnya. Etiologinya tidak diketahui
Merupakan reaksi toksik, dengan jelas dan diduga
alergik, atau merupakan merupakan suatu
bagian dari infeksi. neoplasma, radang, dan
Kelainan ini dapat terjadi degenerasi.
secara spontan dan
idiopatik.

Episkleritis biasanya Pterigium biasanya


unilateral. bilateral, karena kedua mata
Perempuan usia mempunyai kemungkinan
pertengahan dengan yang sama untuk kontak
bawaan penyakit reumatik. dengan sinar ultra violet,
debu dan kekeringan.

Pria > Wanita

Penatalaksanaan

Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis adalah obat anti inflamasi non-steroid
sistemik. Obat pilihan adalah indometasin 100 mg perhari atau ibuprofen 300 mg perhari. Pada sebagian besar kasus,
nyeri cepat mereda diikuti oleh pengurangan peradangan. Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu atau segera
setelah tampak penyumbatan vaskular harus segera dimulai terapi steroid sistemik dosis tinggi. Steroid ini biasanya
diberikan peroral yaitu prednison 80 mg perhari yang ditirunkan dengan cepat dalam 2 minggu sampai dosis
pemeliharaan sekitar 10 mg perhari. Kadangkala, penyakit yang berat mengharuskan terapi intravena berdenyut dengan
metil prednisolon 1 g setiap minggu.1Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. 2
Siklofosfamid sangat
bermanfaat apabila terdapat banyak kompleks imun dalam darah. Tetapi steroid topikal saja tidak bermanfaat tetapi
dapat dapat menjadi terapi tambahan untuk terapi sistemik. Apabila dapat diidentifikasi adanya infeksi, harus diberikan
terapi spesifik. Peran terapi steroid sistemik kemudian akan ditentukan oleh sifat proses penyakitnya, yakni apakah
penyakitnya merupakan suatu respon hipersensitif atau efek dari invasi langsung mikroba. 8,3

Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera atau kornea. Tindakan ini
kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada
granulomatosis Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada
skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma
atau terjadi trauma langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Tandur sklera pernah digunakan sebagai
tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai
pemberia kemoterapi. Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila terapi diberikan pada
stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium ini jarang timbul gejala, sebagian besar kasus tidak diobati sampai
timbul penyulit. 8

Komplikasi

Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis,
katarak, dan hipermetropia. Keratitis bermanifestasi sebagai pembentukan alur perifer, vaskularisasi perifer, atau
vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea. Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon
terhadap terapi. Kelainan ini sering disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma
sudut terbuka dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid. 1,8

Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti uveitis atau keratitis sklerotikan. Pada
skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera atau skleromalasia maka dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada
kornea dapat dalam bentuk keratitis sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat peradangan sklera terdekat.
Bentuk keratitis sklerotikan adalah segitiga yang terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat
gangguan susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan initidak pernah terjadi neovaskularisasi ke dalam stroma
kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi jernihnya kornea yang dimulai dari bagian sentral. Sering
bagian sentral kornea tidak terlihat pada keratitis sklerotikan. 3,8

Prognosis

Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada spondiloartropati atau pada SLE
biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi
pada mata Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta permanen dimana
termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada mata.Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan
mengalami kerusakan penglihatan yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung pada penyakit penyerta yang
mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis umumnya mengakibatkan hilangnya penglihatan dan memiliki 21%
kemungkinan meninggal dalam 8 tahun.8

Kesimpulan

Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi seluler, kerusakan
kolagen, dan perubahan vaskuler. Skleritis biasanya terjadi bersama dengan penyakit sistemik, yaitu penyakit
autoimun dan infeksi, namun bisa juga terjadi secara idiopatik. Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada
skleritis yaitu rasa nyeri berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Selain itu terdapat pula mata merah berair,
fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan. Tatalaksana skleritis membutuhkan pengobatan sistemik.. Komplikasi
yang dapat terjadi pada penyakit skleritis yaitu edema makular, perforasi sklera, glaukoma, uveitis, katarak, dan
keratitis. Prognosis skleritis seringkali tergantung pada penyakit sistemik yang menyertainya. Necrotizing scleritis
dapat menyebabkan hilangnya penglihatan secara permanen.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008. 118-20
2. Gaeta, TJ. Scleritis. http://www.emedicine.com. [diakses 21 maret 2016].
3. Rootman J. Diseases of The Orbit. Second Edition. East Washington Sayare Philadelpia: Library of
Congress Cataloging in Publication Data. 1988: 373.
4. Kanski JJ. Disorders of The Cornea and Sclera. In: Clinical Ophthalmology. Third Edition. Wallingston,
Surrey: Great Britain by Butler and Tanner Ltd, Frome and London. 1994. 146-9.
5. Newell FW. The Sclera. In: Ophthalmology Principles and Concepts. Fifth Edition. St.Louis Toronto
London: The CV Mosby Company. 1982. 220-1
6. Maza, MS. Scleritis. http://www.emedicine.com [diakses 21 maret 2016]
7. Anonim. Hypersensitivity and Chronic Inflammation [online]. 2002. Tersedia pada http://www-
immuno.path.cam.ac.uk {Dikutip tanggal 21 maret 2016}
8. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editor. Oftalmologi Umum
Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.169-73

Anda mungkin juga menyukai