Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saluran pencernaan merupakan suatu saluran kontinu yang berjalan dari
mulut sampai anus. Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk
memindahkan zat gizi atau nutrient seperti air dan elektrolit dari makanan
yang dimakan ke dalam lingkungan internal tubuh (Price, 2012).
Perdarahan saluran cerna merupakan masalah yang sering dihadapi.
Manifestasinya bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang mengancam
jiwa hingga perdarahan samar yang tidak dirasakan. Pendekatan pada pasien
dengan perdarahan dan lokasi perdarahan saluran cerna adalah dengan
menentukan beratnya perdarahan dan lokasi perdarahan. Perdarahan saluran
cerna dapat menyerang semua orang dan semua golongan (Price, 2012).
Perdarahan saluran cerna dapat dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan
saluran cerna bagian atas dan perdarahan saluran cerna bagian bawah.
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi di saluran
cerna yang dimulai dari mulut hingga ke 2/3 bagian dari duodenum atau
perdarahan saluran cerna proksimal dari ligamentum Treitz. Perdarahan
saluran cerna bagian atas merupakan masalah kegawatan dengan angka
mortalitas di rumah sakit sebesar 10%. Walaupun sudah ada perbaikan
manajemen penanganan perdarahan saluran cerna bagian atas, akan tetapi
belum mampu menurunkan angka mortalitas secara signifikan sejak 50 tahun
yang lalu (Edelman, 2007).
Perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah perdarahan yang berasal
dari usus di sebelah distal ligamentum Treitz. Pasien dengan perdarahan
saluran cerna bagian bawah datang dengan keluhan darah segar sewaktu
buang air besar. Hampir 80% dalam keadaan akut berhenti dengan sendirinya
dan tidak berpengaruh pada tekanan darah. Hanya 25% pasien dengan
perdarahan berat dan berkelanjutan berdampak pada tekanan darah (Edelman,
2007).

1
Angka kejadian perdarahan saluran cerna bagian bawah di Amerika
Serikat mencapai 22 kasus per 100.000 penduduk dewasa pada tahun 2007.
Walaupun sudah berkembang pemeriksaan diagnostik yang canggih, namun
10% dari jumlah kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah, lokasi
perdarahan tidak bisa teridentifikasi (Edelman, 2007).
Pengobatan dan perawatan pada pasien dengan perdarahan saluran
cerna seharusnya memperhatikan kebutuhan pasien dan etiologi dari
perdarahan tersebut (Price, 2012).
B. Tujuan
1. Menjelaskan definisi perdarahan saluran cerna atas
2. Menjelaskan etiologi perdarahan saluran cerna atas
3. Menjelaskan patofisiologi perdarahan saluran cerna atas
4. Menjelaskan klasifikasi perdarahan saluran cerna atas
5. Menjelaskan tanda dan gejala perdarahan saluran cerna atas
6. Menjelaskan penegakan diagnosis perdarahan saluran cerna atas
7. Menjelaskan penatalaksanaan medis perdarahan saluran cerna atas
8. Menjelaskan komplikasi perdarahan saluran cerna atas
9. Menjelaskan pemeriksaan penunjang perdarahan saluran cerna atas

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Perdarahan saluran cerna adalah suatu perdarahan yang bisa terjadi
dimana saja di sepanjang saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus..
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan gastrointestinal yang
berasal dari proximal ligamentum Treitz, yang menghubungkan empat bagian
dari duodenum dengan flexura splenic dari bagian distal usus. Gejalanya
berupa di temukannya darah dalam tinja atau muntuh darah, tetapi gejala bisa
juga tersembunyi dan hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan tertentu.
Perdarahan yang terjadi di saluran cerna bila di sebabkan oleh adanya erosi
arteri akan mengeluarkan darah lebih banyak (Mansjoer,2010).
B. Anatomi
Saluran pencernaan dibagi menjadi dua bagian yaitu saluran pencernaan
atas dan saluran pencernaan bawah yang dipisahkan oleh ligamentum treitz
yang merupakan bagian duodenum pars ascending yang berbatasan dengan
jejunum. Saluran cerna bagian atas diantaranya (Snell, 2006):
1. Rongga mulut
2. Pharynx
Saluran berbentuk pipa fibromaskuler yang berfungsi melakukan gerakan
peristaltik untuk menghancurkan dan mendorong makanan masuk ke
dalam esofagus (Faradilla, 2009).
3. Oesophagus
Oesophagus adalah tuba muskular yang menghubungkan Pharynx dengan
gaster. Oesophagus memiliki panjang 25 cm dan berpangkal di kartilago
krikoid yang diproyeksi pada vertebra cervical VI. Oesophagus berujung
di cardia lambung setinggi vertebra thorakal X ( di bawah Proc.
xiphoideus Sternum).
Oesophagus dibagi menjadi 3 yaitu (Sherwood, 2011);
- Pars cervicalis (5-8 cm)

3
Letaknya bersebelahan dengan kolumna vetebralis. Disuplai oleh A.
thyroidea inferior dan V. thyroidea inferior
- Pars thoracica (16 cm)
Bagian ini berjalan bersama bronkus utama kiri dan turun ke depan
dengan semakin menjauhi kolumna vertebralis. Disuplai oleh Aorta
dan dan V. azygos dan V. hemiazygos bermuara pada V. cava
superior.
- Pars abdominalis (1-4 cm)
Terletak intraperitoneum dan disuplai oleh A. gastrica sinistra dan A.
phrenica inferior.
4. Gaster
5. Duodenum

Gambar 2.1 Saluran Cerna Atas

4
Gambar 2.2 Ligamentum Treitz

C. Etiologi
Penyebab perdarahan saluran bagian atas terbanyak di indonesia adalah
karena pecahnya varises esophagus dengan rata – rata 45-50% seluruh
perdarahan saluran cerna bagian atas. Perdarahan saluran cerna bagian atas di
antaranya :
1. Kelainan esophagus : varises , esophagitis, keganasan
2. Kelainan lambung dan duodenum : tukak lambung & duodenum,
keganasan
3. Penyakit darah : leukemia, purpura trombositopenia
4. Penyakit sistemik : uremia
5. Pemakaian obat yang ulserogenik : gol. Salisilat, kortokosteroid, alkohol
(Sudoyo, 2007)
D. Patofisiologi
Penyebab tersering dari perdarahan saluran cerna adalah pecahnya
varises esofagus. Varises esofagus merupakan salah satu komplikasi dari
sirosis hepatis. Sirosis ini menyebabkan peningkatan tekanan pada vena porta
yang biasa disebut dengan hipertensi porta. Peningkatan tekanan pada vena
porta menyebabkan terjadinya aliran kolateral menuju vena gastrika sinistra
yang pada akhirnya tekanan vena esofagus akan meningkat pula. Peningkatan
tekanan pada vena esofagus ini menyebabkan pelebaran pada vena tersebut
yang disebut varices esofagus (Price, 2012).
Varises esofagus ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan.
Terjadinya perdarahan ini bergantung pada beratnya hipertensi porta dan

5
besarnya varises. Darah dari pecahnya varises esofagus ini akan masuk ke
lambung dan bercampur dengan asam klorida (HCL) yang terdapat pada
lambung. Darah yang telah bercampur dengan asam clorida menyebabkan
darah berwarna kehitaman. Jika darah ini dimuntahkan maka akan
bermanifestasi sebagai hematemesis. Selain dimuntahkan, darah ini juga dapat
bersama makanan masuk ke usus dan akhirnya keluar bersama feses yang
menyebabkan feses berwarna kehitaman (melena) (Price, 2012).
Hematemesis dan melena juga dapat ditemukan pada penyakit tukak
peptik (ulcus pepticum). Mekanisme patogenik dari ulkus peptikum ialah
destruksi sawar mukosa lambung yang dapat menyebabkan cedera atau
perdarahan, dimana cedera tersebut nantinya akan menimbulkan ulkus pada
lambung (Price, 2012).

Asam dalam lumen + empedu, ASA, alkohol, lain-lain

Penghancuran sawar epitel

Asam kembali berdifusi kemukosa

Penghancuran sel mukosa

↑ Pepsinogen → Pepsin Asam ↑ ↑ Histamin

Rangsang kolinergik

Fungsi sawar ↓ ↑ Vasodilatasi


↑ Motilitas

↑ Pepsinogen
Permeabilitas terhadap protein
Destruksi kapiler dan vena Plasma bocor ke lumen lambung
Dan interstisium
edema
Perdarahan

Ulkus

6
Aspirin, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain yang merusak mukosa
lambung mengubah permeabilitas sawar kapiler, sehingga memungkinkan
difusi balik asam klorida yang mengakibatkan kerusakan jaringan, terutama
pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin
lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa
menjadi edema, dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa
kapiler dapat rusak, mengakibatkan terjadinya hemoragi interstisial dan
perdarahan. Sama seperti varises esofagus, darah ini akan dapat bermanifestasi
sebagai hematemasis dan atau melena (Price, 2012).

E. Manifestasi Klinik
Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami
perdarahan. Dari seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber
perdarahannya berasal dari esofagus, gaster dan duodenum.
Gejalanya bisa berupa :
1. Muntah darah (Hematemesis)
Muntah darah dan biasanya di sebabkan oleh penyakit saluran cerna
bagian atas. Melena adalah keluarnya feses berwarna hitam per rectal yang
mengandung campuran darah biasanya disebabkan oleh perdarahan usus
proksimal.
2. Mengeluarkan tinja yang kehitaman (Melena)
Tinja berwarna hitam merupakan akibat dari perdarahan di saluran bagian
atas. Misalnya lambung atau duodenum. Warna hitam terjadi karena darah
tercemar oleh asam lambung dan pencernaan kuman selama beberapa jam
sebelum keluar dari tubuh. Sekitar 200 gram darah dapat menghasilkan
tinja yang berwarna kehitaman.
3. Mengeluarkan darah dari rektum (hematoskezia)
4. Waterbrash merupakan regurgitasi isi lambung kedalam rongga mulut.
Gangguan ini dirasakan terdapat pada tenggorokan sebagai rasa asam atau
cairan panas yang pahit
5. Pirosis (Nyeri epigastrik)

7
Pirosis sering ditandai sensasi panas. Nyeri epigastik dapat disebabkan
oleh refluks asam lambung atau sekrat empedu kedalam esofahus bagian
bawah, keduanya sangat mengiritasi mukosa.
6. Penderita dengan perdarahan jangka panjang, bisa menunjukkan gejala-
gejala anemia, seperti mudah lelah, terlihat pucat, nyeri dada dan pusing.
7. Gejala yang menunjukan adanya kehilangan darah yang serius adalah
denyut nadi yang cepat, tekanan darah rendah dan berkurangnya
pembentukan air kemih. Tangan dan kaki penderita juga akan teraba
dingin dan basah. Berkurangnya aliran darah ke otak karena kehilangan
darah, bisa menyebabkan bingung, disorientasi, rasa mengantuk dan
bahkan syok
8. Pada penderita perdarahan saluran pencernaan yang serius, gejala dari
penyakit lainnya, seperti gagal jantung, tekanan darah tinggi, penyakit
paru-paru dan gagal ginjal, bisa bertambah buruk. Pada penderita penyakit
hati, perdarahan ke dalam usus bisa menyebabkan pembentukan racun
yang akan menimbulkan gejala seperti perubahan kepribadian, perubahan
kesiagaan dan perubahan kemampuan mental (ensefalopati hepatik).
(Price, 2012).
F. Penegakan Diagnosis
Berbagai pemeriksaan penunjang dapat digunakan untuk membantu
mendiagnosa abnormalitas sistem gastrointestinal dan abdomen. Adapun
pemeriksaan penunjang atau tes diagnostic yang dilakukan adalah
(Sjamsuhidajat, 2005):
1. Sinar X
Serangkaian pemeriksaan abdomen, atau gambaran abdomen dalam tiga
cara, terdiri atas film abdomen datar, film abdomen atas dan dada bagian
atas dengan pasien berdiri tegak, dan film dimana pasien dalam posisi
miring pada salah satu sisi (dekubitus). Radiografi dapat membantu
menggambarkan adanya udara bebas di dalam abdomen yang disebabkan
oleh masalah-masalah seperti perforasi viskus atau pecahnya abses.
Obtruksi usus, seperti yang ditunjukkan oleh dilatasi loop usus dengan

8
tingkat cairan udara atau volvulus intestine, dapat dilihat dari foto-foto
tersebut. Posisi film dekubitus dapat membantu adanya asites.
2. Endoskopi Gastrointestinal
Prosedur ini merupakan suatu tambahan penting pada pemeriksaan
barium karena prosedur itu memungkinkan untuk dilakukan pengamatan
langsung tentang bagian-bagian traktus intestinal. Instrumen yang
digunakan adalah endoskop serat optic yang lentur. Alat ini dirancang
dengan ujung yang dapat digerakkan sehingga operator dapat
memanipulasi sepanjang saluran intestinal. Alat itu mempunyai saluran
instrumen yang memungkinkan untuk biopsy lesi, seperti tumor, ulser
atau peradangan. Cairan dapat diaspirasikan dari lumen saluran intestine
dan udara dapat dihembuskan untuk menggelembungkan saluran intestine
sehingga mempermudah pengamatan. Endoskop dan kolonoskop dasar
untuk intestinal bagian atas dirancang dalam bentuk yang hampir sama
dan hanya berbeda pada diameter dan panjangnya. Endoskop intestinal
atas sebelah sisi juga dirancang untuk pemeriksaan khusus pada duktus
empedu komunis dan duktus pankreatik.
Terapi spesifik dapat dilakukan melalui endoskopi gastrointestinal
bagian atas, termasuk sklerosis varises esophagus. Pada prosedur ini agen
penksklerosing, seperti natrium morhuate, dimasukkan ke vena yang
berdilatasi dalam esofagus dengan harapan akan terjadi jaringan ikat di
dalam vena untuk mencegah perdarahan spontan selanjutnya.
3. Kolonoskopi
Kolonoskopi digunakan untuk mengevaluasi adanya tumor,
peradangan atau polip di dalam kolon. Kolonoskopi juga dapat digunakan
untuk mengevaluasi kondisi daerah anstomotik dari pembedahan dan
mengkaji derajat striktura baik karena pembedahan atau peradangan.
Kolonoskop dapat dimasukkan melalui rektum menuju sepanjang
kolon ke dalam sekum. Dari sini katup ileosekal dapat dikaji begitu juga
abnormalitas lainnya, seperti adanya karsinoma awal atau polip di sebelah
kanan kolon. Polip ini dapat dikeluarkan melalui endoskopi, atau dapat
difulgurasi dan dibakar. Letak perdarahan khusus seperti yang terjadi pada

9
colitis, polip, tumor, atau angiodisplasia (pengumpulan pembuluh darah
yang abanormal yang dapat menyebabkan perdarahan terus menerus)
dapat diobservasi. Karena pasien biasanya diberi sedatif sebelum
dilakukan prosedur endoskopi sangat penting mengawasi jalan napasnya
untuk mencegah terjadinya depresi pernapasan atau aspirasi dan untuk
memantau tanda-tanda vital.
4. Pemeriksaan Barium Kontras
Pemeriksaan diagnostic ini sangat penting untuk menemukan
abnormalitas di dalam saluran intestinal. Penyinaran sinar X pada
gastrointestinal bagian atas atau telan barium dilakukan dengan meminta
pasien minum minuman yang telah dicampur dengan barium radioopak,
sementara ahli radiologi mengamati penyalutan dari bahan ini di dalam
esofagus, lambung dan usus halus. Barium mampu memperlihatkan
kelainan struktur seperti tumor atau ulkus juga dapat menemukan adanya
peradangan atau penyempitan.
5. Ultrasonografi
Pemeriksaan noninvasive ini menggunakan gelombang echo untuk
mendeteksi adanya abnormalitas dalam rongga abdomen. Dilatasi dari
duktus empedu komunis, distensi kandung empedu karena batu empedu,
dan abnormalitas pancreas seperti tumor, pseudokis, atau abses dapat
ditemukan. Aneurisme aorta dapat diperhitungkan untuk membantu
memutuskan apakah diperlukan pembedahan eksisi. Penebalan kolon
desenden dan kolon sigmoid dengan abses perikolonik yang disebabkan
oleh kondisi seperti divertikolusis dapat diidentifikasikan. Prosedur ini
biasanya dilakukan pada bagian radiologi rumah sakit.
6. Computed Axial Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI).
Tumor pada hati, pancreas, esofagus, lambung dan kolon dapat
diidentifikasi menggunakan pemeriksaan ini. Tumor retroperitoneal atau
nodus limfe juga dapat dilihat.
G. Penatalaksanaan
1. Resusitasi cairan

10
- Pasang akses intravena dengan kanul berdiameter besar
- Lakukan penggantian cairan intravena : RL atau normal saline
- Monitoring TTV saat cairan diganti
- Jika kehilangan cairan > 1500 ml membutuhkan penggantian darah
selain cairan
- Gunakan obat vasoaktif sampai cairan seimbang untuk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ vital seperti:
dopamin, epineprin dan norefineprin (Adi, 2007)
2. Bilas lambung
- Dilakukan selama peroide perdarahan akut (controversial karena
menggangu mekanisme pembekuan normal. Sebagian lain menyakini
bilas lambung dapat membantu membersihkan darah dalam lambung
dan membantu mendiagnosa penyebab perdarahan selama endoskofi)
- Jika di instruksikan bilas lambung maka 1000-2000 ml air atau normal
salin dalam suhu kamar di masukan ke lambung dengan menggunakan
NGT. Kemudian dikeluarkan kembali dengan spuit atau di pasang
suction sampai sekresi lambung jernih.
- Irigasi lambung dengan cairan normal saline levarterenol agar
menimbulkan vasokontriksi. Setelah diabsorbsi lambung obat di kirim
melalui sistem vena porta ke hepar dimana metabolism terjadi,
sehingga reaksi sistemik dapat di cegah. Pengenceran biasanya
menggunakan 2 ampul dalam 1000 ml larutan.
- Pasien beresiko mengalami aspirasi lambung karena pemasangan NGT
dan peningkatan tekanan intragastrik karena darah atau cairan yang
dugunakan untuk membilas. Pemantauan distensi lambung dan
membaringkan pasien dengan kepala ditinggikan penting untuk
memcegah refkuls isi lambung. Bila posisi tersebut kontraindikasi
maka diganti posisi dekubitus lateral kanan, memudahkan mengalirkan
isi lambung melewati pylorus (Adi, 2007).
3. Pemberian Pitresi
- Dilakukan bila dengan bilas lambung atau skleroterapi tidak menolong
maka akan diberikan vasopressin (pitresin ) intravena.

11
- Obat ini menurunkan tekanan vena porta oleh karenanya menurunkan
aliran darah pada tempat perdarahan .
- Mempengaruhi output urine karena sifat antidiuretik.
- Ranitidine 2-3 mg/kg/hari diberikan 2 kali sehari
- Pada esofagitis berat dan ulkus peptikum : omeprazole 0,6-3
mg/kg/hari 1 kali sehari (Adi, 2007).
4. Mengurangi asam lambung
- Turunkan keasaman sekresi lambung dengan obat histamine (H2)
antagonistic: simetidin, ranitidine hidrokloride dan famotidin.
- Dosis tunggal dapat menurunkan sekresi asam selama hampit 5 jam.
- Ranitidine iv: 50mg di cairkan 50ml D5W setiap 6 jam. Simetidin iv :
300 mg dicairkan dalam dosis intermiten 300 mg di cairkan dalam 50
mg D5W setiap 6 jam atau sebagai infuse iv kontinu 50 mg/jam. Hasil
terbaik dicapai jika pH lambung 4 dapat dipertahankan (Adi, 2007).
5. Memperbaiki status hipokoagulasi
- Pemberian vit. K dalam bentuk fitonadion (aqua mephyton) 10 mg im
atau iv dengan lambat untuk mengembalikan masa protrombin menjadi
normal.
- Diberikan plasma segar beku (Adi, 2007).
6. Balon tamponade
Alat ini untuk mengontrol perdarahan GI bagian atas karena varises
esophagus. Tube sangstaken-blakemore mengandung 3 lumen :
- Balon gastric yang dapat diinflasikan dengan 100-200 mL udara
- Balon esophagus yang dapat diinflasikan dengan 40 mmHg
- Lumen yang ke 3 untuk mengaspirasi isi lambung tube Minnesota
mempunyai lumen tambahan dan mempunyai lubang untuk
menghisap sekresi paring. Sedangkan tube linton-nachlas terdiri hanya
satu balon gaster yang dapat di inflasikan dengan 500-600 mL udara.
Hal yang penting dilakukan saat menggunakan balon ini adalah
observasi konstan dan perawatan cermat, dengan mengidentifikasi ketiga
ostium selang, diberi label dengan tepat dan diperiksa kepatenannya (Adi,
2007).

12
H. Komplikasi
Komplikasi yang pernah dilaporkan akibat skleroterapi endoskopi
adalah nyeri hebat retrosternal, ulserasi esophagus, perdarahan pasca STE,
demam, disfagia, stenosis esophagus, mediastinitis, efusi pleura, dan perforasi
esophagus. Sedangkan komplikasi pemasangan balon tamponade adalah
pneumonia aspirasi, kerusakan esophagus, dan obstruksi jalan nafas karena
migrasi balon ke dalam hipofaring (Muttaqin, 2011) .
I. Prognosis
Pada umumnya penderita dengan perdarahan saluran cerna bagian atas
yang disebabkan pecahnya varises esofagus mempunyai faal hati yang buruk
atau terganggu sehingga setiap perdarahan baik besar maupun kecil
mengakibatkan kegagalan hati yang berat. Banyak faktor yang mempengaruhi
prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hb, tekanan darah selama
perawatan, dan lain-lain. Mengingat tingginya angka kematian dan sukarrnya
dalam menanggulangi perdarahan saluran cerna bagian atas maka perlu
dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif terutama untuk mencegah
terjadinya sirosis hati (Dubey, 2008).

13
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Pangestu. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 4. Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007. Hal 289-92

Dubey, S., 2008. Perdarahan Gastrointestinal Atas. Dalam: Greenberg, M.I.,


et al. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Greenberg Vol 1. Jakarta:
Penerbit Erlangga

Edelman, D.A, Sugawa, C, 2007, Lower Gastrointestinal Bleeding: a review,


Surg Endosc, vol. 21, pp. 514-520,
http://misanjuandedios.org/files/20_HGII_A_.pdf

Faradillah, Firman, dan Anita. 2009. Gastro Intestinal Track Anatomical


Aspect. Surakarta : Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.

Muttaqin, A. dan Sari, K. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.

Price S. Wilson L. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Ed 6. Vol 1. Jakarta: EGC.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S. 2007. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC

Sjamsuhidajat R, Wim De Jong. 2005. Esofagus dan Diafragma dalam Buku


Ajar Ilmu Bedah, EGC. Jakarta.

Snell, Richard S.2006. Anatomi Klinik ed. 6. Jakarta: EGC

14

Anda mungkin juga menyukai