Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yaitu anemia hemolitik


herediter yang diturunkan secara autosomal resesif dengan disebabkan oleh defek
genetik pada pembentukan rantai globin.Penyakit ini baru muncul pada seseorang
apabila ia memiliki dua gen talasemia yang berasal dari kedua orang tuanya yaitu
satu dari ayah dan satu dari ibu.
Berdasarkan data terakhir dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa genetik Thalasemia.
Dari 250 juta, 80-90 juta di antaranya membawa genetik Thalasemia Beta.1
Sementara itu di Indonesia Jumlah penderita Thalasemia hingga tahun
2009 naik menjadi 8, 3 persen dari 3.653 penderita yang tercatat pada tahun 2006.
Hampir 90% para penderita penyakit genetik sintesis Hemoglobin (Hb) ini berasal
dari kalangan masyarakat miskin.
Saat ini, penyakit thalasemia merupakan penyakit genetika yang cukup
banyak di Indonesia. Frekuensinya terus meningkat per tahun. Walupun begitu,
masyarakat tidak menaruh perhatian yang cukup besar terhadap penyakit yang
sudah menjadi salah satu penyakit genetika terbanyak ini. Hal ini disebabkan
karena gejala awal dari penyakit sangat umum. Padahal gejala akhir yang
ditimbulkan akan sangat fatal jika tidak ditangani secara akurat, cepat, dan tepat.
Melihat kenyataan ini, maka sebaiknya kita harus mewaspadai dengan cara
mengetahui dengan benar informasi tentang penyakit ini, sehingga penyakit ini
dapat diidentifikasi dan penanganannya pun dapat dilakukan secara dini dengan
cara yang tepat.

1
BAB 2
KASUS

2.1. IDENTITAS
1. Identitas Penderita:
Nama penderita : An. R M
Umur : 7 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat/tanggal lahir : Tumbang Jutuh, 7 September 2010
Agama : Islam
Tanggal MRS : 20/5/2017
2. Identitas Orang Tua/Wali:
Ayah : Nama : Tn. E
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Tumbang Jutuh
Ibu : Nama : Ny. P
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Tumbang Jutuh

2.2. YANG MENGIRIM


IGD RSUD dr.Doris Sylvanus, Palangkaraya
2.3. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan : Ayah Pasien
Tanggal/jam : 28 Desember 2017 / 11.00 WIB
1. Keluhan Utama : Pucat
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang diantar oleh orang tuanya
dengan keluhan pucat yang dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Menurut
ayahnya pasien tampak lemas dan pucat, mudah letih, anak malas untuk
beraktifitas/ bermain bersama teman, kejang (-), pusing, dada berdebar-
debar (+), sakit kepala (-), perut terasa penuh dan membesar, nafsu makan

2
kurang, makan dan minum sulit terutama sayuran dan berat badan tidak
naik- naik, BB turun (-), nyeri pada tulang (-), pilek (-), batuk (-), sesak
napas (-), diare (-), mual (-), muntah (-), mimisan (-), gusi berdarah (-),
keluar cairan dari telinga (-), BAB baik, tidak ditemukan cacing, darah (-),
BAK baik, tidak berwarna merah atau coklat, anak gampang sekali sakit,
anak terlihat kurang bergairah serta tidak selincah anak seusianya yang
normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan yang sama.
Demam (-) Batuk (-) BAB Cair (-) Biru (-) Kuning (-) Kejang (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga pasien, nenek pasien memiliki riwayat thalasemia

= Perempuan

= Laki-laki

= An. R M

= Nenek pasien yang


mengalami riwayat Gambar 1. Skema Riwayat Penyakit
Keluarga
thalasemia
5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan Sekarang dan Sebelumnya
Riwayat antenatal : ANC setiap bulan selama masa kehamilan di
Puskesmas, mengaku sering pingsan saat hamil.
1. Riwayat natal : Lahir Spontan
2. Nilai APGAR : Saat lahir langsung menangis
3. Berat badan lahir : 2500 gr
4. Tempat dan Penolong : Lahir puskesmas dan ditolong bidan
puskesmas
5. Riwayat neonatal : Tidak ada membiru pada bibir atau tangan dan
kaki, tidak ada demam atau badan kuning.

3
6. Riwayat Perkembangan
Perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa dan kemandirian
sudah sesuai dengan usia. Usia sekarang os dapat melompat, menendang
benda, menggambar garis, bisa berbicara banyak kata ke orang lain, bisa
mencuci tangan dan menyuap makan sendiri.

7. Riwayat imunisasi
Tabel 1. Riwayat Imunisasi
Jenis Dasar (Umur dalam hari/bulan)
BCG 1 bulan
POLIO -
HEPATITIS B -
DPT -
CAMPAK -
Kesan : imunisasi dasar tidak lengkap

8. Riwayat Makanan
Tabel 2. Riwayat Makanan
USIA MAKANAN
0-1 Tahun Susu formula semau anak
6 Bulan Bubur saring 3 kali sehari
1 tahun Bubur saring + telur, sayuran 3-4 kali sehari
2-8 tahun Makan Nasi biasa + lauk + sayur + sekitar 3 kali sehari
Kesan : Makanan Sehat

9. Riwayat Sosial dan Lingkungan


Penderita tinggal bersama ayah dan tantenya di rumah yang beratap seng,
berdinding batako, lantai semen. Terdiri dari 2 kamar tidur yang dihuni oleh 2
orang dewasa dan 2 anak-anak. Terdapat 1 kamar mandi dan WC yang
letaknya di dalam rumah. Rumah tersebut kurang memiliki ventlasi yang baik,
terdapat jendela sebanyak 3 buah. Sumber air minum dari air isi ulang, sumber
penerangan listrik berasal dari PLN. Penanganan sampah dibuang di tempat
pembuangan sampah.

4
2.4. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Tampak lemas
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5
2. Pengukuran
Tanggal : 28-12-2017
Umur : 7 tahun
Antopometri :
Berat badan : 12 kg
Tinggi badan : 117 cm
Lingkar lengan atas : 10 cm (51%) Gizi Buruk
Status Gizi : 54% Gizi Buruk (Waterlow)

Gambar 2. Status Gizi Menurut CDC

5
Tanda vital : Nadi = 120 x/menit, regular, isi cukup, kuat angkat
Respirasi = 22 x/menit
Suhu badan = 36,40C
Kepala : Bentuk mesocephal, rambut hitam, tidak mudah dicabut, UUB
menutup
Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, refleks kornea
kesan normal, refleks cahaya normal, lensa jernih, pupil bulat
isokor dengan diameter 3 mm/3 mm
Telinga : dalam batas normal
Hidung : Tidak dijumpai deviasi septum, pernafasan cuping hidung
tidak ada, tidak dijumpai adanya sekret
Mulut : Sianosis tidak ada, selaput mulut basah,
Tonsil T1 - T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening multipel
Toraks : Bentuk simetris, ruang interkostal tidak melebar, tidak ada
retraksi
Jantung : Denyut jantung 120 x/menit, teratur, bunyi jantung I dan II
normal, tidak terdengar adanya bising
Paru-paru : Suara pernapasan bronkovesikular, tidak ditemukan adanya
ronki maupun wheezing
Abdomen : Bentuk cembung, lemas, bising usus normal, hepar: 11cm dan
lien : S VI
Genitalia : Perempuan, tidak dijumpai adanya kelainan
Anggota gerak : Akral hangat, Capillary Refill Time ≤ 2”, kekuatan otot
normal, refleks fisiologis normal, refleks patologis tidak ada,
tidak dijumpai edema
2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.5.1. Laboratorium
Tabel 1. Hasil Laboratorium
17-05-2017
 Hematokrit : 7 % (37 - 47%)
 Hb : 2,3 gr/dL (12 - 16 gr/dl)
 Leukosit : 4.900/µL (4.000 - 10.000/µL)
 Trombosit : 84.000/µL (150.000 - 450.000/µL)

6
2.6. Diagnosa
Diagnosa Banding:
Anemia Berat Thalasemia

Pucat Anemia Sedang

Anemia Ringan

Tabel 4. Diagnosis Banding


I
Pucat :
- Anemia Berat : Thalasemia
- Anemia Sedang
- Anemia Ringan

Diagnosa Kerja:
- Thalasemia

2.8. Penatalaksanaan
- Inf. Nacl 0,9 % 10 tpm (makro)
- Pro transfuse PRC
o Tahap 1 (5cc/kgBB) = 60 cc
o Tahap II (15cc/kgBB) = 180 cc

2.9. Prognosis
Quo ad vitam (hidup) : Bonam (baik)
Quo ad functionam (fungsi) : Bonam (baik)
Quo ad sanationam (sembuh) : Sanam (sembuh)

7
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Thalasemia
Definisi
Thalasemia adalah kelompok dari anemia herediter yang diakibatkan oleh
berkurang nya sintesis salah satu rantai globin yang mengkombinasikan
hemoglobin (HbA, α 2 β 2). Disebut hemoglobinopathies, tidak terdapat
perbedaan kimia dalam hemoglobin. Nolmalnya HbA memiliki rantai polipeptida
α dan β, dan yang paling penting thalasemia dapat ditetapkan sebagai α - atau β -
thalassemia.3

3.2 Etiologi dan Predisposisi


Adapun etiologi dari thalasemia adalah faktor genetik (herediter).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel
darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek
(kurang dari 100 hari).

3.3 Klasifikasi
Di indonesia talasemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan
anemia hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler. Thalasemia –δ (gangguan
pembentukan rantai δ).4
Tabel 5. Klasifikasi Klinis Thalasemia
Carrier Hematologi normal
Thalassemia Trait anemia ringan dengan mikrositik dan
(α-thalassemia trait atau β- hipokromik.
thalassemia trait)
Hemoglobin H Disease anemia hemolitik menuju ke berat
(α-thalassemia)
Atau
Hemoglobin H–Constant Spring ikterus dan spleenomegali
Thalassemia Major anemia berat, hepatosleenomegali.
Thalassemia Intermedia beberapa jenis thalasemia tanpa terapi
tranfusi regular.

8
3.4 Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Penderita pertama datang dengan keluhan lemas anemia/pucat, tidak
nafsu makan dan perut membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6
bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan fisis yang meliputi bentuk muka
mongoloid (facies Cooley), ikterus, gangguan pertumbuhan, splenomegali dan
hepatomegali.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada tanda vital didapatkan tekanan darah menurun, nadi brakikardia,
suhu tubuh normal, pernapasan meningkat. Pada pemeriksaan kulit didapatkan
pucat dan ikterus ringan. Pada pemeriksaan jantung didapatkan ejection
systolic murmur grade 2. Pada liver didapatkan teraba 4 cm di bawah arcus
costae dextra, konsistensi kenyal permukaan licin. Pada pemeriksaan spleen
didapatkan teraba 5 cm di bawah arcus costae sinistra (Schuffner III). Pada
pemeriksaan limfadenopati negative. Pada pemeriksaan gangguan
pertumbuhan tulang didapatkan hasil +/-
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis
thalasemia ialah pemeriksaan darah, elekrofoersis Hb, pemeriksaan sumsum
tulang, pemeriksaan rontgen
3.5 Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
- Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar
feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%,
atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg
berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam
dengan minimal selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.
- Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi.
- Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
- Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah

9
b. Bedah
- Splenektomi, dengan indikasi: limpa yang terlalu besar, sehingga
membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan
intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur hipersplenisme ditandai
dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi
eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.
- Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita
thalasemia dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil
tersembuhkan dengan tanpa ditemukannya akumulasi besi dan
hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada anak usia
dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-spesifik dan
cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan
transplantasi ini.
c. Suportif
- Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan
kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat,
menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk
PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
- Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan
kelebihan besi sebagai akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi darah
berulang. Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut,
sakit kepala, gatal, sukar bernapas. Bila hal ini terjadi kelasi besi
dihentikan.
- Tumbuh Kembang : Anemia kronis memberikan dampak pada proses
tumbuh kembang, karenanya diperlukan perhatian dan pemantauan
tumbuh kembang penderita.
- Gangguan Jantung, Hepar, dan Endokrin : Anemia kronis dan kelebihan
zat besi dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung (gagal jantung),
hepar (gagal hepar), gangguan endokrin (diabetes melitus, hipoparatiroid)
dan fraktur patologis.

10
BAB 4
PEMBAHASAN

Telah dilaporkan anak perempuan berusia 7 tahun dengan berat badan


12kg yang berobat di IGD RSUD dr.Doris Sylvanus pada tanggal 24 desember
2017 dengan diagnosa 1) Thalasemia, 2) Anemia berat diagnosa ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, serta akan dibahas
mengenai diagnosis, penatalaksanaan, prognosis dan tidak lanjut pada pasien.
Diagnosis
Pada anamnesis penderita didapatkan keluhan pucat yang dirasakan sejak 1
bulan yang lalu serta keluhan tampak lemas, mudah letih, malas
beraktifitas/bermain bersama teman dan perut makin membesar. Hal ini sesuai
berdasarkan teori penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak
nafsu makan dan perut membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6 bulan.
Penderita thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung jenis rantai asam
amino yang hilang dan jumlah kehilangannya. Keadaan yang berat pada beta-
thalasemia mayor akan mengalami anemia karena kegagalan pembentukan sel
darah, penderita tampak pucat karena kekurangan hemoglobin.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak pucat, konjungtiva anemis,
dada berdebar, serta palpasi abdomen teraba lien shufner I. Hal ini sesuai
berdasarkan teori bahwa dalam penegakkan diagnosis pemeriksaan fisik thalasemia
umumnya ditemukan bentuk muka mongoloid (facies Cooley), ikterus, gangguan
pertumbuhan, splenomegali dan hepatomegali. Pada pasien perut terlihat buncit
karena hepatomegali dan splenomegali sebagai akibat terjadinya penumpukan Fe,
kulit kehitaman akibat dari meningkatnya produksi Fe, juga terjadi ikterus karena
produksi bilirubin meningkat. Gagal jantung disebabkan penumpukan Fe di otot
jantung, deformitas tulang muka, retrakdasi pertumbuhan, penuaan dini. Pada
kasus yang tidak diterapi atau pada penderita yang jarang menerima transfusi pada
waktu anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan eritropoetik disumsum tulang
maupun di luar sumsum tulang. Tulang-tulang menjadi tipis dan fraktur patologis
mungkin terjadi. Ekspansi masif sumsum tulang di wajah dan tengkorak
menghasilkan bentuk wajah yang khas.

11
Gambar 3. Deformitas tulang pada thalasemia mayor (facies cooley)
Pucat, hemosiderosis, dan ikterus sama-sama memberi kesan coklat
kekuningan. Limpa dan hati membesar karena hematopoesis ekstrameduler dan
hemosiderosis. Pada penderita yang lebih tua, limpa mungkin sedemikian
besarnya sehingga menimbulkan ketidak nyamanan melanis dan dipersplenisme
sekunder.

Gambar 4. Splenomegali pada thalasemia.


Pertumbuhan terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas terlambat atau
tidak terjadi karena kelainan endokrin sekunder. Diabetes mellitus yang
disebabkan oleh siderosis pancreas mungkin terjadi. Komplikasi jantung,termasuk
aritmia dan gagal jantung kongestif kronis yang disebabkan oleh siderosis
miokardium sering merupakan kejadian terminal.
Pada limpa yang membesar, makin banyak sel darah merah abnormal yang
terjebak, untuk kemudian akan dihancurkan oleh sistem fagosit. Hiperplasia
sumsum tulang kemudian akan meningkatkan absorpsi dan muatan besi. Transfusi
yang diberikan secara teratur juga menambah muatan besi. Hal ini akan

12
menyebabkan penimbunan besi yang progresif di jaringan berbagai organ yang
diikuti kerusakan organ dan diakhiri dengan kematian bila besi tidak segera
dikeluarkan.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hasil Hb 2,3 gr/dL
(12 - 16 gr/dl), hematokrit 7% (37 - 47%), leukosit 4.900/µL (4.000 - 10.000/µL),
dan trombosit 84.000//µL (150.000 - 450.000/µL). Berdasarkan teori pada
thalasemia pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan meliputi Hb bisa
sampai 2-3 g%, gambaran morfologi eritrosit ditemukan mikrositik hipokromik,
sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi,
basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target.
Pemeriksaan khusus juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis meliputi : Hb F
meningkat 20%-90%, elektroforesis Hb. Pemeriksaan laboratorium yang perlu
untuk menegakkan diagnosis thalasemia yaitu :
1. Darah
Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita
thalasemia adalah
a. Darah rutin
Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan peningkatan jumlah
lekosit, ditemukan pula peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi
hipersplenisme akan terjadi penurunan dari jumlah trombosit.
b. Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.
c. Gambaran darah tepi
Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat mikrositik
hipokrom. Pada gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan
retikulosit, poikilositosis, tear drops sel dan target sel.

13
Gambar 5. Gambaran darah tepi pada thalassemia mayor

d. Serum Iron & Total Iron Binding Capacity


Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
anemia terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI
akan menurun, sedangkan TIBC akan meningkat.
e. LFT
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila
angka tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya
kemungkinan hepatitis, obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum
SGOT dan SGPT akan meningkat dan menandakan adanya kerusakan
hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat juga terjadi kelainan
dalam faktor pembekuan darah.
2. Elektroforesis Hb
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis
hemoglobin. Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita
thalassemia saja, namun juga pada orang tua, dan saudara sekandung jika
ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis hemoglobin dan kadar Hb A 2.
petunjuk adanya thalassemia α adalah ditemukannya Hb Barts dan Hb H.
Pada thalassemia β kadar Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan dalam
keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.

14
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang
sangat aktif sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8.
pada keadaan normal biasanya nilai perbandingannya 10 : 3.
4. Pemeriksaan rontgen
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila
tidak mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat,
mineralisasi berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi
darah secara berkala. Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga
sumsum dan penipisan dari korteknya. Trabekulasi memberi gambaran
mozaik pada tulang. Tulang terngkorak memberikan gambaran yang khas,
disebut dengan “hair on end” yaitu menyerupai rambut berdiri potongan
pendek pada anak besar, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula
tegak lurus pada korteks.Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang :
perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas.

Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan terapi Infus Nacl 0,9 % 10 tpm
(makro) dan pro transfuse PRC dalam dua tahap, yaitu : tahap 1 (5cc/kgBB) = 60
cc dan tahap II (15cc/kgBB) = 180 cc. Berdasarkan teori pada penatalaksanaan
pada thalassemia dibagi dua, yaitu :
a. Medikamentosa
1. Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah
kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin
lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine,
dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui pompa infus
dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut setiap
selesai transfusi darah.
2. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi.
3. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
4. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah

15
a. Bedah
1. Splenektomi, dengan indikasi: limpa yang terlalu besar, sehingga
membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan
intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur hipersplenisme ditandai
dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi
eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.
2. Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita
thalasemia dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil
tersembuhkan dengan tanpa ditemukannya akumulasi besi dan
hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada anak usia
dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-spesifik dan
cocok dengan saudara kandungnya dianjurkan untuk melakukan
transplantasi ini.

b. Suportif
1. Transfusi darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan
ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan
tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan
perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red
cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.

16
Gambar 6. Tranfusi darah pada thalasemia

2. Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan


kelebihan besi sebagai akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi darah
berulang. Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut,
sakit kepala, gatal, sukar bernapas. Bila hal ini terjadi kelasi besi
dihentikan.
3. Tumbuh Kembang : Anemia kronis memberikan dampak pada proses
tumbuh kembang, karenanya diperlukan perhatian dan pemantauan tumbuh
kembang penderita.
4. Gangguan Jantung, Hepar, dan Endokrin : Anemia kronis dan kelebihan zat
besi dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung (gagal jantung), hepar
(gagal hepar), gangguan endokrin (diabetes melitus, hipoparatiroid) dan
fraktur patologis.
Prognosis
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam jika dilakukan transfusi
secara teratur dan penanganan yang segera dan diharapkan selain kepatuhan
pengobatan penderita, adanya penanganan gizi dapat mendukung proses
penyembuhan pasien.

17
Tindak Lanjut
Pada tatalaksana thalasemia anak perlu diperhatikan bahwa tidak
menunggu waktu transfusi hingga kadar Hb tubuh terlalu rendah, kadar Hb pre-
transfusi antara 9-10 g/dL adalah nilai yang baik untuk dilakukannya transfusi
darah, untuk memperlambat munculnya komplikasi dan memperbaiki kualitas
hidup mereka. Perlu diperhatikan kualitas darah yang diberikan, sebaiknya
memakai darah yang rendah leukosit, untuk memperlambat terjadinya reaksi
transfusi, juga menggunakan skrining darah terhadap penyakit infeksi hepatitits B,
C, CMV, dan HIV dengan metode nucleic acid test/ NAT. Selain itu memakai
obat kelasi besi adekuat sangat dianjurkan untuk mencegah munculnya
komplikasi akibat kelebihan zat Fe yang merupakan suatu zat oksidan yang sangat
kuat. Jika kesemua hal tersebut dilakukan secara adekuat maka pasien dengan
thalassemia bisa bertahan sampai dengan dekade ketiga kehidupan dan bisa hidup
juga bertumbuh kembang selayaknya anak-anak normal.
Mengonsumsi makanan yang bergizi sangat diperlukan oleh anak-anak
penderita thalassemia. Pasien thalassemia biasanya mempunyai postur tubuh yang
kecil, kurus juga pendek, hal ini dapat diakibatkan karena kekurangan oksigen
yang terjadi terus-menerus pada jaringan. Selain itu, pembesaran limpa juga
menyebabkan turunnya nafsu makan. Semua kondisi ini menyebabkan gangguan
penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi yang pada akhirnya menyebabkan
gangguan pertumbuhan juga penurunan imunitas tubuh. Peran orangtua untuk
membentuk pola makan yang baik, yaitu mengonsumsi berbagai bahan pangan
sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral sangatlah penting. Hanya saja
yang perlu diingat, hindari bahan pangan yang mengandung besi dalam jumlah
tinggi yaitu hati dan daging merah beserta produk olahannya seperti bakso
ataupun jeroan. Bahan pangan tersebut dapat digantikan oleh ikan, ayam ataupun
susu yang mempunyai kandungan besi rendah. Memperbanyak konsumsi bahan
pangan yang mengandung fitat seperti sereal dan teh juga sangat dianjurkan. Fitat
merupakan senyawa yang menghambat absorpsi besi. Sebaliknya, konsumsi
vitamin C sebaiknya dibatasi, karena sifatnya yang membantu meningkatkan
penyerapan besi dalam tubuh.

18
Family centered care didefinisikan sebagai suatu filosofi dimana pemberi
perawatan melibatkan peran penting dari keluarga, dukungan keluarga akan
membangun kekuatan, membantu untuk membuat suatu pilihan yang terbaik, dan
meningkatkan pola normal yang ada dalam keseharian anak yang menderita
thalassemia. Disamping itu anak juga mengandalkan orang dewasa untuk akses ke
layanan kesehatan dan tindak lanjut regimen dalam penatalaksanaan asuhan dalam
konteks keluarga.
Pendidikan kesehatan yang adekuat perlu diberikan kepada orang tua
sehingga sikap keluarga dalam merawat anak dengan thalassemia akan semakin
positif, dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup anak usia
sekolah yang mengidap thalassemia. Selain itu, perlu dilakukan penelitian
explorasi (kualitatif) untuk mengetahui kebutuhan dukungan bagi keluarga dalam
memberikan perawatan anak usia sekolah yang mengidap thalassemia

19
BAB 5
KESIMPULAN

Pada kasus ini dilaporkan seorang anak laki-laki berusia 7 tahun dengan
berat badan 12 kg dan tinggi badan 117 cm di diagnosis dengan thalassemia dan
anemia berat.
Penengakkan diagnosis thalasemia pada kasus ini berdasarkan teori terdapat
anemia atau pucat, keadaan tubuh yang lemas, cepat lelah, perut membesar dan
pada pemeriksaan fisik didapatkan ditemukan bentuk muka mongoloid (facies
Cooley), ikterus, gangguan pertumbuhan, splenomegali dan hepatomegali. Pada
pasien perut terlihat buncit karena hepatomegali dan splenomegali sebagai akibat
terjadinya penumpukan Fe, kulit kehitaman akibat dari meningkatnya produksi
Fe, juga terjadi ikterus karena produksi bilirubin meningkat. Pada kasus yang
tidak diterapi atau pada penderita yang jarang menerima transfusi pada waktu
anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan eritropoetik disumsum tulang maupun di
luar sumsum tulang. Pemeriksaan thalasemia bisa dilakukan melalui pemeriksaan
darah, Hb elektroforesa, pemeriksaan sumsum tulang dan roentgen. Thalassemia
harus sudah diobati sejak dini agar tidak berdampak fatal.
Pengobatan yang dilakukan adalah dengan melakukan transfusi darah,
meminum beberapa suplemen asam folat, terapi kelasi besi, splenektomi, hingga
transplantasi sumsum tulang. Thalasemia bisa diketahui sedini mungkin dengan
proses skrining.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. AA.V. Hoffbrand and J.E. Pettit; alih bahasa oleh Iyan Darmawan : Kapita
Selekta Haematologi, edisi ke 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta :
1996, hal 66-85

2. Atmakusuma, Djumhana. 2009. Thalassemia : Manifetasi Klinis, Pendekatan


Diagnosis, dan Thalssemia Intermedia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi V. Jakarta : InternaPublishing.

3. Berhman, RE; Kliegman, RM ; Arvin: Nelson Ilmu Kesehatan Anak, volume


2, edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 2005, hal1708-1712

4. Children's Hospital & Research Center Oakland. 2005. “What is Thalassemia


and Treating Thalassemia”. Haemoglobinopathies. The Pathophysiology of
Beta-thalassemia Major, C.B. Modell, from theDepartment of Paediatrics,
University College Hospital, London, J. clin. Path., 27, Suppl. (Roy.
Coll.Path.), 8, 12-18

5. Hassan R dan Alatas H. (2002). Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan anak. bagian
19 Hematologi hal. 419-450 ,Bagian ilmu kesehatan anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta

6. Markum : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. FKUI, Jakarta : 1991, hal
331

7. Paediatrica Indonesiana, The Indonesian Journal of pediatrics and Perinatal


Medicine, volume 46, No.5-6. Indonesian Pediatric Society, Jakarta: 2006,
page 134-138

8. Permono, H. BAmbang; Sutaryo; Windiastuti, Endang; Abdulsalam, Maria;


IDG Ugrasena: Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, Cetakan ketiga.
Penerbit Badan Penerbit IDAI, Jakarta : 2010, hlm 64-84

9. Petunjuk Diagnosis dan Tatalaksana Kasus Talasemia.Jakarta:Subbagian


Hematologi,Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM,1997

21

Anda mungkin juga menyukai