Anda di halaman 1dari 16

CKD (Chronic Kidney Disease)

A. Definisi

CKD atau biasa dikenal sebagai gagal ginjal kronik adalah progresifitas lambat dari fung
si ginjal selama beberapa tahun yang akhirnya pasien memiliki gagal ginjal permanen. Menu
rut Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI), gagal ginjal kronik adalah kerusakan
pada organ ginjal dimana terjadi penurunan tingkat filtraasi glomerulus (Glomerular Filtratio
n Rate - GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 dalam kurun waktu 3 bulan atau lebih.

B. Patofisiologi

Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari penuruna
n fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekresikan ke dalam urin t
ertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang mempengarui sistem tubuh. Semakin ba
nyak timbunan produk sampah, maka setiap gejala semakin meningkat, sehingga menyebab
kan gangguan kliren renal. Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumla
h glomerulus yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah ya
ng seharusnya dibersihkan oleh ginjal.

Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 j
am untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi glomelurus atau akibat tidak berf
ungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain i
tu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indika
tor paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh
. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan pro
tein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid.

Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi cairan dan natri
um. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal tidak mampu untuk mengo
nsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respo
n ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-
hari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko
terjadinya oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akib
at aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldostero
n. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hip
otensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium,
yang semakin memperburuk status uremik.

Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan asam (


H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk m
ensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi f
osfat dan asam organik lain juga terjadi.
Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan ane
mia terjadi disertai sesak napas, angina dan keletihan. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat
memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalam
i perdarahan karena status pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi an
emia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginj
al untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.

Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001) adalah ga
ngguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan saling timbal balik, ji
ka salah satunya meningkat yang lain menurun. Penurunan LFG menyebabkan peningkatan
kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan penurunan sekre
si parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon secara nor
mal terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di tulang menurun,
menyebabkan perubahan pada tulang dan menyebabkan penyakit tulang, selain itu metaboli
k aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam ginjal menur
un, seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan sering disebut O
steodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan komplek kalsium, fosfat dan keseim
bangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal juga berkaitan dengan gangguan yang m
endasari ekresi protein dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara
signifikan sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan ce
pat memburuk dari pada mereka yang tidak mengalimi kondisi ini.

Gambar 1. Patogenesis Chronic kidney disease dan komplikasinya terhadap sistem kardiovaskul
er. Pada PGK stage 1 dan 2 terdapat hubungan yang erat antara merokok, obesitas, hiperten
si, dislipidemia, homocysteinemia, inflamasi kronik dengan faktor resiko, nefropati primer, da
n diabetes mellitus. Hal ini dapat menyebabkan suatu inflamasi kronik pada sistem kardiova
skuler. PGK yang memburuk dimana telah terjadi kerusakan glumerulus atau jaringan intersti
sial disebut dengan PGK stage 3-
4. Pada keadaan ini akan terjadi anemia, toksin uremik, abnormalitas dari kalsium dan fosfat
, dan overload natrium dan air. Hal ini juga dapat menyebabkan inflamasi kronik pada sistem
kardiovaskuler. Pada PGK stage 5 terjadi sklerosis dan fibrosis pada glomerulus. Hal ini dap
at meningkatkan terjadinya inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler dan stimulasi monos
it. Hal ini akan meningkatkan resistensi insulin, metabolisme otot, dan adipositokin. Selain itu
, stimulasi monosit juga akan menyebabkan reaktan fase akut, menurunkan appetite, remod
eling tulang, dan disfungsi endotel (Dikutip dari Nitta, 2011).

C. Manifestasi klinis

1. Glomerulonefritis

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak j
elas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulu
s (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan pri
mer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal se
ndiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sist
emik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).

2. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitu
s merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang ter
jadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat me
ngenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat b
ervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-
lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjad
i lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala terse
but dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke d
okter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).

3. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyeb
abnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi prim
er yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut jug
a hipertensi renal (Sidabutar, 1998).

4. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang s
emisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-
kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kel
ainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal poliki
stik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu
dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karen
a sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun (Suhardjono, 1998).
D. Faktor risiko

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hiperte
nsi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyak
it diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundati
on, 2009).

E. Klasifikasi

Pada tahun 2002, KDOQI menerbitkan klasifikasi tahapan penyakit gagal ginjal kornis s
ebagai berikut:

1. Tahap 1: kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (>90ml/min/1,73m2)

2. Tahap 2: penurunan ringan pada GFR (60-89 ml/min/1,73m2)

3. Tahap 3: penurunan moderat pada GFR (30-59 ml/min/1,73m2)

4. Tahap 4: penurunan berat pada GFR (15-29 ml/min/1,73m2)

5. Tahap 5: gagal ginjal (GFR <15 ml/min/1,73m2 atau dialisis)

Pada tahap 1 dan tahap 2 penyakit gagal ginjal kronis, GFR saja tidak dapat dilakukan d
iagnosis. Tanda lain dari kerusakan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau ur
in atau kelainan pada studi pencitraan, juga harus ada dalam menetapkan diagnosis tahap 1
dan tahap 2 penyakit ginjal kronis.

Pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 1-


3 umunya asimptomatik, manifestasi klinis biasanya muncul dalam tahap 4-
5. Diagnosis dini, pengobatan dan penyebab atau tindakan pencegahan sekunder sangat pe
nting pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Hal ini dapat menunda atau menghentikan
kemungkinan atau kemajuan gagal ginjal.
F. Gambaran klinik

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, m
eliputi kelainan-
kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput se
rosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).

1. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-


94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat berva
riasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per meni
t.

2. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kr
onik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, did
uga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.
Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-
keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein
dan antibiotika.

3. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal gin
jal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hiper
tensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan ata
u deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat irit
asi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal gi
njal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

4. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhu
bungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah t
indakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan
kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.

5. Kelainan selaput serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginj
al kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu ind
ikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.

6. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi serin
g dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan
tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental
ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan terga
ntung dari dasar kepribadiannya (personalitas).

7. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. B
eberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering d
ijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyeba
bkan kegagalan faal jantung. Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila
dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisi
k diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).

G. Penatalaksanaan

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progre
sif, meringankan keluhan-
keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan m
emelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).

a) Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi tok
sin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan
negatif nitrogen.

b) Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utam
a, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan mem
elihara status gizi.

c) Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis
mencapai 2 L per hari.

d) Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan pen
yakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2. Terapi simtomatik

a) Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).


Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi
alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarb
onat ≤ 20 mEq/L.

b) Anemia

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alt
ernatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-
hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

c) Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada C
KD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari CKD. Kelu
han gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindak
an yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

d) Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e) Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang ade
kuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f) Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

g) Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan tr
ansplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

a) Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, d
an malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum ta
hap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).

Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendun
gan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, mu
ntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indik
asi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73mイ, mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat (Sukandar, 2006).
b) Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-
akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di l
uar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-
anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-
pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-
pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan p
embuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan re
sidual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-
mortality. Indikasi non-
medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (man
diri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

c) Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:

1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangka
n hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah

2) Kualitas hidup normal kembali

3) Masa hidup (survival rate) lebih lama

4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif u


ntuk mencegah reaksi penolakan

5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

B. Fokus Pengkajian

Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada Doenges (20
01), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :

1. Demografi.

Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang mengalam
i CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti proses pengobatan
, penggunaan obat-
obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga m
empunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan d
uduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum /
mengandung banyak senyawa / zat logam dan pola makan yang tidak sehat.

2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis, hiperten
si, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah
juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pengkajian pola fungsional Gordon

a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien

Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah. Pas
ien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah pasien t
erlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti ini meski segala h
al yang telah dilarang telah dihindari.

b. Pola nutrisi dan metabolik.

Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6 b
ulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.

c. Pola eliminasi

Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah atau
tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.

d. Aktifitas dan latian.

Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dap
at menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktivitas dibantu.

e. Pola istirahat dan tidur.

Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata. Tandanya
adalah pasien terliat sering menguap.

f. Pola persepsi dan koknitif.

Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesadaran se


perti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.

g. Pola hubungan dengan orang lain.

Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai terjadiny
a HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komunikasi tidak jelas.

h. Pola reproduksi

Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan dalam h


ubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan, penurunan kualita
s hubungan.

i. Pola persepsi diri.

Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra diri ja
uh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya diri.

j. Pola mekanisme koping.


Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan tepat
, mudah terpancing emosi.

k. Pola kepercayaan.

Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah meninggalkan p


erintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti biasanya.

5. Pengkajian fisik

a. Penampilan / keadaan umum.

Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari comp
os mentis sampai coma.

b. Tanda-tanda vital.

Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan reguler.

c. Antropometri.

Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau terjadi p
eningkatan berat badan karena kelebian cairan.

d. Kepala.

Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga, hidung kot
or dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-
pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.

e. Leher dan tenggorok.

Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.

f. Dada

Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-


debar. Terdapat otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambaha
n pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada j
antung.

g. Abdomen.

Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.

h. Genital.

Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.

i. Ekstremitas.

Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan Capi
llary Refil lebih dari 1 detik.

j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia, dan terj
adi perikarditis.

6. Pemeriksaan penunjang.

a. Pemeriksaan Laboratorium :

1. Urin

a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada (anuria).

b) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah, bakteri, lem
ak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukkan adanya darah, migl
obin, dan porfirin.

c) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat).

d) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio urine / ur
eum sering 1:1.

2. Kliren kreatinin mungkin agak menurun.

3. Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.

4. Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-


4+ ), secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan freg
men juga ada.

5. Darah

a) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga tahap akhi
r (mungkin rendah yaitu 5).

b) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari
7-8 g/dL.

c) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti pada az
otemia.

d) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi kare
na kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen dan amonia atau hasil akhir
katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.

e) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal (menunjukkan s
tatus dilusi hipernatremia).

f) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan selular (asido
sis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir , perubahan EKG mungki
n tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar. Magnesium terjadi peningkatan fosfa
t, kalsium menurun. Protein (khuusnya albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penuruna
n sintesis karena kurang asam amino esensial. Osmolalitas serum lebih besar dari 285 mos
m/kg, sering sama dengan urine.

b. Pemeriksaan Radiologi

1. Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista, o
btruksi pada saluran perkemihan bagian atas.

2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis h
istologis.

3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.

4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.

5. KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan adanya
obtruksi (batu).

6. Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi ekstravaskuler, mass
a.

7. Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.

8. Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih, refluk kedala
m ureter, dan retensi.

9. Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit tinggi kalori d
an rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat ketat pula pada asupan cai
ran yaitu antara 500-800 ml/hari.

10. Pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti hipertensi, obat diuret
ik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada penyakit DM, sampai selanjutnya nanti
akan dilakukan dialisis dan transplantasi.

Perencanaan keperawatan
N Diagnosa (NANDA) NOC NIC
o
1 Excessive fluid volum Fluid balance Fluid/ electrolyte management
e b.d gangguan mekani
Setelah dilakukan perawatan sel -
sme regulasi.
ama 3x24 jam, cairan tubuh pasi monitor serum elektrolit abnorma
en seimbang dengan indikator: l
Definisi: Indikator A Tar -
wa get cek labrotarorium untuk memant
Peningkatan retensi cai
l au cairan/ elektrolit yang tergang
ran isotonik.
gu (misalnya: Hmt, BUN, protein,
Tekanan darah 2 4 sodium, dan kalium)

Batasan karakteristik: - batasi intake cairan


- Intake dan outpu 3 5 -
gangguan tekanan dar t 24 jam monitor hasil lab yang berhubun
ah gan dengan retensi cairan (misan
BB stabil 2 3 ya peningkatan BUN, penurunan
-gangguan pola nafas
Turgor kulit 3 4 Hmt)
-penurunan Hb
Kelembaban me 3 5 - monitor status hemodinamik
-edema mbran mukosa -
-kelemahan monitor tanda dan gejala retensi
Kehausan 3 4 cairan
-
ketidakseimbangan ele Edema perifer 3 4 -
ktrolit mencatat intake dan output setia
Pusing 3 4
p hari
- monitor vital sign
Kidney function -
Setelah dilakukan perawatan 3x monitor manifestasi klinis ketidak
24 jam, fungsi ginjal pasien opti seimbangan elektrolit
mal dengan kriteria hasil: -
Indikator A Ta mengkaji emmbran mukosa, skle
w rg ra, dan kulit sebgai indikasi gang
al et guan keseimbangan cairan dan e
lektrolit (misalnya kering, sianois,
Intake cairan 2 4 jaundice)
keseimbangan int 3 4 -
ake dan output 24 kolaborasi medik tanda dan gejal
jam a ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit memburuk
Warna urin 3 5
- menyiapkan pasien HD
Proteinuria 3 4
-
Hipertensi 3 5
monitor kehilangan cairan (misal
Kelelahan 4 5 nya: takipnea)

Anemia 3 4

1: severely compromised Vital signs monitoring

2: substantially compromised - monitor HR, TD, RR, dan suhu

3: moderately compromised -
monitor TD ketika berbaring, dud
4: mildly compromisesd uk, berdiri sebelum dan sesudah
perubahan posisi.
5: not compromised
-
monitor TD, RR, HR sebelum, se
lama, dan sesudah aktivitas
- monitor kualitas nadi
- monitor suara paru
-monitor pola nafas abnormal
-
monitor warna, suhu, dan kelem
baban kulit
-
monitor sianosis perifer dan sent
ra

2 Activity intolerance b. Activity tolerance Activity tolerance


d ketidakseimbangan a
Setelah dilakukan perawatan 3x -
ntara kebutuhan dan s
24 jam, respon fisiologis tubuh p kolaboraasi denan fisioterapis da
upply oksigen.
asien dalam batas normal denga lam perencanaan dan minitoring
n kriterdia hasil: program aktivitas
Definisi: Indikator Aw Targ -
al et menentukan komitmen pasien d
Ketidakcukupan energi
alam menignkatkan frekuensi dan
fisik atau psikologis unt Sat O2 selama 3 4 / atau range aktivitas
uk mempertahankan at aktivitas
au memenuhi aktivitas -
sehari-hari. HR selama akti 3 4 membantu pasienuntuk fokus ter
vitas hadap apa yang dapat dilakukan.
RR selama akti 3 4 -
Batasan karakteristik: vitas membantu pasien dan keluarga
- TD selama akti 3 4 untuk emngidentifikasi penurunan
ketidaknormalan HR se vitas aktivitas
lama aktivitas.
Jarak berjalan 3 4 -
-kelelahan memfasilitasi aktivitas substitusi
Kekuatan ekst. 3 5 ketika pasien terbatas gerak, ene
-kelemahan umum bawah rgi dan waktu

1: severely compromised - membantu ADL

2: substantially compromised -
memberikan reinforcement positi
3: moderately compromised f terhadap partisipasi pasien dala
4: mildly compromised m kegiatan

5: not compromised -
monitor respon emosional, fisik,
psikologis dan sosial terhadap ak
tivitas.

3 Sleep deprivation b.d Sleep Sleep enhancement


narkolepsi, ketidaknya
Setelah dilakukan perawatan 3x -
manan berkepanjanga
24 jam, pasien dapat tidur berku Tentukan pola tidur atau aktivitas
n.
alitas dengan kriteria hasil: klien
-
Definisi: Indikator A Tar Jelaskan pentingnya tidur saat k
wa get ondisi sakit
Periode waktu terjaga
l
berkepanjangan tanpa -
tidur. Jam tidur 4 5 Tentukan efek pengobatan terha
dap pola tidur klien
Jumlah jam tidur 4 5
yang teramati -
Batasan karakteristik:
Monitor pola dan jumlah jam tidu
Pola tidur 3 4 r klien
-gangguan konsentrasi
-kelelahan Kualitas tidur 3 5 -

Bed yang nyama 3 5 Monitor pola tidur dan catat hubu


-kelemahan ngan faktor-
n
faktor fisik (apnea saat tidur, nyer
Kesulitan memul 3 4 i/ ketidaknyamanan) dan faktor p
ai tidur sikologi

1: severely compromised - Modifikasi lingkungan

2: substantially compromised - Motivasi pasien untuk tidur rutin

3: moderately compromised -
Fasilitasi pasien agar dapat tidur
4: mildly compromised rutin
5: not compromised -
Bantu untuk mengurangi stresso
r dari lingkungan
-
Lakukan massage atau pengatur
an posisi
- Lakukan pendkes pada keluarga
Daftar pustaka
Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnoses definitions and classification 2015-
2017. United Kingdom: Blackwell.
Dochterman, J. M. & Bulecheck, G. N. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC) fourth
edition. Missouri: Mosby
Jevuska. 2012. Gagal Ginjal Kronik atau CKD: Pengertian dan klasifikasi, diakses pada 22
Desember 2014, (Online), http://www.jevuska.com/2012/10/27/gagal-ginjal-kronik-atau-ckd/.
Kidney Disease Outcomes Quality Iniatiative of The National Kidney Foundation. Clinical Pr
actice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratificati
on. 2002.
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M.L. & Swanson, E. 2008. Nursing Outcomes Classificati
on (NOC) fourth edition. Missouri: Mosby
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu Pe
nyakit Dalam. Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
US Renal Data System (USRDS). 2010. Annual Data Report: Atlas of Chronic Kidney Disea
se and End-
Stage Renal Disease in the United States. Bethesda, Md: National Institutes of Health,
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Hyperlink Available at
: http://www.usrds.org/adr.htm.

Anda mungkin juga menyukai