Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN LENGKAP

PRAKTEK LAPANGAN
GEOLOGI STRUKTUR DAN PETROLOGI

OLEH :

NAMA : PABENO.A

STAMBUK : 2003 31 048

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS VETERAN REPUBLIK INDONESIA
2006
Kata pengantar

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa Pencipta

seluruh isi bumi ini ,karena atas berkat dan Anugrah-Nya sehingga saya dapat

menyelasaikan laporan ini dengan baik. Laporan ini merupakan tindak lanjut dari

hasil pengamatan praktek lapangan geologi struktur dan petrologi yang dilaksanakan

di dusun bantimala

Dalam menyelasaikan laporan ini saya banyak mendapatkan

dorongan,bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dan melalui kesempatan ini

saya selaku penulis menyampaikan ucapan trima kasih yang sedalam-dalamnya

kepada :

1. Bapak Ir. Hassanuddin,Msi selaku dosen pembimbing praktek lapangan

geologi struktur yang telah menyempatkan waktunya untuk

membimbing kami selama kegiatan praktek lapangan berlangsung.

2. Bapak Ir. Rafiuddin,MT. selaku dosen pembina dan pembimbing mata

kuliah petrologi yang telah banyak memberikan pegarahan baik pada

saat kuliah maupun praktek lapangan

3. Kanda-kanda asisten baik asisten geologi struktur maupun petrologi

trima kasih atas bimbingannya selama di lapangan

4. Orang tua teercinta dan seluruh anggota keluarga yang senantiasa

memberikan dukungannya baik moril, materil dan doa sehingga saya

dapat menyusun laporan ini dengan baik


Akhirnya saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan

baik dari segi penulisan maupun materinya oleh karena itu saran dan kritik

yang membangun dari pembaca sangatlah diharapkan sehingga dapat diperoleh

hasil yang lebih memuaskan

Dengan segalah kerendahan hati sekali lagi saya selaku penulis berharap

semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua

Makassar , 9 Februari 2006

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Fenomena yang terjadi dalam bidang geologi sangat menarik untuk diteliti

dan dianalisa, baik untuk kepentingan yang bernilai ekonomis maupun untuk

keperluan keilmuan dan pengembangan wilayah. Penelitian dibidang geologi

memerlukan kemampuan menganalisis dan menginterpretasi untuk mengetahui

proses awal pembentukan tatanan geologi dengan memperhatikan kondisi

geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi untuk menggambarkan sejarah geologi

suatu daerah.

Penelitian-penelitian dalam bidang geologi di pulau Sulawesi pada umumnya

dan Sulawesi Selatan pada khususnya masih bersifat regional. Untuk penyediaan

data-data yang lebih akurat dalam sekala lokal, perlu dilakukan penelitian geologi

pada masing-masing daerah di wilayah ini. Untuk menjawab tantangan tersebut,

penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada daerah Bantimurung Kecamatan

Bantimala Kabupaten Pangkep Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian yang dilakukan

berupa pemetaan geologi bersekala 1:27.000 untuk menampilkan data - data

bersekala lokal, yang mencakup berbagai aspek telitian guna mengetahui proses

pembentukan tatanan geologi dan sejarah pembentukannya.


I.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari kegiatan penelitian terhadap keadaan geologi daerah

bantimurung Kecamatan Bantimala Kabupaten Pangkep Propinsi Sulawesi Selatan

yakni, mengambil data geologi terutama aspek geologi struktur pada daerah

penelitian.

Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi

daerah penelitian yang meliputi geomorfologi, dan struktur geologi, sehingga dapat

menjelaskan kondisi bahan galian, ditinjau dari aspek ganesa, penyebaran, kelayakan

dan pemanfaatannya didaerah penelitian.

I.3 Letak dan Kesampaian Daerah

Adapun letak daerah penelitian secara administratif termasuk dalam wilayah

Kecamatan Bantimala Kabupaten pangkep (Gambar 1). Secara astronomis daerah

penenlitian terletak pada koordinat 11941’17” sampai 11943’19” Bujur Timur (BT)

. Peta dasar yang digunakan adalah peta topografi skala 1:27.000 dengan interval

kontur 25 meter.

Daerah penelitian berjarak kurang lebih 70 km dari kota Makassar (Ibukota

Propinsi Sulawesi Selatan) yang dapat ditempuh selama  2 – 2,5 jam dengan

mengunakan kendaraan beroda dua maupun beroda empat.


MANADO

PROP. SULAWESI
UTARA
GORONTALO

PALU

PROP. SULAWESI TENGAH

PU LAU
SULAWESI

PROP. SULAWESI
TENGGARA
PROP. SULAWESI
SELATAN

KENDARI

PANGKEP
MAKASSAR

0 100 km
Daerah Penelitian

Gambar 1. Peta Tunjuk Lokasi Daerah Penelitian

I.4 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian berlangsung adalah

sebagai berikut :
 Peta topografi daerah penelitian sekala 1 : 27.000

 Kompas geologi

 Palu geologi

 Lup

 Tas dan kantong sampel

 Buku lapangan, alat tulis menulis

 Larutan HCl

 Kamera

 Meteran

I.5 Peneliti Terdahulu

Daerah penelitian dan sekitarnnya telah pernah diteliti oleh para ahli yang

telah melakukan penelitian geologi yang sifatnya regional sebagai berikut :

 Van Bemmelen (1949), membahas mengenai kondisi geologi Pulau Sulawesi.

 Van Bemmelen (1975), meneliti secara umum potensi-potensi bahan galian di

Sulawesi selatan.

 Rab Sukamto (1975), peneliti pulau Sulawesi dan pulau-pulau yang ada

disekitarnya dan membagi kedalam tiga mandala geologi, dalam hal ini daerah

penelitian termasuk Mandala Sulawesi Timur.

 Rab Sukamto (1975), penelitian perkembangan tektonik sulawesi dan sekitarnya

yamg merupakan sintesis yang berdasarkan tektonik lempeng.

 Sartono Astadireja (1981), Mengadakan penelitian geologi Kuarter Sulawesi dan

Tenggara.
 Rab Sukamto dan Simanjuntak (1983), penelitian terhadap hubungan tektonik

ketiga Mandala Geologi Sulawesi yang ditinjau dari aspek sedimentologinya.


BAB II

KONDISI GEOLOGI

II. Geologi Regional

II.1. Geomorfologi Regional

Daerah penelitian termasuk dalam peta geologi lembar Pangkajene dan

Watampone Bagian Barat terletak di antara koordinat 119005’00” BT – 120045’00”

BT dan 04000’00” LS – 05000’00” LS, meliputi daerah Maros, Pangkep, Barru,

Watansoppeng, Wajo, Watampone, Sinjai dan Pare-pare. Lembar peta berbatasan

dengan lembar Majene-Palopo di utara, Lembar Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai

di selatan, selat Makassar di barat dan teluk Bone di timur.

Di daerah Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat terdapat dua

baris pegunungan yang memanjang hampir sejajar pada arah utara-baratlaut dan

terpisahkan oleh lembah Sungai Walanae. Pegunungan yang barat menempati hampir

setengah luas daerah, melebar di bagian selatan (50 km) dan menyempit di bagian

utara (22 km). Puncak tertingginya 1694 m, sedangkan ketinggian rata-ratanya 1500

m secara umum pembentuknya sebagian besar batuan gunungapi. Pada lereng barat

dan beberapa tempat di lereng timur terdapat topografi kars, pencerminan adanya

batugamping. Topografi kars lereng barat terdapat daerah perbukitan yang dibentuk

oleh batuan Pra-Tersier. Pegunungan kars di baratdaya dibatasi oleh dataran

Pangkajene-Maros yang luas sebagai lanjutan dari dataran di selatannya.


Pegunungan yang di timur relative lebih sempit dan lebih rendah, dengan

puncaknya rata-rata setinggi 700 m dan tertinggi 787 m. Pegunungan bagian timur

sebagian besar terdiri atas batuan gunungapi. Bagian selatannya selebar 20 km dan

lebih tinggi, tetapi ke utara menyempit dan merendah, dan akhirnya menunjami batas

bawah antara lembah Walanae dan dataran Bone. Bagian utara pegunungan ini

bertopografi kars yang permukaannya sebagian berkerucut. Batasnya di timurlaut

adalah dataran Bone yang sangat luas, yang menempati hampir sepertiga bagian

timur.

Lembah Walanae yang memisahkan kedua pegunungan tersebut di bagian

utara selebar 35 km, tetapi di bagian selatan hanya 10 km. Bagian tengahnya terdapat

sungai Walanae yang mengalir ke utara. Bagian selatan berupa perbukitan rendah dan

di bagian utara terdapat dataran alluvium yang sangat luas mengelilingi danau Tempe.

II.2. Stratigrafi Regional

Kelompok batuan tua yang umurnya belum diketahui terdiri dari batuan

ultrabasa, batuan malihan dan batuan melange. Batuannya terbreksikan, tergerus dan

mendaun, dan sentuhannya dengan formasi di sekitarnya berupa sesar atau

ketidakselarasan. Penarikan radiometri pada sekis yang menghasilkan 111 juta tahun

kemungkinan menunjukkan peristiwa malihan akhir pada tektonik Zaman Kapur.

Batuan tua ini tertindih tak selaras oleh endapan flysch Formasi Balangbaru dan

Formasi Maradda yang tebalnya lebih dari 2000 m dan berumur Kapur Akhir.
Kegiatan magma sudah mulai pada waktu itu dengan bukti adanya sisipan lava dalam

flysch.

Batuan gunungapi berumur Paleosen (58,5 – 63,0 jt) dan diendapkan dalam

lingkungan laut, menindih tak selaras batuan flysch yang berumur Kapur Akhir.

Batuan sediment Formasi Mallawa yang sebagian besar dicirikan oleh endapan darat

dengan sisipan batubara, menindih tak selaras batuan gunungapi Paleosen dan batuan

flysch Kapur Akhir. Ke atas Formasi Mallawa ini secara berangsur beralih ke endapan

karbonat Formasi Tonasa yang terbentuk secara menerus dari Eosen Awal sampai

bagian bawah Miosen Tengah. Tebal Formasi Tonasa lebih kurang 3000 m, dan

melampar cukup luas mengalasi batuan gunungapi Miosen Tengah di barat. Sedimen

klastika Formasi Salo Kalupang yang Eosen sampai Oligosen bersisipan batugamping

dan mengalasi batuan gunungapi Kalamiseng Miosen Awal di timur.

Sebagian besar pegunungan, baik yang di barat maupun yang di timur,

berbatuan gunungapi. Pada pegunungan bagian timur batuannya diduga berumur

Miosen Awal bagian atas yang membentuk batuan gunungapi Kalamiseng. Lereng

timur bagian utara pegunungan yang barat, terdapat batuan gunungapi Soppeng yang

diduga juga berumur Miosen Awal. Batuan sedimen berumur Miosen Tengah sampai

Pliosen Awal berselingan dengan batuan gunungapi yang berumur antara 8,93 – 9,29

juta tahun. Secara bersama batuan itu menyusun Formasi Camba yang tebalnya

sekitar 5000 m. Sebagian besar pegunungan yang barat terbentuk dari Formasi

Camba yang menindih tidak selaras Formasi Tonasa.


Selama Miosen Akhir sampai Pliosen, daerah yang sekarang jadi lembah

Walanae diendapkan sedimen klastika Formasi Walanae. Batuan ini tebalnya sekitar

4500 m, dengan bioherm batugamping koral tumbuh di beberapa tempat

(Batugamping Anggota Tacipi). Formasi Walanae berhubungan menjemari dengan

bagian atas Formasi Camba. Kegiatan gunungapi selama Miosen Akhir sampai

Pliosen Awal merupakan sumber bahan bagi Formasi Walanae. Kegiatan

gunungapi yang masih terjadi di beberapa tempat selama Pliosen, dan

menghasilkan batuan gunungapi Pare-pare (4,25 – 4,95 jt thn) dan Baturape-

Cindako, juga merupakan sumber bagi Formasi itu.

Terobosan batuan beku yang terjadi di daerah ini semuanya berkaitan erat

dengan kegiatan gunungapi tersebut. Bentuknya berupa stok, sil dan retas, bersusunan

beraneka dari basal, andesit, trakit, diorit dan granodiorit, berumur berkisar dari 8,3

sampai 19,2 juta tahun.

Setelah Pliosen Akhir, rupanya tidak terjadi pengendapan yang berarti di

daerah ini, dan juga tidak ada kegiatan gunungapi. Endapan undak di utara

Pangkajene dan di beberapa tempat di tepi sungai Walanae, rupanya terjadi selama

Pliosen. Endapan Holosen yang luas berupa alluvium terdapat di sekitar D. Tempe, di

dataran Pangkajene-Maros dan di bagian utara dataran Bone.


II.3. Struktur Geologi Regional

Batuan tua yang masih dapat diketahui kedudukan stratigrafinya dan

tektoniknya adalah sediment flysch Formasi Balangbaru dan Formasi Marada ;

bagian bawah tak selaras menindih satuan yang lebih tua, dan bagian atasnya ditindih

tak selaras oleh batuan yang lebih muda. Batuan yang lebih tua merupakan masa yang

terimbrikasi melalui sejumlah sesar sungkup, terbreksikan, tergerus, terdaunkan dan

sebagian tercampur menjadi melange. Oleh karena itu kompleks batuan ini

dinamakan Kompleks Tektonik Bantimala. Berdasarkan himpunan batuannya diduga

Formasi Balangbaru dan Formasi Marada itu merupakan endapan lereng di dalam

sistem busur-palung pada zaman Kapur Akhir. Gejala ini menunjukkan, bahwa

melange di daerah Bantimala terjadi sebelum Kapur Akhir.

Kegiatan gunungapi bawah laut dimulai pada Kala Paleosen, yang hasil

erupsinya terlihat di timur Bantimala dan di daerah Birru (lembar Ujung Pandang,

Benteng, Sinjai). Pada Kala Eosen Awal rupanya daerah di barat berupa tepi daratan

yang dicirikan oleh endapan darat serta batubara di dalam Formasi Malawa,

sedangkan di daerah timur, berupa cekungan laut dangkal tempat pengendapan batuan

klastika bersisipan karbonat Formasi Salo Kalupang. Pengendapan Formasi Malawa

kemungkinan hanya berlangsung selama awal Eosen, sedangkan Formasi Salo

Kalupang berlangsung sampai Oligosen Akhir.

Di barat diendapkan batuan karbonat yang sangat tebal dan luas sejak Eosen

Akhir sampai Miosen Awal. Gejala ini menandakan bahwa selama waktu itu terjadi
paparan laut dangkal yang luas, yang berangsur-angsur menurun sejalan dengan

adanya pengendapan. Proses tektonik di bagian barat ini berlangsung sampai Miosen

Awal, sedangkan di bagian timur kegiatan gunungapi sudah mulai lagi selama Miosen

Awal, yang diwakili oleh batuan gunungapi Kalamiseng dan Soppeng (Tmkv dan

Tmsv).

Akhir kegiatan gunungapi Miosen Awal itu diikuti oleh tektonik yang

menyebabkan terjadinya permulaan terban Walanae yang kemudian menjadi

cekungan tempat pembentukan Formasi Walanae. Peristiwa ini kemungkinan besar

berlangsung sejak awal Miosen Tengah, dan menurun perlahan selama sedimentasi

sampai Kala Pliosen. Menurunnya terban Walanae dibatasi oleh dua sistem sesar

normal, yaitu sesar Walanae yang seluruhnya nampak hingga sekarang di sebelah

timur, dan sesar Soppeng yang hanya tersingkap tidak menerus di sebelah barat.

Selama terbentuknya terban Walanae, di timur kegiatan gunungapi terjadi

hanya di bagian selatan sedangkan di barat terjadi kegiatan gunungapi yang hampir

merata dari selatan ke utara berlangsung dari Miosen Tengah sampai Pliosen. Bentuk

kerucut gunungapi masih dapat diamati di daerah sebelah barat, di antaranya puncak

Maros dan G. Tondongkarambu. Suatu tebing melingkar mengelilingi G. Benrong, di

utara G. Tondongkarambu, mungkin merupakan sisa suatu kaldera.

Sesar utama yang berarah utara-baratlaut terjadi sejak Miosen Tengah, dan

tumbuh sampai setelah Pliosen. Perlipatan besar yang berarah hampir sejajar dengan

sesar utama diperkirakan terbentuk sehubungan dengan adanya tekanan mendatar

berarah kira-kira timur-barat pada waktu sebelum akhir Pliosen. Tekanan ini
mengakibatkan pula adanya sesar sungkup lokal yang menyesarkan batuan pra-Kapur

Akhir di daerah Bantimala ke atas batuan Tersier. Perlipatan dan penyesaran yang

relative lebih kecil di bagian timur lembah Walanae dan di bagian barat pegunungan

barat, yang berarah baratlaut-tenggara dan merencong, kemungkinan besar terjadi

oleh gerakan mendatar ke kanan sepanjang sesar besar.

B. Geologi Lokal

1. Geomorfologi

Bentang Alam Dan Kondisi Topografi

Geomorfologi merupakan beda tinggi suatu tempat lainnya pada suatu

daerah dan kemiringan lereng , bentuk dan ukuran dari bukit dan lembah ,gunung

,datarn gawir. Perbedaan relief pada suatu daerah diakibatkan oleh perbedaan proses ,

perbedaan litologi atau perbedaan atau perbedaan keduanya .Untuk lebih jelasnya

dapat diamati pada tabel klasifikasi relief menurut Van Zuidam,1985

Tabel 1. Klasifikasi bentangalam menurut Van Zuidam

Satuan Relief Kelas Lereng ( % ) Beda Tinggi (m)


Datar 0-2 <5
Landai 2-7 5-25
Miring 7-15 25-75
Berbukit,bergelombang 15-30 75-200
Terjal 30-70 200-500
Sangat terjal 70-140 500-1000
Sangat curam >140 >1000
Satuan perbukitan bergelombang memiliki luas 80% dari wilayah pengamatan

dengan ciri-ciri yang dijumpai di lapangan yang diambil pada station 6 dengan

persentase

Kemiringan lereng 22% dengan puncak tertinggi 290 dari MAL degan tingkat

pelapukan yang tinggi yang ditandai dengan ketebalan soil 1m dengan warna coklat

kemerahan adapun sungai yang mengalir bersifat permanent dengan profil melintang

menyerupai huruf U dan tata guna lahan sebagai persawahaan.

1.1. Keadaan sungai.

Sungai merupakan air yang mengalir diatas permukaan bumi membentuk alur-

alur yang memanjang dan sempit serta mengikuti bagian bentang alam yang lebih

rendah dari sekitarnya (Thonbury,1969)

Untuik lebih jelas mengenai kondisi sungai pada wilayah pengamatan yang

meliputi klasifikasi jenis sungai berdasarkan kuantitas , pola aliran sungai , tipe

genetic sungai dan stadia sungai yaitu :

1.1.1. Klasifikasi sungai

Sungai yang mengalir pada daerah pengamatan terdiri dari sungai sungai Elle

dan sungai Menge. Berdasarkan klasifikasi sungai oleh thornbury1969 sungai Elle

tergolong sebagai sungai permanent dimana aliran airnya yang relatif tenang dengan

debit air yang normal s4ehingga daerah tersebut dibuat saluran irigasi untuk mengaliri

areal persawahan sedangkan sungai menge merupakan sungai permanent dengan

aliran air yang tenang dengan debit air yang tidak terlalu besar

1.1.2. Pola Aliran Sungai


Bila mengamati aliran sungai dan dibandingkan dengan intrepretasi peta

topografi maka dapat direkonstruksikan pola aliran sungai yang berkembang pada

daerah pengamatan terdiri dari pola aliran sungai subdenritik. Pola aliran yang

kenampakannya menyerupai pohon yang menyebar kearah hulu , mengalir ke daerah

yang relatif datar.

1.1.3. Tipe Genetik Sungai.

Bila dibandingkan dengan daerah penelitian maka tipe genetic sungai yang

mengalir pada daerah pengamatan tergolong dalam tipe genetik konsekuen dan

subsekuen . tipe genetic kosekuen merupakan tipe genetic sungai dimana arah

alirannya searah kemiringan perlapisan batuan seperti pada stasiun 11. Tipe genetic

obsekuen merupakan tipe genetic sungai yang arah aliran berlawanan dengan

kemiringan perlapisan batuan seperti pada stasion 9.

1.2.4 Stadia Sungai

Sungai yang mengalir pada satuan perbukitan bergelombang seperti sungai

elle memperlihatkan bentuk penampang menyerupai huruf U dengan arus yang

lemah, proses erosi relatif sama dengan proses pengendapan, adanya kelokan-kelokan

.Stadia sungai ini termasuk dalam kategori stadia dewasa , sedangkan sungai menge

yang memperlihatkan bentuk penampang menyerupai huruf V, proses erosi relatif

lebih besar dari proses pelapukan , arah aliran relatif lurus . Sungai ini dikategorikan

dalam stadia mudah


1.3. Mata Air

Mata air yang ditemukan pada statiun 7 diakibatkn oleh adanya akuifer yang

terpotong oleh sesar. Dimana data sekunder ini dapat dijadikan sebagai acuan adanya

sesar yang membentuk daerah penelitian setelah terbentuknya batuan penyusun

daerah tersebut.

2. Struktur

2.1 Struktur Primer

Struktur primer merupakan struktur yang terbentuk bersamaan dengan

terbentuknya batuan .seperti perlapisan (Batuan sedimen) , foliasi(batuan metamorf),

dan struktur aliran ,bantal,dan hang (Batuan Beku). Pada daerah penelitian ditemukan

struktur primer berupa perlapisan batuan seperti pada station 1,2,4,8,9,10,11,15.

2.2. Struktur Sekunder

Struktur sekunder merupakan struktur geologi yang terbentuk setelah

terbentuknya batuan .Adapun struktur geologi yang dijumpai pada daerah penelitian

yaitu:

2.2.1 Lipatan ( Fold )

Struktur lipatan adalah hasil perubahan bentuk atau volume dari suatu

bahan yang menunjukan sebagai lengkungan atau kumpulan dari lengkungan pada

unsur garis atau bidang didalam bahan tersebut . Pada umumnya unsur terlibat di

dalamnya , lipatan adalah bidang perlapisan , foliasi ,dan lineasi


Untuk mempelajari lipatan dapat dilakukan dengan pengukuran langsung

dan merekonstruksikannya dalam bentuk penampang atau dianalisa lebih lanjut

dengan metode statistik.

Antiklin adalah unsur struktur lipatan ,dengan bentuk cembung keatas ,

sedangkan sinklin adalah lipatan yang cembung kebawah

Dalam penentuan geometri dan jenis lipatan yang berkembang pada suatu

daerah, sangatlah bergantung pada keakuratan data kedudukan bidang perlapisan

batuan yang ada pada daerah pengukuran. Hal ini sangat membantu dalam penentuan

arah gaya yang bekerja, dimana arah gaya tegasan utama yang bekerja umumnya

tegak lurus terhadap sumbu lipatan

Penentuan struktur lipatan didasarkan pada pengukuran kedudukan lapisan

batuan. Pengukuran dilakukan pada satuan batulempung di daerah Bantimala yaitu

pada stasiun 10 dan 15 dengan kedudukan N 115oE/ 280 , N326oE/ 170. Dari hasil

rekonstruksi lipatan (Higgins 1962.) maka struktur lipatan yang berkembang pada

daerah penelitian adalah lipatan antiklin. Dari hasil pengolahan data kekar yang

didapatkan di lapangan maka diperoleh bahwa sumbu lipatan memanjang timur –

barat.

2.2.2 Struktur Kekar

Salah satu struktur geologi sering dijumpai di lapangan yaitu rekahan –

rekahan yang belum mengalami atau sedikit mengalami pergerakan disebut sebagai

kekar.
Kekar dapat dikelompokkan berdasarkan atas beberapa parameter di

antaranya adalah bentuknya, ukuran, kerapatan maupun kombinasi antara ukuran dan

kerapatan. Berdasarkan atas beberapa parameter tersebut maka struktur yang

dijumpai di lapangan berupa kekar dapat dibedakan atas kekar gerus (shear joint) dan

kekar tarik (tension joint).

Extension Joint
1 1
Shear Joint Shear Joint

 
 


3 3 3

2 Release Joint

1

Gambar 2 Hubungan antara Shear Joint, Extension Joint dan


Release Joint terhadap prinsip arah tegasan (modifikasi dari
Prastistho, 1993).

Berdasarkan kenampakan lapangan terhadap kekar yang dijumpai pada daerah

penelitian maka dapat disimpulkan jenis kekar adalah kekar tarik (tension joint),

memiliki ciri fisik berupa bentuk dan letak yang tidak beraturan dan sistematis dan

tidak menerus, tidak berpotongan satu sama lain dan bentuk permukaan tidak rata. I.

2.2.3. Sruktur Sesar

Penentuan struktur sesar di daerah penelitian diperoleh dari hasil interpretasi

data lapangan berupa data primer maupun data sekunder. Hasil pengolahan data-data
tersebut kemudian dihubungkan dengan pendekatan model serta teori pengkerutan

akibat gaya tekan yang di kemukakan oleh Harding, 1974

Data-data lapangan yang diolah berupa :

- Mata air (stasiun 7)

- Cermin sesar dengan rake 360 (Stasiun 3) dan rake 160( stasiun 6)

- Perubahan kedudukan (Strike/dip batuan)

- Perubahan penyebaran dari batuan (dimana perubahan posisi stratigrafi

dari batuan khususnya rijang sebagai batuan tua yang hanya terbentuk

pada lingkungan laut dalam yang kemudian terangkat oleh proses

tektonik yang besar berupa sesar naik)

kemudian dihubungkan dengan teori pengkerutan oleh Harding, 1974

memberikan informasi bahwa struktur geologi berupa sesar yang berkembang pada

daerah penelitian adalah sesar naik Batimala.

3.Litologi.

3.1. Batugamping ditemukan pada station 12

a. Porositas rendah,

b. Warna segar : abu-abu, lapuk coklat

c. Tekstur : - Ukuran butir ½ - ¼ mm

- Sortasi : Baik

- Tingkat keseragaman butir : membulat

d. Kekerasan : keras
e . Komponen Batuan : - semen : karbonat

- fosil : Tidak ada

- geometeri : membaji

- struktur perlapisan : sangat tebal > 120 cm

3.2 . Batulempung ditemukan pada station 1,2, 4,11

a.. Porositas rendah

b. Warna segar Abu- abu gelap, lapuk :coklat

c. Tekstur : - Ukuran < 1/ 256 mm

- Sortasi Baik

- Tingkat keseragaman butir : bulat

d. Kekerasan : lepas-lepas mudah diremas

e. Komponen- komponen : - Fragmen : -

- Matriks : Mineral-mineral Lempung

- Semen : silika

- Fosil : tidak ada

- Geometri : Membaji

- Struktur : tipis ( 5-60 cm )

3.3. Batupasir Halus ditemukan pada station 1,.2,8,12

a. Porositas tinggi

b. Warna Segar Abu- abu kehitaman , Lapuk : abu-abu

c. Tekstur : - Ukuran Butir : 1/4 – 1/8 mm

- sortasi : Baik
- tingkat keseragaman butir : Membulat

d. Kekerasan : Sangat keras

e. komponen batuan sedimen :

Fragmen :-

Matriks : kuarsa, piroksin , mineral lempung

Semen : silika

f. Geometri : membaji

g. Struktur perlapisan : tebal ( 120- 60 Cm )

3.4 Batupasir sedang ditemukan pada station 13 dengan strike dip

N 130 E / 40

a. Porositas : tinggi

b. Warna : Segar Merah hati

Lapuk : Merah kecoklatan

c . Tekstur : Ukuran butir : ½ - ¼ mm

Sortasi : Baik

Tingkat keseragaman Butir : Membulat

d. Kekerasan : keras

e. Komponen batuan : Fragmen : -

matriks : kuarsa , piroksin ,

Semen : Silika

Geometri : Terpotong

Struktur perlapisan : tipis ( 5 – 60 Cm)


3.5 . Lanau ditemukan padsa station 1

a. Porositas : rendah

b. Warna : Segar : Abu- abu Kehitaman

Lapuk : Abu—abu

c. Tekstur : Ukuran Butir : 1/16 – 1/256 mm

sortasi : Baik

Tinkat keseragaman butir : Bulat

d. Kekerasan : Lepas- lepas, mudah diremas

e. Komponen Batuan : Fragmen : -

Matriks : Mineral lempung

Semen : silika

Geometeri : Terpancung

Struktur Perlapisan : Tipis ( 5-60 cm)

3.6. Batu bara ditemukan pada stasiun 11 dengan srike dip N 72 E / 9

a. Porositas : rendah

b. Warna : hitam

c. Pecahan : Even

d. Kekerasan : Lunak

e. geometri : Lensa

f.. Struktur Perlapisan : Tebal ( 60 – 120 cm )

3.7. Breksi sesar Ditemukan pada statiun 5

a. porositas : Rendah
b. Warna : Segar : Merah Hati

lapuk : Merah Coklat

c.Tekstur : Ukuran butir : 2 – 64 mm

. Sortasi : Baik

Tingkat keseragaman butir : Menyudut

d .kekerasan : keras

e. komponen batuan : fragmen : Rijang

matriks : milokristalin silika

Semen : silika

Geometri : membaji

Struktur perlapisan : tebal

3.8 Rijang ditemukan pada station 6,9

a. Porositas : rendah

b warna : Segar : Merah hati

Lapuk : Merah kecoklatan

c. Tekstur : Sortasi : baik

d. kekerasan : keras

e. komponen-komponen batuan : Fragment : -

matriks : mikrokristalin silika

semen : silika

geometri : terpotong

struktur perlapisan : tebal


3.9 . Konglomerat. Ditemukan pada station 3

a. Porositas : rendah

b. Warna : segar : abu-abu

lapuk : Coklat

c. Tekstur : Sortasi : jelek

tingkat keseragaman butir : membulat

d. Kekerasan : keras

e. komponen : Fragmen : batuan beku ( 4-64 mm)

Matriks : kuarsa, plagioklas, piroksin

Semen : silika

. Geometri : membaji

Struktur perlapisan : Tebal


BAB III

BAHAN GALIAN

Bahan galian adalah unsur-unsur kimia, mineral –mineral,bijih-bijih, dan segalah

macam batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan alam yang bila

digali atau diolah dapat bermanfaat.Berdasarkan peraturan pemerintah N0.27 tahun

1980, pemerintah republic Indonesia membagi bahan galian kedalam 3 golongan

yaitu :

- Bahan galian golongan A ( Bahan galian strategis ) terdiri dari : minyak

bumi,bitumen cair, ;lilin beku, gas alam ,bitumen., padat, aspal , antrasit,

batubara, batubara muda, uranium, radium, thorium bahan galian

radioaktif lainnya, nikel, kobalt,timah.

- Bahan galian golongan B ( Bahan galian Vital ) terdiri dari : Besi,

mangan,molibdeen, khrom, wolfram , vanadium, titan, bauksit, tembaga,

timbale, seng, emas , platina, perak, air raksa ,arsen,

antimon,bismuth,yttrium, rhutenium, cerium, dan logam-logam langka

lainnya, berilium,korundum,zircon, kristal kuarsa,kriolit,fluorspar,

barit ,yodium, brom,klor, belerang.

- Bahan galian golongan C ( bahan galian non strategis dan non vital)

terdiri dari : nitrat, nitrit, fospat, halit, asbes, talk, mika, grafit, magnesit,

yarosit, leusit, tawas, oker, batu permata ,batu setengah permata, pasir

kuarsa, kaolin, feldspar, gypsum, betonit, tanah diatomae,tanah

serap,batu apung, trass, obsidian, marmer, batu tulis, batu kapur,


dolomite,kalsit, granit, andesi, basalt, trakhit, tanah liat, pasir sepanjang

tidak mengandung unsur-unsur mineral golongan A dan golongan

Bdalam skala yang berarti dari segi ekonomi pertambangan

Adapun bahan galian yang ditemukan pada daerah penelitian adalah

Batubara( Gol. A) ,batugamping ,rijang, lempung (Golongan C)

1. Batubara. Kejadiannya karena proses pengendapan (sedimentasi ) daripada

tumbuh-tumbuhan yang kemudian tertimbun dan mengalami proses

pengawetan dan bebas daripada bakteri – bakteri pembusuk disamping itu

karena pengaruh P dan T yang cukup besar ( proses metamorfosis ) dalam

waktu yang cukup lama.

2. Batugamping . Dikenal batu gamping non klastik, merupakan koloni dari

binatang laut antara lain Coelenterata, Moluska, dan Protozoa

,Foramenifera dan sebagainya, jenis batu gamping ini sering disebut

sebagai batu gamping koral karena penyusun utamanya adalah koral yang

merupakan aggota dari coelenterate. Batu gamping ini merupakan

pertumbuhan dan perkembangan koloni koral, oleh karena itu dilapangan

tidak menunjukan perlapisan yang baik dan belum banyak mengalami

pengotoran mineral lain . Batugamping klastik, merupakan hasil rombakan

jenis batu gamping non klastik melalui proses erosi oleh air,

tertransportasi, sortasi, sedimentasi. Oleh karenanya selama proses tersebut

terikut jenis mineral lain yang merupakan pengotor dan memberi warna

pada batu gamping yang bersangkutan . Akibat adanya proses sortasi maka
secara alamiah akan terbentuk pengelompokan ukuran butir. Dikenal jenis

kalsidurit apabika batu gamping tersebut fragmental, kalkarenit apabila batu

gamping tersebut berukuran pasir, dan kalsilutit apabila batu gamping

tersebut berukuran lempung. Tingkat pengotoran/kontaminasi oleh mineral

asing berkaitan erat dengan ukuran butirnya. Pada umumnya batu gamping

ini dilapangan menunjukan berlapis. Adanya perlapisan danstruktur

sedimen yang lain serta adanya kontaminasi mineral tertentu yang akan

memberi warna dalam beberapa hal memberikan nilai tambah setelah batu

gamping tersebut terkena setuhan teknologi.

3. Rijang. Terbentuk dari proses replacement terhadap batu gamping oleh

silica organic atau anorganic. Rijang berbentuk sangat halus umumnya

berwarna kemerah – merahan ( merah hati ), kadang – kadang berwarna

kehijauan atau kehitaman, nilai kekerasan 7.

4. Lempung. Sebetulnya merupakan istilah ukuran butir yang lebih kecil dari

1/256 mm ( menurut ukuran Wentworth ). Apabila butir – butir tersebut

sudah kompak kemudian disebut batu lempung. Didalam pembicaraan

masyarakat yang dimaksud lempung sama pengertiannya dengan batu

lempung. Lempung dikelompokkan menjadi 2 bagian besar yaitu :

 Lempung Residu

Merupakan sejenis lempung yang terbentuk karena proses

pelapukan ( alterasi ) batuan beku dan dijumpai disekitar batuan

induknya. Mutu lempung ini pada umumnya lebih baik


dibandingkan dengan lempung sediment. Komposisi lempung

residu didominasi oleh mineral ilit, umummya dipergunakan untuk

bahan pembuatan keramik struktur antara lain : bata, genting, dan

gerabah.

 Lempung Sedimen

Sering disebut sebagai tanah liat. Penyebutan ini didasarkan atas

sifatnya yang liat apabila terkena air. Tanah liat merupakan hasil

desintegrasi, pelapukan kimia, terutama pengaruh H2O dan CO2

dibantu oleh mikro organisme terhadap batuan induk. Hasilnya

merupakan bagian yang halus dan tidak larut dalam air. Selanjutnya

material ini diangkut oleh air sebagai suspensi dan akhirnya

mengendap berlapis – lapis. Selama proses pengendapan /

pengangkutan sangat dimungkinkan dikotori oleh mineral yang

berukuran halus antaralain kuarsa, besi oksida dan bahan organis.


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Sejarah geologi daerah penelitian daiawali dari terendapkannya material

berupa rijang pada laut dalam , kemudian diikuti terendapkannya material

yang didominasi oleh lempung membetuk formasi Balangbaru pada kondisi

lingkungan laut, selanjutnya terendapkan material karbonatan yang

membentuk batugamping yang kemuidan diketahui sebagai anggota dari

formasi Tonasa. Kemudian daerah penelitian mendapat gaya tekan yang

berarah utara selatan yang terus bertambah menyebabkan batuan mengalami

perlipatan dengan sumbu-sumbu lipatan berarah timur-barat, dikarenakan

gaya terus berlanjut sehingga tingkat elastisitas batuan mencapai tikat

maksimum dan batuan mengalami rekahan yang belum atau telah megalami

pergeseran dalam skala kecil, dan hal ini gaya tekan yang bekerja terus

berlanjut menyebabkan terjadi sesar naik bantimala, sehingga batuan yang

berumur tua tersingkap kepermukaan.

2. Saran

- Sebaiknya pada saat praktek lapangan seluruh asisten aktif mendampingi

peserta praktikan agar pemberiaan materi dapat merata .

- Sebaiknya perlu disusun agenda/ kegiatan apa saja yang dilakukan pada

hari itu sehingga praktika tauh apa yang dilakukan saat berada

dilapangan
DAFTAR PUSTAKA

Sukandarrumidi., 1998. Bahan Galian Industri,Gadja mada university press,

Yogyakarta

D. sudrajat , 1978, Geologi Ekonomi , Fakultas Teknologi Industri , ITb, Bandung

Kaharruddin,IR., 1988 Field Geologi, Jurusan teknik Geologi Universitas Hasanuddin

Makassar

Sukandarrumidi, 1995, Batubara Dan Gambut , Gadja Mada University press.

Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai