Definisi
B. Prevalensi
I Made (2006) dan Victor et al., (2005) mengungkapkan bahwa CML
merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang
paling sering di jumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat Leukemia
kronik lebih banyak dijumpai dalam bentuk CLL (Chronic Lymphocytic
Leukemia). Insiden CML di negara Barat sekitar 1-1,4/100.000/tahun.
Penyakit ini terjadi pada kedua jenis kelamin (rasio pria : wanita sebesar
1,4:1). Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan puncak pada
umur 40-50 tahun. Pada anak-anak dapat di jumpai bentuk juvenile CML.
C. Etiologi
Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010)
Beberapa asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor
lingkungan, tetapi di kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di
identifikasikan.
Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan
CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan).
1. Faktor Instrinsik
a. Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki
faktor predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia
meningkat pada saudara kembar identik penderita leukemia akut,
demikian pula pada suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini
oleh Price atau Wilson (1982) yang menyatakan jarang ditemukan
leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada
saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang
meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot), (Agung ,
2010).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan
kelainan fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita
dengan jumlah kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa,
sindrom klinefelter dan sindrom turner.
2. Faktor Ekstrinsik
a. Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan
dengan tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum
ditemukan alat pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar
tymus, Ankylosing spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat
terapi radiasi. Diperkirakan 10 % penderita leukemia memiliki latar
belakang radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli
radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar.
Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom
atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali
lebih banyak. Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis
yang diobati dengan sindar radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai
insidensi LMA 14 kali lebih banyak (Agung ,2010).
c. Infeksi Virus
D. Patofisiologi
Leukemia mempunyai sifat khas proliferasi tidak teratur atau akumulasi
sel darah putih dalam sumsum tulang, menggantikan elemen sumsum tulang
normal. Ada dua masalah terkait dengan sel leukemia yaitu adanya
overproduksi dari sel darah putih, kedua adanya sel abnormal atau imatur
dari sel darah putih, sehingga fungsi dan strukturnya tidak normal. Produksi
sel darah putih yang sagat meningkat akan menekan elemen sel darah yang
lain seperti penurunan produsi eritrosit mengakibatkan anemia, trombosit
menjadi menurun mengakibatan trombositopenia dan leukopenia dimana sel
darah putih yang normal menjadi sedikit.
Adanya trombositopenia mengakibatkan mudahnya terjadi
perdarahan dan keadaan leukopenia menyebabkan mudahnya terjadi infeksi.
Sel-sel kanker darah putih juga dapat menginvasi pada sumsum tulang dan
periosteum yang daat mengakibatkan tulang menjadi rapuh dan nyeri tulang.
Disamping itu infilrasi keerbagai organ seperti otak, ginjal, hati, limpa,
kelenjar limfe menyebabkn pembesaran dan gangguan pada organ terkait.
E. Klasifikasi
Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010)
dibagi menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel
premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini
ditandai dengan over produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil
segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan mempunyai respon baik
terhadap terapi konvensional.
3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30%
sel blast pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar
ke jaringan lain dan organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit
ini berubah menjadi Leukemia Myeloblastik Akut atau Leukemia
Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al.,
(2005) tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
1. Fase kronik terdiri atas :
f. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran
pucat, dispneu dan takikardi.
G. Pemeriksaan Penunjang
I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang
untuk CML, yaitu :
1. Laboratorium
a. Darah rutin :
Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi dengan
perbesaran 400x menunjukkan perbesaran 1000x menunjukkan promielosit,
hyperlekositosis. eosinofil,3 basofil, netrofil batang dan
segmen.
Terdapat juga eosinophilia, basofilia,
thrombocytosis.
Gambar 2.3
H. Diagnosis Banding
Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi
klinis yang dapat menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien
CML kadang tidak ditemukan kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu
standar untuk menegakkan suatu diagnosis.
1. Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :
a. Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum
tulang berinti.
b. Basofil darah tepi >20%.
c. Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan
dengan terapi, atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak
responsif terhadap terapi.
d. Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
e. Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2006).
I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Fase Kronik
2. Non-Medikamentosa
a. Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar
tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan
gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum
transplantasi sumsum tulang (Atul & Victor, 2005).
J. Prognosis
Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah
penyakitnya terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap
tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih
setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase
akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata setelah krisis
blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan
hidup sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).
1. Pengkajian
Pengkajian pada leukemia meliputi :
a. Riwayat penyakit
b. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
1) Pucat
2) Kelemahan
3) Sesak
4) Nafas cepat
c. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
1) Demam
2) Infeksi
d. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
1) Ptechiae
2) Purpura
3) Perdarahan membran mukosa
e. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
1) Limfadenopati
2) Hepatomegali
3) Splenomegali
f. Kaji adanya :
1) Hematuria
2) Hipertensi
3) Gagal ginjal
4) Inflamasi disekitar rectal
5) Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 178)
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada kasus AML, antara
lain:
a. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan :
1) Tidak adekuatnya pertahanan sekunder
2) Gangguan kematangan sel darah putih
3) Peningkatan jumlah limfosit imatur
4) Imunosupresi
5) Penekanan sumsum tulang (efek kemoterapi)
3. Intervensi Keperawatan
No
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
1
Resiko infeksi berhubungan dengan :
• Tidak adekuatnya pertahanan sekunder
• Gangguan kematangan sel darah putih
• Peningkatan jumlah limfosit imatur
• Imunosupresi
• Penekanan sumsum tulang (efek kemoterapi)
Infeksi tidak terjadi
1. Tempatkan anak pada ruang khusus. Batasi pengunjung sesuai
indikasi
2. Berikan protocol untuk mencuci tangan yang baik untuk semua
staf petugas
3. Awasi suhu. Perhatikan hubungan antara peningkatan suhu dan
pengobatan chemoterapi.
4. Dorong sering mengubah posisi, napas dalam, batuk.
5. Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut secara
periodic. Gunakan sikat gigi halus untuk perawatan mulut.
6. Awasi pemeriksaan laboratorium : WBC, darah lengkap
7. Berikan obat sesuai indikasi, misalnya Antibiotik
8. Hindari antipiretik yang mengandung aspirin
2
Defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan :
• Kehilangan berlebihan, seperti: muntah, perdarahan
• Penurunan pemasukan cairan : mual, anoreksia.
Volume cairan tubuh adekuat, ditandai dengan TTV dbn, stabil, nadi teraba,
haluaran urine, BJ dan PH urine, dbn.
1. Awasi masukan dan pengeluaran. Hitung pengeluaran tak kasat mata
dan keseimbangan cairan. Perhatikan penurunan urine pada
pemasukan adekuat. Ukur berat jenis urine dan pH Urine.
2. Timbang BB tiap hari.
3. Awasi TD dan frekuensi jantung
4. Evaluasi turgor kulit, pengiisian kapiler dan kondisi umum membran
mukosa.
5. Implementasikan tindakan untuk mencegah cedera jaringan /
perdarahan, ex : sikat gigi atau gusi dengan sikat yang halus.
6. Berikan diet halus.
7. Berikan cairan IV sesuai indikasi
8. Berikan sel darah Merah, trombosit atau factor pembekuan
3
Nyeri akut berhubungan dengan :
• Agen fiscal: pembesaran organ / nodus limfe, sumsum tulang yang diinvasi
dengan sel leukemia.
• Agen kimia ; pengobatan antileukemia.
rasa nyeri hilang/berkurang
1. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan
petunjuk nonverbal,rewel, cengeng,
gelisah
2. Berikan lingkungan yang tenang dan
kurangi rangsangan stress
3. Tempatkan pada posisi nyaman dan
sokong sendi, ekstremitas denganan
bantal
4. Ubah posisi secara periodic dan
berikan latihan rentang gerak lembut.
5. Berikan tindakan ketidaknyamanan;
mis : pijatan, kompres
6. Berikan obat sesuai indikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Kurnianda, Johan. 2007. Leukimia Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI